Bagian 4
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Pemuka adat dan wartawan
Berselang
waktu satu bulan, 8 Januari-8 Februari 1958 ternyata persoalan tanah air
semakin kusut. Sudah nampak blokade terhadap daerah-daerah bergolak, Sumatera
dan Sulawesi Utara pada umumnya. Hubungan udara Jakarta ke daerah bergolak
ditutup. Begitu juga hubungan laut dihentikan. Satu-dua orang dari Jakarta ke
Padang ada yang jalan darat Jakarta-Lampung-Palembang. Kemudian dengan susah
payah mencapai Padang dan Bukittinggi. Sebagian yang sudah pulang kampung tak
hendak kembali ke Jawa, baik orang-orang sipil dan militer.
Ultimatum 5 x 24 Jam
Orang-orang
daerah merisaukan anak-anaknya yang sedang belajar pada berbagai perguruan
tinggi di Jawa. Kontak hanya dengan telepon, tapi dengan surat tak akan pernah
sampai. Tidak diantar ke alamat atau disensor dengan alasan negara dalam SOB
(Staats van Orlog en van Bleg), negara dalam bahaya.
Di
Jakarta dilakukan penangkapan/penahanan terhadap siapa yang berpihak kepada
daerah bergolak. Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta) ditahan KMKB-DR
di bawah Letkol E. Dachyar. Letkol E. Dachyar adalah perwira militer yang
condong ke kiri. Begitu juga terhadap diri Kapten Sabaruddin Sjamsuddin, Bc Hk,
seorang pama di Jakarta yang berasal
dari Minang, dan lain-lain.
Surat
kabar HALUAN Padang, Batanghari Sembilan
Palembang, Mingguan Pelopor Sibolga meski masih terbit, tapi oleh Penguasa
Perang Daerah Jakarta Raya dilarang beredar. RRI Padang, Bukittinggi, Pekanbaru,
Manado tak boleh didengar. Putra-putra daerah yang ada di Jakarta, Bandung,
Yogya, Semarang dan Surabaya terpaksa mengecilkan volume radionya bila hendak
mendengarkan berita dari daerah.
Di
Palembang dibentuk Batalion Sumatera direkrut dari para pemuda, pelajar dan
mahasiswa. Kemudian Batalion Sumatera itu jadi Detasemen Waringin.
Di
Padang para pemuda yang tergabung dalam PPP (Pemuda Pelopor Pembangunan) yang
tadinya diterjunkan ke kabupaten-kabupaten sebagai tenaga bantuan setelah Dewan
Banteng membagi-bagikan dana Rp. 1 juta masing-masing kabupaten, setelah
melihat gelagat Pusat dengan policy keamanannya, lalu PPP direkrut Dewan
Banteng jadi tentara. Sementara para mahasisiwa Sumatera Tengah yang sempat
pulang kampung membentuk Tentara Pelajar (TP) dan Kompi Mahasiswa. Partai PKI,
PNI, Partindo, dan lain-lain semakin berani berteriak agar Pemimpin Besar
Revolusi Bung Karno bertindak tegas,
terhadap daerah bergolak.
Sebetulnya
menurut pengamatan Penulis sebagai seorang wartawan waktu itu dalam situasi
hubungan antara Pusat dan daerah yang telah semakin memburuk maka akan beralih menjadi cetusan api peluru dan bom
dalam serang-menyerang, saya lihat
daerah tidaklah siap.
Betapapun
ada upaya merekrut anggota militer baru seperti Detasemen Waringin di Palembang
atau Pemuda Pelopor Pembangunan di Sumatera belumlah cukup menurut pendapat
saya untuk menghadapi perang fisik yang sesungguhnya.
Kita
tahu berapalah kekuatan Tentara dan Teritorium II Sriwijaya di Palembang,
Resimen IV di Sumatera Tengah, Sulawesi Utara dengan Permestanya yang sudah
terbelah di Teritorium VII Hasanuddin di Makassar. Kekuatan mantan Panglima
Simbolon dengan pengikut yang setia padanya.
Meski Husein, Sumual dan Prof. Soemitro
Djojohadikusumo mengusahakan bantuan senjata dari Amerika Serikat, bila
personil kemiliteran itu tidak cukup dan tidak terlatih tak akan mungkin
diandalkan dalam perang terbuka walaupun untuk mempertahankan diri. Belum lagi
kita perhitungkan dengan pasukan di udara dan di laut di mana pihak Pusat punya
AL dan AU dengan persenjataannya yang sudah mulai lengkap. Waktu itu saya lihat
“angek tadah dari cangkienyo”.
Artinya akibat kebencian rakyat di daerah bergejolak yang mendidih kepada Bung
Karno dan PKI maka mereka mau saja perang.
Sampai
pada tanggal 10 Februari 1958 pada pukul 10.00 WSU para perwira militer dan
Politisi itu berkumpul di Gubernuran Padang. Yang memegang peran utama adalah
Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Moh.
Natsir, Burhanuddin Harahap, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maluddin Simbolon,
dan lain-lain.
Diumumkanlah
tuntutan dari daerah-daerah bergolak yang sudah bergabung dalam Dewan
Perjuangan ditujukan kepada Pemerintah Pusat.
Koran-koran
dan RRI kemudian menyebutkan tuntutan Dewan Perjuangan itu sebagai ultimatum 5
x 24 jam. Tuntutan itu intinya antara lain :
- Menuntut
kepada Presiden R.I supaya dalam waktu 5 x 24 jam terhitung dari tanggal
tuntutan ini :
- Kabinet Djuanda mengembalikan mandatnya
kepada Presiden.
- Atau Prsiden mencabut kembali mandat Kabinet
Djuanda.
- Setelah
tuntutan 1 a atau 1 b tersebut
terlaksana, supaya Presiden menunjuk Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono
IX untuk membentuk Zaken Kabinet Nasional sesuai dengan konstitusi (UUDS)
1950 yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang jujur, cakap, disegani
serta bersih dari atheis dengan tugas :
a.
Untuk
menyelamatkan negara dari desintegrasi dan kekacauan serta bekerja sesuai
konstitusi (UUDS) sambil menunggu UUD yang sedang dibahas oleh Majelis
Konstituante Bandung.
b.
Membangun
bangsa dan negara RI yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
- Apabila
tuntutan pada angka 1 dan 2 tidak dipenuhi, maka dengan ini kami nyatakan
bahwa kami terbebas dari wajib taat kepada DR. Ir. Soekarno sebagai
Presiden/Kepala Negara RI.
Demikianlah
antara lain inti tuntutan Dewan Perjuangan tersebut yang ditandatangani oleh
Ketuanya Letkol Ahmad Husein, 10 Februari 1958.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar