Rabu, 13 Agustus 2014

RENUNGAN PROKLAMASI REPUBLIK INDONESIA: Bagaimana Kita Menilai PRRI?

Bagian 4
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Pemuka adat dan wartawan
Berselang waktu satu bulan, 8 Januari-8 Februari 1958 ternyata persoalan tanah air semakin kusut. Sudah nampak blokade terhadap daerah-daerah bergolak, Sumatera dan Sulawesi Utara pada umumnya. Hubungan udara Jakarta ke daerah bergolak ditutup. Begitu juga hubungan laut dihentikan. Satu-dua orang dari Jakarta ke Padang ada yang jalan darat Jakarta-Lampung-Palembang. Kemudian dengan susah payah mencapai Padang dan Bukittinggi. Sebagian yang sudah pulang kampung tak hendak kembali ke Jawa, baik orang-orang sipil dan militer.

Ultimatum 5 x 24 Jam
Orang-orang daerah merisaukan anak-anaknya yang sedang belajar pada berbagai perguruan tinggi di Jawa. Kontak hanya dengan telepon, tapi dengan surat tak akan pernah sampai. Tidak diantar ke alamat atau disensor dengan alasan negara dalam SOB (Staats van Orlog en van Bleg), negara dalam bahaya.
Di Jakarta dilakukan penangkapan/penahanan terhadap siapa yang berpihak kepada daerah bergolak. Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta) ditahan KMKB-DR di bawah Letkol E. Dachyar. Letkol E. Dachyar adalah perwira militer yang condong ke kiri. Begitu juga terhadap diri Kapten Sabaruddin Sjamsuddin, Bc Hk, seorang pama di Jakarta yang berasal dari Minang, dan lain-lain.
Surat kabar HALUAN Padang, Batanghari Sembilan Palembang, Mingguan Pelopor Sibolga meski masih terbit, tapi oleh Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya dilarang beredar. RRI Padang, Bukittinggi, Pekanbaru, Manado tak boleh didengar. Putra-putra daerah yang ada di Jakarta, Bandung, Yogya, Semarang dan Surabaya terpaksa mengecilkan volume radionya bila hendak mendengarkan berita dari daerah.
Di Palembang dibentuk Batalion Sumatera direkrut dari para pemuda, pelajar dan mahasiswa. Kemudian Batalion Sumatera itu jadi Detasemen Waringin.
Di Padang para pemuda yang tergabung dalam PPP (Pemuda Pelopor Pembangunan) yang tadinya diterjunkan ke kabupaten-kabupaten sebagai tenaga bantuan setelah Dewan Banteng membagi-bagikan dana Rp. 1 juta masing-masing kabupaten, setelah melihat gelagat Pusat dengan policy keamanannya, lalu PPP direkrut Dewan Banteng jadi tentara. Sementara para mahasisiwa Sumatera Tengah yang sempat pulang kampung membentuk Tentara Pelajar (TP) dan Kompi Mahasiswa. Partai PKI, PNI, Partindo, dan lain-lain semakin berani berteriak agar Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno bertindak tegas,  terhadap daerah bergolak.
Sebetulnya menurut pengamatan Penulis sebagai seorang wartawan waktu itu dalam situasi hubungan antara Pusat dan daerah yang telah semakin memburuk maka akan  beralih menjadi cetusan api peluru dan bom dalam serang-menyerang, saya lihat  daerah tidaklah siap.
Betapapun ada upaya merekrut anggota militer baru seperti Detasemen Waringin di Palembang atau Pemuda Pelopor Pembangunan di Sumatera belumlah cukup menurut pendapat saya untuk menghadapi perang fisik yang sesungguhnya.
Kita tahu berapalah kekuatan Tentara dan Teritorium II Sriwijaya di Palembang, Resimen IV di Sumatera Tengah, Sulawesi Utara dengan Permestanya yang sudah terbelah di Teritorium VII Hasanuddin di Makassar. Kekuatan mantan Panglima Simbolon dengan pengikut yang setia padanya.
 Meski Husein, Sumual dan Prof. Soemitro Djojohadikusumo mengusahakan bantuan senjata dari Amerika Serikat, bila personil kemiliteran itu tidak cukup dan tidak terlatih tak akan mungkin diandalkan dalam perang terbuka walaupun untuk mempertahankan diri. Belum lagi kita perhitungkan dengan pasukan di udara dan di laut di mana pihak Pusat punya AL dan AU dengan persenjataannya yang sudah mulai lengkap. Waktu itu saya lihat “angek tadah dari cangkienyo”. Artinya akibat kebencian rakyat di daerah bergejolak yang mendidih kepada Bung Karno dan PKI maka mereka mau saja perang.
Sampai pada tanggal 10 Februari 1958 pada pukul 10.00 WSU para perwira militer dan Politisi itu berkumpul di Gubernuran Padang. Yang memegang peran utama adalah Ketua Dewan Perjuangan Letkol Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maluddin Simbolon, dan lain-lain. 
Diumumkanlah tuntutan dari daerah-daerah bergolak yang sudah bergabung dalam Dewan Perjuangan ditujukan kepada Pemerintah Pusat.
Koran-koran dan RRI kemudian menyebutkan tuntutan Dewan Perjuangan itu sebagai ultimatum 5 x 24 jam. Tuntutan itu intinya antara lain :
  1. Menuntut kepada Presiden R.I supaya dalam waktu 5 x 24 jam terhitung dari tanggal tuntutan ini :
    1. Kabinet Djuanda mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
    2. Atau Prsiden mencabut kembali mandat Kabinet Djuanda.
  1. Setelah tuntutan 1 a atau  1 b tersebut terlaksana, supaya Presiden menunjuk Moh. Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk Zaken Kabinet Nasional sesuai dengan konstitusi (UUDS) 1950 yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional yang jujur, cakap, disegani serta bersih dari atheis dengan tugas :
a.      Untuk menyelamatkan negara dari desintegrasi dan kekacauan serta bekerja sesuai konstitusi (UUDS) sambil menunggu UUD yang sedang dibahas oleh Majelis Konstituante Bandung.
b.      Membangun bangsa dan negara RI yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
  1. Apabila tuntutan pada angka 1 dan 2 tidak dipenuhi, maka dengan ini kami nyatakan bahwa kami terbebas dari wajib taat kepada DR. Ir. Soekarno sebagai Presiden/Kepala Negara RI. 
Demikianlah antara lain inti tuntutan Dewan Perjuangan tersebut yang ditandatangani oleh Ketuanya Letkol Ahmad Husein, 10 Februari 1958.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...