Bagian 3
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Pemuka adat dan wartawan
Pada penghujung tahun
1957 itu para tokoh politik nasional yang beroposisi dengan Presiden Soekarno
dan Djuanda banyak yang hengkang dari Jakarta.
Natsir, Sjafruddin, Djambek di Padang
Mohammad Natsir yang
Ketua Umum Partai Islam terbesar Masjumi berdua dengan Mr. Moh. Roem berada di
Medan menghadiri Dies Natalis UISU (Universitas Islam Sumatera Utara).
Kebetulan Mr. Moh. Roem adalah Ketua Dewan Kurator Universitas Islam tersebut.
Sehabis acara Dies,
kedua tokoh Islam itu tidak langsung terbang ke Jakarta, tapi mampir di Padang. Di Padang keduanya mengadakan
pertemuan dengan tokoh Masjumi daerah seperti Buya Duski Samad yang
menggantikan H. Mansur Daud Dt. Palimo Kayo sebagai Ketua Masjumi Sumatera
Tengah karena Dt. Panglimo Kayo sebagai Dubes RI di Irak. H. Darwis Taram Dt. Tumanggung (Koordinator
Masjumi se-Sumatera), Zamzami Kimin (anggota konstituante), Sjarif Said (tokoh
Masjumi Sumbar), Buchari Tamam, dan lain-lain.
Dua hari setelah itu,
Mr. Moh. Roem kembali ke Jakarta, sedangkan Natsir tetap tinggal di Padang.
Dalam pernyataannya kepada pers dikatakannya bahwa ia tidak akan kembali ke
Jawa. Laut jawa airnya keruh karena sungai-sunaginya banyak membawa lumpur.
Lagi pula kapal yang saya tompang tak ada lagi di Teluk Bayur, katanya. Ketika
ditanya pendapatnya tentang Kabinet Djuanda, Natsir berkomentar singkat: “Pemerintah semakin merancah ke dalam rawa,” katanya.
Tak lama setelah itu
Gubernur Bank Indonesia Mr. Sjafruddin Prawiranegara sampai di Palembang setelah
melakukan peninjauan ke Stanvac
Sungai Gerong.
Besoknya terbit
tulisannya berupa surat terbuka nasional di dalam sk. Batanghari Sembilan
Palembang dan koran-koran tanah air lainnya. Dijelaskannya mengapa ia
meninggalkan Jakarta. Jakarta sekarang sedang mengalami chaos yang amat sangat. Dan saya tak mau mati konyol dimangsa oleh
binatang-binatang buas dalam tubuh manusia. Jakarta sekarang adalah battle of conflicting interest and powers
(pertempuran antara berbagai kepentingan dan kekuasaan) ucapnya kepada pers.
Setelah melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh Sumatera Selatan dan Dewan
Garuda, lusanya Sjafruddin Prawiranegara sudah berada pula di Padang di daerah
Dewan Banteng. Nampak pula Amelz, Sjarif Usman, dan lain-lain.
Kolonel Dahlan Djambek
Deputy KSAD yang rumahnya digranat ketika kolonel itu sedang mandi dan
diberitakan koran bahwa Pamen asal Sumatera Barat itu mengejar orangnya sampai
ke jalan depan rumahnya kini Djambek sudah
nampak pula di Padang.
Dalam suatu pertandingan
bola di lapangan Banteng, sekarang lapangan Imam Bonjol. Dahlan Djambek duduk
sederet dengan Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein, Sjarif Usman dan Ketua PSSI
Pusat Mr. Maladi eks Kepala RRI Pusat dan eks Menteri Olagraga RI.
Baiklah kita kutipkan
keterangan Mr. Maladi yang datang ke Padang pada tahun 1990-an dan memberikan
makalah dalam seminar PDRI di aula IKIP Padang tentang peranan Radio dalam era
PDRI, 1949. Walaupun saya (Maladi) orang Pusat dan kebetulan Ketua PSSI waktu
itu saya aman saja di daerah Dewan Banteng. Saya duduk berdampingan dengan
Ketua Dewan Banteng Ahmad Husein dan makan malam bersama Ahmad Husein. Ini
bukti bahwa perjuangan Dewan Banteng bukan perang kesukuan, bukan anti Jawa.
Saya tahu, tambah Maladi, bahwa Sekjen Dewan Banteng adalah Sulaiman yang juga
orang Jawa. Ada Prof Soemitro, juga dari Jawa, sementara Mr. Sjafruddin dari
Banten.
Keterangan Mr. Maladi di
luar teks tersebut mendapat sambutan dan simpati dari peserta Seminar. Pemakalah
lainnya yang saya catat adalah Prof. Dr. Amura, Hubertus Victor Soedjono, eks
KSAU PDRI dulu, Azwar Dt Mangiang dan Dr Mestika Zed.
Yang menarik pula dari
keterangan Maladi adalah sehabis pertandingan sepak bola sore itu yang
dikerubungi orang bukan pemain bola atau seorang Maladi yang orang Jawa, tapi
seorang Sersan yang berkumis dan berjenggot. Orang bilang bahwamiliter
berpangkat sersan itu adalah Kolonel Zulkifli Lubis, wakil KSAD yang menghilang
dari Jakarta. Tapi saya tak lihat wajah Kolonel Lubis, kata Maladi, S.H.
Rapat Sungai Daerah
Menjelang awal tahun
1958 ini tak ada tanda-tanda situasi politik akan mereda. Begitu pula situasi
keamanan dalam negeri. Di Palembang kantor Redaksi SK Harian Batanghari
Sembilan di Jalan Pagar Alam, Palembang, di mana Penulis artikel ini sebagai
salah seorang wartawannya digranat orang tak dikenal. Untung saja tak ada
korban jiwa. Kebetulan Harian Batanghari Sembilan dipimpin oleh Rasyad Nawawi
salah seorang tokoh Dewan Garuda dan seorang tokoh Masjumi Sumatera Selatan
dengan Pemrednya AC. Bawaihi dan Hamdani Said yang juga penyokong Dewan Garuda.
Sama dengan situasi Dewan Banteng dengan Sk Haluan Padang di mana Pemrednya
Bung Darwis Abbas adalah Ketua Seksi F Dewan Banteng.
Wartawan Annas Lubuk
sering mengontak saya dengan titip pesan via pedagang yang pulang-balik
Padang-Palembang pedagang agar saya segera meninggalkan Kota Mpek-Mpek.
Panglima anda Barlian nampaknya ragu-ragu menghadapi situasi yang sudah
memuncak, pesannya Letkol Barlian memang banyak pertimbangan a.l. karena secara
geografis Palembang dekat dengan Jakarta.
Memangnya Panglima TT II
Sriwijaya, Letkol Barlianlah yang mengusulkan kepada Letkol Ahmad Husein supaya
Dewan Perjuangan yang diketuainya mengundang Ventje Sumual (Permesta), Kolonel
Simbolon, Dahlan Djambek, dan lain-lain ditambah dengan tokoh-tokoh politik
seperti Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Natsir, Burhanuddin Harahap dan
lain-lain untuk bertemu di Jambi atau tempat yang ditunjuk dan dirasa aman.
Maksud Barlian agar
Dewan-dewan Daerah tidak terlanjur dengan sikap siap perang dengan pusat.
Usul Letkol Barlian
itulah yang direspons oleh Ahmad Husein. Kebetulan pada tanggal 20 Desember
1957 itu Husein akan bertemu dengan Ventje Sumual di Singapura. Husein menunjuk
Sungai Dareh di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung
(sekarang Kab. Dharmasraya) untuk tempat rapat.
Siap perayaan natal di
Singapura, Ventje Sumual terus ke Tokyo, sedangkan Husein kembali ke Padang.
Pulang dari Singapura,
Husein memberitahu Barlian bahwa pertemuan Sungai Dareh akan dilangsungkan pada
tanggal 8 Januari 1958 yang akan dihadiri para senior militer, seperti Kolonel
Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maludin Simbolon, Letkol Ventje
Sumual. Juga diundang para politisi, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Prof.
Soemitro Djojohadikusumo, Mr. Burhanuddin Harahap, Sjarif Usman, Amelz dan
lain-lain.
Pertemuan rahasia
tersebut berlangsung dua hari bertempat di Gedung Pasanggerahan lama di tepi
sungai Batanghari, Sungai Dareh di seberang Pulau Punjung.
Hari pertama 8 Januari
1958 khusus militer dan pada hari kedua gabungan antara tokoh politisi dan
militer.
Tokoh Masyumi dari Aceh,
Amelz, Residen H. Darwis Taram dan Kapten CPM Ramli Komandan Detasemen Polisi
Militer di tempat pengungsian (1959) menceritakan bahwa dalam pertemuan di
Sungai Dareh itu, Ketua Dewan Banteng merangkap Ketua Dewan Perjuangan Letkol
A. Husein yang jadi tuan rumah menekankan bahwa gerakan daerah baik Dewan
Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Permesta, Sisingamangaraja, Lambung
Mangkurat, Sunda Tunggal, dan lain-lain adalah gerakan untuk menyelamatkan
Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Tak ada semiangpun dalam hati dan jiwa kita
untuk bertindak desintegrasi untuk memecah negara ini. Gerakan kita adalah
gerakan koreksian. Koreksian terhadap para pemimpin kita yang bercokol di Pusat
yang menyimpang dari garis revolusi. Kemerdekaan itu adalah jembatan bagi
rakyat menuju kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan.
Tapi kenyataannya
sekarang, kata A. Husein, Pemerintah Pusat tak hendak mendengarkan kebenaran
yang kita suarakan. Apa yang dikatakan oleh A. Husein dari Dewan Banteng
tersebut tak obahnya dengan ungkapan orang Minang “barabab ka talingo kabau”, artinya betapapun seronoknya gesekan
rabab di telinga kerbau, namun kerbau tak akan ambil peduli. Yang menarik
baginya adalah rumput tebal yang ada di depannya.
Kemudian
rapat Sungai Dareh tersebut menyatukan sikap bahwa perlu diingatkan lagi
Pemerintah Pusat untuk kembali ke jalan yang benar sesuai dengan konstitusi dan
Undang-Undang yang berlaku. Jika tidak, masyarakat yang adil dan makmur sesuai
dengan tujuan Proklamasi Kemerdekaan tidak akan tercapai sampai hari kiamat.
Gerakan-gerakan
daerah menolak konsepsi Presiden Soekarno berupa Kabinet Gotong-Royong dan
Dewan Nasional yang tak ada dalam konstitusi. Presiden bilang : “Alle leden van de familie aan tafel, aan en
eet tafel en werk tafel”! semua keluarga berada di depan meja, makan
bersama dan bekerja bersama. Inilah yang
gotong royong.
Dewan
Nasional itu bersumber dari pemikiran yang bersifat diktator, otak yang kacau
balau. Anggota Denas ditunjuk oleh Presiden menurut kemauannya sendiri. Padahal
negara dan Pemerintahan kita demokratis.
Ada di
antara anggota Dewan Nasional seorang anggota militer yang berpangkat rendah.
Lalu bagaimana menegakkan disiplin padanya? Kalau yang bersangkutan ditegur
karena melanggar disiplin, dia akan lari sebagai anggota Denas yang berfungsi
memberi nasehat kepada Presiden baik diminta atau tidak?
KSAD,
KSAU dan KSAL jadi anggota Denas. Kalau para Kepala Staf itu tidak sejalan
dengan Menteri Pertahanan yang membawahinya, maka para Kepala Staf Angkatan itu
akan berlindung di bawah Denas.
Sementara
Kabinet Gotong Royong menurut konsepsi Presiden juga ditolak. Presiden,
katanya, tak mau menunggangi kuda berkaki tiga. Kaki yang satu itu adalah PKI.
Padahal PKI sudah pernah mengkhianati Republik ini dengan pemberontakan Madiun
18 September 1948. Lagi pula orang-orang komunis itu berkiblat ke Moskow dan
mereka adalah Atheis, anti Tuhan.
Dengan
lidah tidak bertulang tokoh komunis Tiongkok Chou En Lai terang-terangan
mengatakan begitu mendarat di Kemayoran, Jakarta dulu, bahwa : “We are
Communist, Atheist (kami orang komunis adalah Atheis). Sudah jelas hal itu
bertentangan dengan Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa.
Yang
menarik dari rapat Sungai Dareh tersebut adalah kehadiran Letkol Ventje Sumual
dari Permesta. Akhir Desember 1957, Sumual dan A. Husein sama-sama berada di
Singapura. Minggu pertama Januari 1958 Sumual dari Singapura ke Pekanbaru
menyewa kapal kecil bersama Prof. Dr. Soemitro Djoyohadikusumo, Tokoh PSI yang
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang telah meninggalkan
jabatannya. Di Pekanbaru ditunggu oleh Dewan Banteng untuk terus ke Padang dan
Sungai Dareh. Perjalanan rahasia itu lepas dari intel Pusat dan luput dari
pengamatan pers di Singapura, Pekanbaru dan Padang.
Rapat
Sungai Dareh menyimpulkan bahwa gerakan daerah sebagai gerakan moral, gerakan
koreksian dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di NKRI ini tak boleh mundur.
Diberi tempoh dalam masa satu bulan ini, kiranya Presiden bersedia kembali
kepada UUDS (1950), mencabut konsepsinya dan membubarkan Kabinet Djuanda yang
inkonstitusional. Bagi gerakan daerah berlaku peribahasa “Raja alim raja
disembah, Raja lalim raja disanggah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar