BAGIAN 2
OLEH H Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie
Pemuka adat dan wartawan
Kamardi Rais Datuak Panjang Simulie |
Jalan ke luar dari
kemelut Tanah Air pada waktu itu maka oleh Presiden dan PM Djuanda diadakan
Munas (Musyawarah Nasional) di Jakarta. Munas juga dimaksudkan untuk merekat
dan memposisikan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta yang sudah menjadi Dwi
Tanggal.
Untuk menghadapi Munas
pada bulan September 1957 itu para Pimpinan Daerah Bergolak seperti Dewan
Banteng (Sumteng), Dewan Gajah (Sumut), Dewan Garuda (Sumsel) dan Permesta
bertemu di Palembang, tanggal 7-8 September 1957 untuk menyatukan sikap.
Musyawarah Nasional
Koran-koran yang jadi
terompet PKI dan pendukung Soekarno melansir berita dengan judul huruf-huruf “banner” bahwa Ahmad Husein takut datang
ke Jakarta menghadiri Munas tanggal 10-14 September 1957.
Apa yang terjadi ?
Ternyata Ketua Dewan
Banteng itu nongol di Jakarta. Bahkan
dengan wajah berseri-seri dan dalam keadaan segar bugar, berkaca mata hitam
turun dari pesawat. Ia melambaikan tangannya seraya tersenyum kepada
penyambutnya di Bandara Kemayoran. Ia disambut dengan pencak-silat Kumango,
silat Piaman dan Lintau. Pada waktu itu
belum terbiasa penyambutan dengan tari gelombang atau tari pasambahan. Di
belakangnya nampak Penasihat delegasi Dewan Banteng Engku Moh. Sjafei
Kayutanam, Mr. Abu Bakar Djaar, Ramawi Izhar (Komisaris Dewan Banteng Jakarta),
Gubernur Jambi Djamin Dt. Bagindo. Sementara Penasihat Dewan Banteng lainnya,
Kolonel TB. Simatupang (ex KSAP) bergabung dalam Munas. Dari Permesta juga
hadir Letkol Ventje Sumual dan rombongan. Letkol Barlian dari Dewan Garuda
Palembang juga hadir.
Pidato Ketua Dewan
Banteng Letkol Ahmad Husein berkali-kali mendapat aplaus tepuk tangan dari peserta Munas. Menurut laporan pers pada
waktu itu yang saya catat Husein tidak sungkan-sungkan berbicara blak-blakan di
depan Panglima Tertinggi APRI Bung Karno yang melihat tajam kepada Husein yang
sedang berpidato di mimbar. Sementara tokoh Proklamator Bung Hatta
tersenyum-senyum saja yang duduk di sebelah Bung Karno. Sedangkan PM Djuanda
dan KSAD Nasution dilaporkan pers menekor penuh arti.
Berkata Husein :
“Ketika
orang menaikkan bendera putih ketundukan kepada musuh, ketika itu kami tetap
berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwa untuk menyelamatkan Negara Republik
Indonesia yang tercinta ini di bawah pimpinan PDRI (Pemerintah Darurat Republik
Indonesia) yang berkantor di bawah pohon-pohon kayu dalam rimba raya Sumatera.”
Tepuk
tangan panjang sekali dari hadirin menyambut tekanan pidato Ahmad Husein.
Laporan pers dalam buku harian saya “Acta Diurna” saya cocokkan lagi dengan menanyakan kepada
Bapak Moh. Sjafei pada tahun 1958 karena beliau sebagai Penasihat delegasi
Dewan Banteng.
Sedikit
pengalaman penulis ketika operasi badai pasukan APRI yang mengepung Lintau
bulan Juni 1958, kami menghindar sekitar 11 orang di tepi batang Sinamar
Kenagarian Halaban, 50 Kota. Saya tanyakan langsung kepada Bapak M. Sjafei
jalannya sidang Munas yang berlangsung 10-14 September 1957 di Jakarta.
Kami
yang menghindar menyelamatkan diri di tepi batang Sinamar pada tahun 1959 itu adalah
M. Sjafei (Menteri Pendidikan dan Kesehatan PRRI), Prof. Dr. Idris (Dekan
Fakultas Pertanian Unand di Payakumbuh) dokter Musbar (Kepala RSU Payakumbuh),
Mayor Makinuddin HS (Komandan Pertempuran Lima Puluh Kota), A. Chatib Bupati
Militer 50 Kota beserta Ibu Tuti Chatib, Kapten CPM Ramli, Zainit (sekarang
bergelar Dt. Muncak masih hidup di Situjuh Batur). Dia adalah ajudan Bapak
Makinuddin HS dan sekitar 5 orang prajurit PRRI dari Kompi IV Batalion 2009 dan
sejumlah pemuda Halaban yang mengawal di Ateh Koto (dekat jalan
Payakumbuh-Lintau), kemudian ada staf Pak Sjafei, staf Bupati 50 Kota, staf
Prof. Dr. Idris dan staf dokter Musbar.
Buku
Harian saya “Acta Diurna” tersebut saya bacakan di depan Bapak M. Sjafei.
Beliau mengangguk membenarkan catatan saya itu bahwa memang begitu yang
disampaikan Ahmad Husein dalam Munas. Lalu beliau berkomentar : “Ada yang
menarik lagi,” katanya. Pada sidang Munas hampir akan ditutup, Ahmad Husein
interupsi : “Saya mengusulkan kata Husein “agar peserta Munas ini pergi ziarah
ke makam Jenderal Soedirman di TMP Semaki di Yogya,” katanya dengan suara
lantang. Lalu hadirin menjawab : “SETUJU”!, Yang tak pergi : Soekarno, Hatta,
Djuanda dan saya sendiri karena kurang sehat. Selebihnya berangkat ke Yogya,
ulas Pak Sjafei.
Husein
Tasirobok
Yang
lebih menarik lagi tambah M. Sjafei setelah sidang pertama Munas ditutup,
Letkol A. Husein termasuk saya, dan lain-lain tentu meninggalkan ruangan.
Setelah memperhatikan Bung Karno, Hatta dan Djuanda telah menuju pintu, maka
kami berusaha melalui jalan lain. Ternyata “basirobok”
juga dengan Bung Karno, Bung Hatta dan PM Djuanda. Saya yang sudah tua, kata
Bapak Sjafei (waktu itu usia sudah lebih 60 tahun) kaget begitu mendengar suara
A. Husein dalam keadaan berdiri tegap sempurna secara militer : “Siaaap!
Hormaat!” katanya menghormati Presiden. Lalu Presiden Soekarno membalas
penghormatan Letkol A. Husein. Seperti
seorang bapak kepada anaknya, Presiden menepuk bahu Ahmad Husein seraya berkata
: “Eh, Overste! Kau pintar pidato, ya?” Lalu dijawab Husein tegas : “Siap! Kan
Bapak yang mengajar!” Nampak Nasution senyum di belakang Djuanda. Kemudian Bung
Karno berpaling kepada Hatta lalu berkomentar pula : “Engku!” Bung Karno
memanggil M Sjafei yang pernah menjadi Menteri Pengajaran Republik Indonesia
dalam Kabinet Sjahrir kedua tahun 1946.“Lihat! Bung Hatta stelan jasnya baru.
Masih ada benangnya yang tertinggal,” kata Bung Karno sembari mengipaskan
saputangannya ke baju Bung Hatta. Bung Hatta tak hilang akal : “Waduh! Harumnya
saputangan Bung Karno,” semuanya tertawa, kemudian berlalu.
Suasana
sidang Munas tersebut menghilangkan sejenak atmosfir hantam menghantam, hujat
menghujat dan pembangkangan daerah-daerah bergolak yang oleh koran-koran
Jakarta disebut perwira-perwira nakal seperti A. Husein, Sumual, Simbolon,
Barlian, D.I. Somba, Saleh Lahade, Dahlan Djambek, Zulkifli Lubis, dan
lain-lain. Rasanya tidak akan terjadi perang saudara antara Pusat dan Daerah
beberapa bulan kemudian.
Ada yang berpendapat bahwa peristiwa kecil
dialog seorang Presiden yang cukup berwibawa dan punya kharisma dengan seorang
bawahannya Ahmad Husein ketika basirobok
di salah satu gang Gedung Proklamasi
(tempat Munas) menggambarkan “jiwa belah” atau bermuka dua Pemerintah Pusat
khusus dalam menghadapi Sumatera Barat plus Ahmad Huseinnya.
Pada tanggal 22 Desember
1956 (dua hari setelah Ahmad Husein mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera
Tengah Ruslan Muljohardjo), maka Kolonel Maludin Simbolon juga mengikuti jejak
Ahmad Husein dengan mendaulat Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas.
Ternyata Pusat punya instruksi rahasia agar Kepala Staf TT I Letkol Djamin
Gintings mendaulat Panglimanya Simbolon. Jika Djamin Gintings tak berhasil maka
Letkol Wahab Makmur (Komandan Resimen II) TT I Bukit Barisan telah dipersiapkan
pula. Maka pada tanggal 26 Desember 1956 Djamin Gintings berhasil mendaulat
Kolonel Simbolon dan Simbolon menghindar ke daerah Dewan Banteng mungkin dengan
pertimbangan agar tak terjadi pertumpahan darah dalam satu korps.
Tapi tindakan Ketua
Dewan Banteng Ahmad Husein mulus saja pada 20 Desember 1956 itu di Gedung
Nasional Bukittinggi.
Bahkan pidato sambutan
Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Muljohardjo menegaskan, inilah jalan
sebaik-baiknya agar pembangunan daerah dapat terlaksana di republik ini, kata
Ruslan.
Tak ada yang mendaulat
Ahmad Husein, misalnya Mayor Sofyan Ibrahim yang Kepala Staf Resimen IV atau
Mayor Nurmathias yang Komandan Sektor di Bukittinggi. Malah Letkol Ahmad Husein
yang disebut salah seorang perwira nakal itu dilantik lagi sebagai Komandan
KDMST (Komando Daerah Militer Sumatera Tengah). Padahal Pemerintah Pusat nampak
memperlihatkan muka masam kepada Kolonel Simbolon, Sumual, D J Somba, dan
lain-lain.
Namun ada juga yang
berpendapat mungkin karena daerah Sumatera Barat tempat lahirnya Bung Hatta,
salah seorang Proklamator R.I, Bapak Bangsa bersama Bung Karno.
Tapi ketika di Padang
dicetuskan PRRI, Pusat pulalah yang lebih dulu menghantam dan memborbardir
Sumatera Barat dibandingkan dengan daerah bergolak lainnya.
Komentar orang pula
karena Bung Karno melihat Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Prof. Soemitro
ada di samping Husein. Partai Islam Masjumi dan PSI menolak Konsepsi Presiden
termasuk I. J. Kasimo dari Partai Katholik. Semua tokoh itu lawan-lawan politik
Bung Karno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar