Bagian 1
Pengantar Redaksi
69
tahun Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945-17 Agustus 2015), banyak
persoalan yang masih mengganjal dan
belum terselesaikan bangsa ini. Persoalan besar yang dialami bangsa Indonesia adalah
kian memudarnya nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Dan masih
simpang siurnya pemahaman terkait dengan peristiwa-peristiwa yang pernah
terjadi di daerah-daerah, seperti meletusnya PRRI. Berikut, tulisan seorang
jurnalis dan pemuka adat Minangkabau H Kamardi Rais Datuan Panjang Simulie,
diturunkan secara bersambung di mantagibaru.blogspot.com. Tulisan ini dibuat
semasa beliau masih hidup.
Pada penghujung tahun
1957 situasi Tanah Air semakin panas. Seakan-akan bara api yang siap nyala
membakar daun-daun kering yang berserakan di persada tanah air. Belum setahun
gerakan-gerakan daerah mengambilalih jabatan Gubernur Sumatera Tengah oleh
Ketua Dewan Banteng A. Husein dari tangan Gubernur sipil Ruslan Muljohardjo,
(20 Desember 1956) Gubernur Sumatera Utara St. Komala Pontas diambilalih oleh
Simbolon (22 Desember 1956). Kolonel
Simbolon kemudian didaulat oleh Letkol Djamin Gintings. Gubernur Sumatera
Selatan Winarno oleh Panglima Barlian (9 Maret 1957).
Kabinet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut tanah air yang chaos di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.
Kabinet Ali II memang sudah jatuh digantikan oleh Kabinet Djuanda yang dibentuk oleh formatur tunggal Bung Karno. Keadaannya semakin tidak berdaya menyelesaikan kemelut tanah air yang chaos di segala bidang : politik, ekonomi, sosial, keamanan dan pemerintahan.
Tokoh Proklamator Bung
Hatta yang sudah menjadi orang partikelir, (mengundurkan diri dari Wakil Presiden
sejak 1 Desember 1956) mengecam Pemerintah Djuanda yang sudah reot dan peot.
Bagaimana Kabinet Djuanda akan menjadi suatu pemerintahan yang kuat jika
pembetukannya saja menyalahi konstitusi
yang sedang berlaku. Ingatlah Pasal 51 UUDS (UUD 1950) yang mengamanatkan bahwa
Presiden menunjuk seorang atau lebih untuk menjadi formatur kabinet.
Kenyataannya, Presiden yang kebetulan adalah Ir. Soekarno menunjuk pribadi
Soekarno sebagai formatur kabinet (4 April 1957) mengganti kabinet Ali yang
telah jatuh.
Betul-betul bodohkah
rakyat Indonesia yang telah merdeka dari kungkungan penjajahan kolonial sebagai
hasil perjuangan rakyat dengan pengorbanan harta, jiwa dan raganya?
Tindakan Presiden itu
dapat digambarkan dalam sebuah karikatur. Presiden Soekarno seolah-olah berdiri
di depan kaca lalu ia menunjuk bayangan pribadi Soekarno yang ada dalam kaca
itu untuk menjadi formatur kabinet.
Padahal di dalam UUD
Sementara 1950 pasal 51 dikatakan bahwa Presiden (yang Presiden itu sudah jelas
orangnya) menunjuk seseorang atau lebih (artinya orang lain, bukan bayangan
Soekarno dalam kaca) untuk menjadi formatur kabinet.
Daerah-daerah bergolak
semakin unjuk gigi. Sebutlah suara Dewan Banteng dari Padang, Dewan Gajah dari
Sumatera Utara, meski Panglimanya Kolonel M. Simbolon telah didaulat oleh
Letkol Djamin Gintings. Suara dari Dewan Garuda antara lain Panglima TT II
Sriwijaya, Letkol Barlian langsung mengendalikan pemerintahan karena Gubernur
Sumatera Selatan Winarno telah meninggalkan bumi Sriwijaya. Barlian
mengingatkan penduduk Sumsel waktu itu kalau pergi ke luar daerah hanya boleh
membawa uang sebanyak Rp. 2.500/orang dan Rp. 5.000/keluarga. Letkol Ventje
Sumual dari Permesta tampil di depan ribuan rakyat Sulawesi Utara di Manado.
Tomohon dan Tondano tentang tujuan perjuangan daerah seperti Dewan Banteng,
Dewan Garuda, Permesta, dan lain-lain.
Kongres Ulama dan Adat
Kongres Alim Ulama
se-Sumatera di Bukittinggi (17 Maret 1957) dan Kongres Kaum Adat se-Sumatera
juga di Bukittinggi (19 Maret 1957) dihadiri
para utusan mulai dari Aceh sampai ke Lampung menyerukan kepada segenap pihak,
mulai dari Presiden sampai ke rakyat bawah harus patuh dan taat kepada
konstitusi, undang-undang dan peraturan yang berlaku. Jangan daerah bergolak
saja yang diminta taat kepada atasan, tapi Presiden Soekarno, Kabinet Djuanda,
Pimpinan Militer, Pimpinan Parpol harus sama-sama taat kepada konstitusi dan
harus memberikan teladan yang baik.
Suara Kongres Alim Ulama
se-Sumatera dengan tokoh utamanya Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syekh Sulaiman
Ar. Rasuli Candung, H. Fachruddin HS Dt. Majo Indo dan Kongres Adat se-Sumatera
di Bukittinggi bergema di seluruh
Indonesia disiarkan oleh seluruh radio dan surat kabar. Hanya surat kabar
Harian Rakyat (terompet PKI), Suluh Indonesia (terompet PNI) dan Harian Bintang
Timur yang bernada sumbang terhadap suara koreksian yang marak waktu itu di
seluruh penjuru tanah air.
Mr. St. Takdir
Alisyahbana seorang budayawan, ikut memberikan prasarannya (makalah) di depan
Kongres Adat se-Sumatera itu mendapat sambutan hangat dari peserta kongres.
Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia oleh Kabinet Djuanda dikecam Bung
Hatta. Menurut Bung Hatta suatu bangsa yang akan mengangkat perjuangan besar
tidaklah memulainya dengan memiskinkan rakyatnya. Sekarang kehidupan
perekonomian rakyat amat morat-marit. Beras sulit, rakyat terpekik. Di
mana-mana ada hanya hangerudem (busung lapar, dan lain-lain). Setelah
nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ternyata tenaga pribumi belum bisa
menggantikan tenaga asing. Akibatnya perusahaan-perusahaan itu stagnan, tak jalan, macet. Kapal-kapal
KPM milik Belanda yang dinasionalisasi ditambatkan saja di Tanjung Periok
sehingga hubungan menjadi terputus ke berbagai daerah. Ini keadaan yang sangat
fatal terhadap perekonomian. Dengan apa barang-barang diangkut? Hatta
memperingatkan.
Dalam bidang
pemerintahan, Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi yang dipimpin
oleh Letkol Ventje Sumual meresmikan Propinsi Sulawesi Utara di Manado, 27 Juni
1957. Pemerintahan Djuanda melongo saja. Anehnya Kolonel Dahlan Djambek yang
Deputy III KSAD hadir dalam acara tersebut.
Sementara itu, Ketua
Dewan Banteng Letkol Ahmad Husein yang menguasai Sumatera Tengah (sipil dan
militer) meresmikan Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi menjadi tiga
propinsi. Untuk Riau diangkatnya Mayor Syamsi Nurdin jadi gubernurnya.
Sedangkan untuk Gubernur Jambi ditetapkannya Djamin Dt. Bagindo (seorang tenaga
sipil senior). Sedangkan untuk Propinsi Sumatera Barat Mayor Sofyan Ibrahim sebagai
KSS (Kepala Staf Sipil) dengan Mr. Abu Bakar Jaar (pamong senior) sebagai
pelaksana. Ketiganya di bawah Ketua Dewan Banteng, Letkol A. Husein.
Setelah Pemerintah Pusat
dikritik lamban, mungkin juga karena sudah malu, maka Djuanda mulai bertindak
dengan meresmikan pula Propinsi Riau versi Pusat dengan ibu kotanya Tanjung
Pinang. Gubernur pertamanya adalah Mr. S.M. Amin. Djuanda juga memecah Sumatera
Barat dengan memasukkan V Koto Bangkinang ke Propinsi Riau dan daerah Kerinci
dimasukkannya ke Propinsi Jambi. Sebelumnya daerah V Koto yang terdiri dari
Kuok, Bangkinang, Salo, Air Tiris dan Rumbio masuk ke wilayah Kabupaten 50 Koto
dengan ibu kotanya Payakumbuh, artinya masuk Sumatera Barat.
Sementara daerah Kerinci
sebelumnya termasuk Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci (PSK) dengan ibu kotanya Sungai
Penuh. Pernah salah seorang Bupati PSK yang bernama Bachtiar Datuk Pado
Panghulu orang Koto nan Ampek (Payakumbuh) disebut sebagai Bupati Atom.
Rapat-rapat akbar atau
rapat raksasa sering digelar di Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Solok,
Pariaman, dan lain-lain, yang intinya
menentang kebijakan Pemerintah Pusat yang tidak becus. Rapat-rapat
raksasa tersebut diorganisir oleh BARST (Badan Aksi Rakyat Sumatera-Tengah)
yang dipimpin oleh Letkol Yazid Abidin.
Di Bandung rapat raksasa
SUNDA TUNGGAL dengan Front Anti Komunis (FAK) dengan pembicara Isa Anshari
(Bomber Masyumi). Di Kalimantan Panglima Tentara dan Teritorium Tanjung Pura
mengganti namanya dengan TT VI Lambung Mangkurat. Kemudian masyarakat Tapanuli
serentak membangun Dewan Sisingamangaraja. Sementara Letkol Wahab Makmur
menyiapkan diri untuk jadi Panglima TT I menggantikan Simbolon membuat repot
Panglima TT I Bukit Barisan, Letkol Djamin Gintings. (Kepala Staf TT I Bukit
Barisan yang sudah berhasil mendaulat Panglimanya Kolonel M. Simbolon)
Daerah-daerah bergolak
yang pada umumnya daerah luar Jawa menentang kebijaksanaan Presiden Soekarno
dan Djuanda. Aksi-aksi daerah-daerah bergolak tersebut pada mulanya hanya
mengoreksi tindakan Pusat yang tidak benar. Tak semiangpun berbau desintegrasi,
tapi benar-benar hendak menegakkan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan
republik Indonesia (NKRI) tercinta.
Adanya lembaga Dewan
Nasional menurut konsepsi Presiden tidak ada dalam konstitusi (Undang-Undang
Dasar Negara R.I.). Protes keras yang dialamatkan kepada Presiden Soekarno dan
Perdana Menteri Djuanda adalah Pasal 44 UUDS tentang Alat Perlengkapan Negara
yang hanya ada lima yakni : Presiden dan Wakil Presiden, Kabinet
(menteri-menteri), Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), Mahkamah Agung dan Dewan
Pengawas Keuangan (DPK). Dalam UUD 1945 DPK disebut Bapeka (Badan Pemeriksa
Keuangan).
Ketua
Dewan Banteng, Letkol A. Husein menegaskan bahwa yang dibangun hanya Jakarta
saja seperti membangun jalan Thamrin. Sedangkan asrama prajurit semuanya jadi
reot tak layak huni. Kemana saja devisa negara yang dihasilkan oleh
daerah-daerah? Tanya Ahmad Husein. Pantun Ahmad Husein yang terkenal adalah Pinjaik panjuluak bulan/tibo di bulan patah
tigo/di langik hari nan hujan/ di bumi satitiak tido.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar