OLEH Anas Nafis
Sungguhpun nama
Indonesia “orang bule” yang menemukan, namun di jaman penjajahan dulu
Pemerintah Belanda yang juga “bule-bule” enggan mendengar apalagi memakainya.
Mereka lebih suka memakai kata Inlanders, Inheemse (Bumi Putera) atau Bevolking
van Nederlandsch Indie (penduduk Hindia Belanda).
Tuan
Kreemer dalam “Het Koloniaal Weekblad” tahun 1927, mengatakan nama
Indonesia itu dianjurkan atau didorong pemakaiannya oleh orang-orang pergerakan
komunis dan ulah orang-orang pers.
“Tempo doeloe”, dalam sidang-sidang Volksraad
(Dewan Rakyat) di Batavia, anggota yang Belanda tidak menyukai wakil anak
negeri memakai Bahasa Indonesia dan nama Indonesia sebagai pengganti Bahasa
Belanda dan Hindia Belanda.
Barulah kemudian dalam Perjanjian Linggarjadi
1947 delegasi Belanda mau menerima pencantuman nama Indonesia pada perjanjian
tersebut. Padahal bagi Bangsa Indonesia telah menetapkan secara resmi pemakaian
nama Indonesia sejak Hari Sumpah Pemuda tahun 1928.
Berlain di Hindia Belanda ketika sedang
marak-maraknya tumbuh berbagai organisasi bersifat kedaerahan seperti Jong
Java, Jong Pasundan, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes dsb, di Negeri
Belanda para pelajar dan mahasiswa yang terdiri dari berbagai suku, daerah dan
agama telah bersatu dalam suatu wadah yang awalnya diberi nama “Indische
Vereeninging”.
Artinya, persatuan dan
kesatuan bangsa yang bersifat nasional (sekarang Indonesia), awalnya bukanlah
di Indonesia, akan tetapi diawali oleh semangat “Indische Vereeniging”
dari negeri Belanda dan memuncak ketika perhimpunan tersebut dipimpin oleh
Nazir gelar Datuk Pamuntjak dan Moh. Hatta.
Perhimpoenan Indonesia
Berdirinya “Indische Vereeniging” di Negeri Belanda yaitu suatu
organisasi tempat berhimpunnya mahasiswa dan pelajar asal Hindia Belanda,
adalah berkat usaha Sutan Kesayangan dengan Noto Suroto.
Semula maksud dan tujuan perkumpulan tersebut, hanyalah sekedar
perkumpulan pesta-pesta dansa dan pidato-pidato dan sama sekali tidak
menyinggung atau memikirkan nasib bangsa dan tanah air mereka yang masa itu
merupakan jajahan Bangsa Belanda.
Barulah setelah Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi (kemudian Ki H.
Dewantoro) menjadi anggota, mereka menyadari betapa pentingnya perhimpunan
tersebut bagi bangsa dan tanah airnya. Waktu itu pula diterbitkan sebuah
buletin atau bulanan yang diberi nama HINDIA POETERA, akan tetapi isinya sama
sekali tidak memuat hal-hal yang bernada politik.
Pada tahun 1925, ketika Nazir Datuk Pamoentjak menjadi Voorzitter
(Ketua) dan Hatta menjadi pengurus keuangan perhimpunan tersebut, nama “Indische
Vereeninging” diganti dengan “PERHIMPUNAN INDONESIA” dan buletin “Hindia
Poetera” dengan “INDONESIA MARDEKA” dan M. Hatta merangkap sebagai pimpinan
redaksinya.
Penggantian nama itu dilakukan karena nama sebelumnya, yaitu “Indische
Vereeniging” dan “Hindia Poetera”, TIDAK LAYAK BAGI BANGSA INDONESIA.
Semenjak itu pula bulanan “Indonesia Mardeka” memuat tulisan-tulisan
yang bernada politik.
Awal tahun 1926 M. Hatta terpilih menjadi Voorzitter P.I. (Ketua
Perhimpuan Indonesia). Saat itu yang menjadi Raadsman (penasehat) Kementerian Urusan Tanah Jajahan ialah L.C.
Westenenk. Ia juga ditunjuk Menteri sebagai bapak atau wali pelajar dan
mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di negeri seberang laut itu.
Keterangan:
Westenenk ini lama bertugas di Sumatera,
teristimewa di Sumatera Barat. Ketika terjadi pemberontakan di Sumatera Barat
tahun 1908, ia menjabat Kontrolir Agam. Ia pula yang meneriakkan komando “vuurd”
(tembak) pada serdadu Belanda yang menyerang nagari Kamang pada tahun
1908, dalam usaha memadamkan pemberontakkan yang terjadi di nagari
tersebut.
L.C. Westenenk banyak menulis buku tentang
Minangkabau, sehingga dijuluki Ahli Minangkabau.
Ketika terjadi perlawanan di pagi buta berdarah di
nagari Kamang yang tidak begitu jauh dari kota Fort de Kock, M. Hatta yang baru
mengenal bangku pendidikan berdomosili di kota ini.
Seusai pemberontakan PKI di pulau Jawa bulan November 1926, perseteruan
antara P.I. dan L.C. Westenenk (baca Pemerintah Belanda) meningkat tajam.
Perhimpunan Indonesia dituding kominis semua. Hatta dan P.I. dituding mendapat
bantuan keuangan dari Moskow serta membuat konvensi dengan Samaoen.
Orang tua mahasiswa di Indonesia yang ambtenaar (pegawai) diancam
dan diteror akan dipecat dan kehilangan hak pensiun, jika masih saja mengirim uang
untuk anaknya yang dikatakan sudah menjadi kominis.
Bukan hanya itu, orang tua mahasiswa yang tidak ambtenaar pun
diteror pula dengan ancaman, akan
menghentikan hubungan dagang dengan firma-firma Belanda.
Selain Arnold Mononutu, M. Hatta termasuk salah seorang yang menjadi
korban teror tersebut dan tidak menerima kiriman uang lagi dari orang tuanya
yang ketakutan.
Karena dengan berbagai cara yang dilakukan untuk meredam gerakan
mahasiswa tersebut dianggap tidak mempan, lalu pada tanggal 23 September 1927
Hatta bersama tiga orang pengurus Perhimpunan Indonesia lainnya ditangkap.
Di sidang pengadilan di Den Haag, Hatta mengatakan, perhimpunan
indonesia berdaya upaya menguatkan eenheidsgedachte (persatuan) bagi
seluruh Bangsa Indonesia.
Tujuan yang hendak dicapai ialah hendak mendirikan suatu “blok
nasionalis” bersama PKI, Sarikat Islam, Sarikat Rakyat dsb.
Daya upaya mengadakan blok ini sudah dijalankan bulan Agustus 1926 di
Bandung dalam suatu pertemuan untuk mendirikan “Comite Voor Eenheidsgedachte”
(Komite Persatuan) ... dst.
Gebrakan yang dilakukan Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda,
merambah pula ke wilayah ini yang waktu itu masih disebut Nederlandsche
Indie.
Nama Indonesia mulai menjadi buah bibir, dipakai oleh orang-orang
nasional, dicantumkan dalam berbagai nama organisasi masyarakat, konon pula
setelah terjadi pemberontakan kominis pada akhir tahun 1926 dan awak Januari
1927.
Pemerintah Belanda mulai gelisah. Ahli-ahli Belanda turun tangan
meneliti apa yang telah terjadi. Hasilnya antara lain seperti di bawah ini.
Asal Nama Indonesia
Selama ini
orang mengatakan “nama Indonesia”
dipakai pertama kali oleh seorang Ethnoloog pengembara yang bernama ADOLF BASTIAN pada tahun 1884 untuk
nama Kepulauan Hindia atau Indischen Archipel. Keterangan ini dapat kita baca
dalam “Het Koloniaal Weekblad” tanggal 16 September 1926 No. 37 hal. 11.
Keterangan serupa tercantum pula pada Encyclopaedie van Winkler Prins (3e dr,
1908) dan Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1918). Demikian juga selama ini
yang dipelajari murid-murid sekolah dalam buku pelajarannya.
Namun keterangan
di atas dibantah oleh Tuan Kreemer dalam Het “Koloniaal Weekblad” tanggal 3
Februari 1927 No. 3 hal. 4.
Tuan Kreemer ini menulis sebuah artikel
berjudul “Waar komt de naam
Indonesie vandaan (Dari mana asal nama Indonesia)?”
Di situ ia mengatakan, bahwa selama ini
orang mengatakan bahwa nama INDONESIA itu didapat oleh seorang ethnoloog
pengembara yang bernama Adolf Bastian, seperti tertulis dalam Het Koloniaal Weekblad
tahun 1926 dan pada kedua Encyclopaedie tersebut di atas.
Dalam tulisannya dalam Het Koloniaal
Weekblad 1927 tsb Tuan Kreemer mengatakan, tidak benar A. Bastian yang
menemukan nama Indonesia tersebut. Dikatakan pula, bahwa nama Indische
atau Maleische Archipel (Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu) telah
dipakai juga sejak jaman dahulu, yakni sebelum orang mendapat nama yang lebih
baik untuk menunjukkan penduduk jajahan itu.
Nama “Inboorlingen van den Indischen
Archipel” atau “Bumi Putra Kepulauan Hindia”, adalah terlalu panjang.
Sir Thomas
Stanfort Raffles pernah mengusulkan nama penduduk jajahan ini dengan “Hither
Polijnesians atau Melayu Sebelah Sini”, untuk membedakan dengan Bumi Putra
di negeri-negeri Lautan Teduh yang diberinya nama “Further Polijnesians
atau Melayu Sebelah Sana”. Akan tetapi nama-nama tersebut tidak disetujui oleh
banyak pengarang dan orang-orang pandai lainnya.
Ketika
mencari nama yang lebih baik, Tuan G.W.
EARL mengambil makna kata “Polijnesia” (polij = banyak, nesos = pulau)
yang artinya “pulau-pulau yang banyak atau kepulauan” dan diperolehlah nama INDOE – NESIER atau MALAJOE – NESIER (Indu – nesier atau
Malayu – nesier). Akan tetapi di antara kedua nama tersebut, yang kedualah yang
lebih disukainya, yaitu Malajoe-nesier. Alasannya karena nama yang tersebut
pertama, yaitu Indoe-nesier dapat pula menunjukkan penduduk kepulauan Ceylon
(Sri Langka) dan kepulauan Malediven dan Lakediven.
Kemudian
Tuan J.R. LOGAN melalui tulisannya dalam JOURNAL OF THE INDIAN ARCHIPELAGO AND EASTERN
ASIA (jilid IV tahun 1850
halaman 254, dengan judul “The ethnology of the Indian Archipelago”)
memilih nama INDONESIE untuk tanah Kepulauan Hindia dan INDONESIERS bagi penduduknya.
Jadi
menurut Tuan Kreemer: “HET VADERSCHAP
VAN DEN NAAM “INDONESIE“ KOMST DUS NIET TOE AAN BASTIAN, MAAR AAN JAMES R.
LOGAN, EN DAGTEEKENT REEDS VAN 1850”.
Jadi yang mendapat nama Indonesia itu, bukanlah Adolf
Bastian, akan tetapi Tuan J.R. Logan sejak tahun 18501.
Asal
Kata Merdeka
Di awal jaman repolusi tahun 1945 dulu,
jika kita berpapasan atau bertemu dengan seseorang, misalnya teman, pemimpin
perjuangan, tentara atau barisan, atau pun orang disegani, kita memberi salam
dengan ucapan kata MERDEKA.
“Mardeka Pak”, “Mardeka Buk” atau “Mardeka Bung” dsb sembari mengepalkan jari
tangan kanan dan menangkat lengan setinggi bahu.
Demikian pula para pemimpin saat
memulai pidatonya, selain salam Assalamualaikum diucapkan pula “pekik merdeka”
sebanyak tiga kali, juga ketika ia mengakhiri pidatonya.
Banyak orang mengatakan asal kata
“merdeka” itu dari bahasa Sanskerta (bahasa kesusteraan Hindu kuno) , yakni
“mahardika”.
Saya sudah menanyakan kepada banyak
orang dan mencari di Perpustakaan Nasional Jakarta, namun kata “mahardika” yang
dikatakan dari Bahasa Sanskerta itu tidak ditemukan.
Siapa tahu, barangkali saja nanti ada
orang yang dapat membuktikan bahwa kata “mahardika” tsb berasal dari bahasa
Sanskerta, mudah-mudahan.
Dalam kamus Purwadarminta kata “merdeheka”
atau “merdeka” itu, antara lain berarti bebas dari perhambaan dan penjajahan
dsb. Tidak disebutkan dari mana asal-usul kata “merdeka” tsb.
Dalam buku berjudul “DE INDISCHE
ARCHIPEL” pada sub judul NIEUWE TOESTANDEN IN INDONESIE halaman 213,
terdapat tulisan mengenai asal-usul kata “merdeka’ dimaksud2.
“Mahardika atau Merdeka” adalah verbastering (perubahan)
kata bahasa Belanda Mardijkers2, artinya vrijgelaten slaaf
(pembebasan dari perbudakan).
Mardijk adalah suatu tempat kecil dekat
Duinkerken. Di abad ke tujuh belas tempat ini (Mardijk) sangat dihinakan oleh
penduduk Negeri Belanda sebagai kawasan yang busuk, karena di sana bersarang
atau tempat beristirahat bajak laut bangsa Spanyol yang amat merugikan armada
pelayaran Belanda.
Orang-orang Mardijk yang membebaskan
diri dari perbudakan bangsa Spanyol yang bajak laut itu, disebut MARDIJKERS.
Demikian pula orang-orang Portugis yang
ditawan Belanda di Malaka, kemudian dibawa ke Batavia lalu dibebaskan dan
ditempatkan di Jalan Roa Malaka,
disebut pula “Mardijkers”. Kemudian keturunan orang-orang Portugis yang telah
dimerdekakan (mardijkers) ditempatkan di kawasan Tugu Cilincing. Merekalah yang
memperkenalkan “orkes keroncong” kepada anak negeri yang pada awalnya dikenal
dengan nama “Keroncong Tugu”.-
Keterangan
“The name
Indian Archipelago is too long to admit of being used in an adjective or in an
ethnographical form. Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesians but
rejects it in favour of Malayunesians, (ante p. 71). For reasons which will be
obvious on reading a subseuent note, I prefer the purely geographical term
Indonesia, which ia merely a shorter synonym for the Indian Islands or the
Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or
Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders. Ia
have no affection for the multiplication of semi-grecian words, and would
gladly see all the nesias wiped off the map if good Saxon equivalents could be
substituted. The term has some claim however to be located in the region, for
in the slightly form of nusa it is perhaps as ancient in the Indian Archipelago
as in Greece”.
Mardijkers” in een Nederlandsche verbastering van
MAHARDIKA, vrij gelaten slaaf.
MARDIJK
in een klein plaatsje bij Duinkerken. Deze plaatsen waren berucht bij de
Nederlanders der zeventiende eeuw, daar van uit deze havens de Spaanche
zeerovers werden uitgerust, die de Nederlandsche scheepvaart enorme verliezen
berokkenden.
Keterangan
Tambahan
Onder
de niet-Nederlandsche elementen der bevolking van Batavia bevonden zich de
afstammelingen der Portugeesche immigranten van Malaka (vandaar dat een straat
in Batavia “Rua Malacca” heette), de afstammelingen van gewezen slaven, meestal
aangevoert van de kust van Indie en door de Nederlanders “Mardijkers” genoemd, en de Chineezen.
De
Mardijkers hadden geen gunstige reputatie. Zij waren Christenen, en
daarom waren zij niet verplicht als de andere Aziaten hun nationale
kleerderdracht te dragen.
Een
Nederlandsch tijdgenoot schreef van hen:
“(De Mardijkers) dewelcke met
een bespottelijke portugeesche verwacntheyd quamsuys als wij op zijn Europiaans
gekleet gaan dog meest zonder hembt, koussen off schoenen, met een korte
duurlugtige rok, daar gemeenlijk de flenters bijhangen en haar pickzwart
troonie en poten zo aardig afsteeken, en
parreeren als quaksalvers aap, die met zijn beste pakje opgeschikt is, latende
haar echter niet minder voorstaan als ons gelijke te wezen”. (TBG III, 74-75).
Sumber Bacaan Lain
·
Student Indonesia di Europa – 1928.
·
Het Rijk Van Bittertong – 1932.
·
Madjallah “Medan Ra’jat” – 1931.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar