OLEH
Yusriwal, peneliti di Fakultas Sastra Unand
Tidak seorang pun dapat mengingkari bahwa
Minangkabau memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
Tentu saja statement ini lahir
setelah masuknya agama Islam di Minangkabau atau setelah masyarakat Minangkabau
memeluk agama Islam. Banyak ahli adat menafsirkan bahwa Kitabullah tersebut
adalah Alquran. Namun, sebenarnya Kitabullah tersebut dapat saja berarti
Taurat, Zabur, atau Injil. Dalam konteks hari ini, Kitabullah yang dimaksud
tentu saja Alquran karena kehadiran Alquran membatalkan ketiga kitab suci tersebut.
Statement pada dasarnya
adalah sebuah pengakuan dan pengukuhan. Jika ada statement yang menyatakan
adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, artinya adalah sebuah
pengakuan dan pengukuhan terhadap syariat Islam dan Alquran sebagai landasan
dan dasar dari adat Minangkabau. Sebuah pengakuan terjadi karena sebelumnya hal
yang diakui tersebut belum ada, belum disetujui. Sekurangnya, sebuah statement adalah pengakuan terhadap
sesuatu secara formal.
Banyak ahli manyatakan bahwa stetement adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah dikukuhkan dalam
Perjanjian Bukit Marapalam. Kalau pendapat ini diikuti, sebelumnya apa yang
menjadi dasar falsafah adat Minangkabau? Menurut para ahli adat—sebelumnya—dasar
dan falsafah adat Minangkabau adalah adat
basandi nan bana, nan bana badiri sandirinyo. Dasar adat tersebut tidak
merujuk ke suatu agama atau kepercayaan tertentu. Namun, ada beberapa kenyataan
atau fenomena yang sampai saat ini masih dapat ditemui dan dilihat dalam
realitas masyarakat Minangkabau, yang diperkirakan berhubungan dengan agama
atau kapercayaan tertentu, yakni Budha dan Hindu.
Tulisan ini hanya mencoba melihat hubungan
beberapa kenyataan yang masih dapat ditemui dalam masyarakat Minangkabau dengan
kepercayaan atau agama tertentu tersebut. Tinjauan terhadap hal itu masih
bersifat selayang pandang dan general. Bahan-bahan dan data diambil secara acak,
sesuai dengan apa yang dapat dijangkau dalam waktu singkat. Dengan kata lain,
tulisan ini tidak melakukan semacam isolasi dan kontrol yang terlalu ketat
terhadap bahan-bahan dan data-datanya.
Dalam analisis selanjutnya dicoba untuk
memperlihatkan hubungan antara beberapa fenomena yang terdapat dalam realitas
masyarakat Minangkabau dengan keperyaan atau agama Budha dan Hindu.
Sekurangnya ada empat daerah yang bernama Biaro:
(1) Biaro yang termasuk Kecamatan Ampek Angkek (Kabupaten Agam), (2) Biaro yang
berada di dekat Air Tabit, Payakumbuh (Limo Puluh Koto), (3) Biaro di Nagari Pariangan,
dan (4) Biaro yang terletak antara Batipuah dan Simabua (Tanah Data).
Secara etimologis kata ‘biaro’ berasal dari vihara. Dalam bahasa Melayu, vihara berubah menjadi ‘biara’ dan dalam
bahasa Minangkabau berubah menjadi ‘biaro’. Perubahan konsonan /v/ menjadi /b/
ke dalam bahasa Melayu dan Minangkabau disebabkan kedua bahasa tersebut memang
tidak mengenal fonem tersebut. Secara liguistis perubahan dari /v/ ke /b/ dapat
terjadi disebabkan adanya relasi fonologis, karena kedua konsonan sama-sama
konsonan bilabial velar. Contoh lain
yang sejajar dengan perubahan tersebut adalah viol menjadi ‘biola’. Sedangkan perubahan fonem akhir /a/ (Melayu)
menjadi /o/ (Minangkabau), sejajar dengan kata-kata lain seperti: /merana/
berubah menjadi /marano/, /ke mana/ menjadi /ka mano/, /ke mana/ menjadi /ka mano/.
Istilah vihara
berasal dari kosa kata Budha. Bagi masyarakat Budha vihara adalah sebuah komplek yang digunakan sebagai tempat
penggemblengan seseorang yang akan menjadi bhiku (baca biksu), di samping
sebagai tempat peribadatan. Di tempat tersebut seorang calon bhiku dibekali
dengan pengetahuan agama, kemasyarakatan, keterampilan, dan beladiri.
Jika biaro tersebut berasal dari vihara, tentu dapat ditelusuri
kemungkinan masih ditemuinya bekas-bekas atau bukti-bukti yang menunjukan bahwa
bangunan tersebut pernah ada di sana. Di empat derah Biaro seperti yang
disebutkan di atas, bukti fisik tidak ditemukan, namun yang menarik adalah
Biaro di Pariangan. Menurut masyarakat Pariangan, lokasi tempat berdirinya masjid
sekarang ini, dahulunya adalah bekas lokasi pagoda. Pagoda adalah salah satu
bangunan yang ada dalam vihara. Hal
itu menunjukkan bahwa di daerah tersebut dahulunya pernah ada vihara. Keterangan masyarakat tersebut
diperkuat lagi dengan ditemukannya sebuah manuskrip, yang di dalam salah satu
bagiannya diterangkan bahwa tempat berdirinya Masjid Raya Limo Kaum sekarang, dahulunya
adalah bekas pagoda. Dusun yang terletak di sebelah atas Masjid Raya Limo Kaum
juga bernama Biaro.
Selain kaligrafi, salah satu ragam hias yang
banyak terdapat di masjid-masjid dan surau-surau tua adalah talipuak atau teratai (lotus). Teratai adalah tumbuhan suci
bagi msayarakat Budha, sehingga Sang Budha pun selalu digambarkan duduk di atas
teratai yang sedang mekar. Bagi penganut Budha, bunga teratai mempunyai
filosofi: teratai tetap putih suci walau berasal dari dalam lumpur. Artinya,
baik atau tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh asal-usulnya.
Berkaitan dengan simbol teratai di atas, adalah
suatu fenomena umum bahwa di banyak masjid dan surau terdapat kolam yang
tumbuhan airnya adalah teratai. Mengapa teratai? Mengapa tidak kalayau atau kiambang? Ataukah hal itu
masih berhubungan dengan hal di atas? Dengan demikian teratai merupakan hal
yang penting dalam kehidupan masyarakat Minangkabau
Masjid dan surau di Minangkabau adalah sebuah
tempat yang juga tidak membedakan asal-usul seseorang. Siapa saja boleh masuk
ke surau dan masjid. Ada harapan terhadap masjid dan lebih surau bahwa siapa
pun atau dari mana pun asalnya diharapkan setelah keluar dari masjid dan surau
akan menjadi lebih baik.
Begitu pun surau, mempunyai banyak kesamaan
dengan vihara, yaitu tempat mendidik
anak Minangkabau. Sebagaimana vihara yang tidak mengharuskan seluruh
produknya menjadi bhiku, produk surau juga tidak semuanya menjadi ulama.
Tata letak bangunan dan pola pendidikan di surau
juga mempunyai persamaan dengan vihara.
Sebuah surau mempunyai tempat ibadah khusus, tempat tinggal para peserta didik,
tempat kediaman guru, dan dapur umum. Pola pendidikan yang sama adalah bahwa
para peserta didik diajarkan agama, pengetahuan kemasyarakatan, dan beladiri.
Yang berbeda hanyalah materi yang diajarkan. Jika di vihara yang diajarkan Budha, Taoisme, dan kungfu, di surau yang
diajarkan adalah Islam, adat Minangkabau,
dan silat.
Fenomena lain yang dapat diamati adalah
peristiwa budaya yang dikaitkan dengan ajaran Islam, misalnya peristiwa balimau dan peristiwa yang berhubungan
dengan kematian (manigo ari, manujuah ari, maampek baleh ari, mandua
pulah satu ari, maampek puluah ari,
dan manyaratuih ari).
Balimau atau (potang balimau) seperti yang masih
dapat dijumpai di daerah Pangkalan Koto Baru, Solok, dan Pesisir Selatan,
adalah peristiwa membersihkan diri yang dilakukan sehari sebelum bulan Ramadan.
Islam memang menganjurkan kepada semua orang yang akan melakukan ibadah puasa
agar membersihkan diri, namun tidak dianjurkan dengan upacara tertentu. Dalam balimau yang dilakukan oleh masyarakat
di ketiga daerah di atas dapat dikatakan sebagai sebuah upacara. Dikatakan
sebagai upacara, karena balimau
tersebut memiliki tata cara dan peralatan tertentu.
Di Pesisir Selatan misalnya, bahan yang
digunakan untuk membersihkan diri tersebut terdiri atas limau pagar ditambah
dengan berbagai ragam kembang. Peralatan itu dibawa ke masjid, diarak bersamaan
dengan yang ikut prosesi. Sesampai di masjid tertua, pemuka masyarakat atau
ulama memberikan nasihat dan terakhir semua peserta prosesi pergi ke air atau
sungai untuk memandikan diri dengan peralatan tadi, kemudian membasuh diri di
air atau sungai.
Karena Islam tidak mengatur proses menyucikan
diri tersebut, tentunya hal tersebut berkaitan dengan tradisi Minangkabau sebelum Islam masuk. Peristiwa ini
mungkin dapat dibandingkan dengan tradisi Hindu, yaitu tradisi menyucikan diri
di sungai atau di laut. Atau seperti yang dilakukan masyarakat India yang
menyucikan diri di Sungai Gangga.
Dalam peristiwa budaya yang berhubungan dengan
kematian seperti manigo ari, manujuah ari, maampek baleh ari, mandua
pulah satu ari, maampek puluah ari,
dan manyaratuih ari, dalam Islam hal
seperti itu tidak ada, akan tetapi ditemui dalam tradisi masyarakat Minangkabau. Tradisi ını berasal dari mana? Apakah pola tradisi tersebut dapat
dikatakan kebetulan saja sama dengan pola tradisi peringatan
kematian yang terdapat dalam agama Budha dan Hindu?
Itulah beberapa fenomena dari sejumlah fenomena
dalam realitas masyarakat Minangkabau
yang dapat dibandingkan dengan fenomena yang juga terdapat dalam masyarakat
Budha dan Hindu. Sebenarnya masih banyak fenomena yang dapat mengarah ke hal
tersebut. Namun, karena keterbatasan waktu dan ruang, kiranya perbandingan di
atas dapat dianggap mewakili untuk mengarah ke suatu kesimpulan bahwa
kebudayaan Minangkabau pernah bersentuhan dengan kebudayaan Budha dan Hindu.
Kesimpulan ini dapat saja diperdebatkan, karena seperti dikemukakan di awal
bahwa bahan-bahan dan data-data diambil secara acak, serampangan serta belum
dilakukan isolasi dan kontrol yang ketat terhadap data-data dan bahan-bahan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar