OLEH Yusriwal,
peneliti di Fakultas Sastra Unand
Kompleks Pesantren Batu Ampa |
Ada sebuah pameo,
“Tidak ada tanaman yang dapat tumbuh di Batu Ampa (hamparan batu). Namun,
sebuah nagari yang bernama Batu Ampa, tidak hanya dapat menghidupi tumbuhan
pertanian, tetapi juga menumbuhkan sejarah.
Batu
Ampa dalam bahasa Minangkabau berarti “hamparan batu”. Memang, dulunya daerah
ini adalah daerah bebatuan. Setiap mencangkul tanah ditemukan batu-batu. Oleh
sebab itulah, disebut Batu Ampa. Namun, sekarang nagari ini sudah menjadi
daerah pertanian yang cukup subur.
Batu
Ampa adalah sebuah nagari yang tenang, sejuk, dikelilingi bukit-bukit di bagian
utara, barat, dan selatan. Sawah-sawah dan ladang-ladang yang terhampar adalah
sumber kehidupan penduduk di sana. Oleh sebab itu, nagari yang termasuk wilayah
Kabupaten Limo Puluah Koto ini dikenal sebagai penghasil tomat dengan kualitas
baik.
Penduduknya
terkenal ramah dan sangat terbuka terhadap
tamu yang datang berkunjung. Bak kata pepatah Minangkabau, masyarakat Batu Ampa
panyantun ka alek nan tibo, paibo ka dagang nan lalu. Maksudnya,
masyarakat Batu Ampa sangat menghormati tamu dan menyayangi perantau. Batu Ampa
adalah daerah agraris dengan penduduk yang ramah dan hidup dalam kesederhanaan.
Itulah
gambaran umum yang terkesan ketika pertama kali datang ke Batu Ampa. Kesan
seperti itu semakin dalam ditambah dengan panorama alamnya nan elok. Jika
datang dari Bukittingi menuju Payakumbuh, setelah melewati Baso dan PLTA Batang
Agam, akan bertemu dengan sebuah perempatan. Dari perempatan belok ke kiri,
melalui jalan berliku dan sedikit menurun di antara sawah-sawah, ladang tomat,
dan ladang cabai, lebih kurang dua menit perjalanan dengan mobil, akan bertemu
pintu gerbang bergonjong. Itulah pintu masuk utama untuk dapat sampai ke Nagari
Batu Ampa.
Dari
pintu gerbang tersebut akan terlihat deretan sawah berjenjang, bukit-bukit yang
menghijau, rumah-rumah penduduk, dan yang paling menonjol adalah sebuah
bangunan tinggi yang terletak di tengah beberapa bangunan. Bangunan-bangunan
tersebut adalah Komplek Perguruan Syekh Abdurrahman atau Baliau Batu Ampa, dan
bangunan tinggi tersebut adalah menara rumah kediaman pimpinan perguruan
tersebut.
Jika
masuk lebih dalam, ternyata perguruan tersebut mempunyai sejarah yang panjang,
karena melahirkan ulama-ulama terkenal, negarawan, dan mempunyai hubungan
dengan sebuah kerajaan. Syekh Salim Batu Bara atau lebih dikenal dengan Baliau
Andalas, Syekh Ibrahim Kubang, dan Syekh Sulaiman Arrasuli Candung belajar di
perguruan ini. Proklamator RI Bung Hatta pernah dididik dan dibesarkan di sini.
Salah seorang cucu dari pimpinan perguruan ini, menurut H. Syahrani Dt. Rajo
Reno, adalah permaisuri Sultan Ibrahim dari Pagaruyung.
Itulah
sekelumit gambaran Nagari Batu Ampa, daerah “hamparan batu” yang subur, tidak
hanya menghidupi tumbuhan pertanian, melainkan mampu melahirkan dan
menumbuhkankan sejarah.
Pesantren
Al-Manar
Menara Pesantren Batu Ampa |
Al-Mannar
adalah pondok pesantren yang menempati salah satu bagian dari komplek perguruan
Syekh Abdurrahman Batu Ampa. Didirikan pada tahun 1963 oleh Damrah, Pak Etek
(adik ayah) Bung Hatta.
Pertama
mengembangkan Islam, Syekh Abdurrahman tidak mempunyai tempat khusus. Pertama
mengajarkan Islam, dilakukan di kebun tebunya. Kemudian, setelah mendapat
perhatian dan simpati dari masyarakat Batu Ampa, sebuah kaum dari suku Caniago
mewakafkan tanahnya. Di atas tanah tersebut Syekh Abdurahman mendirikan surau,
sebagai tempat mengajarkan agama Islam secara resmi.
Tempat tersebut berkembang,
seiring dangan berdatangannya orang-orang yang ingin belajar kepada Syekh
Abdurrahman. Karena banyaknya murid yang belajar dan datang dari berbagai
tempat, sehingga di sekitar surau tersebut, menurut keterangan H. Syahrani
Kalis Dt. Rajo Reno, pernah berdiri 80 surau, tempat tinggal para murid yang
belajar di sana. Tercatat nama-nama surau antara lain: Surau Mungka, Surau Payobasuang,
Surau Sariak Laweh, Surau Simabua, Surau Taeh, Surau Lintau, Surau Sungai
Jangek, Surau Solok, Surau Canduang, Surau Padang Tarok, Surau Pasisia, Surau
Painan, Surau Guntuang, Surau Tilatang, Surau Kamang, Surau Batipuah, Surau
Limo Koto, Surau Bangkinang, Surau Muko-muko, dan Surau Koto nan Ampek. Nama-nama surau sesuai dengan nama
daerah asal murid yang menempati surau tersebut. Murid-murid yang berasal dari
daerah Muko Muko akan tinggal di surau Muko Muko.
Dilihat dari nama-nama
surau, murid-murid Syekh Abdurrahman tidak hanya berasal dari daerah sekitar Batu
Ampa, melainkan melampui daerah Sumatera Barat, yaitu Riau dan Bengkulu.
Artinya, Syekh Abdurrahman dikenal oleh masyarakat di luar Sumatera Barat.
Sistem pendidikan yang
diterapkan oleh Syekh Abdurahman adalah sistem halaqah, yaitu guru memberikan
pelajaran sambil duduk bersila, dikelilingi oleh murid-muridnya. Menurut
Azyumardi Azra (dalam buku Surau;
Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi: 2003) sistem pendidikan seperti yang diterapkan
Syekh Abdurrahman, dapat dikatakan sudah cukup maju pada masa itu. Setelah
Syekh Abdurrahman meninggal, sistem seperti itu masih dilanjutkan oleh putranya,
Syekh Ahmad Hasan. Syekh Ahmad Hasan cukup terkenal karena dianggap salah satu
dari tujuh ahli kira’ad dan pernah belajar di Mekkah, Mesir, Turki, dan
Palestina.
Meninggal pada tahun 1924,
Syekh Ahmad digantikan putranya Syekh M. Arifin. Syekh ini adalah penggagas
Kongres Perti I di Sumatera Barat. Syekh Arifin meninggal dalam usia 55 tahun,
empat tahun sepeninggal Syekh Ahmad.
Pada masa penjajahan
Jepang, perguruan ini mengalami kemunduran. Saat itu pimpinan perguruan berada
di tangan Dt. Ahmad. Dalam masa pergolakan kegiatan perguruan ini sama sekali
terhenti karena lebih cenderung mengajarkan ilmu tarikat.
Mulai tahun 1963, sistem
pendidikan halaqah diganti dengan sistem sekolah modern yang diprakarsai oleh
Damrah, Pak Etek (adik ayah) Bung
Hatta. Mulai tahun itu, perguruan tersebut diberi nama Al-Mannar. Dengan sistem
baru ini, murid-murid dibagi dalam beberapa kelas, seperti sistem yang berlaku
di MTsN dan MAN. Sistem ini dipertahankan sampai sekarang. Sistem tingkat yang
digunakan adalah sistem 6 tingkat. Murid yang diterima adalah tamatan Sekolah
Dasar. Tamatan Al-Mannar setara dengan tamatan SMU. Namun, jika ingin, setelah
kelas tiga murid dapat mengikuti ujian persamaan SLTP, begitu juga setelah
tamat kelas 6 murid-murid juga dapat mengikuti ujian persamaan SMU.
Al-Mannar saat ini dipimpin
oleh pelanjut Syekh Abdurrahman, yaitu H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno.
Menurut keterangannya, murid-murid Al-Mannar saat ini hanya terdiri atas
anak-anak Batu Ampa sendiri. Di samping itu, dia juga menyampaikan keprihatinannya
berkaitan dengan kelangsungan hidup Al-Mannar. Guru-guru yang mengajar hanya
dibayar dengan SPP dari murid-murid. Tidak ada sumber dana tetap selain SPP
yang dapat digunakan untuk menambah gaji guru, pengadaan bahan-bahan pendukung
pengajaran, dam pembenahan sarana pendidikan lainnya. Perpustakaan pun sampai
saat belum ada.
Beberapa bulan terakhir ada
sumbangan dari koperasi di Batu Ampa, sebanyak Rp300.000 per bulan. Namun tidak
banyak membantu penyelesaian masalah karena minimnya dana tersebut. Dari
badan-badan pemerintah, bantuan tetap belum ada, yang bersifat insidentil
kalaupun ada tetap tidak banyak membantu.
Ironis memang. Sebuah
lembaga pendidikan yang dirintis oleh seorang ulama besar, pernah menghasilkan
ulama-ulama besar, bahkan proklamator RI pernah mendapatkan pendidikan dan
besar di sini, mengalami nasib seperti itu. Dulu, semasa Bung Hatta masih
hidup, ia masih menyempatkan diri datang sekali setahun dan beliau sering
memberikan bantuan dari uang pribadinya.
UBH
Berutang
Melihat kanyataan tersebut,
apa yang telah dilakukan Universitas Bung Hatta, sebuah lembaga pendidikan yang
menurut masyarakat Batu Ampa dan pengurus Al-Mannar mempunyai kaitan erat
dengan kelangsungan hidup pesantren tersebut? Menurut Wali Nagari Koto Tangah Batu
Ampa, Wahyu Santoso SH yang masih merupakan cucu dari Bung Hatta, Universitas
Bung Hatta berutang kepada Al-Mannar, karena menggunakan nama Bung Hatta yang
merupakan cucu-cucu dari perintis perguruan Al-Mannar, yaitu Syekh Abdurrahman.
Hal itu diperkuat pula oleh H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno (pimpinan
Al-Mannar) dan Syahrisman Dt. Iyang Bosa (anggota DPRD 50 Koto), yang
menyatakan bahwa selayaknyalah Universitas Bung Hatta memberikan perhatian
kepada Al-Mannar.
Dikukuhkan
Kaampek Suku
Syekh
Abdurrahman lahir pada tahun 1783 di Batu Ampa. Ketika berumur 15 tahun, ia
berangkat ke Galogandang, sebuah daerah yang sekarang masuk wilayah Kabupaten
Tanah Data, untuk menuntut ilmu agama. Setelah mendapat izin dari kedua orang
tuanya, ia berangkat dengan berbekal tiga lembar uang VOC, beberapa lembar
pakaian, dan sebuah buntil beras.
Setelah
beberapa tahun di Galogandang, ia berangkat ke Mekkah ditemani gurunya dari
Galogandang tersebut untuk memperdalam ilmu agama. Tidak lama setelah gurunya
meninggal di Mekkah, ia kembali ke Sumatera, menemui Syekh Abdurrauf di Tapak
Tuan, Aceh. Delapan tahun di Tapak Tuan, ia kembali berangkat ke Mekkah untuk
memperdalam ilmu tarikat yang sudah dipelajarinya.
Lupa Jalan ke
Batu Ampa
Ketika
berusia 63 tahun, barulah ia benar-benar pulang ke Batu Ampa, namun terlebih
dahulu singgah ke Galogandang. Dalam perjalanan dari Galogandang ke Batu Ampa,
sesampai di daerah Barulak, ia ragu. Ia tidak ingat lagi dengan jalan menuju Batu
Ampa. Karena itu, melihat seorang perempuan yang hendak menjual padi, ia
menanyakan jalan yang menuju ke Batu Ampa. Perempuan itu menanyakan namanya.
Setelah diberitahu, perempuan tua itu curiga dan meminta Abdurrahman
memperilhatkan betisnya. Setelah melihat tanda di betisnya, si perempuan tua
langsung memeluk Abdurrahman. Ternyata perempuan itu adalah ibu kandungnya.
Bersama
ibu itu, ia sampai di Batu Ampa. Namun, apa yang dilihat di Batu Ampa jauh dari
harapannya. Walaupun masyarakat Batu Ampa sudah beragama Islam, namun kehidupan
keseharian mereka belum mencerminkan agama yang dianut. Masyarakat masih hidup
dalam budaya tahyul, laki-laki gemar berjudi dan menyabung ayam, bahkan
kebanyakan masyarakat masih terbiasa memakan tikus, kalong, dan kelelawar.
Melihat
kenyataan tersebut, Abdurrahman bertekad akan memperbaiki sikap beragama
masyarakat. Hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Baginya, tugas tersebut
bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah amanah yang mau atau tidak, harus
dilakukan. Ditambah dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan
hamba-Nya yang berjuang di jalan benar, ia memulai kerjanya.
Pada
saat memulai, ia tidak mempunyai tempat khusus untuk menyampaikan ajarannya.
Sementara mendapat tempat, ia membuat kebun tebu. Setelah tebu-tebu di
ladangnya besar, anak-anak Batu Ampa yang sering menggembala kerbau, sapi, dan
kambing, pada suatu kali tertarik dan memintanya kepada Abdurrahman. Ia
mengabulkan permintaan mereka. Anak-anak gembala tersebut dikumpulkan, tebu
diambil, dikupaskan, dipotong-potong, lalu dibagikan. Akan tetapi, mengupasnya
dimulai dari ujung. Setelah masing-masing anak gembala menghabiskan potongan
tebu yang diberikan, Abdurrahman bilang bahwa potongan tebu selanjutkan akan
lebih manis jika anak-anak tersebut sebelum memakannya membaca
“bismillahirrahmanirrahim.” Anak-anak gembala tersebut mengikuti anjuran
Abdurrahman, ternyata memang lebih manis dari sebelumnya.
Begitulah
salah satu cara Abdurrahman mengajarkan Islam. Cara lain adalah dengan membina
kedekatan. Ketika seorang yang suka menyabung ayam meminta ayam aduannya
didoakan supaya bisa menang, Abdurrahman tidak menolak. Dipegangnya kepala ayam
itu sambil berdoa kepada Allah, agar anak muda tersebut dituntun ke jalan yang
benar. Keesokan harinya, si anak muda datang kembali mengucapkan terima kasih
karena ayam aduannya menang di gelanggang. Sejak itu, ia rajin bertandang.
Kedekatan ini dimanfaatkan oleh Abdurrahman untuk menanamkan paham keislaman.
Dengan
metode pendidikan seperti itu, ditambah kepribadian Abdurrahman yang menarik,
serta budinya yang santun, akhirnya banyak orang yang tertarik untuk belajar
agama kepadanya. Kepada murid-murid yang belajar agama Abdurrahman tidak pernah
meminta bayaran, semuanya karena Allah.
Abdurrahman
sangat beruntung karena dikaruniai oleh Allah umur panjang. Ia meninggal dalam
usia 122 tahun. Artinya, selama 63 tahun menuntut ilmu dan mengabdikan diri
dalam pendidikan dan pengembangan Islam selama 59 tahun.
Abdurrahman
mempunyai 5 orang istri, dikarunai 8 orang anak laki-laki dan 2 orang anak
perempuan. Salah seorang anak laki-lakinya, yang kemudian dikenal dengan Syekh
M. Djamil, menikah dengan orang Bukittinggi, melahirkan Muhammad Attar (Drs.
Muhammad Hatta) proklamator RI. Seorang lagi putranya, yaitu Syekh Muhammad
Thaib atau Syekh Limo Koto, menikah dengan perempuan Batipuah, melahirkan
seorang perempuan bernama Rasyidah. Cucunya ini kemudian menikah dengan Sultan
Ibrahim dari Kerajaan Pagaruyung.
Tuk Oyah
Selain
dikenal sebagai Baliau Batu Ampa, Syekh Abdurahman juga akrab dipanggil Tuk
Oyah. Dulu, murid yang belajar kepada Syekh Abdurrahman ada yang memanggil
Datuk namun tidak jarang pula yang memanggil Oyah, yang berarti Ayah. Akhirnya
penyebutan menjadi kacau, sehingga tidak tahu lagi sejak kapan Syekh
Abdurrahman dipanggil Tuk Oyah.
Syekh
Abdurrahman atau Tuk Oyah dikukuhkan menjadi syekh berdasarkan kesepatan kaampek suku atau keempat pangulu pucuak yang ada di Nagari Batu
Ampa. Pengukuhan syekh oleh kaampek suku
tersebut, disebabkan syekh merupakan tempat bertanya bagi pangulu di Batu Ampa.
Syekh dianggab sebagai lembaga konsultatif para pangulu. Fungsinya sama dengan
Rajo Ibadat dalam kerajaan Minangkabau. Sakaligus, hal itu membuktikan eratnya
kaitan antara adat dan agama.
Tradisi
tersebut berlajut sampai sekarang. Syekh yang memimpin perguruan ini harus
berasal dari keturunan Syekh Abdurrahman (keturunan Syekh Abdurrahman sekarang
disebut sebagai Bani Abdurrahman) dan dikukuhkan oleh kaampek suku Nagari Batu Ampa. Generasi penerus Syekh Abdurrahman
sekarang adalah H. Syahrani Dt. Rajo Reno, akan dikukuhkan menjadi Syekh atau
Tuk Oyah pada 8 Agustus 2002. Upacara pengukuhan—mengikut tradisi
sebelumnya—akan dilaksanakan di Masjid Ar-Rahman yang juga akan berganti nama
dengan Surau Syekh Abdurrahman atau Surau Baliau Batu Ampa. Dengan demikian H.
Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno akan menjadi Syekh H. Syahrani Khalil Dt. Rajo Reno.
*
Beberapa
bagian dalam tulisan ini berdasarkan keterangan H. Syahrani Khalil Dt. Rajo
Reno, Wahyu Santoso SH, dan Syahrisman Dt. Iyang Bosa.
Sumber: Majalah Analisis dan Pemikiran
SAGA, No 3 Agustus 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar