OLEH Darman Moenir
DPRD provinsi mendesak Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (Disbudpar) Sumbar untuk mengembalikan Pekan Budaya sesuai
tujuan awal. Saat ini pelaksanaannya sudah salah dan melenceng.
Demikian alinea pertama berita utama
halaman A-2 Singgalang di bawah judul “Penilaian DPRD Sumbar Pekan Budaya sudah
Salah,” Kamis (17/7). Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPRD,
Rizanto Algamar. Melalui komentar ini saya menyatakan, paling tidak untuk
pelaksanaan “Pekan Budaya 2014” (di antara tanda petik), penilaian itu benar,
amat sangat benar.
Mengapa sampai salah? Ya, aduh, mengapa
salah? Jawaban dan pertanggungjawaban pertanyaan ini berada di tangan Gubernur
Irwan Prayitno dan Kadisbudpar Burhasman. Rakyat dan pemangku kebudayaan di
seantero Sumbar boleh dan berhak mendengar jawaban dan minta
pertanggungjawaban.
Sampai 2013, sesungguhnya Pekan Budaya
Sumatera Barat (PBSB) sudah 15 kali digelar. PBSB pernah berlangsung di Kota Payakumbuh,
Bukittingi, Batusangkar, Solok, dan beberapa kali di Padang.
Saya menjadi saksi hidup kelahiran PBSB,
1983, di Padang, dengan sekretariat di Kantor Museum Adityawarman (sekarang
Museum Nagari). PBSB digagas seniman-seniman terpandang, antara lain, Ali Akbar
Navis, Boestanoel Arifin Adam, Chairul Harun. Semua sudah wafat.
Inti gagasan adalah semua kesenian dan
kebudayaan Provinsi Sumbar perlu dilestarikan, dieksiskan, dipertunjukkan.
Seniman-seniman diberi penghargaan secara wajar. Ide itu mendapat sambutan luar
biasa baik dari Gubernur (pada waktu itu) Azwar Anas. Pemda menyediakan
(anggaran) biaya penuh (sesuai Rencana Anggaran Biaya). Gubernur-gubernur Hasan
Basri Durin, Zainal Bakar, Gamawan Fauzi melanjutkan pelaksanaan gagasan yang
sudah berubah menjadi program rutin.
Tiga tahun awal, berturut-turut,
penyelenggaraan PBSB sepenuhnya dilakukan seniman dan budayawan. Pada
penyelenggaraan oleh seniman itu terjadi dana berlebih, dikembalikan ke kas
pemda. PBSB di Batusangkar paling sukses, dan menyisakan dana. Kemudian, PBSB
pernah diselenggarakan oleh event organizer (penyelenggara iven), diborongkan.
Tetapi, maaf, kerja borongan ini amburadul. PBSB berubah bak pasar malam, dan
konon nyaris seperdua anggaran masuk ke kantong EO. Pada tahun tertentu, PBSB
terselenggara dalam bentuk kolaborasi pemda dan seniman. Pada tahun-tahun
belakangan, sejak ada kantor dinas budaya dan pariwisata, dominasi pemda lebih
besar.
Lalu mengapa pada tahun ini salah, dan
gagal?
Satu hal sangat penting, terjadi
penyelewengan ide, dan pengubahan PBSB jadi Sumarak Kebangkitan (20-22 Juni),
Sumarak Syawal (27 Juli), Sumarak Kemerdekaan (18-20 Agustus), dan Sumarak
Pemuda (25-28 Oktober). Kalaupun masih ada label PBSB, maka itu tak lain dan
tak bukan adalah soal pertanggungjawaban administrasi dan keuangan.
Entah siapa yang menggagas
penyelenggaraan Sumarak-Sumarak itu. “Oknum dan/atau orang dalam” Budpar
Sumbar? Paling parah, ini dibiarkan oleh Irwan Prayitno dan Burhasman. Dan,
malang nian, seperti diberitakan, di pembukaan Sumarak terjadi penyiksaan terhadap
seniman dengan tidak/belum membayar honorarium penari, diduga terjadi
“permainan” kuitansi kosong. Dinas-dinas Budpar kota dan kabupaten se-Sumbar
pun tidak tahu ada iven Sumarak-Sumarak itu.
Pula, Gubernur Irwan Prayitno tidak punya
pembantu, tim ahli, konsultan budaya dan seni, atau apapun namanya. Tidak
punya, atau tidak mau memakai? Benarkah yang digunakan hanya konsultan seni dan
budaya partai tertentu? Irwan Prayitno, tidak seperti Azwar Anas, Hasan Basri
Durin, Zainal Bakar, dan Gamawan Fauzi, yang memfanfaatkan jasa seniman dan
budayawan. Navis, Chairul, Boestanoel, total membantu para gubernur itu. Dan
belum tiga bulan jadi Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi mengundang Wisran Hadi
(kini alm.), Asnam Rasyid dan saya ke kantornya, di Lantai Dua Rumah Bagonjong,
untuk membicarakan rencana besar, sebutlah dalam bahasa Inggris, grand design,
seni dan budaya provinsi. Beberapa saat kemudian Pak Gamawan mengajak puluhan
budayawan dan intelektual untuk berdiskusi soal agama, pendidikan, adat dan
budaya secara lebih komprehensif.
Saya mengimbau, agar PBSB tetap
diselenggarakan setiap tahun. Kerja sama dan keterlibatan seniman, budayawan,
anggota masyarakat, seperti sediakala, perlu dilakukan. Gubernur Irwan Prayitno
dan Kepala Dispudpar Sumbar, Burhasman, diminta bersungguh-sungguh dan
berbenar-benar mengurus kesenian dan kebudayaan. Mohon jangan mansur, main
surang dan Sumarak-Sumarak bertameng Pekan Budaya ini dihentikan saja. Kiprah
gubernur-gubernur dan kadis-kadis terdahulu bisa dicontoh. Tanpa maksud mendikte,
andai ada staf yang kongkalikong, seperti mengubah ide dan menilep anggaran,
mutasikan. Dengan demikian, seperti gubernur-gubernur terdahulu, Irwan Prayitno
pun akan tercatat sebagai gubernur yang peduli terhadap kesenian dan
kebudayaan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar