Senin, 21 Juli 2014

Pekan Budaya Sudah Salah!

OLEH Darman Moenir
DPRD provinsi mendesak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sumbar untuk mengembalikan Pekan Budaya sesuai tujuan awal. Saat ini pelaksanaannya sudah salah dan melenceng.
Demikian alinea pertama berita utama halaman A-2 Singgalang di bawah judul “Penilaian DPRD Sumbar Pekan Budaya sudah Salah,” Kamis (17/7). Penilaian itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPRD, Rizanto Algamar. Melalui komentar ini saya menyatakan, paling tidak untuk pelaksanaan “Pekan Budaya 2014” (di antara tanda petik), penilaian itu benar, amat sangat benar.
Mengapa sampai salah? Ya, aduh, mengapa salah? Jawaban dan pertanggungjawaban pertanyaan ini berada di tangan Gubernur Irwan Prayitno dan Kadisbudpar Burhasman. Rakyat dan pemangku kebudayaan di seantero Sumbar boleh dan berhak mendengar jawaban dan minta pertanggungjawaban.
Sampai 2013, sesungguhnya Pekan Budaya Sumatera Barat (PBSB) sudah 15 kali digelar. PBSB pernah berlangsung di Kota Payakumbuh, Bukittingi, Batusangkar, Solok, dan beberapa kali di Padang.
Saya menjadi saksi hidup kelahiran PBSB, 1983, di Padang, dengan sekretariat di Kantor Museum Adityawarman (sekarang Museum Nagari). PBSB digagas seniman-seniman terpandang, antara lain, Ali Akbar Navis, Boestanoel Arifin Adam, Chairul Harun. Semua sudah wafat.
Inti gagasan adalah semua kesenian dan kebudayaan Provinsi Sumbar perlu dilestarikan, dieksiskan, dipertunjukkan. Seniman-seniman diberi penghargaan secara wajar. Ide itu mendapat sambutan luar biasa baik dari Gubernur (pada waktu itu) Azwar Anas. Pemda menyediakan (anggaran) biaya penuh (sesuai Rencana Anggaran Biaya). Gubernur-gubernur Hasan Basri Durin, Zainal Bakar, Gamawan Fauzi melanjutkan pelaksanaan gagasan yang sudah berubah menjadi program rutin.
Tiga tahun awal, berturut-turut, penyelenggaraan PBSB sepenuhnya dilakukan seniman dan budayawan. Pada penyelenggaraan oleh seniman itu terjadi dana berlebih, dikembalikan ke kas pemda. PBSB di Batusangkar paling sukses, dan menyisakan dana. Kemudian, PBSB pernah diselenggarakan oleh event organizer (penyelenggara iven), diborongkan. Tetapi, maaf, kerja borongan ini amburadul. PBSB berubah bak pasar malam, dan konon nyaris seperdua anggaran masuk ke kantong EO. Pada tahun tertentu, PBSB terselenggara dalam bentuk kolaborasi pemda dan seniman. Pada tahun-tahun belakangan, sejak ada kantor dinas budaya dan pariwisata, dominasi pemda lebih besar.
Lalu mengapa pada tahun ini salah, dan gagal?
Satu hal sangat penting, terjadi penyelewengan ide, dan pengubahan PBSB jadi Sumarak Kebangkitan (20-22 Juni), Sumarak Syawal (27 Juli), Sumarak Kemerdekaan (18-20 Agustus), dan Sumarak Pemuda (25-28 Oktober). Kalaupun masih ada label PBSB, maka itu tak lain dan tak bukan adalah soal pertanggungjawaban administrasi dan keuangan.
Entah siapa yang menggagas penyelenggaraan Sumarak-Sumarak itu. “Oknum dan/atau orang dalam” Budpar Sumbar? Paling parah, ini dibiarkan oleh Irwan Prayitno dan Burhasman. Dan, malang nian, seperti diberitakan, di pembukaan Sumarak terjadi penyiksaan terhadap seniman dengan tidak/belum membayar honorarium penari, diduga terjadi “permainan” kuitansi kosong. Dinas-dinas Budpar kota dan kabupaten se-Sumbar pun tidak tahu ada iven Sumarak-Sumarak itu.
Pula, Gubernur Irwan Prayitno tidak punya pembantu, tim ahli, konsultan budaya dan seni, atau apapun namanya. Tidak punya, atau tidak mau memakai? Benarkah yang digunakan hanya konsultan seni dan budaya partai tertentu? Irwan Prayitno, tidak seperti Azwar Anas, Hasan Basri Durin, Zainal Bakar, dan Gamawan Fauzi, yang memfanfaatkan jasa seniman dan budayawan. Navis, Chairul, Boestanoel, total membantu para gubernur itu. Dan belum tiga bulan jadi Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi mengundang Wisran Hadi (kini alm.), Asnam Rasyid dan saya ke kantornya, di Lantai Dua Rumah Bagonjong, untuk membicarakan rencana besar, sebutlah dalam bahasa Inggris, grand design, seni dan budaya provinsi. Beberapa saat kemudian Pak Gamawan mengajak puluhan budayawan dan intelektual untuk berdiskusi soal agama, pendidikan, adat dan budaya secara lebih komprehensif.
Saya mengimbau, agar PBSB tetap diselenggarakan setiap tahun. Kerja sama dan keterlibatan seniman, budayawan, anggota masyarakat, seperti sediakala, perlu dilakukan. Gubernur Irwan Prayitno dan Kepala Dispudpar Sumbar, Burhasman, diminta bersungguh-sungguh dan berbenar-benar mengurus kesenian dan kebudayaan. Mohon jangan mansur, main surang dan Sumarak-Sumarak bertameng Pekan Budaya ini dihentikan saja. Kiprah gubernur-gubernur dan kadis-kadis terdahulu bisa dicontoh. Tanpa maksud mendikte, andai ada staf yang kongkalikong, seperti mengubah ide dan menilep anggaran, mutasikan. Dengan demikian, seperti gubernur-gubernur terdahulu, Irwan Prayitno pun akan tercatat sebagai gubernur yang peduli terhadap kesenian dan kebudayaan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...