Rabu, 16 Juli 2014

Menyimpang dari Tujuan, Hapus Pekan Budaya Sumbar

OLEH Nasrul Azwar
Foto www.ranahberita.com 
Pekan Budaya Sumatera Barat yang telah digelar pada 20 Juni 2014 lalu, berbeda dengan pelaksanaan pekan-pekan budaya sebelumnya. Pembukaan yang dilangsungkan di halaman Kantor Gubernur pada sore itu, menampilkan berbagai seni kreasi dan pameren patung. Malamnya, digelar berbagai seni pertunjukan di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat.

Jika Pekan Budaya sebelumnya digelar dalam rentang sepekan, kali ini dibagi menjadi empat bagian. Instansi penyelenggara iven budaya yang sudah ada sejak 1983 itu, yakni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, menyebutkan  pergelaran Pekan Budaya Sumatera Barat dijadikan sebagai kegiatan parsial dengan empat tema iven.
Pembagian iven itu adalah pada 20-22 Juni 2014 disebut dengan Sumarak Kebangkitan (20-22 Juni). Bagian pertama ini telah digelar. Kedua, namanya Sumarak Syawal (27 Juli), ketiga disebut Sumarak Kemerdekaan (18-20 Agustus), dan keempat diberi nama Sumarak Pemuda (25-28 Oktober).
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, Burhasman, Pekan Budaya Sumbar kali ini memanfaatkan momentum hari besar negara dan agama dalam waktu pelaksanaan terpisah dengan berbagai rangkaian acara. Dengan demikian, menurutnya, perhatian masyarakat dapat lebih terserap kepada Pekan Budaya ini.
Selain itu, pola pelaksanaan yang dipecah-pecah itu dengan titik berat seni kreatif menuju ekonomi kreatif, sebagai upaya menyonsong pergantian nama instansi ini menjadi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Dinas Parekraf) tahun depan.
Sepi Penonton
Kendati begitu, harapan agar respons dan partisipasi masyarakat tinggi terhadap iven ini, toh tidak menjadi kenyataan. Dari informasi yang dilaporkan media, keterlibatan masyarakat sangat minim dan nyaris tak terlihat saat pembukaan Pekan Budaya di halaman Kantor Gubernur Sumatera Barat. Demikian juga malam harinya saat pertunjukan di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat.
Pekan Budaya Sumatera Barat merupakan peristiwa budaya yang sudah digelar sejak tiga puluh satu tahun lalu. Peristiwa budaya yang mengemban sejarah yang cukup panjang ini, diperuntukkan bagi masyarakat, anak nagari, dan aleknya seniman dan budayawan.
Awal-awal Pekan Budaya Sumbar dilangsungkan, ia muncul sebagai ikon yang berhasil “mengumpulkan” para perantau Minang untuk pulang kampung dan bersilaturahim, tentunya, dengan sanak saudara di kampung halaman. Momentum Pekan Budaya selalu ditunggu.
Selepas reformasi, ketika otonomi diterima penuh pemerintah kota dan kabupaten, pada tahun 2004, Pekan Budaya Sumbar digelar kembali setelah sempat vakum sekitar 6 tahun, bersamaan dengan itu, iven budaya ini kehilangan gairah dan “mantaginya”. Pekan Budaya seperti bak seremonial pejabat-pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Jika awal-awal Pekan Budaya melibatkan seniman dan budayawan sepenuhnya—dan Pekan Budaya ini merupakan gagasan seniman dan budayawan—kini tak demikian lagi. Pekan Budaya sudah benar-benar menjadi proyek Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat. Tak ada lagi seniman dan budayawan dilibatkan dalam rancangan dan pelaksanaan program ini.
Disingkirkannya seniman dan budayawan, serta pekerja seni pada Pekan Budaya ini, saya kira mencapai titik nadirnya pada 2014 ini, kendati sebelumnya juga sudah berlangsung. Tapi puncak terparahnya tahun ini.
Maka, dengan demikian, tak perlu heran, ketika Wakil Gubernur Muslim Kasim dan Sekdaprov Ali Asmar kecewa karena sepinya partisipasi masyarakat dalam pembukaan Pekan Budaya. Seremonial pembukaan hanya dihadiri PNS Kantor Gunernur dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Jelas sangat memiriskan. Padahal anggaran Pekan Budaya ini hampir mencapai semiliar.
Sepinya pengunjung dan tak bergaungnya Pekan Budaya beberapa tahun terakhir, karena pola kerja dan pengelolaan iven ini dieksekusi oleh PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata itu, tanpa melibatkan orang-orang yang memahami mekanisme kerja  menggelar sebuah iven. Karena PNS yang mengelola, semua berujung pada proyek, bukan kualitas dan magnitude dari acara tersebut.
Kondisi demikian sudah berlangsung bertahun-tahun. Kualitas Pekan Budaya makin parah, tak jelas arah dan tujuannya. Tampaknya, pihak Disbudpar Sumbar tak pernah melakukan evaluasi kritis terhadap program ini. 
Untuk itu pula, sudah selayaknya program ini ditinjau kembali keberadaannya. DPRD Sumbar sangat pantas, tentunya menghentikan program yang tak jelas manfaatnya bagi kebudayaan dan kehidupan kesenian di Sumatera Barat.
Ekonomi Kreatif
Satu hal lain yang menarik dari kegiatan Pekan Budaya ini adalah dibaginya empat bagian program ini. Mencantolkan hari besar agama dan sejarah di Indonesia, jelas merupakan alasan yang sulit diterima kendati pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumbar mengatakan, pembagian ini untuk memicu tumbuh dan berkembangnya potensi ekonomi kreatif di Sumatera Barat.
Pembagian Pekan Budaya menjadi empat iven ini sudah jelas melenceng jauh dari tujuan awal Pekan Budaya ini. Selain itu, tak terlihat ada indikator kuat untuk mengatakan bahwa dengan dibaginya empat bagian, ekonomi kreatif dan kreasi seni di tengah masyarakat bergerak naik. 
Kondisi buruk lainnya dari Pekan Budaya ini adalah kegiatan ini tidak didukung secara penuh 19 pemerintah kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat. Pekan Budaya tak mendapat legitimasi yang kuat dari kota dan kabupaten. Pemerintah kabupaten dan kota tak merasa bangga ikut dalam iven ini. Ini jelas sangat memalukan.
Menurut Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Nasional 2009-2015, ekonomi kreatif merupakan sebuah era baru ekonomi setelah ekonomi pertanian, ekonomi
industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya.
Ekonomi kreatif ini digerakkan oleh industri kreatif yang didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berbeda dengan sektor kepariwisataan, ekonomi kreatif merupakan sektor baru yang diangkat oleh pemerintah untuk dikelola hingga tingkat Kementerian.
Mengacu pada Inpres No. 6 Tahun 2009 tentang Ekonomi Kreatif, maka ekonomi kreatif Indonesia dikelompokkan menjadi: (1) Arsitektur; (2) Desain; (3) Fesyen (Mode); (4) Film, Video, dan Fotografi; (5) Kerajinan; (6) Musik; (7) Pasar Seni dan Barang Antik; (8) Penerbitan dan Percetakan; (9) Periklanan; (10) Permainan Interaktif; (11) Penelitian dan Pengembangan; (12) Seni Pertunjukan; (13) Teknologi Informasi dan Piranti Lunak; dan (14) Televisi dan Radio. Sektor ke-15, kuliner, merupakan sektor tambahan yang akan dikembangkan oleh Kemenparekraf mempertimbangkan kekayaan kreativitas dan kearifan lokal di dalamnya, serta kaitannya yang erat dengan kepariwisataan.
Acuan yang dirilis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu, jelas memberikan kategori-kategori yang bisa dikembangkan instansi terkait. Berkaca pada Pekan Budaya yang tahap duanya akan digelar pada saat Lebaran nanti, dan pihak Disbudpar mengaitkannya pula dengan pengembangan ekonomi kreatif, pertanyaan paling utama adalah kelompok mana yang jadi prioritas untuk dikembangkan dalam Pekan Budaya ini?
Terus terang saya meragukan sekali Disbudpar punya blueprint yang komprehensif tentang pengembangan ekonomi kreatif itu. Keraguan saya itu, berangkat dari format dan konten dari Pekan Budaya yang dilangsungkan ini, yang tak ada sama sekali memperlihatkan keseriusan mengelolanya.
Pemahaman yang dangkal tentang ekonomi kreatif di kalangan pegawai Disbudpar ini, saya kira menjadi pemicu utama mengapa Pekan Budaya jadi alek budaya selevel kegiatan inugrasi mahasiswa di kampus-kampus. Malah mungkin lebih kreatif iven yang dibuat mahasiswa ketimbang Pekan Budaya yang telah masuk tahap menjenuhkan, dan menyebalkan.
Selain masalah Pekan Budaya Sumbar yang pelaksanaannya seperti bagarah-garah ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga mendapat sorotan tajam dari seniman dan budayawan Sumbar terkait pemotongan dana biaya produksi Komunitas Seni Nan Tumpah yang dilakukan dua orang pegawainya. Sebelumnya, instansi ini juga dikritik cukup keras terkait dengan keberangkatan tim kesenian ke Maroko.
Maka, jika Disbudpar enggan membuka diri dan mau tak sharing dengan seniman, budayawan, dan pelaku seni di Sumatera Barat, nasib Pekan Budaya tak perlu lagi diperpanjang. Sudahkan saja sampai sini saja. DPRD Sumbar, saya harap hapus saja nomenklatur Pekan Budaya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...