OLEH Nasrul Azwar
Foto www.ranahberita.com |
Pekan Budaya Sumatera Barat yang telah digelar
pada 20 Juni 2014 lalu, berbeda dengan pelaksanaan pekan-pekan budaya
sebelumnya. Pembukaan yang dilangsungkan di halaman Kantor Gubernur pada sore
itu, menampilkan berbagai seni kreasi dan pameren patung. Malamnya, digelar berbagai seni pertunjukan di
Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat.
Jika Pekan Budaya sebelumnya digelar
dalam rentang sepekan, kali ini dibagi menjadi empat bagian. Instansi
penyelenggara iven budaya yang sudah ada sejak 1983 itu, yakni Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Sumatera Barat, menyebutkan pergelaran Pekan Budaya Sumatera Barat
dijadikan sebagai kegiatan parsial dengan empat tema iven.
Pembagian iven itu adalah pada 20-22 Juni
2014 disebut dengan Sumarak Kebangkitan (20-22 Juni). Bagian pertama ini telah
digelar. Kedua, namanya Sumarak Syawal (27 Juli), ketiga disebut Sumarak
Kemerdekaan (18-20 Agustus), dan keempat diberi nama Sumarak Pemuda (25-28
Oktober).
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat, Burhasman, Pekan
Budaya Sumbar kali ini memanfaatkan momentum hari besar negara dan agama dalam waktu
pelaksanaan terpisah dengan berbagai rangkaian acara. Dengan demikian,
menurutnya, perhatian masyarakat dapat lebih terserap kepada Pekan Budaya ini.
Selain itu, pola pelaksanaan yang
dipecah-pecah itu dengan titik berat seni kreatif menuju ekonomi kreatif, sebagai
upaya menyonsong pergantian nama instansi ini menjadi Dinas Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif (Dinas Parekraf) tahun depan.
Sepi
Penonton
Kendati begitu,
harapan agar respons dan partisipasi masyarakat tinggi terhadap iven ini, toh
tidak menjadi kenyataan. Dari informasi yang dilaporkan media, keterlibatan
masyarakat sangat minim dan nyaris tak terlihat saat pembukaan Pekan Budaya di
halaman Kantor Gubernur Sumatera Barat. Demikian juga malam harinya saat
pertunjukan di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat.
Pekan Budaya Sumatera
Barat merupakan peristiwa budaya yang sudah digelar sejak tiga puluh satu tahun
lalu. Peristiwa budaya yang mengemban sejarah yang cukup panjang ini,
diperuntukkan bagi masyarakat, anak nagari, dan aleknya seniman dan budayawan.
Awal-awal Pekan
Budaya Sumbar dilangsungkan, ia muncul sebagai ikon yang berhasil
“mengumpulkan” para perantau Minang untuk pulang kampung dan bersilaturahim,
tentunya, dengan sanak saudara di kampung halaman. Momentum Pekan Budaya selalu
ditunggu.
Selepas reformasi,
ketika otonomi diterima penuh pemerintah kota dan kabupaten, pada tahun 2004,
Pekan Budaya Sumbar digelar kembali setelah sempat vakum sekitar 6 tahun,
bersamaan dengan itu, iven budaya ini kehilangan gairah dan “mantaginya”. Pekan
Budaya seperti bak seremonial pejabat-pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat.
Jika awal-awal Pekan
Budaya melibatkan seniman dan budayawan sepenuhnya—dan Pekan Budaya ini
merupakan gagasan seniman dan budayawan—kini tak demikian lagi. Pekan Budaya
sudah benar-benar menjadi proyek Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera
Barat. Tak ada lagi seniman dan budayawan dilibatkan dalam rancangan dan
pelaksanaan program ini.
Disingkirkannya
seniman dan budayawan, serta pekerja seni pada Pekan Budaya ini, saya kira
mencapai titik nadirnya pada 2014 ini, kendati sebelumnya juga sudah
berlangsung. Tapi puncak terparahnya tahun ini.
Maka, dengan
demikian, tak perlu heran, ketika Wakil Gubernur Muslim Kasim dan Sekdaprov Ali
Asmar kecewa karena sepinya partisipasi masyarakat dalam pembukaan Pekan
Budaya. Seremonial pembukaan hanya dihadiri PNS Kantor Gunernur dan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata. Jelas sangat memiriskan. Padahal anggaran Pekan
Budaya ini hampir mencapai semiliar.
Sepinya pengunjung
dan tak bergaungnya Pekan Budaya beberapa tahun terakhir, karena pola kerja dan
pengelolaan iven ini dieksekusi oleh PNS di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
itu, tanpa melibatkan orang-orang yang memahami mekanisme kerja menggelar sebuah iven. Karena PNS yang
mengelola, semua berujung pada proyek, bukan kualitas dan magnitude dari acara
tersebut.
Kondisi demikian
sudah berlangsung bertahun-tahun. Kualitas Pekan Budaya makin parah, tak jelas
arah dan tujuannya. Tampaknya, pihak Disbudpar Sumbar tak pernah melakukan
evaluasi kritis terhadap program ini.
Untuk itu pula, sudah
selayaknya program ini ditinjau kembali keberadaannya. DPRD Sumbar sangat
pantas, tentunya menghentikan program yang tak jelas manfaatnya bagi kebudayaan
dan kehidupan kesenian di Sumatera Barat.
Ekonomi Kreatif
Satu hal lain yang
menarik dari kegiatan Pekan Budaya ini adalah dibaginya empat bagian program
ini. Mencantolkan hari besar agama dan sejarah di Indonesia, jelas merupakan
alasan yang sulit diterima kendati pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumbar
mengatakan, pembagian ini untuk memicu tumbuh dan berkembangnya potensi ekonomi
kreatif di Sumatera Barat.
Pembagian Pekan
Budaya menjadi empat iven ini sudah jelas melenceng jauh dari tujuan awal Pekan
Budaya ini. Selain itu, tak terlihat ada indikator kuat untuk mengatakan bahwa
dengan dibaginya empat bagian, ekonomi kreatif dan kreasi seni di tengah
masyarakat bergerak naik.
Kondisi buruk lainnya
dari Pekan Budaya ini adalah kegiatan ini tidak didukung secara penuh 19 pemerintah
kabupaten dan kota yang ada di Sumatera Barat. Pekan Budaya tak mendapat
legitimasi yang kuat dari kota dan kabupaten. Pemerintah kabupaten dan kota tak
merasa bangga ikut dalam iven ini. Ini jelas sangat memalukan.
Menurut Cetak Biru Pengembangan Ekonomi
Kreatif Nasional 2009-2015, ekonomi kreatif merupakan sebuah era baru ekonomi
setelah ekonomi pertanian, ekonomi
industri, dan ekonomi informasi, yang
mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan
pengetahuan dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam
kegiatan ekonominya.
Ekonomi kreatif ini digerakkan oleh
industri kreatif yang didefinisikan sebagai industri yang berasal dari
pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya
kreasi dan daya cipta individu tersebut. Berbeda dengan sektor kepariwisataan,
ekonomi kreatif merupakan sektor baru yang diangkat oleh pemerintah untuk
dikelola hingga tingkat Kementerian.
Mengacu pada Inpres No. 6 Tahun 2009
tentang Ekonomi Kreatif, maka ekonomi kreatif Indonesia dikelompokkan menjadi:
(1) Arsitektur; (2) Desain; (3) Fesyen (Mode); (4) Film, Video, dan Fotografi;
(5) Kerajinan; (6) Musik; (7) Pasar Seni dan Barang Antik; (8) Penerbitan dan
Percetakan; (9) Periklanan; (10) Permainan Interaktif; (11) Penelitian dan
Pengembangan; (12) Seni Pertunjukan; (13) Teknologi Informasi dan Piranti
Lunak; dan (14) Televisi dan Radio. Sektor ke-15, kuliner, merupakan sektor
tambahan yang akan dikembangkan oleh Kemenparekraf mempertimbangkan kekayaan kreativitas
dan kearifan lokal di dalamnya, serta kaitannya yang erat dengan
kepariwisataan.
Acuan yang dirilis
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu, jelas memberikan
kategori-kategori yang bisa dikembangkan instansi terkait. Berkaca pada Pekan
Budaya yang tahap duanya akan digelar pada saat Lebaran nanti, dan pihak
Disbudpar mengaitkannya pula dengan pengembangan ekonomi kreatif, pertanyaan
paling utama adalah kelompok mana yang jadi prioritas untuk dikembangkan dalam
Pekan Budaya ini?
Terus terang saya
meragukan sekali Disbudpar punya blueprint
yang komprehensif tentang pengembangan ekonomi kreatif itu. Keraguan saya itu,
berangkat dari format dan konten dari Pekan Budaya yang dilangsungkan ini, yang
tak ada sama sekali memperlihatkan keseriusan mengelolanya.
Pemahaman yang
dangkal tentang ekonomi kreatif di kalangan pegawai Disbudpar ini, saya kira
menjadi pemicu utama mengapa Pekan Budaya jadi alek budaya selevel kegiatan
inugrasi mahasiswa di kampus-kampus. Malah mungkin lebih kreatif iven yang
dibuat mahasiswa ketimbang Pekan Budaya yang telah masuk tahap menjenuhkan, dan
menyebalkan.
Selain masalah Pekan
Budaya Sumbar yang pelaksanaannya seperti bagarah-garah
ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga mendapat sorotan tajam dari seniman
dan budayawan Sumbar terkait pemotongan dana biaya produksi Komunitas Seni Nan
Tumpah yang dilakukan dua orang pegawainya. Sebelumnya, instansi ini juga
dikritik cukup keras terkait dengan keberangkatan tim kesenian ke Maroko.
Maka, jika Disbudpar enggan
membuka diri dan mau tak sharing
dengan seniman, budayawan, dan pelaku seni di Sumatera Barat, nasib Pekan
Budaya tak perlu lagi diperpanjang. Sudahkan saja sampai sini saja. DPRD
Sumbar, saya harap hapus saja nomenklatur Pekan Budaya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar