OLEH
Yusriwal
Peneliti Fakultas Sastra Unand
Selama ini, kita cenderung menganggap
segala sesuatu yang berhubungan dengan seks adalah erotisme. Anggapan seperti
itu merupakan suatu kesalahan, sekaligus menimbulkan suatu pertanyaan: apa
bedanya dengan pornografi?
Secara sederhana erotisme memang
berbeda dari pornografi. Erotisme adalah keinginan seksual yang mempengaruhi
tokoh-tokoh dalam karya sastra, sedangkan pornografi adalah keadaan seksual
yang dapat mempengaruhi pembaca atau audiens. Erotisme berpengaruh ke dalam dan
pornografi berpengaruh ke luar. Akan tetapi, persoalannya tidak sesederhana
itu.
Berdasarkan kenyataan bahwa erotisme
sabagai suatu bentuk acriture,
digunakan dalam hampir setiap bentuk komunikasi yang berpretensi estetik maupun
utiliter, belum sepenuhnya dipahami.
Sejauh ini, erotisme hanya dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
seksualitas dalam bentuknya yang paling dangkal. Padahal, seringkali erotisme
sebagai perujudan hasrat, dalam penulisannya ditampilkan dalam bentuk yang sangat
tidak mudah untuk dikenali.
II
Ada tiga istilah yang hampir bersamaan
pengertiannya yaitu, erotik, erotika, dan erotisme. Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (terbitan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988): “erotik” berarti berkenaan dengan
sensasi seks rangsangan-rangsangan, “erotika” berarti karya sastra yang tema
atau sifatnya berkenaan dengan nafsu kelamin atau keberahian, dan “erotisme” berarti
keadaan bangkitnya nafsu berahi. Dari ketiga pengertian di atas, tidak satu pun
yang mengacu kepada pengertian pornografi, yang berarti bahan yang dirancang
dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.
Karya pornografi adalah karya yang oleh
pengarangnya sengaja diciptakan untuk membangkitkan nafsu seks pembaca. Hal itu
mungkin dimaksudkan untuk menarik minat pembaca. Dalam karya seperti itu,
sensasi seksnya boleh saja tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan tema
cerita. Ia hanya diperlakukan sebagai ‘penyedap rasa’, seperti bumbu masak dalam
suatu masakan.
Erotisme dan pornografi mempunyai
perbedaan yang mendasar. Kalau dikatakan bahwa seks dalam pornografi sebagai
‘penyedap rasa’, maka dalam karya erotisme seks diperlakukan sebagai ‘pembeda
rasa’. Seks dalam karya erotisme dapat dianalogikan dengan gula yang menimbulkan
rasa manis dalam sambal Jawa. Ia berbeda dengan sambal Padang yang pedas.
Perbedaan itu bukan hanya disebabkan karena bahannya lain—tanpa gula dan dengan
gula—tetapi juga berhubungan dengan sikap orang terhadapnya. Orang Padang akan
mempertanyakan “kesambalan” sambal Jawa. Bagi orang Padang, gula adalah bumbu
juadah, bukan bumbu lauk. Orang Jawa juga akan mempunyai pandangan lain
terhadap sambal Padang. Paling kurang, akan merasa ada yang kurang padanya.
Begitu juga dengan erotisme dalam
sastra, pengungkapannya akan dipengaruhi pula oleh latar belakang kebudayaan
yang mendukung sastra tersebut. Erotisme dalam karya sastra berlatar kebudayaan
Minangkabau akan sangat berbeda dengan erotisme dalam sastra yang berlatar
kebudayaan Bugis atau Jawa, umpamanya.
Ketiga kebudayaan tersebut mempunyai
perbedaan pandangan yang mendasar terhadap seks. Akan sama halnya jika
membandingkan sastra Barat dengan sastra Timur, dimana kebudayaan Barat telah
membuat manusianya hidup dalam pertentangan erotisme, sedangkan kebudayaan
Timur mengajarkan kepada masyarakatnya agar hidup dalam keharmonisan erotisme.
Akibatnya adalah banyaknya didapati tragedi dalam sastra Barat. Trilogi Oedipus dari Sopochles dan beberapa
tragedi dari William Shakespeare adalah contoh yang baik untuk melihat
bagaimana erotisme itu dipertentangkan dalam sastra Barat.
Pertentangan erotisme akan selalu
menimbulkan tragik pada tokohnya. Sopochles mempertentangkan erotisme dengan
kecenderungan psikologis manusia, sedangkan William Shakespeare mempertentangkan
erotisme dengan erotika yang terbalut kekuasaan. Sementara dalam sastra
Indonesia, pertentangan erotisme terlihat lebih tajam, yaitu perbenturan
erotisme dengan nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan dan agama.
Pada kebudayaan yang menganut keterbukaan
terhadap seks, erotisme akan disampaikan secara terbuka pula dalam sastranya,
dan sebaliknya.
Sehubungan dengan pengungkapan seks
secara terbuka dalam sastra tersebut, Emha Ainun Najib (dalam wawancara Matra, Februari 1992) menyebutnya dengan
erotisme biologis. Sedangkan pengungkapan seks yang diperhalus—mungkin dengan
menggunakan simbol dan metafora—disebutnya dengan erotisme metabiologis.
Kedua istilah di atas muncul disebabkan
Emha Ainun Najib melihat seks dalam sastra tersebut dari cara pengungkapannya.
Pada sisi lain, yaitu dari segi bentuknya, ada yang sederhana dan tentu saja ia
juga hadir dalam bentuknya yang tidak sederhana.
Dalam bentuknya yang sederhana,
erotisme dapat didefinisikan sebagai bangkitnya rasa cinta kasih antara dua
individu yang berlawanan jenis. Erotisme yang tidak sederhana, dengan demikian
dapat dikatakan sebagai “bangkitnya nafsu birahi untuk melakukan hubungan
kelamin”. Akan tetapi pengertian tersebut dapat berlaku sejauh hubungan kelamin
itu masih dapat ditelusuri sebagai hubungan kelamin yang merupakan kelanjutan
atau sebagai perujudan dari pernyataan rasa cita kasih. Hal itu diperlukan guna
membedakannya dengan pornografi.
Secara sederhana, adanya tokoh
laki-laki dan wanita dalam suatu karya sudah dapat menandai bahwa karya
tersebut menampilkan erotisme. Sastra yang bernuansa erotisme dapat saja tidak
menampilkan adegan seksual.
Kembali kepada pengertian erotisme
dalam bentuknya yang sederhana tadi, maka setiap karya sastra akan menampilkan
erotisme. Ia akan menjadi unsur penggerak dalam sastra. Tidak jarang konflik
timbul karena adanya masalah erotisme. Persoalan muncul disebabkan seorang
laki-laki menginginkan seorang wanita, tetapi ditentang oleh keluarga wanita
atau dapat juga disebabkan wanita tersebut telah bertunangan.
Pada novel-novel awal Indonesia yang berlatar
Minangkabau, konflik timbul akibat campur tangan mamak dan pihak ketiga terhadap erotisme. Di sini erotisme
berbenturan dengan kekuatan adat yang “diamanahkan” kepada mamak, sehingga menimbulkan tragik pada tokoh-tokohnya. Tema-tema
ini sangat menonjol pada novel-novel Indonesia berlatar Minangkabau tahun
20-an. Hal itu manandakan bahwa karya lahir atau digerakkan oleh unsur
erotisme.*
Sumber: Harian Pelita, Minggu, 6 November
1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar