OLEH Deddy Arsya
Sutan Sjahrir |
Sutan Sjahrir menulis surat dari Bandar
Neira. Dari tanah pembuangan. Tahun 1934. Suatu masa ketika pemerintah kolonial
Belanda dengan keras mematikan setiap gerakan perlawanan kaum bumiputra, yang
bersama itu beribu-ribu orang dipenjarakan dan diasingkan ke pulau-pulau yang
jauh. Surat dari seorang terpasung kepada seorang lain yang bebas. Surat untuk
istrinya yang jauh, nun di Belanda.
Sekali, dalam sebuah suratnya, yang terhimpun
dalam Renungan dan Perjuangan yang
diterbitkan kemudian tahun 1990, Sjahrir menulis tentang negeri Belanda itu
sendiri. Negeri di mana dia pernah tinggal dan belajar lama. Tidak banyak yang
dicatatnya memang, tetapi penting bagi kita sekarang. Dia melakukan penilaian,
melakukan apa yang dilakukan ilmuwan Belanda terhadap negeri jajahan, Barat
terhadap Timur. Tetapi Sjahrir melakukan yang sebaliknya, dia mengidentifikasi
watak dan mentalitas, bukan bangsanya sendiri, tetapi bangsa yang menjajah
bangsanya. Si Timur yang menilai Barat.
Apa kata Sjahrir tentang watak bangsa
Belanda?
Negeri Belanda adalah negeri yang begitu
banyak pagar. Antara rumah yang satu dengan rumah yang lain dipagar tinggi.
Nyaris sulit untuk menemukan, daerah lapang, bahkan seluas lapangan sepakbola.
Di negeri Belanda itu, “terdapat lebih banyak
batas-batas dari pada tanah yang lapang”, tulis Sjahrir.
Negeri Belanda yang penuh pagar-pagar,
parit-parit dan batas-batas itu, tulis Sjahrir kemudian, memberikan suatu
gambaran yang tepat sekali dari jiwa orang Belanda. Etikanya berasal dari
Calvinisme, tapi diwarnai dengan ciri-ciri yang khas Belanda: yaitu “perasaan
untuk ketenangan, ketertiban, keseimbangan, suatu kehidupan mental yang lebih
kurang statis”. Orang Belanda menginginkan kestabilan, “konservatisme dalam
pikiran”, begitu catat Sjahrir.
Apa saja dilakukan agar konservatisme itu
tetap bertahan. Dengan picik, watak Belanda itu, akan merasa sangat terganggu
jika pagar-pagar yang bernama ketertiban dan ketenangan itu dilangkahi. Itulah
sebabnya, “verstoren
der openbore rust en orde” adalah bahasa yang populer yang dilesatkan penguasa
kolonial masa itu itu kepada kaum pergerakan, kepada mereka yang dianggap ‘mengganggu
ketertiban dan kestabilan umum’—mereka yang mencoba melompati pagar ketenangan.
Jiwa bangsa Belanda, kata Sjahrir pula kemudian,
dengan demikian adalah jiwa bangsa yang pada dadanya mekar curiga yang
berlebihan.
Sementara Sjahrir memang datang dari
negeri yang berbeda. Negeri yang nyaris tidak mengenal pagar, parit-parit,
batas zahir yang tegas itu. Dia menghabiskan masa kecil di Padangpanjang,
tetapi kemudian remaja di Medan. Di kedua tempat itu, watak kultualnya berbeda,
halaman rumah yang satu bisa bersambungan dengan halaman rumah yang lain. Orang
memang pernah membangun parit, batu-batu yang disusun tinggi bagai benteng dengan
rumpun-rumpun aur ditubirnya, untuk melindungi kampung. Tetapi itu terjadi pada
suatu kurun dalam perang.
Jika pun ada ‘batas’, dapatlah dikatakan
bahwa batas itu tidak lebih dari ‘garis putus-putus’. Ruyunglah yang lebih
sering dijadikan pagar. Kadang-kadang pinang yang berbaris-baris. Ruyung maupun
pinang, memiliki hayat. Dia makhluk yang hidup. Dan sifatnya yang berhayat
adalah tumbuh, yang juga berarti tidak tetap.
Bangsa yang pernah menjadi tempat
asal-kultural Sjahrir itu toh dalam batas-batas spasialnya yang lebih luas
adalah juga dibangun dari sesuatu yang tidak tetap: metafora. “Durian ditakuak
rajo, sirangkak nan badangkang, buayo putiah daguak, taratak aie itam... dst.” Tidakkah
batas sebuah wilayah politik adalah tanda yang harus jelas. Tidak ambigu atau
punya makna berbagai?Tapi batas-batas yang tegas itu toh hanya berlaku dalam
konsepsi negara modern.
Sjahrir, kembali kepdanya, telah mencoba
mengidentifikasi watak sebuah bangsa dari representasi tata ruang pemukiman. Jika
metode identifikasi etnisitas ala Sjahrir itu kita pakai, boleh kita bilang,
Sjahrir datang dari negeri yang memiliki semangat kosmopolitan. Dari bangsa yang terbuka untuk
anasir lain. Bangsa yang dengan ramahnya menerima yang lain dengan sikap
terbuka.
Tetapi pembandingan itu juga tidak
sepenuhnya tepat. Pun reduksi Sjahrir atas watak atau jiwa bangsa Belanda. Bukankah
setiap usaha reduksi, sebagaimana kritik kaum postkolonial terhadap para
orientalis, bersifat tidak total, selalu ada yang diabaikan. Bagaimana mungkin
watak sebuah bangsa hanya bisa diringkas dengan beberapa kata? Juga jika kontekstualitas
identifikasi Sjahrir kita nilai, tidakkah Sjahrir melakukan itu dalam keadaan
terbuang, dibuang oleh pemerintahan kolonial Belanda sendiri yang coba
diidentifikasinya? Tidakkah dalam keadaan serupa itu, subjektifitas bisa
mencuat sendiri tanpa diminta?
Mungkin identifikasi Sjahrir tidak
sepenuhnya tepat. Tetapi adakalanya metode identifikasi watak bangsa serupa itu
perlu juga kita tilik ulang. Untuk menilai watak bangsa kita sekarang, misalnya.
Bukankah tata ruang pemukiman masyarakat kita toh juga berubah. Kini
pagar-pagar tinggi menemboki sekeliling rumah. Pagar-pagar beton,
dinding-dinding yang semaput. Sebagaimana dulu Sjahrir pernah mengeluh, nyaris
sulit mencari lapangan luas yang terbuka bahkan seluas lapangan bola di
Belanda. Kini, di negeri kita, ruang publik itu, medan nan bapaneh dulu namanya, perlahan-lahan juga lenyap dari
tata ruang pemukiman kita, raib entah ke mana.
Tata ruang pemukiman kita yang berubah
itu, apakah ini kemudian juga menandai sebuah watak bangsa yang juga berubah,
dari bangsa yang kosmopolitan menuju sebuah bangsa yang ingin tetap
‘konservatif’, yang menganggap ketenangan, kestabilan, kestatisan, adalah harga
mati yang mesti dipertahankan? Dari sebuah bangsa yang ramah terhadap anasir
lain menjadi bangsa yang bermental pencuriga terhadap yang berbeda?
Entahlah....
Padang, 12 September 2012
(Deddy Arsya, magister sejarah Unand)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar