Senin, 09 Juni 2014

Pemekaran Kabupaten Pesisir Selatan, Kapan?

OLEH Raudal Tanjung Banua
Peminat Masalah Politik Lokal
Kantor Bupati Pesisir Selatan
Membicarakan Kabupaten Pesisir Selatan, kita akan bersua kenyataan yang cukup unik dan spesifik, tapi sekaligus umum dan biasa. Dua yang pertama, setidaknya bisa ditelisik dari kondisi geografis; terletak di pantai barat Sumatera, daerah ini membujur “ramping”, jika bukan “kurus”, dari utara ke selatan sepanjang lebih kurang 240 km; kadang saya bayangkan seperti negeri Chili, tanah kelahiran penyair Pablo Neruda di Latin sana.

Diapit Samudera Indonesia dan Bukit Barisan, membuat Pesisir Selatan (Pessel) memiliki potensi laut dan pegunungan sekaligus; potensi bahari dan agraris berada segaris. Meski daratannya sempit, rata-rata hanya selebar 2-15 km, dan paling luas di Kambang (Lengayang) dan Pancung Soal. Akibatnya, banyak nagari dan kampung terletak di celah gunung atau tersuruk di pantai, sebagian dihubungkan jalan tak memadai, bahkan ada yang masih terisolir. Ironisnya, kawasan utama daerah ini juga hanya dihubungkan oleh seruas jalan, Jalan Lintas Barat Sumatera yang kondisinya rusak. Tak heran, sejak lama muncul parodi atau joke “jalan masuk dan keluar sama saja”, “jalan satu poros” atau “jika jembatan putus dan longsor, akses putus total.”
Keadaan dua yang terakhir, yakni umum dan biasa, merujuk pada kondisi alam di antara bukit atau tepi laut sudah cukup umum di Sumatera Barat yang tipografi wilayahnya berada di jalur Bukit Barisan dan di tepian Samudera Indonesia. Mungkin karena sudah biasa pula dengan kondisi tersebut, maka berbagai potensi yang ada kadang juga dilihat dan digarap dengan cara yang biasa-biasa saja.
Tuntutan Pemekaran
Wilayah Pessel  paling luas di Sumbar, mencapai 5.749,89 km² dan berpenduduk 510.000 jiwa. Pada masa Propinsi Sumatera Tengah, Kerinci bahkan merupakan wilayahnya dengan nama Pesisir Selatan-Kerinci (PSK). Kerinci lalu bergabung ke Propinsi Jambi (1957). Boleh dikata, pemekaran wilayah yang menjadi trandmark otonomi sekarang, sebenarnya sudah dimulai oleh Pessel jauh-jauh hari.
Namun, 60 tahun kemudian, wacana pemekaran kembali mencuat. Pemicunya bukan hanya faktor eksternal, apalagi sekedar latah ikut trend administrasi negara atau sentimen politik lokal. Memang, faktor ini tak dapat diabaikan. Jika kita lihat daerah tingkat dua di Sumbar, masing-masing sudah “beranak-pinak”. Sebutlah Padang Pariaman, wilayah yang sama berada di “pasisie” telah “menghasilkan” Kota Pariaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Begitu pula Solok, tetangga “belakang punggung” juga punya Solok Selatan, termasuk Kota Solok yang sudah ada lebih awal. Kabupaten Sijunjung begitu pula, selain sejak awal punya Sawahlunto, kini memunculkan Dharmasaraya sebagai kabupaten baru yang terus berkembang. Bahkan Pasaman, yang notabene dulu dianggap “senasib sepenanggungan” dengan Pessel (dalam banyak hal sama berada di posisi “nomor buncit”), kini punya Pasaman Barat dengan Simpang Empat sebagai kota masa depan.
Jadi boleh dikata, dalam era otonomi kini, tinggal Pessel yang belum tersentuh “proyek” pemekaran. Semua wilayah di Sumbar sudah, termasuk tetangga terdekat di lain propinsi: Muko-muko terpisah dari Bengkulu Utara. Sedangkan Sungai Penuh, ibukota Kerinci, jadi kota sendiri. Baik Muko-muko (Bengkulu) atau Sungaipenuh (Jambi), kini sama-sama mengoperasikan bandar udaranya, sebagai simbol kemajuan di bidang ekonomi/investasi. Pessel, jangankan bandara, jalan raya saja masih memprihatinkan. Bahkan, pelabuhan/dermaga yang representatif bagi pendaratan kapal masih terbatas; andalannya hanyalah dermaga Panasahan dekat Painan. Sementara Muaro Sakai di selatan, yang dalam sejarah Nusantara adalah pelabuhan penting, kini diam bergeming. (Untunglah terdengar kabar, konon pembangunan Pelabuhan Muaro Sakai akan dimulai). Sedangkan kawasan tengah, Bandar Sepuluh, yang dulu betul-betul dihidupi sepuluh bandar, kini tanpa dermaga. Daerah laut tanpa dermaga, bukankah memprihatinkan?
Hemat saya, hal-hal yang memprihatinkan secara intern ini justru lebih memicu munculnya tuntutan pemekaran, tinimbang faktor luar (eksternal). Jika kita tengok ke dalam, memang terasa ada ketimpangan pembangunan antara Pessel bagian utara, tengah dan selatan. Saya tak bermaksud mempolarisasi wilayah tempatan ini menjadi sentimen lokal yang sempit, namun jelas pula saya tak ingin menggeneralisasi kenyataan bahwa antar wilayah tersebut sudah “senasib-sepenanggungan.”
Kenyataan menunjukkan, jarak-rentang Painan sebagai ibukota kabupaten dengan kecamatan-kecamatan di selatan tidak hanya bermasalah dalam urusan birokrasi. Masyarakat di Kecamatan Lunang Silaut, Basa IV Balai, Pancung Soal atau Lengayang, misalnya, jika ada urusan ke dinas Pertanian atau ke kantor bupati, mesti melewati jarak di atas 100 km dan di atas 4 jam perjalanan untuk sampai ke Painan. Ditambah medan jalan yang berat—rusak, penuh tanjakan dan berkelok—lengkaplah derita warga. Itu pun jika urusan sehari beres, jika tidak? Sementara tak ada kantor pembantu bupati atau dinas terkait di wilayah selatan yang jauh.
Urusan birokrasi masih untung. Paling repot jika ada warga sakit parah, rujukkannya tak bisa tidak ke Painan, atau Padang, karena rumah sakit nun di selatan tak memadai, atau mungkin tak ada? Orang “selatan” biasa mendengar ambulance meraung-raung menuju utara dan paham pasti ada orang sakit yang butuh penanganan segera. Kalau contoh ini belum cukup, maka lihat pula dunia pendidikan. Anak-anak di “selatan” biasanya memilih kost di Painan dan sekitarnya (sebagian lain ke Padang) hanya untuk melanjutkan SMA/SMK, salah satu alasannya sekolah di “selatan” kurang fasilitas.
Tak perlu heran pula, banyak warga (utamanya anak muda) di “utara” (Painan, IV Jurai, Bayang, Tarusan) tidak mengenal atau mungkin tak pernah menginjak wilayah “selatan”, baik karena kurangnya pengenalan maupun orientasi warga yang cenderung ke “utara”. Yang menjadi titik-tuju orientasi adalah kota Painan dan Padang. Bukan kebetulan jika rujukan arah di Pessel sangat hirarkis dan dikotomis: ateh (atas) untuk menunjuk Painan atau Padang yang menggairahkan, dan baruah (bawah) untuk menunjuk selatan yang “kering”. 
Kota-kota kecamatan mulai dari Batangkapas, Surantih, Kambang, Balai Selasa, Air Haji dan Tapan, tak mampu bersaing dalam merebut orientasi-psikologis warga. Kebesaran sejarah Bandar Sepuluh tak cukup mampu menarik perhatian, atau jika itu terlalu klasik, ada sejarah kontemporer disandang Balai Selasa sebagai bekas ibukota PSK pada tahun 50-an, juga terasa tak aktual. Jika itu pun dianggap kurang relevan, maka Tapan seharusnya bisa mengimbangi Painan, sebab kota ini terletak di perbatasan segitiga emas, Sumbar-Jambi-Bengkulu, dan kini tumbuh sebagai kota kelapa sawit, namun nyatanya Tapan masihlah terlihat kecil dan terlupakan.
Situasi di atas jadi gambaran belum meratanya pembangunan, baik infrastruktur maupun pelayanan. Maka menguatlah wacana, jika bukan tuntutan, untuk menambah Pessel dengan dua kabupaten baru; Renah Indojati dan Bandar Sepuluh!
Prospek dan Tantangan
Meski tak mudah, dua daerah calon pemekaran ini bukanlah ahistoris; keduanya bertolak dari realitas, dengan segala potensi dan tantangannya. Secara historis, kita tahu, Renah Indojati merupakan bekas Kesultanan Indrapura yang berpengaruh bersama Banten, Aceh dan Minangkabau sendiri jauh sejak abad ke-15. Wilayahnya membentang sampai ke Muko-muko dan Majunto, Bengkulu. Begitu pula Bandar Sepuluh, merupakan wilayah dengan sepuluh pelabuhan laut dan sistem pemerintahan yang unik, yakni konfederasi nagari. Boleh dikata, sebagian besar wilayah Pessel sekarang dibangun dari bekas Bandar Sepuluh mencakup Palangai, Sungai Tunu, Punggasan, Air Haji, Lakitan, Amping Parak, Surantih (Taratak), Batangkapas dan Bungo Pasang. Wilayah itu sekarang menjadi nagari dan kecamatan di kawasan tengah Pessel.
Dibanding Bandar Sepuluh, Renah Indojati lebih bersemangat. Posisinya paling ujung, bahasa dan sejarahnya yang relatif “berbeda”, investasi perkebunan yang lagi hangat mendongkrak perekonomian, serta kesiapan ibukota dan administratif, tampaknya memperkuat tekad itu. Terlepas adanya moratorium penghentian sementara “proyek” pemekaran, tekad tersebut tak bakal padam. Mereka memiliki tokoh dan kepemimpinan lokal yang cukup kuat dan kharismatik. Ini modal utama yang sangat menjanjikan.
Bandar Sepuluh tampaknya memilih “alon-alon kelakon”, tapi bukannya tanpa minat. Dalam percakapan dengan tokoh Bandar Sepuluh, saya mendapat kesan adanya solidaritas untuk memberi laluan kepada Renah Indojati melaju lebih dulu. Ini termasuk langkah taktis: mempelajari proses yang ada dan bertindak di waktu yang tepat. Namun tak tertutup kemungkinan Bandar Sepuluh akan maju bersama Renah Indojati.
Di samping itu, Bandar Sepuluh mesti berhitung dengan sebuah prasyarat vital, yakni penyelesaian jalan Kambang-Muarolabuh (Kambura). Terbengkalainya jalan ini karena alasan melewati TNKS, membuat Bandar Sepuluh mesti berhitung lebih cermat. Anehnya, jalan tembus Bayang-Alahanpanjang di utara yang juga melewati TNKS sukses diselesaikan, termasuk jalan Tapan-Kerinci, bukankah juga dibangun membelah TNKS? Oleh karena itu akan lebih afdol jika perjuangan mendobrak “diskriminasi” jalan tembus dilakukan selagi masih bersama kabupaten induk; perjuangan sendiri nanti pasti jauh lebih sulit. Sebab jika jalan ini tetap tak dilanjutkan, Bandar Sepuluh menurut saya akan kehilangan prasyaratnya yang utama. Ia tetap akan bergantung kepada dua wilayah yang mengapitnya, dan salah-salah malah membuatnya terisolasi.

Apa pun, pemekaran wilayah pertama-tama adalah keniscayaan politik; ia akan terlebih dahulu membesarkan pemimpin dan pejabat-pejabatnya, dan jika untung, rakyat akan mendapat banyak-sedikit efeknya. Berair sawah di atas, berair sawah di bawah, itu jika pemekaran wilayah tak melenceng dari cita-cita mulianya; menyejahterakan rakyat. Jika melenceng? Siap-siaplah, rabab saja yang akan menyampaikan kaba berikutnya! Semoga bukan kabar buruk.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...