OLEH Raudal Tanjung Banua
Peminat Masalah Politik Lokal
Kantor Bupati Pesisir Selatan |
Membicarakan Kabupaten Pesisir Selatan, kita akan bersua
kenyataan yang cukup unik dan spesifik, tapi sekaligus umum dan biasa. Dua yang
pertama, setidaknya bisa ditelisik dari kondisi geografis; terletak di pantai
barat Sumatera, daerah ini membujur “ramping”, jika bukan “kurus”, dari utara
ke selatan sepanjang lebih kurang 240 km; kadang saya bayangkan seperti negeri
Chili, tanah kelahiran penyair Pablo Neruda di Latin sana.
Diapit Samudera Indonesia dan Bukit Barisan, membuat Pesisir
Selatan (Pessel) memiliki potensi laut dan pegunungan sekaligus; potensi bahari
dan agraris berada segaris. Meski daratannya sempit, rata-rata hanya selebar
2-15 km, dan paling luas di Kambang (Lengayang) dan Pancung Soal. Akibatnya,
banyak nagari dan kampung terletak di celah gunung atau tersuruk di pantai,
sebagian dihubungkan jalan tak memadai, bahkan ada yang masih terisolir. Ironisnya,
kawasan utama daerah ini juga hanya dihubungkan oleh seruas jalan, Jalan Lintas
Barat Sumatera yang kondisinya rusak. Tak heran, sejak lama muncul parodi atau joke
“jalan masuk dan keluar sama saja”, “jalan satu poros” atau “jika jembatan
putus dan longsor, akses putus total.”
Keadaan dua yang terakhir, yakni umum dan biasa, merujuk
pada kondisi alam di antara bukit atau tepi laut sudah cukup umum di Sumatera
Barat yang tipografi wilayahnya berada di jalur Bukit Barisan dan di tepian
Samudera Indonesia. Mungkin karena sudah biasa pula dengan kondisi tersebut,
maka berbagai potensi yang ada kadang juga dilihat dan digarap dengan cara yang
biasa-biasa saja.
Tuntutan Pemekaran
Wilayah Pessel paling
luas di Sumbar, mencapai 5.749,89 km² dan berpenduduk 510.000 jiwa. Pada masa
Propinsi Sumatera Tengah, Kerinci bahkan merupakan wilayahnya dengan nama
Pesisir Selatan-Kerinci (PSK). Kerinci lalu bergabung ke Propinsi Jambi (1957).
Boleh dikata, pemekaran wilayah yang menjadi trandmark otonomi sekarang,
sebenarnya sudah dimulai oleh Pessel jauh-jauh hari.
Namun, 60 tahun kemudian, wacana pemekaran kembali mencuat.
Pemicunya bukan hanya faktor eksternal, apalagi sekedar latah ikut trend
administrasi negara atau sentimen politik lokal. Memang, faktor ini tak dapat
diabaikan. Jika kita lihat daerah tingkat dua di Sumbar, masing-masing sudah
“beranak-pinak”. Sebutlah Padang Pariaman, wilayah yang sama berada di “pasisie”
telah “menghasilkan” Kota Pariaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Begitu
pula Solok, tetangga “belakang punggung” juga punya Solok Selatan, termasuk
Kota Solok yang sudah ada lebih awal. Kabupaten Sijunjung begitu pula, selain
sejak awal punya Sawahlunto, kini memunculkan Dharmasaraya sebagai kabupaten
baru yang terus berkembang. Bahkan Pasaman, yang notabene dulu dianggap
“senasib sepenanggungan” dengan Pessel (dalam banyak hal sama berada di posisi
“nomor buncit”), kini punya Pasaman Barat dengan Simpang Empat sebagai kota
masa depan.
Jadi boleh dikata, dalam era otonomi kini, tinggal Pessel
yang belum tersentuh “proyek” pemekaran. Semua wilayah di Sumbar sudah,
termasuk tetangga terdekat di lain propinsi: Muko-muko terpisah dari Bengkulu
Utara. Sedangkan Sungai Penuh, ibukota Kerinci, jadi kota sendiri. Baik Muko-muko
(Bengkulu) atau Sungaipenuh (Jambi), kini sama-sama mengoperasikan bandar
udaranya, sebagai simbol kemajuan di bidang ekonomi/investasi. Pessel,
jangankan bandara, jalan raya saja masih memprihatinkan. Bahkan,
pelabuhan/dermaga yang representatif bagi pendaratan kapal masih terbatas;
andalannya hanyalah dermaga Panasahan dekat Painan. Sementara Muaro Sakai di
selatan, yang dalam sejarah Nusantara adalah pelabuhan penting, kini diam
bergeming. (Untunglah terdengar kabar, konon pembangunan Pelabuhan Muaro Sakai
akan dimulai). Sedangkan kawasan tengah, Bandar Sepuluh, yang dulu betul-betul
dihidupi sepuluh bandar, kini tanpa dermaga. Daerah laut tanpa dermaga,
bukankah memprihatinkan?
Hemat saya, hal-hal yang memprihatinkan secara intern ini
justru lebih memicu munculnya tuntutan pemekaran, tinimbang faktor luar
(eksternal). Jika kita tengok ke dalam, memang terasa ada ketimpangan
pembangunan antara Pessel bagian utara, tengah dan selatan. Saya tak bermaksud
mempolarisasi wilayah tempatan ini menjadi sentimen lokal yang sempit, namun
jelas pula saya tak ingin menggeneralisasi kenyataan bahwa antar wilayah
tersebut sudah “senasib-sepenanggungan.”
Kenyataan menunjukkan, jarak-rentang Painan sebagai ibukota
kabupaten dengan kecamatan-kecamatan di selatan tidak hanya bermasalah dalam
urusan birokrasi. Masyarakat di Kecamatan Lunang Silaut, Basa IV Balai, Pancung
Soal atau Lengayang, misalnya, jika ada urusan ke dinas Pertanian atau ke
kantor bupati, mesti melewati jarak di atas 100 km dan di atas 4 jam perjalanan
untuk sampai ke Painan. Ditambah medan jalan yang berat—rusak, penuh tanjakan
dan berkelok—lengkaplah derita warga. Itu pun jika urusan sehari beres, jika
tidak? Sementara tak ada kantor pembantu bupati atau dinas terkait di wilayah
selatan yang jauh.
Urusan birokrasi masih untung. Paling repot jika ada warga
sakit parah, rujukkannya tak bisa tidak ke Painan, atau Padang, karena rumah
sakit nun di selatan tak memadai, atau mungkin tak ada? Orang “selatan” biasa
mendengar ambulance meraung-raung menuju utara dan paham pasti ada orang sakit
yang butuh penanganan segera. Kalau contoh ini belum cukup, maka lihat pula
dunia pendidikan. Anak-anak di “selatan” biasanya memilih kost di Painan dan
sekitarnya (sebagian lain ke Padang) hanya untuk melanjutkan SMA/SMK, salah
satu alasannya sekolah di “selatan” kurang fasilitas.
Tak perlu heran pula, banyak warga (utamanya anak muda) di
“utara” (Painan, IV Jurai, Bayang, Tarusan) tidak mengenal atau mungkin tak
pernah menginjak wilayah “selatan”, baik karena kurangnya pengenalan maupun
orientasi warga yang cenderung ke “utara”. Yang menjadi titik-tuju orientasi
adalah kota Painan dan Padang. Bukan kebetulan jika rujukan arah di Pessel
sangat hirarkis dan dikotomis: ateh (atas) untuk menunjuk Painan atau
Padang yang menggairahkan, dan baruah (bawah) untuk menunjuk selatan
yang “kering”.
Kota-kota kecamatan mulai dari Batangkapas, Surantih,
Kambang, Balai Selasa, Air Haji dan Tapan, tak mampu bersaing dalam merebut
orientasi-psikologis warga. Kebesaran sejarah Bandar Sepuluh tak cukup mampu
menarik perhatian, atau jika itu terlalu klasik, ada sejarah kontemporer disandang
Balai Selasa sebagai bekas ibukota PSK pada tahun 50-an, juga terasa tak aktual.
Jika itu pun dianggap kurang relevan, maka Tapan seharusnya bisa mengimbangi
Painan, sebab kota ini terletak di perbatasan segitiga emas,
Sumbar-Jambi-Bengkulu, dan kini tumbuh sebagai kota kelapa sawit, namun
nyatanya Tapan masihlah terlihat kecil dan terlupakan.
Situasi di atas jadi gambaran belum meratanya pembangunan,
baik infrastruktur maupun pelayanan. Maka menguatlah wacana, jika bukan
tuntutan, untuk menambah Pessel dengan dua kabupaten baru; Renah Indojati dan
Bandar Sepuluh!
Prospek dan Tantangan
Meski tak mudah, dua daerah calon pemekaran ini bukanlah
ahistoris; keduanya bertolak dari realitas, dengan segala potensi dan
tantangannya. Secara historis, kita tahu, Renah Indojati merupakan bekas Kesultanan
Indrapura yang berpengaruh bersama Banten, Aceh dan Minangkabau sendiri jauh sejak
abad ke-15. Wilayahnya membentang sampai ke Muko-muko dan Majunto, Bengkulu.
Begitu pula Bandar Sepuluh, merupakan wilayah dengan sepuluh pelabuhan laut dan
sistem pemerintahan yang unik, yakni konfederasi nagari. Boleh dikata, sebagian
besar wilayah Pessel sekarang dibangun dari bekas Bandar Sepuluh mencakup Palangai,
Sungai Tunu, Punggasan, Air Haji, Lakitan, Amping Parak, Surantih (Taratak),
Batangkapas dan Bungo Pasang. Wilayah itu sekarang menjadi nagari dan kecamatan
di kawasan tengah Pessel.
Dibanding Bandar Sepuluh, Renah Indojati lebih bersemangat.
Posisinya paling ujung, bahasa dan sejarahnya yang relatif “berbeda”, investasi
perkebunan yang lagi hangat mendongkrak perekonomian, serta kesiapan ibukota
dan administratif, tampaknya memperkuat tekad itu. Terlepas adanya moratorium
penghentian sementara “proyek” pemekaran, tekad tersebut tak bakal padam.
Mereka memiliki tokoh dan kepemimpinan lokal yang cukup kuat dan kharismatik.
Ini modal utama yang sangat menjanjikan.
Bandar Sepuluh tampaknya memilih “alon-alon kelakon”, tapi
bukannya tanpa minat. Dalam percakapan dengan tokoh Bandar Sepuluh, saya
mendapat kesan adanya solidaritas untuk memberi laluan kepada Renah Indojati melaju
lebih dulu. Ini termasuk langkah taktis: mempelajari proses yang ada dan bertindak
di waktu yang tepat. Namun tak tertutup kemungkinan Bandar Sepuluh akan maju
bersama Renah Indojati.
Di samping itu, Bandar Sepuluh mesti berhitung dengan sebuah
prasyarat vital, yakni penyelesaian jalan Kambang-Muarolabuh (Kambura).
Terbengkalainya jalan ini karena alasan melewati TNKS, membuat Bandar Sepuluh
mesti berhitung lebih cermat. Anehnya, jalan tembus Bayang-Alahanpanjang di
utara yang juga melewati TNKS sukses diselesaikan, termasuk jalan
Tapan-Kerinci, bukankah juga dibangun membelah TNKS? Oleh karena itu akan lebih
afdol jika perjuangan mendobrak “diskriminasi” jalan tembus dilakukan selagi
masih bersama kabupaten induk; perjuangan sendiri nanti pasti jauh lebih sulit.
Sebab jika jalan ini tetap tak dilanjutkan, Bandar Sepuluh menurut saya akan
kehilangan prasyaratnya yang utama. Ia tetap akan bergantung kepada dua wilayah
yang mengapitnya, dan salah-salah malah membuatnya terisolasi.
Apa pun, pemekaran wilayah pertama-tama adalah keniscayaan
politik; ia akan terlebih dahulu membesarkan pemimpin dan pejabat-pejabatnya,
dan jika untung, rakyat akan mendapat banyak-sedikit efeknya. Berair sawah di
atas, berair sawah di bawah, itu jika pemekaran wilayah tak melenceng dari
cita-cita mulianya; menyejahterakan rakyat. Jika melenceng? Siap-siaplah, rabab
saja yang akan menyampaikan kaba berikutnya! Semoga bukan kabar buruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar