OLEH Devy Kurnia Alamsyah
Pemerhati Sejarah
Surat bernada kecaman itu dikirim dari Paris, Prancis,
tertanggal 24 Juli 1975 yang tergeletak di sebuah meja utama di Gedung Putih.
Pengirimnya adalah seorang janda kelahiran Tokyo yang bernama asli Naoko Nemoto
kemudian setelah menikah berganti nama menjadi Ratna Sari Dewi Soekarno.
Dalam
suratnya, ia menggugat pemerintah Amerika dan menuntut konfirmasi mengenai
keterlibatan Amerika (terutama CIA) dalam perang saudara di tahun 1958 dan
genosida di tahun 1965 di Indonesia yang kemudian menggulingkan suaminya dari
kursi kepresidenan dan meninggal dalam tahanan rumah lima tahun sebelumnya. Tak
hanya itu ia juga menuntut pembebasan ribuan tahanan politik, yang dipenjarakan
rejim Orde Baru, yang sebagian besarnya adalah pendukung Sukarno. Madame
Syuga yang meminta keterbukaan informasi mengenai kejahatan kemanusiaan
yang lima kali lipat lebih besar dari kejahatan perang di Vietnam ini mesti
menunggu surat balasan dari Presiden Ford—pemimpin Amerika yang berkuasa saat
itu.
‘Pemberontakan’ pada tahun 1958 yang terjadi di beberapa
daerah NKRI sebenarnya tak begitu populer di Amerika, tetapi jika melihat dari
besarnya operasi militer yang dilakukan Amerika semestinya layak untuk ditinjau
ulang. Sebagai contoh, invasi militer Amerika di Teluk Babi Kuba hanya
melibatkan 1.500 pelarian Kuba yang dilatih di daerah Guatemala dan ini
termasuk operasi kecil. Sementara di Indonesia setidaknya melibatkan sekitar
42.000 pasukan bersenjata yang dilatih secara khusus oleh CIA di beberapa
negara seperti Filipina, Okinawa, Taiwan dan Singapura. Mereka yang tak
menyenangi kebijakan Sukarno yang mulai mendekat ke kubu komunis kemudian
direkrut dan dipersenjatai.
Operasi ini dikelola langsung oleh Frank Wisner sebagai
seorang petinggi CIA yang menangani segala macam urusan klandestin dan ia
melakukan itu di kantor cabang CIA di Singapura yang berafiliasi langsung
kepada Komite 5412 yang dikepalai oleh Richard Nixon. Operasi rahasia ini
kemudian dikenal dengan nama Operation Haik. Operasi ini merupakan
operasi langsung dalam arti melibatkan petinggi-petinggi Amerika, mulai dari
Allan Dulles sebagai pimpinan CIA, saudaranya John Foster Dulles sebagai
Sekretaris Negara, Richard Nixon sebagai Wakil Presiden dan kemudian
bertanggung jawab penuh kepada Presiden Eisenhower. Keempat nama ini kemudian
dikenal dengan sebutan “Special Group 5412/12”. Ini berarti tak ada yang
terjadi di Indonesia yang tak dilaporkan atau sampai ke meja mereka. Sayangnya,
seperti Invasi Kuba, operasi ini juga mengalami kegagalan. Sukarno berhasil
mengalahkan para pemberontak.
Sukarno yang merasa dikhianati, luar dalam, tentu menjadi
geram mengingat beberapa tahun sebelumnya ia sempat bertemu muka dengan
Presiden Eisenhower di Amerika. Sukarno pun memiliki kekesalan mendalam ketika
bertemu dengan Eisenhower. Ketika memenuhi undangan, ia tak dijemput oleh
Eisenhower di bandara dan setelah itu ia harus menunggu Eisenhower berjam-jam.
Dengan marah, ia meminta protokol membatalkan pertemuan. Walaupun
kemudian Eisenhower menemuinya, Sukarno sudah benar-benar merasa dilecehkan
saat itu. Situasi ini berubah ketika Sukarno kembali ke Amerika atas undangan
Presiden Kennedy. Sukarno yang merasakan persahabatan berbeda bahkan mengundang
Kennedy datang ke Indonesia sebagai tamu resmi negara dan membuatkan guest
house khusus untuknya di Istana Bogor. Namun Kennedy tak pernah
menginjakkan kakinya di sana, ia tewas ditembak dalam sebuah jalinan konspirasi
berkenaan dengan kebijakan luar negeri yang ia tempuh, termasuk di dalamnya
hubungan antara kapitalis Rockefeller dan Freeport. Hingga kini kematian
Kennedy masih menyita tanda tanya.
Dari dalam, Sukarno kecewa terhadap beberapa daerah yang
melakukan separasi terhadap negara yang ia proklamasikan kemerdekaannya.
Kebijakannya Nasakom-nya tak begitu diterima oleh beberapa kalangan, terutama
militer dan agama. Belum lagi ketika ia mengetahui bahwa ada sekitar 100.000
pemberontak yang dikelola oleh CIA untuk menjatuhkannya, namun selalu dibantah
oleh Howard P. Jones selaku dutabesar Amerika untuk Indonesia. Bahkan Dulles
pun berusaha meyakinkan dunia bahwa CIA tak terlibat dalam hal ini. Sukarno tak
mudah untuk percaya.
Sejak awal ia sudah curiga mengenai asal usul senjata
berat yang sedemikian banyak, termasuk pesawat penembak B-26 dan kapal selam,
bisa dimiliki pemberontak dalam waktu singkat. Situasi ini berbalik ketika
Allan Lawrence Pope, pilot B-26 kebangsaan Amerika yang memuntahkan peluru
kaliber .50 miliknya, ini tertangkap tangan di perairan Nusantara. Sukarno
akhirnya memiliki kartu As-nya dalam membuktikan keterlibatan Amerika.
Eisenhower yang menginginkan pilotnya itu bebas akhirnya mesti bertekuk lutut
pada Sukarno. Akhir 1958 pesawat tempur B-26 itu kemudian kembali ke Amerika
namun tiga tahun kemudian kembali dipakai dalam invasi militer di Kuba melawan
Fidel Castro.
Jika Sukarno berhasil memadamkan pemberontakan di tahun
1958 maka di tahun 1965 ia sudah tak lagi memiliki daya upaya untuk mencegah pembunuhan
massal. Pembunuhan para petinggi ABRI--yang dulu pernah dikirim Sukarno untuk
menumpas pemberontakan 1958—dalam satu malam di awal Oktober 1965 yang diduga
dilakukan oleh simpatisan Partai Komunis Indonesia menjadi awal dari peristiwa
kelam bangsa ini. Entah siapa yang menghianati siapa, begitu kabur hingga saat
ini. Namun setelah peristiwa itu, satu persatu kekuasaan Sukarno kemudian
dipelucuti sehingga ia tak lagi memiliki taring. Ia dituduh memiliki
keterkaitan dengan peristiwa ini mengingat keterlibatan Cakrabirawa dalam
penculikan para jenderal. Sukarno ditahananrumahkan oleh Suharto. Perlakuan
buruk diberlakukan kepadanya. Ketika sakit keras ia hanya dikasih dokter hewan
dan resepnya tak ditebus. Sukarno, Sang Proklamator, meninggal dengan kondisi
mengenaskan. Sebuah ironi bagi orang yang sudah berbuat banyak untuk bangsanya.
Ribuan pendukung Sukarno lalu ditahan atau dituduh PKI
yang dapat berakhir dengan penembakan tanpa proses peradilan. Bahkan CIA-lah
yang memberikan daftar siapa-siapa saja yang harus dimusnahkan. Amerika
membiarkan genosida terbesar yang pernah terjadi sejauh sejarah mampu mencatat
di Indonesia. Konon jumlahnya berkisar antara 250.000 hingga 1.000.000 nyawa
yang melayang selama kurang lebih empat bulan sebagai aksi pembersihan
komunisme. Komunisme hingga kini menjadi hantu yang menakutkan tapi tidak
dengan aksi pembalasannya. Skenario penghancuran Sukarno kembali tertuju kepada
CIA, namun sepertinya aktor-aktor di belakangnya terlanjur berimprovisasi
sehingga dampaknya menjadi sedemikian besarnya.
Sepertinya, balasan ini yang diinginkan oleh Dewi Sukarno
untuk dibalas oleh Presiden Ford. Namun hingga kini, surat itu hanya menjadi
arsip kenegaraan belaka. Presiden Ford tak pernah membalasnya (atau
membacanya?), pun presiden-presiden sesudahnya. Dewi tak pernah diberitahu
jawabannya. Namun seperti frasa latin “is fecit cui prodest” yang
berarti pelaku kejahatan adalah mereka yang diuntungkan dari kejahatan itu
sendiri, maka Amerikalah yang paling banyak mengeruk kepuntungan pasca
lengsernya Sukarno. Tak terbilang banyaknya berapa sumber daya alam Nusantara
yang terkuras mulai dari Sabang hingga Merauke yang sebagian besar hasilnya
dinikmati bangsa Amerika—bukan Indonesia—sesuatu yang tak diinginkan Sukarno
sejak lama. Indonesia adalah ladang empuk bagi Amerika dan
perusahaan-perusahaan multinasional yang mereka lindungi kepentingannya.
Baru pada tahun 1998, pemerintah Amerika mulai
mendeklasifikasikan keterlibatan pemerintahan sebelumnya dalam setiap even
politik di Tanah Air. Didapat kemudian bagaimana sejak 1955, Washington telah
mengeluarkan kebijakan NSC 5518 untuk menumbangkan Sukarno yang sudah terlalu
mendekat ke poros kiri—sesuatu yang tak diinginkan pemerintah Amerika mana pun.
Hingga hari ini, Amerika selalu berada di balik setiap proses demokrasi bangsa—demi
menjaga kepentingan kapital mereka melalui pemimpin-pemimpin boneka yang mereka
ciptakan. Apa yang diimpikan Sukarno telah musnah adanya.
Padang, 30 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar