OLEH Wisran Hadi
Wisran Hadi (alm) |
Marilah kita mulai pembicaraan tentang
kebudayaan ini dari sesuatu yang tidak berbudaya. Tentang hikayat seekor ayam.
Ayam sebagai jenis burung yang halal dimakan, akan dapat jadi haram apabila
diperlakukan tidak sesuai dengan hukum dan ketentuan agama. Ayam yang secara
material adalah halal namun jika dipotong tanpa mengucapkan bismillah, ayam
yang telah dipotong itu langsung jadi haram untuk dimakan. Di sini berarti,
bahwa perlakuan atau proses adalah sesuatu yang sangat menentukan. Perlakuan
yang salah akan menyebabkan suatu material berobah status hukumnya dari halal
menjadi haram.
Begitulah perlakuan masyarakat kita
sekarang terhadap kebudayaan. Mereka lebih memandang kepada ayamnya,
materialnya, sosoknya, wujudnya, bukan kepada perlakuan atau proses penyembelihannya.
Artinya, masyarakat kita lebih percaya kepada material yang secara umumnya
halal, bukan kepada perlakuan yang menyebabkan material menjadi haram. Semua
itu dapat dilihat pada perlakuan atau proses pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, agama, budaya dan seni.
Pola hidup masyarakat yang serba
materialistik, hedonistik dan konsumtif merupakan presentasi perpanjangan dari
hikayat seekor ayam tadi. Masyarakat semakin hari semakin mengagungkan
kebendaan. Mereka memberhalakan sesuatu hasil, tanpa mau mengikuti proses yang
benar. Mereka lebih percaya pada apa yang tampak atau apa yang wujud. Segala
sesuatu mereka ukur dengan berdasarkan ujudnya. Profesi seseorang tidak
dihargai, tetapi sukses atau keberhasilan (terlepas dari bagaimana mereka memperoleh
kesuksesan itu) sangat didambakan. Perlakuan atau proses tidak penting, karena
pencapaian hasil lebih diutamakan.
Perbedaan antara masyarakat modern dan
masyarakat primitif adalah bagaimana mereka menyikapi lingkungannya, bagaimana
mereka memperlakukan sesuatu, menyikapi persoalan-persoalan yang berada di
sekelilingnya. Dalam kehidupan masyarakat primitif, semuanya harus diwujudkan.
Segala sesuatu yang dianggap gaib, seperti dewa-dewa, roh jahat atau roh buruk
diwujudkan dalam bentuk-bentuk patung atau lukisan. Mereka memberhalakan
bentuk-bentuk. Mereka miskin imajinasi atau dapat dikatakan, mereka tidak mampu
mengembangkan imajinasinya. Seseorang dianggap sempurna adalah mereka yang
berhasil mengumpulkan segala macam benda, segala macam jenis binatang, ternak,
budak dan batu-batuan. Seorang kepala suku dalam masyarakat primitif harus
dilihat sebagai makhluk yang keramat dan tidak dapat disamakan dengan manusia
biasa. Orang-orang keramat itu terbebas dari segala keburukan, kutukan atau
dosa-dosa.
Hal seperti itu pulalah yang kini terjadi
dalam masyarakat kita. Masyarakat kita yang sudah dianggap modern ini ternyata
hanyalah perpanjangan dari cara berpikir masyarakat primitif. Indikasi cara
berpikir primitif tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek. Kesuksesan
seorang anak didik ditentukan oleh nilai yang didapat dalam waktu sesaat, bukan
oleh sebuah proses belajar yang panjang. Seorang pegawai negeri dinilai bukan
dari segi kejujuran, disiplin dan etos kerjanya, tetapi dari sejauh mana mereka
dapat merangkul atasannya. Seorang suami dinilai hebat oleh istri dan anaknya,
apabila si suami dapat mengumpulkan harta sebanyak mungkin, tanpa si istri atau
anak mempertanyakan proses darimana datangnya kekayaan tersebut. Seorang ulama
dinilai dari penampilannya, pangkat dan gelar akademiknya, bukan dari banyaknya
jamaah yang mereka tuntun, ketaqwaan dan kebenaran yang diajarkannya.
Tokoh-tokoh akademik karena punya gelar akademik yang tinggi kini telah
dianggap pula sebagai ulama atau tokoh agama. Mereka boleh berpikir bebas tanpa
harus memperhitungkan kesesatan yang dibawanya. Seorang Kiyai ditentukan oleh
keturunannya, bukan oleh ilmu agama yang diembannya. Kiyai adalah manusia tanpa
dosa, karenanya mereka boleh melakukan apa saja. Seniman lebih dihargai aksi
dan penampilan dirinya, bukan pada karya-karya seninya. Seorang budayawan
dihargai pada pemunculan dan retorikanya, bukan pada hasil-hasil renungannya
untuk mencerahkan kehidupan.
Cara pandang masyarakat primitif yang
diteruskan oleh masyarakat yang mengklaim dirinya masyarakat modern itu cukup
merisaukan. Terjadi perubahan yang besar terhadap orientasi budaya. Nilai-nilai
budaya yang telah diajarkan secara turun temurun untuk diwarisi dan nilai-nilai
agama yang telah diajarkan semenjak dini secara perlahan telah bergeser jauh.
Rasa malu, rasa keadilan, rasa keindahan, rasa kebersamaan berubah secara total
tanpa dapat dicegah oleh siapapun. Perobahan yang terjadi begitu dahsyat,
dianggap sebagai ekses, akibat samping dari kehidupan dunia modern dan globalisasi.
Lalu dicarikan kambing hitamnya; mass media. Mass medialah yang dianggap
sebagai biang dari masuknya nilai-nilai budaya asing dan budaya pop yang serba
instan ke rumah-rumah. Kita tidak pernah menyalahkan diri kita sendiri, bahwa
perubahan itu yang terjadi disebabkan oleh sikap budaya dan kesalahan dalam
memperlakukan dan memandang nilai-nilai yang lama itu sebagai sesuatu ambigu,
nisbi, tidak relevant dengan perkembangan dunia.
Khusus dalam masalah kesenian misalnya, –
bidang ini adalah bidang yang tanpa filter dapat dimasuki oleh apa saja
coraknya cara berpikir, aliran-aliran politik, keyakinan-keyakinan dan
isme-isme lainnya – telah lebih dulu bergeser ke arah pola pikir masyarakat
primitif itu tadi. Kesenian sekarang telah dipisahkan dari etika, nilai-nilai
dan norma-norma agama. Jika seseorang menuntut agar kesenian harus takluk
kepada nilai-nilai adat dan budaya serta norma-norma agama, maka para seniman
menampiknya dengan mengatakan; karya seni adalah sebuah produk otonom, terbebas
dari nilai-nilai budaya dan agama apapun. Mengukur karya seni harus dengan
ukuran karya seni itu sendiri. Seniman tidak perlu harus beragama, harus
beradat. Seniman, sebagaimana kiai-kiai tadi, merekapun menganggap diri sebagai
manusia steril yang terbebas dari dosa-dosa. Akibat dari perlakuan mereka yang
demikian terhadap karya seni, para seniman seakan mendapat legitimasi untuk
berbuat apa saja. Mereka dapat melakukan pertunjukan apa saja coraknya, apakah
itu melanggar aturan adat, nilai-nilai budaya atau hukum-hukum agama. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kesenian kita tidak semakin maju, tetapi semakin
mundur, mendekati kehidupan masyarakat primitif. Namun sebaliknya, bagi dunia
pariwisata misalnya, semakin budaya masyarakat kembali menjadi primitif, akan
semakin menguntungkan sektor ini karena akan semakin banyak turis yang datang.
Bagi para politik dan pemerintah, semakin masyarakat itu berpola pikir dan
bertingkah laku sebagaimana masyarakat primitif akan semakin mudah mereka
menanamkan aliran-aliran politiknya, dan pihak pemerintah semakin mudah
memperkokoh kekuasaannya, karena pola masyarakat primitif bergerak pada hasil
bukan pada proses. Masyarakat demikian cukup diberi atau disediakan
berhala-berhala yang selalu akan mereka sembah setiap hari; kekayaan dan
jabatan (melalui KKN), kehidupan yang glamour tanpa rujukan. Orang-orang diberi
surprise dengan hasil-hasil yang mendadak, penunjukan-penunjukan yang tiba-tiba
dan lain sebagainya. Sedangkan masyarakat yang menghargai proses dan
profesionalisme – yang sering disebut sebagai masyarakat yang akademik –
menjadi musuh. Masyarakat demikian adalah musuh besar bagi sebuah kekuasaan
yang korup.
Analog hikayat seekor ayam dengan pola
hidup yang sedang dilakoni sekarang adalah sesuatu sangat merisaukan.
Kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang dianut berbagai suku yang tersebar
seluruh kepulauan di Indonesia yang selama ini “halal”, namun karena
diperlakukan secara salah, telah menjadi “haram” untuk kehidupan berikutnya.
Kita “haramkan” atau kita tidak setuju terhadap dampak dari nilai-nilai budaya
baru sebagai dampak dari cara berpikir masyarakat primitif. Kita mengharamkan
judi, korupsi, perzinaan, makanan minuman yang memabukkan, pemalsuan-pemalusan,
hilangnya rasa malu dan buyarnya kebersamaan dan lain sebagainya itu, sementara
yang kita “haramkan” itu terus dipasarkan ke tengah masyarakat dengan berbagai
fasilitas yang diberikan lembaga-lembaga tertentu maupun pemerintah itu
sendiri. Korupsi berjamaah yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang terjadi
di Sumatera Barat dapat dijadikan batu uji, apakah masih ada rasa malu bagi
mereka yang telah dituduh dan dihakimi sebagai koruptor. Jika para wakil rakyat
Sumatera Barat yang terbukti korupsi itu sudah tidak punya rasa malu lagi, ini
sekaligus sebagai bukti bahwa Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah
yang diagung-agungkan selama ini tidak ada artinya sama sekali.
Persoalannya sekarang adalah, mampukah
kita menggeser paradigma berpikir dari masyarakat primitif kepada cara berpikir
masyarakat modern, yang terbuka, jujur, agamis? Masyarakat yang mempunyai daya
imajinasi yang kuat dan luas, masyarakat yang menghargai proses terhadap semua
perilaku dan tindakan? Sesuatu yang selama ini telah jadi “haram” ulah
perlakuan kita terhadap budaya, kembali kita jadikan “halal” sehingga dapat
memberikan pencerahan dalam kehidupan? Mengutuki perlakuan dan proses yang
salah karena akan dapat menjadikan sesuatu menjadi “haram”. Memberikan ruang
yang luas untuk setiap perlakuan dan proses yang benar.
Dalam konteks ini, peranan budayawan,
agamawan, ilmuwan menjadi sangat strategis. Mereka harus dapat menjadi tonggak
kilometer, sudah sejauh mana perjalanan dan penyimpangan yang telah dilakukan,
sekaligus menjadi signboard untuk menentukan arah ke mana masyarakat Indonesia
berikutnya melangkah. Para budayawan, agamawan dan ilmuwan harus dapat
mensugesti, mengetuk hati nurani dan meyakinkan masyarakatnya dengan bahasa
yang logis, sederhana dan mudah dipahami bahwa; kita bukan masyarakat primitif
yang liar tanpa rujukan tetapi masyarakat modern yang penuh dipagari oleh tata
nilai.
Semoga Allah swt memberi kekuatan kepada
mereka mengucapkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar