OLEH Deddy Arsya
Kemacetan di Jalan M Yamin Padang |
Bapak Walikota yang baik. Surat ini akan
saya tulis tanpa basa-basi. Semoga Bapak punya waktu dan senang membacanya.
Ayah saya seorang pedagang, ibu saya
pedagang, kakek dan buyut-buyut saya juga punya sejarah berniaga. Saya bangga
menjadi anak pedagang, saya bangga dilahirkan dari keluarga kaum saudagar. Saya
bangga menjadi bagian dari orang yang tidak tunduk pada tuan mana pun. Saya pun
bercita-cita menjadi bagian dari mereka kelak, dari mereka yang berdiri di kaki
mereka sendiri.
Saya ingin melanjutkan sejarah puak saya
sebagai orang Minang, sejarah orang-orang Minangkabau yang kreatif dan mandiri.
Sejarah orang-orang yang membawa karavan-karava ke pantai timur dan ke pantai
barat di abad ke-17-18 memperdagangkan lada dan emas. Sejarah orang-orang yang
membawa garam dan ikan kering ke pekan-pekan daratan tinggi pada abad sebelum
itu dan setelahnya. Sejarah orang-orang yang memikul kopi dan tembakau ke
kota-kota pesisir pantai timur maupun barat. Saya bangga menjadi pewaris puak
yang hidup dari berdagang.
Sejarah kita, Bapak Walikota, memang
adalah sejarah yang digerakkan oleh mereka, kaum pedagang itu. Lalu lintas
merekalah yang mewarnai sejarah bangsa ini, puak yang bernama Minangkabau ini. Kaum
pedagang pulalah salah satu pilar yang menjadi pendukung utama dari gerak maju
Minangkabau ini, dari derak-berputarnya sejarah puak ini. Bapak Walikota boleh
menyepelekan mereka sekarang, tapi kota ini tak akan jadi kota seperti sekarang
tanpa mereka. Kota ini akan menjadi kota mati tanpa pedagang. Nasionalisme,
Pak, di masa lalu digerakkan oleh koran-koran yang diterbitkan atas bantuan
kaum pedagang. Generasi intelektual yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita
ini, Pak, adalah juga hasil didikan sekolah-sekolah yang didanai wakaf dari para
pedagang. Dan rapat-rapat akbar yang acap diadakan menentang kekuasaan kolonial
di Sumatra Barat ini, Bapak Walikota, disponsori para pedagang juga. Masjid
besar Muhamadiyah itu, Pak, berdiri atas wakaf pedagang pasarraya Padang. Tidak
dari zakat yang Bapak kumpulkan dari gaji pegawai pemerintah!
Tidak, tidak, Bapak mungkin tidak suka
membaca sejarah. Ah, sejarah, memang tidak lagi berguna bagi kota yang selalu
menatap ke depan, menuju kegemilangan pembangunan. Bapak Wali yang bijak,
pembangunan kadang seperti “babi luka”, yang tanpa ampun hanya bisa menyeruduk
ke depan. Ia nyaris tak pandai lagi menengok ke belakang sedikit pun. Ia tanpa
ampun dan tanpa merasa berdosa juga bisa menebas apa saja, bahkan hak hidup
orang yang ada di depannya.
Begitulah Orde Baru, Pak, mengajarkan kepada
kita makna pembangunan yang telah dijalankannya. Sayang, Bapak tidak belajar
dari sejarah. Kota-kota Orde Baru adalah kota-kota yang menggeliat menawarkan
modernisasi tanpa ampun, pembangunan di segala bidang yang tak terpermai:
mall-mall didirikan, supermarket tegak, dan itu dibangun di sisa reruntuhan
pasar-pasar tradisional, di bekas-bekas lapak yang digusur, Pak. Dan orang
Minangkabau, Pak, para perantau kita itu, yang memang kebanyakan bergerak di sektor
ekonomi mikro (menjadi pedagang kecil atau pedagang kaki lima) tersingkir
perlahan-lahan akibat geliat pembangunan itu. Mereka disingkirkan langsung atau
tidak. Pasar-pasar tradisional yang menjadi basis kegiatan ekonomi mereka
dibakar secara konspiratif atas nama peremajaan, di atasnya kemudian ditegakkan
mall-mall dan superplasa.
Kata ‘teratur’ dan ‘tertib’ adalah harga
mati bagi Rezim Orde Baru, Pak, atau rezim otoriter manapun barangkali. Orde
Baru memang rezim militeristik yang tidak akan pernah bisa mentolerir yang ‘tak
tertib’ sedikit pun, yang berbaris pesong dan siap tak lurus. Rezim yang
militeristik memang begitu. Dan pasar tradisional bagi mereka adalah
ketak-tertiban itu, Pak Wali. Pedagang kecil lebih acap sebagai musuh ketimbang
teman bagi pemerintah yang seperti itu. Sebab pasar seperti itu memang prototipe
yang tidak tertib, tidak terbit bersoal harga, tidak tertib bersoal lajur,
tidak tertib karena di sana lapak-lapak tidak resmi bermunculan,
pegadang-pedagang kaki lima berdatangan tidak tercatat daftar pembayaran
restribusi. Tapi, di tengah ketidak-tertiban itulah jutaan hidup dipergulirkan,
ratusan ribu keluarga mencari peruntungannya. Ketidak-tertiban itu memberikan
kita makna, bahwa manusia adalah makluk yang berdinamika, yang tidak selalu
bisa dibentuk lurus tanpa pencong. Dari sana pula kita diajarkan satu kearifan:
tawar-menawar, apa yang menjadi ciri dari keminangkabauan kita selama ini,
bukan, Pak?
Tawar-menawar pada prinsipnya adalah
tanpa paksaan, tak ada sesuatu yang bisa dipaksakan kepada sesuatu yang lain.
Kita membeli karena kita senang, kita pun menjual karena senang. Jika
salah-satunya tidak senang, sepakat tidak ada. Jual-beli adalah soal bersepakat,
suka sama suka, dan itu diawali dari tawar-menawar. Tawar-menawar, Pak Wali, adalah
diplomasi, musyawarah! Bukan pemaksaan
kehendak.
Ah, tidakkah Bapak lebih suka yang
tertib, yang modern: mall, supermarket, plaza? Sebab di sana, tak ada
tawar-menawar memang, yang ada hanya harga
yang dijatuhkan, yang ditetapkan ‘dengan paksa’. Orang bilang: itu semata “titik
dari atas”, tidak “bertangga turun berjenjang naik”. Di tengah harga yang
ditetapkan dari ‘atas’ itu, tawar-menawar menjadi mustahil, musyawarah tak akan
perlu antara pedagang dan pembeli, diplomasi menjadi lesap tiada arti. Sebab,
harga telah tercantum, baku, tetap, dari ‘atas sana’, terpatri, begitu kan, Pak
Wali?
Nah, dalam konteks politik, prinsip yang
tanpa tawar-menawar itu lebih dekat kepada prinsip
totarianisme-otoritarianisme. Pas untuk penguasa diktator, tidak untuk negeri
yang masyarakatnya egalitarian-demokratis seperti Minangkabau ini!
Saya ingin menjadi orang yang mandiri
seperti yang diajarkan kakek-buyut saya, Pak Wali, yang diajarkan inyiak-inyiak
saya dahulu. Tidakkah Pak Wali sendiri pernah mengatakan, jangan berharap lagi
jadi pegawai, sebab dunia birokrasi kita sudah seperti ayam buras yang gendut
tapi lamban, seperti babi putih tambun yang gemuk tapi malas bergerak. Maka
saya ingin melanjutkan tradisi keluarga saya, Pak Wali, menjadi pedagang. Saya
ingin mandiri tanpa bertuan pada siapa pun. Saya ingin hidup dari usaha saya
sendiri. Saya pupuk cita-cita untuk berwirausaha itu. Saya ikuti
pelatihan-pelatihan di kampus-kampus, saya baca buku kiat usaha. Bapak Wali tahu
SSM, Silaturrahim Saudagar Minang, yang diadakan setiap tahun itu? Juga saya
ikuti. Di sana orang mendiskusikan bagaimana agar orang-orang Minangkabau
menumbuhkan kembali minat berwirausaha di kalangan generasi mudanya,
memunculkan kembali jiwa dagang yang selama ini telah meredup-hilang
dihancurkan zaman, menjemput masa silam yang gilang-gemilang di mana kita
pernah berjaya dalam dunia niaga.
Tapi, Bapak Walikota yang terhormat,
betapa tidak ada harganya semua itu sekarang, kini, di sini, di kota ini, kota
yang di masa silam adalah bandar dagang, pusat niaga terkenal di patai barat
Sumatera—dalam buku sejarah mana pun Bapak baca. Bagaimana jiwa dagang akan
muncul di kalangan generasi muda seperti kami ini jika di depan mata kami
pedagang-pedagang ditembaki dengan water
canon, dipukul rotan dan pentungan polisi dan pamongpraja? Saya bertanya,
Bapak yang bekas prajurit laut, bisakah semangat dagang itu menggelora jika di
mata kepala sendiri, kaum pedagang yang kami bercita-cita hendak seperti
mereka, dihina-dinakan sedemikian rupa, dihancurkan ruang hidupnya?
Ayah saya pedagang, ibu saya pedagang.
Pak Wali, saya tidak ingin jadi pedagang! Minangkabau bangsa pedagang, Padang kota
niaga, saya malu menjadi bagian dari itu semua! Saya ingin jadi pegawai negeri
yang hidup enak tanpa ditembak!
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar