OLEH Sastri Bakry[2]
Sastri Bakry |
Batu Malin Kundang
terletak di sebelah selatan Kota Padang, di Aie Manih Kecamatan Bungus
Teluk Kabung, Sumatera Barat. Ia menjadi satu dari sekian banyak objek wisata
di Kota Padang Tercinta. Mungkin bagi penduduk kota Padang, terutama menengah
ke atas batu Maling Kundang tidak lagi menjadi tempat yang menarik untuk
dikunjungi. Dan hal ini lazim terjadi dalam suatu daerah. Misalnya ketika saya
mengajak seorang teman yang sudah lama tinggal di Jakarta untuk melihat objek
wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dia menjawab belum pernah masuk TMII.
Atau ketika seorang pejabat tinggi Malaysia datang ke Padang untuk pertama kalinya
ingin melihat Teluk Bayur, ketika itu saya berpikir apa yang ingin dilihat di
Teluk Bayur? Jawabannya sederhana, tempat ini famous gara-gara lagu Ernie Djohan[3].
Jadi ia ingin melihat sendiri cerita lagu itu secara langsung. Begitulah, kita
seringkali baru memberi perhatian ketika orang luar daerah kita memperhatikannya.
Kali ini saya juga terpancing menulis Malin Kundang,
karena panitia Dialog Teluk Brunei ke VIII (sekaligus merayakan hari ulang
tahun Asterawani -Angkatan Sasterawan dan Sasterawani Brunei yang ke 50)
meminta saya menulis tentang Malin Kundang “si pendurhaka” itu dalam perspektif
ekonomi, budaya dan kelautan. Saya
terpaksa membuka referensi tentang Malin Kundang, setumpuk saya dapatkan segala
hal yang berhubungan objek kajian saya. Saya beruntung mendapatkannya dari Eva
Krisna, Peneliti Balai Bahasa Padang yang memumpun perhatiannya pada pengkajian
sastra Minangkabau .
* * *
Minangkabau adalah nama suku bangsa dan kawasan budaya
yang berada di bagian tengah Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menyebut
diri mereka Urang Minang (Orang Minang),
kebudayaannya Adat Minang, dan tempat tinggalnya Ranah Minang. Minangkabau
sering pula disebut Sumarak Alam Minangkabau (Kesatuan Wilayah Minangkabau)
yang terdiri atas daerah darek[4]
dan daerah rantau[5].
Darek atau darat adalah sebutan untuk kawasan yang berada
di sekitar tiga gunung utama, yaitu: Gunung Marapi, Gunung Singgalang, dan
Gunung Sago. Tiga daerah darek
dikenal pula dengan nama Luhak Nan Tigo, yaitu: Luhak Tanah Data, Luhak Agam,
dan Luak Limo Puluah Koto. Darek dianggap daerah asal atau daerah inti
Minangkabau, sedangkan rantau adalah wilayah perluasan dari daerah darek.
Jika darek
merupakan kesatuan tiga wilayah inti, rantau
memiliki dua wilayah perluasan yang terdiri atas rantau barat dan rantau timur.
Rantau barat adalah kawasan di sepanjang pantai barat Samudra Indonesia,
sedangkan rantau timur adalah kawasan di sepanjang aliran sungai-sungai besar,
seperti: Sungai Rokan, Siak, Indragiri, dan Batanghari. Dengan demikian,
Sumarak Alam Minangkabau meliputi seluruh wilayah administrasi Provinsi Sumatra
Barat sekarang; di selatan sampai ke sebagian wilayah Provinsi Bengkulu, di
utara sampai ke sebagian wilayah Provinsi Sumatra Utara, serta di timur sampai
ke sebagian wilayah Provinsi Riau dan sebagian wilayah Provinsi Jambi.
Bentuk-bentuk kebudayaan di darek dan rantau
memperlihatkan kekhasan masing-masing.
Kebudayaan di darek cenderung lebih
tertutup dibandingkan dengan kebudayaan di rantau.
Hal itu disebabkan antara lain oleh letak geografis darek yang berada di daerah pegunungan sehingga relatif kurang
berinteraksi dengan dunia luar. Sebaliknya, kebudayaan di rantau bersifat lebih terbuka dan dinamis karena berada di jalur
transportasi laut dan sungai.
Salah satu perbedaan bentuk budaya pada kedua wilayah
“Sumarak Alam Minangkabau” dapat dicermati melalui karya sastra tradisionalnya.
Bila sastra tradisional darek
berkisah tentang keindahan alam dan adat-istiadat yang tertata rapi; sastra
tradisional rantau bercerita tentang beragam pengalaman dan masalah sosial
budaya di daerah pelabuhan, baik pelabuhan sungai atau pun pelabuhan laut.
Di Minangkabau, cerita rakyat dibagi menjadi dua, yaitu curito dan kaba. Menurut Djamaris (2002:68 & 77-78), curito (cerita) merupakan kisah pendek, sederhana, bahasanya
merupakan bahasa prosa biasa, dan biasanya dituturkan oleh nenek, ibu, atau
perempuan-perempuan yang dituakan yang memiliki kemampuan bacurito (bercerita); sedangkan kaba
adalah kisah panjang, isinya hampir sama dengan hikayat/novel, disampaikan
dalam bentuk prosa berirama, dan dipertunjukkan oleh penutur profesional. Dari
perbedaan antara kaba dan curito, Malin Kundang termasuk ke dalam
jenis curito sehingga idealnya ia
disebut Curito Malin Kundang (Krisna,
2011).
Beranjak dari ulasan Eva tadi menggambarkan bahwa Curito Malin Kundang adalah karya sastra
tradisional Minangkabau yang sangat jelas memperlihatkan kekhasan budaya rantau. Karya sastra tersebut merupakan
genre prosa yang bercerita tentang budaya bahari, seperti: pelayaran, hubungan
dengan masyarakat luar, dan upaya memperkokoh jati diri (Krisna, 2009: 1-2).
Sesungguhnya cerita Malin Kundang adalah curito
yang disampaikan secara pendek dari mulut ke mulut yang tidak pernah diketahui
asal usulnya. Siapakah si petutur awal? Sampai saat ini belum ada hasil kajian
yang membuktikannya.
Saya teringat ketika masih kanak-kanak, One (nenek) saya selalu memarahai kami
cucu-cucunya sebagai anak yang durhaka apabila kami tidak patuh pada orang tua.
Sambil menceritakan kisah si Malin Kundang, ia bertutur sambil memberi
pengajaran bagaimana seorang anak mesti bersikap hormat dan santun pada orang
tua. Tidak boleh berkata kasar kepada kedua orang tua.
Sekarang, setelah 40 tahun kemudian saya mulai mengulang
atau mengarang cerita Malin Kundang dengan versi apa yang ada di kepala saya.
Semua orang pun saya kira bercerita dengan versi dan pengalaman masa
kanak-kanaknya.
Alkisah, di pantai Aie Manih, di Kecamatan Padang Selatan
hiduplah seorang ibu yang sangat miskin bersama anak lelakinya. Suaminya telah
lama tidak lagi hidup bersamanya. Dikabarkan suaminya pergi merantau dan tidak
pernah kembali. Sebagai orang tua tunggal, ibu Malin sungguh berjuang sendiri.
Ia hidup dari mengumpulkan serakan-serakan ikan yang didapat nelayan yang
melaut. Kadang-kadang Malin kecil juga ikut mengumpulkan ikan. Pada suatu ketika
tangan Malin tersangkut di biduk nelayan yang sedang bersandar di pantai. Ia
tak menyadari ada kayu tajam di situ. Lukanya cukup dalam sehingga membekas di
tangan kanannya. Namun Malin tetap tabah meski Ibunya sangat sedih melihatnya.
Kesulitan hidup yang hanya bisa memenuhi kebutuhan makan
saja membuat Malin kecil mulai mempertanyakan dirinya. Ia kasihan melihat
Ibunya yang bekerja keras. Ia bercita-cita menjadi orang besar. Karena itu
dalam usia yang masih sangat muda Malin pergi merantau. Dalam adat Minang,
merantau adalah sebuah hal yang biasa bagi anak lelaki. Bahkan sudah menjadi
budaya yang tak terbantahkan.
Ketika mendengar anaknya akan merantau, ibu Malin
menangis, ia gamang ditinggalkan anaknya sendirian. Namun Malin meyakinkan
bahwa kepergiannya adalah untuk masa depan mereka berdua. Bahwa dengan merantaulah
nasib mereka akan berubah.
Akhirnya dengan hati duka, Malin dilepas ibunya dengan
doa dan penuh air mata. Ia tetap berharap bisa berjumpa kembali dengan anak
tercinta suatu hari nanti. Malin berangkat merantau dengan percaya diri meski
hanya dengan bekal seadanya.
Nasib sungguh berpihak kepada Malin, ia bekerja pada
seorang saudagar kaya. Sejak kecil Malin memang terkenal ulet, gigih dan cerdas
bekerja. Jadi tidak salah kalau ia cepat mendapat kepercayaan. Sampai akhirnya
bertahun bekerja dengan seorang saudagar kaya raya itu, Malin dijodohkan dengan
anaknya. Ia lalu menyerahkan semua usaha dagangnya kepada Malin karena sudah
merasa tua. Malin mulai mengelola bisnis dari pulau ke pulau, mengarungi lautan
dan singgah di dermaga-dermaga untuk menurunkan dan
menaikkan barang dagangannya.
Beberapa tahun kemudian Malin teringat dengan
kampung halamannya. Dengan penuh kerinduan ia membawa isterinya ke kampungnya.
Isi kapalnya dipenuhinya dengan semua barang dagangan termasuk perhiasan. Anak
buah kapal dan pengawalnya sudah mempersiapkan seluruhnya. Berita Malin
menyandarkan kapalnya di dermaga Aie Manih terdengar oleh Ibu Malin. Penuh harap ia
menunggu di dermaga. Ia tak peduli dengan baju lusuhnya yang nyaris compang-camping.
Wajahnya yang sudah penuh keriput dan tubuh yang sudah ringkih sungguh membuat
Ibu Malin seperti pengemis busuk.
Malin dengan gagah membimbing istrinya menuruni kapal
diiringi para pengawal. Ibu Malin langsung dengan penuh haru mengejar Malin.
Malin terkejut melihat perempuan tua
itu. Ia tak siap dan tak menyangka ibunya sudah seringkih itu. Istrinya pun tak
kalah terkejut. Malin tiba-tiba merasa malu melihat reaksi istrinya. Ia menarik
tangan istrinya dan memerintahkan pengawalnya untuk mengusir perempuan tua itu.
“Malin aku Ibumu, mengapa kau tak mau melihat padaku?”
Malin tetap semakin menjauh. Ketika melintasi perempuan tua itu, tanpa sengaja
tangan kanannya terlihat oleh sang ibu. Bekas luka memanjang masih tampak jelas
di tangan kanannya. Tanpa pikir panjang sang ibu melompat dan memeluk anaknya.
“Malin… Malin… anakku, kau anakku…!”
“Enyah kau, wahai perempuan kotor!” hardik Malin dengan
marah dan rasa malu di hadapan istri dan anak buahnya. Lalu bergegas mereka
naik kembali ke atas kapal.
Ibu Malin Kundang sangat terkejut dengan reaksi Malin
anaknya. Air matanya jatuh menitik, dadanya terasa sesak menahan amarah.
Akhirnya dengan hati yang sangat luka melepas kapal yang bergerak menjauh, ibu
Malin bergumam:
“Ya Allah, jika benar dia anakku, sungguh dia anak
durhaka yang melupakan ibu yang telah melahirkannya, ya Allah atas izinMu kukutuk
anakku menjadi batu!” .
Tak berapa lama kemudian hujan besar turun diiringi suara
guntur, petir dan badai yang sangat keras. Kapal Malin Kundang terombang ambing.
Isi kapal terlempar keluar. Kapalnya berantakan, beberapa potongannya pun
terdampar di pantai Aie Manih termasuk Malin Kundang yang sedikit demi sedikit
tubuhnya mulai kaku. Malin tersadar dan bersujud meminta ampun, namun tubuhnya
semakin kaku, dan akhirnya Malin Kundang berubah menjadi batu.
Demikianlah. Kisah, legenda atau curito Malin Kundang memang sungguh menjadi sangat terkenal di Asia
Tenggara. Bahkan di beberapa Negara dan daerah di Indonesia kisah Malin Kundang
sering diceritakan dengan berbagai versi dalam rangka mengajarkan anak untuk
tidak durhaka kepada orang tua. Bahwa melawan orang tua itu akan kualat, hidup
tak akan selamat. Bahkan dalam agama Islam dikatakan, “Janganlah engkau
mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik (QS. Al-Isra,
Surah ke 17 ayat 23).
Dari kisah di atas tampak ada beberapa pesan moral yang
menjadi nilai acuan bagi anak-anak, remaja dan orang dewasa, bahwa cerita Malin
Kundang adalah memang cerita tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Karena
malu pada istrinya yang orang kaya, malu pada anak buah kapal, malu pada
pengawalnya yang sudah terlanjur tahu bahwa Malin Kundang adalah orang kaya,
maka ketika ia berjumpa dengan ibunya yang sudah sangat renta dengan baju
compang-camping ada rasa malu pada dirinya. Ia lalu tak mengakui ibu kandungnya
sendiri. Atas sebuah perbuatan selalu ada karma, dan karma sudah diperoleh
Malin dalam waktu yang tidak begitu lama. Jika Allah berkehendak, Allah
langsung memperlihatkannya di dunia. Cerita Malin tetap akan diceritakan para
orang tua dengan versi tradisional dan standart secara turun temurun kepada
anak-anaknya.
Selain cerita pendurhaka, nilai moral yang disampaikan
oleh si petutur tradisi pada dasarnya ingin menggambarkan seorang ibu yang
bertanggung jawab kepada anaknya. Tetap bekerja menafkahi anaknya walau dengan
suasana kemiskinan. Ia setia menetap di pantai Aie Manih berjuang dengan
menjual ikan. Hal ini menunjukkan juga bahwa sebagai perempuan yang berjuang
sendiri (single parent) ibu Malin
tetap menunjukkan ketegarannya, bekerja
dan berjuang sendiri sepanjang hidupnya demi menunggu anaknya yang pergi
merantau.
Gambaran sosial budaya masyarakat Minang yang membiasakan pemuda bahkan masih remaja untuk
pergi merantau terlihat dalam pepatah/pantun adat Minang:
Karatau
madang di hulu
Babuah
babungo balun
Marantau
bujang dahulu
Di
rumah paguno balun.[6]
Karena pemahaman yang tinggi terhadap adat Minangkabau
akhirnya Ibunda Malin melepas Malin pergi merantau. Berlayar menyeberangi
lautan yang bergelombang. Padang yang
terletak di hadapan Samudera Hindia pun sudah terbiasa menanamkan nilai
menelusuri laut dan gelombang untuk mendapatkan hasil sebagaimana pantun
dibawah ini:
Barakik-rakik
ka hulu
Baranang ranang kamudian
Basakik-sakik
dahulu
Basanang-sanang
kamudian.[7]
Meski berat mengarungi lautan yang ganas tapi itu
diyakini sebagai sebuah usaha, sebuah perjuangan berat yang kelak akan
mendapatkan hasil yang menyenangkan. Hanya saja kemudian Malin menyia-nyiakan
kenikmatan yang diperolehnya kemudian. Nilai-nilai moral yang diajarkan ibu dan
agamanya sudah mulai dilupakannya.
Cerita Malin Kundang yang sarat nilai-nilai moral terus
berkembang dalam berbagai versi di beberapa daerah lain seperti Payakumbuh, bahkan
sampai ke Thailand Selatan, tentu saja dengan versi yang berbeda.
Beberapa waktu lalu Rumah Budaya Fadli Zon[8]
mencoba berkolaborasi dengan pewayang terkenal Tinur Purbaya, mengemas Malin
Kundang ke dalam wayang Golek Minang[9].
Dalam wayang golek Minang semua cerita, pakaian, pelakon, musik dan wayang yang
ditampilkan bernuansa Minang. Ada talempong dan saluang menggantikan gamelan.
Untuk pertama kalinya, wayang golek Minang menampilkan cerita Malin Kundang
yang sudah sangat dikenal luas. Hal ini membuktikan bahwa Malin Kundang tetap
menjadi cerita yang diminati dan menjadi acuan dalam menanamkan nilai tradisi
yang sarat nilai-nilai hidup universal. Seorang anak harus berbakti pada ibu
yang telah melahirkan dan merawat, jangan sombong, jangan takabur, dan durhaka.
Lebih jauh nilai yang ingin disampaikan agar orang Minang yang merantau tetap
mengingat kampung halamannya termasuk intelektual yang merantau tidak menjadi
intelektual Malin Kundang yang lupa diri dan identitas lokalnya.
Beragam versi kemudian yang muncul dari para pengarang
berikutnya tetap memberi makna tersendiri. Misalnya Sapardi, dalam Umar Yunus:
Malin Kundang memilih dikutuk menjadi batu adalah bentuk suatu ketenteraman,
untuk kenyamananya atas rasa sesal yang ada. Tetapi, ia menyesal mengapa orang
lain masih memahat batunya sebagai monumen namanya dan tetap mengutuknya,
paling tidak dalam cerita itu. Mengapa dia tidak dibiarkan diam membatu.
Sapardi memindahkan fokus dari Malin Kundang kepada batu Malin Kundang. Ini
dinyatakannya tradisi merantau menyebabkan Malin Kundang menjadi beban budaya
kepada mereka. Mereka atau kita semua adalah calon Malin Kundang. Oleh karena
itu, selain mengakui adanya Malin Kundang yang menjadi batu, mereka juga tidak
lupa menyatakan mereka bukan Malin Kundang. Mereka lain dari Malin Kundang. Semua
persepsi ini ditemui juga dalam puisi Syahril Latif (1978) dan drama Wisran
Hadi (1978).
Dekonstruksi dan lari dari pakem cerita tradisi ini
menurut Umar Yunus pada dasarnya hanya untuk mencari perhatian dalam
pertunjukan seperti yang dibuat Wisran Hadi maupun A.A Navis. Walaupun Malin
Kundang tetap durhaka, tetapi dia menjadi batu bukanlah karena dikutuk ibunya.
Ibunya mengasihi Malin Kundang. Namun, mitos Malin Kundang tetap utuh.
Biar bagaimana pun, cerita tentang Malin Kundang dengan
berbagai versi tetap saja nilai-nilai tradisional dan universal yang menjadi
intisari cerita akan menjadi acuan. Baik dalam pementasan drama, teater,
pembacaan sajak, maupun sastra lisan yang berulang disampaikan.
Visualisasi Batu
Malin Kundang dan Dampak Pariwisata
Pantai Aie Manih
tempat bersujudnya Malin Kundang yang membatu terletak 15 km dari pusat kota
Padang, berada di Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Batu Malin Kundang menjadikan
pantai ini sebagai salah satu objek wisata
andalan kota Padang. Sekitar 500 meter dari lokasi batu Malin Kundang,
pengunjung dapat menikmati perjalanan ke Pulau Pisang Kecil di seberang pantai
yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki jika air laut dalam keadaan surut.
Jika air pasang, sejumlah masyarakat di daerah itu menyewakan perahu kecilnya
untuk menyeberang. Di Pulau Pisang Kecil, pengunjung bisa duduk-duduk di
pondok-pondok yang terdapat di sana sambil menikmati pemandangan laut dan
pantai.
Setiap pengunjung yang datang ke Padang kawasan batu
Malin Kundang menjadi tempat favorit yang tak boleh ditinggalkan. Mereka
berakting dan mengambil gambar dengan latar belakang batu Malin Kundang.
Keindahan ombak yang membawa buih putih pantai serta pemandangan laut yang indah
membuat Pantai Air Manis menjadi sempurna bagi masyarakat Sumatra Barat maupun wisatawan
yang datang ke objek wisata itu.
Batu Malin Kundang
bisa jadi menjadi inspirasi oleh sastrawan lisan zaman dulu untuk mengarang
cerita tentang malin Kundang. Karena adanya batu yang seolah terdampar
menyerupai kapal yang menginspirasi curito
Malin Kundang. Sebahagian meyakini seperti itu, tetapi ada juga yang mengatakan
bahwa Batu Malin Kundang muncul setelah curito
Malin Kundang menjadi legenda. Yang jelas pemerintah kota Padang, puluhan tahun
lalu membuat atau memperjelas Batu Malin Kundang dan kapalnya terdampar
berdasar curito rakyat tersebut.
Malin Kundang sudah terpahat di pantai Aie Manih sebagai batu dan dikenal
sebagai anak yang durhaka. Meski Wisran Hadi mencoba membalikkan Malin Kundang
bukanlah si pendurhaka namun mitos Malin Kundang dalam cerita tradisinya tetap
sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan dari awal oleh nenek, ayah, ibu maupun
orang tuo-tuo dulu. Semangat dan
nilai-nilai yang diajarkan dan diwariskan pada generasi selanjutnya tetap up to date.
Batu Malin Kundang menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan yang berkunjung. Mereka jauh-jauh mendatangi batu Malin Kundang hanya
ingin membuktikan keberadaan batu yang sangat popular itu. Bahkan ada wisatawan
yang datang dengan penuh kebencian menginjak-injak batu Malin Kundang sambil
menyumpah menyetujui Malin menjadi batu. Keramaian wisatawan yang datang ke
Batu Aie Manih telah memberikan efek multiplier terhadap pertumbuhan ekonomi
kota Padang. Kesejahteraan masyarakat sekitar tanpa kita sadari sudah
memberikan keuntungan tersendiri. Misalnya dari parkir kendaraan, penjualan
souvenir khas setempat, pembuatan foto-foto lokasi termasuk tempat makan minum
yang terdapat disepanjang pantai Aie Manih. Hasil olahan laut pun menjadi karya
seni penduduk setempat mulai dari kerang hingga bunga karang pun dirangkai
menjadi accesories hingga hiasan meja
dengan harga yang cukup murah.
Menurut data Pariwisata kota Padang setiap tahun angka
kunjungan wisatawan selalu meningkat dari bulan ke bulan. Angka pertumbuhan
ekonomi yang memberikan efek multiplier pun sudah membangun citra sebagai objek
wisata yang layak dikunjungi. Bakan ada pemeo bila ke Padang tak mengunjungi Aie
Manih tidak memberikan keyakinan bahwa kita sudah ke Padang. Sekalipun datang
hanya untuk berfoto-foto sekejap saja. Atau hanya melihat dan duduk di pinggir
pantai saja memandang ke laut lepas.
Jika cerita Malin Kundang berkembang dari mulut ke mulut
sebagai cerita legenda maka objek wisata Batu Malin Kundang ini justru dipromosikan
dalam berbagai media cetak, media elektronik, website, leaflet dan bahkan lewat
pementasan-pementasan termasuk juga tetap menggunakan promosi efektif dari
mulut ke mulut bagi mereka yang sudah kembali dari Aie Manih. Lalu Malin
Kundang si pendurhaka pun bisa memberi manfaat bagi kita semua? Ini juga
memperlihatkan idiom Minang bahwa sesungguhnya tak ada yang tak bermanfaat di
dunia ini:
Nan buto pahambuih lasuang
Nan
pakak panembak badia
Nan
lumpuah pahalau ayam.[10]
Seburuk apa pun peristiwa yang terjadi, tentu selalu ada
hikmah dibaliknya. Demikianlah Tuhan menciptakan alam ini dengan segala isinya;
untuk dipetik pelajaran bagi umat manusia yang menghuninya. Intinya tidak ada
yang sia-sia di muka bumi ini. Begitu pun legenda Malin Kundang yang menjadi
cerita yang tak lekang oleh waktu, akan terus menjadi pelajaran bagi generasi
muda agar mereka tidak durhaka kepada kedua orang tua dan tetap mengingat asal
muasal dirinya (kampung halaman). Bak kata pepatah, sejauh-jauh terbang bangau
jatuhnya ke kubangan jua. Wallahu a’lam. []
Kepustakaan:
- Krisna, Eva.
2009. Kaba Gombang Patuanan: Sastra
Lisan Minangkabau di Pesisir Selatan Sumatra Barat. Disertasi S-3.
Denpasar: Program Doktor Universitas Udayana.
- Krisna, Eva.
2011. Peran Sastra Rakyat dalam
Pembentukan Karakter Anak. Makalah pada Seminar Nasional HIMA Prodi
Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumbar di Padang.
- Hamdanputera,
Nenni. Tt. Si Malin Kundang: Cerita
Rakyat dari Sumatra Barat. Seri Cerita Rakyat Nusantara. Bandung:
Citra Budaya.
- Udin,
Syamsuddin. 1993. Rebab Pesisir
Selatan: Malin Kundang. Seri Tradisi Lisan Nusantara. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
- Junus, Umar.
2001. Malin Kundang dan Dunia Kini
dalam Jurnal Sari, vol. 13, hal.
69-83. Kuala Lumpur: University Kebangsaan Malaysia Press.
[1] Disampaikan pada Dialog Teluk Brunei ke VIII Tahun
1433/2012 bersamaan dengan 50 Tahun Asterawani Brunei, tanggal 9-11 Juli di
Bandar Seri Begawan Brunei Darussalam.
[2] Dra. Hj. Sastri
Yunizarti Bakry, Akt., M.Si., Aktivis, Novelis.
[3] Ernie Djohan, lahir
6 April 1951 adalah seorang penyanyi Indonesia. Ia anak dari keluarga diplomat
M. Djohan Bakhaharudin yang pernah bermukim di Den Haag, Belanda dan Singapura.
Pada usia 11 tahun ia sudah bernyanyi untuk Radio Talentime 1962 di Singapura.
Pada tahun itu juga Ernie Djohan menjadi juara pertama All Singapore's School
Talentime. Rekaman pertama di Singapura pada tahun 1962 dilakukan di Phillips
Recording Company. Salah satu lagu yang sangat di kenang sepanjang masa di era
tahun 1970-an adalah Teluk Bayur.
[4] Darek apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi darat, tetapi artinya tidak sama lagi, karena darek hanya khusus untuk menyebutkan
daerah inti Minangkabau saja, dan tidak semua daratan yang menjadi daerah
Minangkabau. Darat mempunyai arti yang lebih luas dari darek.
[5] Menurut kamus umum
Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, arti dari pada rantau banyak sekali. Rantau mempunyai pengertian pantai
sepanjang teluk (sungai), pesisir, daerah diluar negerinya sendiri, negeri
asing tangah (negeri) tempat mencari penghidupan. Pengertian yang diambil
terhadap rantau ini adalah tanah (negeri) tempat mencari penghidupan. Di tempat
ini muncul nagari-nagari yang didiami oleh orang-orang yang datang dari Luhak
Nan Tigo.
[6] Karatau adalah nama sejenis kayu
(meranti) di hutan yang biasa dipotong untuk kayu bangunan. Kayu merantih itu
dalam bahasa Minang dinamakan kayu madang. Dalam pantun ini dikatakan bahwa
kayu karatau tersebut belum lagi berbunga, belum pula berbuah, dan tumbuhnya dibahagian
hulu, atau disebelah udik (hulu) sungai. Orang Minang memang terkenal sebagai
orang yang perantau, terutama kaum prianya. Anak laki-laki Minang sudah dilatih
berpisah dengan orang tuanya semenjak kecil. Dari umur 7-10 tahun anak
laki-laki disuruh mengaji (belajar membaca Al-Qur’an) di surau atau masjid
setelah makan malam, selanjutnya tidur di surau itu. Setelah anak itu mulai
meningkat dewasa, sudah masanya untuk membangun rumah tangga, namun belum akan
dicarikan isteri, selagi dia masih belum punya mata pencaharian tetap. Dalam
status belum boleh kawin itu, dalam pantun ini disebut dengan istilah: belum
berguna. Karena di kampung dia belum berguna (paguno balun), maka dia pergi merantau dulu. Jadi pergi merantau
itu pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan statusnya dari orang yang belum
berguna menjadi orang yang berguna dan sudah bisa berumah tangga.
[7] Berakit-rakit ke
hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang
kemudian.
[8] Rumah
Budaya dibangun oleh politisi dan pengusaha muda asal Minang Fadli Zon di
Nagari Aie Angek, Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera
Barat. Rumah Budaya ini berhadapan dengan Rumah Puisi yang dibangun Penyair
Indonesia Taufiq Ismail. Rumah Budaya ditujukan sebagai museum mini yang
menyimpan sejumlah koleksi budaya Ranah Minang masa lalu.
[9] Wayang golek Minang
digagas oleh politisi, pengusaha muda yang juga budayawan, Fadli Zon.
[10] Artinya;
Yang buta penumbuk lesung, yang tuli melepas tembakan, yang lumpuh mengusir
ayam. Filosofi ini menunjukkan bahwa apapun yang ada di dunia ini memiliki
manfaat walau sekecil apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar