OLEH Prof Dr Yaswirman, MA
Dalam dunia
perkembangan ilmu tafsir, ada beberapa corak yang sudah dikembangkan, mulai
dari masa klasik sampai masa kontemporer. Tujuan penafsiran ini tidak lain
adalah agar umat Islam mudah memahami pesan-pesan yang terkandung di dalam Alquran’
lagi pula bahasa Alquran tidak bisa hanya dipahami dari kaidah-kaidah bahasa
Arab, karena uslub (bentuk kata) dalam Alquran sangat tinggi.
Misalnya kalimat “wa jaadilhum billati
hiya ahsan”. Kalau dalam gramatika bahasa Arab, seharusnya diungkapkan
dengan kalimat “wa jaadilhum billati hiya
husna” karena hiya menunjukkan
kata mu’annats dan tentunya kata
sesudahnya juga mu’annats, yaitu husna, tetapi Allah mengungkapkan dengan
kata ahsan, dalam bentuk isn tafdhil mudzakkar.
Demikian juga dengan
kalimat ínnamal mu’minuna ikhwatun”(sesungguhnya
sesama orang beriman itu bersaudara). Biasanya kata ikhwah dipakaikan dengan makna saudara seketurunan, sedangkan
saudara yang tidak seketurunan dipakaikan kata “ikhwan”. Lalu kenapa dalam surat al-Hujurat: 10 ini dipakaikan kata ikhwah (ikhwatun) kepada sesama orang, bukan ikhwan. Agaknya maksud Allah adalah untuk memberikan pemahaman
kepada umat agar sesama orang beriman itu seakan-akan saudara seketurunan, jadi
jangan ada permusuhan. Kalau bermusuhan, harus cepat berdamai, tidak ada demdam
dsbnya. Ibaratnya orang seketurunan yang bersengketa, karena faktor genetika
dan keturunan yang sama, mereka cepat berdamai, dan seperti itu pula kalau
sesama orang beriman bersengkata, seharusnya cepat berdamai.
Jadi, begitu
indahnya gramatika Alquran yang melebihi gramatika bahasa Arab itu sendiri.
Semua ini hanya akan dapat dipahami maksudnya ketika ada usaha untuk
menafsirkannya. Namun kreatifitas untuk menafsirkan Alquran sudah sekian banyak
dilakukan oleh para mufassir dan kriteria yang harus dimiliki untuk menafsirkan
Alquran harus memahami gramatika bahasa Arab, kaidah-kaidah kebahasaan, ilmu musthalah riwayah dan dirayah
hadis, ilmu asbabun nuzul, klasifikasi ayat, fushahahatul kalam (ilmu balaghah) dan
sebagainya.
Kendati demikian,
ketika dewasa ini kriteria-kriteria dimaksud tidak seutuhnya dimiliki oleh
kalangan ilmuan muslim pada saat ilmu pengetahuan semakin berkembang dan
semakin rinci, apakah penafsiran akan terhenti? Kalaulah kita akan ketat dengan
kriteria-kriteria dimaksud, tentunya pesan-pesan Alquran tentang ilmu
pengetahuan tidak akan sampai kepada kepada generasi yang mencintai Alquran.
Apalagi generasi yang tidak sepenuhnya menguasai bahasa dan gramatika Arab
sebagai bahasa Alquran itu sendiri. Oleh karena itu, sebahagian ulama tafsir
memberi peluang adanya tafsir bil-ilmi atau
tafsir bir-ra’yi yaitu menafsirkan Alquran
berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan atau berdasarkan logika yang dibimbing
oleh wahyu dalam menemukan kebenaran. Dibimbing oleh wahyu maksudnya menetapkan
kebenaran dengan hati nurani, termasuk dalam menangkap makna-makna yang
terkandung dalam Alquran melalui gejala-gejala atau isyarat-isyarat
perkembangan ilmu pengetahuan. Akankah yang dilakukan oleh DR Halo-N bagian
dari upaya ke arah ini? Suatu hal yang menarik untuk dikaji dan diresensi
pemikiran yang dikemukakannya dalam kitab kitab al-Fathun Nawa, sebagai hasil
pencaharian intelektualnya yang disebut sebagai The First al-Quranic Scientist of The World.
Pencaharian
intelektual bidang penafsiran Alquran sudah banyak dilakukan orang, mulai dari
masa klasik sampai kontemporer ini. Pencaharian ini melahirkan beberapa
pendekatan, di antaranya yang populer adalah metode riwayah atau tafsir bi
al-ma’tsur dan metode penalaran atau tafsir
bi al-ra’yi.
Tafsir bi al-ma’tsur menekankan kebahasaan, riwayat yang
berkembang pada masa turunnya ayat, kesesuaian ayat atau surah yang satu dengan
yang lainnya dan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan peran-pesannya.
Sayangnya penafsir dengan metode ini sibuk dengan uraian kebahasaan, sehingga
melupakan pesan-pesan Alquran. Begitu juga dengan uraian asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) misalnya tetang
ayat-ayat hukum yang dipahami dari nasikh
mansukh juga sering terabaikan, seakan-akan ayat itu turun pada masyarakat
yang tanpa budaya.
Tafsir bi al-ra’yi dengan mengandalkan penalaran, membawa
kita memperluas cakrawala, karena kita menelusuri pesan-pesan ayat satu
persatu. Tafsir ini terbagi kepada dua metode, yakni metode tahliliy, yaitu sebuah metode, di mana
mufassirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai segi
dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat sebagaimana yang tertulis dalam mushaf Alquran.
lalu metode maudhu`iy, di mana
mufassirnya berusaha menghimpun ayat-ayat Alquran dari berbagai surah yang
berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan, sehingga bahasannya
menjadi satu kesatuan yang utuh. Penafsiran ini dikenalmjuga dengan istilah
tafsir tematik. Kendati ada beberapa cara penafsiran Alquran, namun kemampuan
bahasa Arab tetap menjadi andalannya.
Bila dilihat kitab
al-Fathun Nawa hasil pencaharian intelektual Dr Halo-N yang disebut sebagai The First al-Quranic Scientist of The World
ini, agak mirip dengan penafsiran Alquran secara tematik atau berdasarkan
perkembangan ilmu pengetahuan. Seperti menguraikan tema-tema pokok kandungan
beberapa ayat ke arah satu konsep pesan atau kesimpulan, seperti konsep pesan
pendidikan, sains, ekonomi, dan mengajak generasi penerus menggali sumber ilmu
yang terkandung dalam Alquran, tetapi tetap tidak melupakan pesan-pesan tauhid
pada masing-masing uraian ayat. Hal ini tercermin uraian ruhul ma’aniy dari ayat tertentu yang diuraikan, umpamanya dalam
menguraikan makna furqan sebagai tema
sentral penafsiran.
Pada kitab-kitab
tafsir sebelumnya, furqan disebut
sebagai sebuah nama dari Alquran yang bermakna ‘pembeda antara yang baik dan
yang buruk’ sebagai salah satu fungsi Alquran. Dr Halo-N melihatnya dari
pemaknaan kontekstual yang juga sudah ditemukan dalam makna bahasa Arab, yaitu
‘bukti’, ‘inovasi’ atau ‘kreasi’ yang harus ditemukan oleh generasi penerus
sebagai intelektual muslim tentang kebenaran kandungan Alquran. Satu hal yang
sangat menarik dari pesan DR Halo-N ini adalah setiap inovasi atau kreasi yang
ditemukan dan mengajak generasi penerus memikirkannya, harus didasarkan atas ke
Maha Pemurahan Allah atas nikmat yang diturunkan kepada hamba-Nya, agar
tercipta sebuah konsep tentang kesejahteraan dunawi dan ukhrawi.
Sebagaimana lazimnya
orang-orang yang mencintai Alquran, yang menjadi wahyu dengan kebenarannya yang
mutlak, tampaknya Dr Halo-N dalam penafsirannya berusaha menghindarkan diri
dari cara-cara penafsiran Alquran secara hermenetik, yang sering mengundang
kontroversi di kalangan umat Islam. DR Halo-N melihatnya dari sudut ruhul ma`any makna ayat, kemudian
dihubungkan dengan perkembangan ilmu, bukan sebaliknya. Inilah ciri khas buku
ini dan yang membedakannya dengan buku-buku tafsir Alquran yang lainnya dewasa
ini. Bagaimanapun juga tentu tidak semua temuan mengandung kebenaran yang utuh,
sebagaimana juga yang dikemukakan oleh ulama mujtahid setelah mereka mengeluarkan
ijtihadnya.
Menarik untuk
disimak apa yang dikemukakan oleh penulis pada bagian pendahuluan, kenapa
penulis memberi judul kitabnya dengan Al-Fathun Nawa (halaman 1) sebagai
berikut: ”Selama dalam proses penulisan ini, terdapat banyak pihak yang
bertanya kepada penulis, mengapa perkataan Al Fathun Nawa dipilih menjadi judul
tulisan ini. Sebenarnya keputusan ini dibuat berdasarkan kepada ruhul ma’ani
(makna hakikat atau makna substansi) perkataan Al Fathun Nawa yang dapat
diselaraskan dengan arti Ledakan
Nuklir (Explosion of Nuclear). Pemaknaan ini dipandang sangat relevan
dengan Alquran sebagai sumber rahmat bagi sekalian alam. Terutama jika melihat
kedudukan Alquran yang bersifat Umm al-Kitab.
Alquran juga disepadankan dengan
nama al-Furqan jika dilihat dari sisi kemampuan dan kekuatannya dalam
membentuk, mengubah dan merencanakan arti manusia dan kemanusiaan di seluruh
sektor kehidupan, ketuhanan, kerasulan, kemasyarakatan, ekonomi, sains dan
teknologi yang berujung pada kemajuan dan peradaban dunia. Manusia yang
mengemban amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi yang bertuhan dan maju
dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi.”
Argumentasi yang
dikemukakan oleh penulis untuk melihat kekuatan dan kemampuan Alquran dalam
semua sektor hidup dan kehidupan manusia dalam mengemban amanah Allah itu
adalah dengan melihat manka ruhul ma`ani firman
Allah swt: Kalau sekiranya Kami turunkan Alquran
ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah
disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk
manusia supaya mereka berfikir (QS:
al-Hasyr, 59: 21)
Maksud ayat ini pada
awalnya menerangkan sekiranya gunung-gunung itu diberi oleh Allah akal untuk
berfikir, sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, kemudian
diturunkan kepadanya Alquran, tentu gunung-gunung itu akan tunduk kepada Allah.
Bahkan bisa hancur lebur karena takut kepada-Nya, namun Alquran tidak
diperuntukkan kepada gunung-gunung, tetapi hanya kepada manusia. Oleh karena
itu, ayat ini sekaligus memberi peringatan kepada menusia mempergunakan akalnya
untuk berfikir tentang kebesaran Allah. Bagi siapa yang tidak mempergunakan
akal fikirannya karena memperturutkan hawa nafsunya dan kesenangan duniawi dan
takut akan kehilangan pengaruh dan kedudukan, maka dia tidak akan menemukan
kebenaran Ilahi. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar