Perempuan dalam Lima Dimensi Budaya
OLEH Nasrul Azwar
Drama tari Garak Nagari Perempuan karya Susas Rita Loravianti yang dipentaskan pada Jumat (31/05/2014) di Nagari Pasia Talang, Sungai Pagu, Solok Selatan. Foto-Ezu Oktavianus
|
Dalam catatan saya, inilah
pertunjukan seni yang fenomenal di Sumatera Barat sepanjang 10 tahun terakhir,
malah mungkin lebih. Pertunjukan drama tari berdurasi hampir dua jam ini melibatkan
ratusan orang, disaksikan seribuan lebih penonton, dengan menggunakan lima
ruang pementasan. Masyarakat menyatu dalam pertunjukan ini. Berbaur dan memberi
respons.
Lima simpul dan ruang pertunjukan
itu adalah surau, rumah gadang, pasar, balai adat, dan istana. Tentu saja
kelima ruang publik itu, merupakan simpul yang berkaitan erat dengan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau.
Ditelisik lebih dalam,
kelima ruang yang merupakan keniscayaan bagi nagari-nagari di Minangkabau itu,
tak bisa dilepas dari tatanan masyarakat dengan struktur sosial, nilai-nilai,
dan norma adat dan tradisi yang hadir di belakangnya.
Di Nagari Pasia Talang,
Sungai Pagu, Solok Selatan, Jumat 31 Mei 2014 lalu, kelima ruang itu seperti
diberi napas baru. Nagari Pasia Talang yang memiliki sejarah panjang dalam
Kerajaan Sungai Pagu di Minangkabau itu, berlangsung dengan konsepsi dan konstruksi
kultural-sosial terhadap lima simpul penting dalam budaya Minang. Rangkaiannya seolah
bergerak dalam pemaknaan baru dengan menempatkan posisi perempuan Minang dalam
arus perubahan zaman. Selain itu disfungsinya pimpinan tungku tigo sajarangan
di tingkat nagari juga dipapar dengan narasi dan gerak.
Peristiwa konstruksi kultural
itu semua digambarkan secara apik dan terukur dalam koreografi Garak Nagari Perempuan karya Susas Rita
Loravianti, salah seorang koreografer perempuan yang menonjol di Indonesia
dengan latar ilmu seni pertunjukan penciptaan tari. Susas Rita Loravianti bukan
koreografer yang mengandalkan insting tanpa bisa diukur tujuan dan konsepsinya
seperti koreografer kebanyakan yang hanya andalkan susunan gerak akrobatik.
Tatanan ideal tentang
Minangkabau bukan saja digugat, tapi diberi makna baru. Garak Nagari Perempuan adalah representasi dan penguatan lima
dimensi eksistensi perempuan Minang, yang hingga kini tak bisa dilepas dari
ruang-ruang budaya Minangkabau.
Secara semiotis, dalam
koreografi itu, Susas Rita Loravianti merepresentasikan dua perempuan yang sangat
terkenal dalam tradisi lisan kaba Minang, yakni Bundo Kanduang dan Gondan Gondoriah. Bundo Kanduang menyiratkan
kearifan dan kebijaksanaan seorang perempuan. Gondan Gondoriah menggambarkan
kesetiaan dan kesabaran seorang perempuan. Kedua perempuan itu merupakan tokoh
penting dalam cerita kaba Cindua Mato
dan Anggun Nan Tongga.
Garak Nagari Perempuan menurut koreografernya, merupakan drama tari yang berangkat dari
refleksi dirinya sebagai perempuan Minangkabau. Dalam realitas kehidupan
sehari-hari, perempuan Minangkabau menghadapi dilema antara kebebasan
berekspresi dengan keterbatasan peran dalam budaya.
Drama tari ini diawali dengan bebunyian tabuah di halaman
depan Masjid Anam Puluh Kurang Aso. Sebuah surau yang dibangun pada abad-17 di
Nagari Pasia Talang. Lapat-lapat sekelompok lelaki menabuh rebana. Salah satu
alat musik yang dekat dengan Islam. Halaman surau itu jadi ruang pertunjukan
yang indah. Napas islami terasa sangat kental. Tujuh perempuan mengenakan
mukena (telakung) warna putih keluar dari surau. Mereka bergerak dalam tempo
tak begitu cepat, tapi tegas. Koreografi menggambarkan kehidupan di Minangkabau
tak bisa dilepaskan dari Islam: Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
(Alquran). Cahaya dari lilin yang dibungkus pelepah pisang, membangun suasana
jadi khusuk. Surau itu seperti menghipnotis penonton.
Tak berapa lama, ditingkahi irama rebana dan gerak melingkar
dalam tradisi randai, muncul sesosok perempuan, juga dari surau itu, terbungkus
kain putih yang memanjang ke belakang, dengan gerak agak cepat, berbaur dengan
tujuh perempuan tadi. Sosok perempuan ini menonjol karena dibungkus mukena
ukuran besar. Kipasan kain putih itu, menyimbolkan perempuanlah yang kelak
membuka jalan ke surga bagi keluarganya dan juga kaumnya. Perempuan yang
membuka jalan kebaikan itu dibawakan Susas Rita Loravianti.
Koreografi dengan pilihan mobile ini bergerak ke rumah gadang, yang jaraknya dari Masjid
Anam Puluh Kurang Aso, lebih kurang 100 meter.
Di rumah gadang, dimana fungsi lelaki cukup penting di atas rumah, terhampar
halaman rumah yang cukup luas.
Dalam ploting cerita, menurut saya, di
rumah gadang inilah sebenarnya konflik terkait dengan tatanan adat budaya
Minangkabau itu berlangsung. Bundo
Kanduang yang diperankan koreografernya, dari jendela rumah gadang itu
menatap dengan sedih realitas Minangkabau hari ini: Dari sini, ia ingin
kembalikan posisi ideal perempuan itu. Dan semua kegisahan dan kecemasan Bundo
Kanduang itu, dicurahkannya dalam puisi-puisi yang bercerita tentang dirinya.
Kehadiran anak-anak di halaman rumah
gadang, membuka memori dan ingatan masa indah dan keceriaan anak-anak, khusus
perempuan. Banyak permainan anak nagari yang dihadirkan di rumah gadang ini.
Memang, komposisi dan simbolisasi gerak yang dihadirkan, tampak perpaduan yang
ketat antara tarian tradisi rakyat dengan sentuhan kontemporer. Dalam beberapa
hal kita bisa nikmati koreografi seni tradisi randai, tari adok, silek harimau,
tari piring, tari alang suntiang pangulu, dan tari mancak koto anau. Musik yang
digarap Susandra Jaya dengan menggunakan alat musik tradisi Minang, pun
bersenyawa setiap napas dan gerak Garak
Nagari Perempuan.
Rumah gadang dalam Garak
Nagari Perempuan menjadi ruang bersama dengan koneksivitas persenyawaan
bermacam-macam seni tradisi Minang yang tumbuh bukan saja di Nagari Pasia
Talang, tapi juga berkembang di nagari-nagari lainnya seperti di tari mancak
dari Nagari Koto Anau, Solok.
Perubahan dan ancaman yang dimungkinkan karena
globalisasi, serta ketidakmampuan Minangkabau menghadangnya, terlihat ketika
pasar tradisi yang tumbuh ratusan tahun di nagari-nagari, dihadapkan pada
pertumbuhan pasar-pasar modern. Pasar-pasar atau balai pun layu satu per satu.
Balai dalam perspektif Minangkabau adalah ruang sosial bagi anak nagari,
termasuk perempuan yang menggerakkan ekonominya.
Gerak koreografi dengan dinamika tinggi, memberi makna,
bahwa perubahan dengan segenap sisi baik dan buruk yang dibawanya, berlangsung
sangat cepat. Antisipasinya pun harus dilakukan sesegera mungkin. Maka,
rapatlah para pemimpin nagari di balai adat, yang terdiri dari alim ulama,
ninik mamak, cadiak pandai, dan bundo kanduang.
Ruang balai adat menjadi salah satu simpul membincangkan perubahan yang tak
bisa dihindarkan itu. Saat sidang berlangsung, Bundo Kanduang melintas di depan
balai adat dengan menaiki bendi kebesarannya menuju Istananya.
Dialog tokoh-tokoh nagari-nagari itu, walau sangat
verbal, memang tak memunculkan gerak dan koreografi. Dialog yang terkesan
memberi petuah dan nasihat ini, direspons agak sinis oleh Bundo Kanduang dari
tangga istananya. Selain itu, dialog-dialog yang sangat mengesankan
verbalistisnya, bagi saya, tak memberi banyak arti dalam semua rangkaian drama
tari Garak Nagari Perempuan itu.
Karena di balai adat ini tidak berlangsung koreografi, tapi teater, yang
pemainnya sangat kaku dan terlihat berhati-hati sekali.
Di ruang istana koreografi tampak menjadi klimaks dari
cerita Garak Nagari Perempuan. Capaian
artistik juga terlihat di rumah Gadang Tuan Rajo Disambah. Barisan kuburan di halaman ustano
memberi efek artistik yang ambiguitas dan multitafsir. Penari dengan
menggunakan payung dengan lampu berkedip dengan busana hitam, memperkaya
capaian dari semua keinginan artistik Garak
Nagari Perempuan ini. Di sini semua rangkaian koreografi yang mengantarkan
Susas Rita Loravianti berhak menyandang gelar doktor penciptaan tari itu,
berakhir.
Dalam Arus Globalisasi
Globalisasi tampaknya telah
menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi dilematis: antara tradisi
dan perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi dilematis ini muncul
akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan ‘wajah ganda’. Di
satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi, homogenisasi, standardisasi,
internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’; sementara di sisi lain,
globalisasi justru telah menguatkan semangat desentralisasi, penganekaragaman,
pluralitas, tribalisme, sukuisme dan sektarianisme.
Maka dengan demikian,
mengutip Yasraf Amir Piliang (2003), situasi dilematis tersebut juga dihadapi
oleh gerakan-gerakan ‘budaya lokal’ di Indonesia, khususnya dalam upaya
revitalisasi budaya. Di satu pihak, semangat reformasi, otonomi, dan
demokratisasi telah memunculkan berbagai sentimen lokal (kesukuan, keagamaan,
ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada titik yang ekstrim telah menyulut
berbagai bentuk konflik dan kekerasan. Di pihak lain, kehidupan sehari-hari
masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan masyarakat
global dan budaya global. Pengaruh tersebut telah merubah cara hidup,
gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka,
yang pada titik tertentu justru mengancam eksistensi warisan adat,
kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya lokal.
Dalam situasi dilematis
tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi budaya-budaya lokal dalam konteks
perkembangan budaya global, tampaknya harus didukung oleh pemikiran, filosofi,
visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif, sehingga globa-lisasi
dapat dijadikan sebagai peluang bagi pengkayaan budaya lokal di dalam kancah
budaya global, tanpa harus meninggalkan nilai-nilai kunci budaya lokal itu
sendiri.
Hadirnya ruang publik di
tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang (sasaran),
yang merupakan ranah bagi anak nagari
untuk mengekspresikan diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya.
Di dalam galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat,
dan komunal.
Garak Nagari Perempuan dengan memanfaatkan simpul
ruang publik itu sesungguhnya telah menjelaskan problem Minangkabau menghadapi
arus global itu. Susas Rita Loravianti, juga ingin mengatakan: Minangkabau
sebenarnya bukan semata yang disebutkan dalam mamangan: Sekali aie gadang,
sakali tapian barubah. Tapi, harus kita harus mereposisi tatanan sosial dan
kultural Minangkabau secara konkret jika kita ingin tetap melihat
Minangkabau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar