OLEH Deddy Arsya
Di atas sebuah bendi yang sedang menuju
ke pinggiran kota, di samping kusir yang telaten memainkan tali kekang, duduk
Bahder Johan. Usianya belum belasan tahun ketika itu. Dari
atas bendi itu, dengan mata kanak-kanaknya, dia menyaksikan serdadu-serdadu
berkuda (kavelari) Belanda tampak berparade di jalan-jalan kota. Mereka, kenang
Bahder Johan di kemudian masa yang jauh, “berkeliling kota dengan gagah tapi
menakutkan.”
Ketika itu tahun 1912. Tiga tahun
sebelumnya, di daratan Minangkabau dan di kota Padang sendiri, telah terjadi pemberontakan
melawan pemerintah kolonial Belanda. “Aku mendengar dari pembicaraan
orang-orang, telah terjadi peperangan antara orang-orang Minangkabau dengan serdadu-serdadu
pemerintah Belanda,” tulis Bahder Johan pula. Peperangan itu, dalam pendengaran
kanak-kanak Bahder, terjadi karena
orang-orang Minangkabau merasa “Belanda
telah melanggar Plakat Panjang.” Kita yang berada di masa kemudian mengenangnya
sebagai rangkaian Pemberontakan Pajak. Dan
akibat dari pemberontakan itu telah mempengaruhi ‘pemandangan’ kota Padang dan
kota-kota lainnya bahkan beberapa tahun setelahnya: konsenstrasi militer di
kota-kota di Sumatera Barat masih terlihat, parade lebih sering diadakan tanda
waspada akan terjadi pemberontakan lanjutan atau sekedar untuk memberi takut.
Ketika militer masih sibuk memadamkan remah-remah
pemberontakan, di Sumatera Barat, pada waktu yang bersamaan, tenaga dan ahli
kesehatan juga tengah lintang-pukang menghampang penyebaran wabah cacar. Di Padang,
epidemi ini malah menjangkit demikian cepat dan demikian massif. Vaksin yang
ada dirasa tidak memadai untuk mencegah penyebaran. Epidemi ini juga diramalkan
akan berlangsung dalam waktu yang tidak singkat. Oleh karena itu, Dinas
Kesehatan Belanda merasa perlu untuk menghemat benih vaksin yang ada sebagai
vaksin cadangan untuk waktu yang akan datang. Dinas yang sama, akibatnya, harus
pula menambah benih vaksin yang diperlukan.
Benih vaksin diambilkan dari “anak-anak
yang sudah pernah dicacar, yang padanya terdapat bisul-bisul yang penuh nanah”.
Anak-anak dengan kriteria itu dicari ke
seluruh penjuru kota untuk kemudian dikumpulkan di lima tempat yang berbeda yang
terletak di pinggiran kota. Bahder Johan adalah salah satu anak yang terpilih,
dia adalah ‘benih vaksin’. Dia kemudian didatangi petugas kesehatan kota
(mantri kesehatan) dan dibawak naik bendi ke tempat pengambilan benih vaksin
nun di pinggiran kota. “Pada waktu itu benih vaksin dikucilkan pada lima
tempat. Aku dibawa dengan menaiki bendi ke luar kota Padang oleh mantri cacar.”
Setiap anak yang telah diambil benih vaksin darinya akan mendapat “honorium 50
sen”, kenang Bahder.
Tapi sekitar 20 tahun kemudian, epidemi
cacar kembali melanda Minangkabau. Kali ini terpusat di dataran tinggi. Negeri-negeri
selingkar gunung Marapi dan Singgalang menanggungkan epidemi ini, Tilatang
Kamang, Empat Angkat, hingga Sungai Tarab. Bahkan, di nagari yang disebutkan
terakhir, tidak hanya harus menanggungkan epidemi cacar, wabah kolera dan
disentri juga menyebar dengan cepat ke dalam masyarakatnya.
Dalam memoarnya, Awaluddn Latief
mengenangkan, pada tahun 1929, ayahnya yang kepala nagari Sungai Tarab masa
itu, harus mendatangkan juru rawat kesehatan dari Padang untuk menangkis
perkembangan wadah ini secara lebih luas di daerah kekuasaannya. “Juru rawat
kesehatan”, begitu tulis Latief, “didatangkan beliau ke Sungat Tarab.”
Epidemi cacar, dalam laporan pemerintah
kolonial, juga menerobos dinding penjara di Padang. Laporan pemerintah tahun
1881 menyebutkan bahwa ada dari narapidana yang sakit. Penyakit mereka adalah
disentri dan demam, dan terutama cacar. Hal yang sama juga ditemui dalam
laporan pemerintah tahun 1882 dan juga tahun 1883. Penyakit ini merupakan salah-satu
epidemi yang hampir-hampir selalu diderita para tahanan.
***
Kami telah menerangkan bagaimana epidemi
cacar melanda Sumatera Barat. Kami juga akan melihatkan juga bagaimana epidemi beri-beri
juga pernah menjangkiti Minangkabau terutama pada akhir abad ke-19. Padang
adalah yang paling parah terkena epidemi ini. ‘Kedatangan’ beri-beri ke Padang
tercatat pertama kali pada tahun 1873. Pada tahun itu, setengah awak kapal api
“Hertog Bernard” dirawat di rumah sakit Padang karena beri-beri. Diduga, awak
kapal itu terjangkit setelah kapal cukup lama berada di Teluk Lampung. Teluk
Lampung memang terkenal dan ditakuti karena ancaman beri-beri serta demam
endemik.
Tiga tahun setelah itu, epidemi beri-beri
masih terus menghantui kota Padang. Tepatnya pada tahun 1876, dalam sebuah
laporan bertajuk Beri-beri te Atjeh, disebutkan
bahwa epidemi beri-beri paling parah dialami Aceh. Namun epidemi ini kemudian
juga ditanggungkan oleh daerah-derah lain, bahkan yang paling sehat sekali pun,
seperti di Jawa Tengah dan Sumatera Barat. Kedua daerah itu juga mendapatkan
kerugian yang sangat besar akibat epidemi ini. “... zelfs in gezonde streken, zooals o. a. de
binnenlanden van Java en Sumatra's Westkust, te herinneren, om te weten dat
groote verliezen ten gevolge van ziekte en ontberingen...,” (... bahkan di
daerah yang sehat, seperti Pedalaman Jawa dan Sumatera Barat, kerugian besar
diderita karena wabah ini).
Gelombang epidemi beri-beri akan menghempas
lagi belasan tahun setelah itu. Padang juga masih akan terkena dampak dari
hempasan itu. Gelombang itu lagi-lagi berasal dari Aceh. Dalam belantara perang
Aceh, beri-beri merupakan kendala utama dalam upaya pemerintah kolonial Belanda
menaklukkan pemberontakan. Pada 1886 tercacat 5383 kasus beri-beri di Aceh.
Pada tahun itu pula, dicacatkan, hampir setengah jumlah tentara yang meninggal
di Aceh meninggal karena beri-beri. “Jumlah tentara yang meninggal di tahun
yang sama sebanyak 618 orang dan 303 orang di antaranya disebabkan oleh
beri-beri [...]pada 1886, dievakuasi 6069 orang dan di antaranya terdapat 4514
orang penderita beri-beri (75%).”
Mereka yang terjangkiti itu dievakuasi semua
ke Padang. Padang telah memiliki rumah sakit yang besar dan memadai yang sejak
awal perang Aceh sudah diperluas. Rumah sakit di Fort de Kock di daratan tinggi
Sumatera Barat juga tengah dipersiapkan dan dimanfaatkan untuk menampung
kelebihan pasien.
Namun sesungguhnya, pengiriman pasien
beri-beri dari Aceh ke Padang sudah dimulai jauh sebelum itu. Dalam laporan
pemerintah kolonial tahun 1880 meyebutkan, “[...]Inzonderheid onder hen, die te Atjeh te werk gesteld werden, was in het
afgeloopen jaar de sterfte zeer groot, de meest voorkomende ziekten waren
beri-beri, koortsen, huiduitslagen en dyssenterie [...] Te Padang moest voor
hen worden gebruik gemaakt van loodsen, die vroeger voor de verpleging van
vrije koelies hadden gediend.” (Mereka yang dipekerjakan di Aceh, telah
mengalami jumlah kematian yang sangat tinggi, yang paling banyak terkena
penyakit beri-beri, demam, ruang, dan disentri [...] Padang adalah tempat yang
digunakan untuk 'pembuangan'.” Dalam laporan tahun 1884 yang mencatatkan
kejadian tahun 1883, juga sebutkan bahwa banyak yang dievakuasi dari Aceh ke
Padang terutama akibat menderita beri-beri.
Di Sumatera Barat sendiri, beri-beri juga
berkembang hebat dalam penjara. Pada tahun 1884, terdapat banyak penderita
beri-beri di kalangan narapidana dan tahanan. Tampaknya lembaga penjara tidak
punya ‘kekuatan’ untuk menangani mereka sehingga mereka yang terjangkiti dipulangkan saja ke kampung halaman
masing-masing. Anehnya, setelah dipulangkan, mereka sembuh tanpa pengobatan.
***
Epidemi lain melanda Sumatera Barat pada masa-masa
berikutnya, yaitu pada akhir-akhir pemerintah kolonial. Dalam sebuah jurnal
berbahasa Belanda yang terbit tahun 1939 disebutkan bahwa penyakit tuberculose
menjangkiti Padang secara massif. Dr. Thuenissen, Kepala Departemen Kesehatan
Masyarakat (hoofd van den dienst der
volksgezondheid), yang melakukan perjalanan ke Sumatera Barat, memberikan
laporan. Dari hasil perjalanannya itu, jenis penyakit tuberculose sudah demikian parah menyebar di daerah Sumatera Barat.
Melihat kondisi itu, sebagai pejabat kesehatan pemerintah, dia memutuskan mengambil
kebijakan untuk menempatkan 100 tempat tidur lagi di sebuah rumah sakit umum di
Sumatera Barat, “yang dimaksudkan hanya untuk penderita tuberculose.” (1939: 4559)
Yang terakhir yang ingin kami catatkan di
sini adalah, dalam jurnal yang sama dan pada waktu yang hampir bersamaan, di
Sumatera Barat juga berkembang “penyakit” gila (krankzinnigen). Rumah sakit jiwa di Padang tidak mampu menampung
jumlah pasien yang membludak. Pemerintah, atas dasar itu, lalu berencana untuk
membangun rumah sakit jiwa lain, setidak-tidaknya untuk memindahkan 30 sampai
40 pasien yang tidak lagi tertampung (1939: 4560).
Untuk ‘wabah’ yang disebutkan terakhir,
timbul pertanyaan kita, kenapa begitu banyak orang Sumatera Barat para periode
itu yang kena gangguan jiwa? Apakah ada hubungannya dengan depresi ekonomi yang
melanda sekujur tubuh Hindia Belanda sejak 1930? Apakah ada pula hubungannya
dengan sikap represif pemerintah kolonial terhadap masyarakat Minangkabau
pasca-Pemberontakan Komunis yang gagal tahun 1927?
Padang, 2011-12-21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar