Sri Sultan Hamengku Buwono XGelar Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas Gelar Puan Gadih Puti Reno Indaswari
Bismillahir Rahmanir Rahim
Biluluk ada dalam ketiding
Siturak jatuh ke lembah
Bila duduk hamba hendak berunding
Jika tegak mendatangkan sembah
Lapun melapun ke Inderagiri
Naik juara orang Batipuh
Sungguhpun hamba tegak berdiri
Lebih dari duduk bersimpuh
Sungayang di Batusangkar
Tempat budak membasuh muka
Tenang-tenang kita sebentar
Hamba lewakan gelar Sangsaka
Pergi mandi ke Sungai Tenang
Orang Sumpur ke Saningbaka
Petanglah hari di Singkarak
Singgah di rumah Rajo Alam
Yang dinanti sudah datang
nan ditunggu sudah tiba
Senanglah hati ninik mamak
Beserta anak dan kemenakan
Assalamualaikum warahmatullahi
Wabarakatuh
Yang kami sanjung tinggi Sri Sultan
Hamengku Buwono X beserta Gusti Kanjeng Ratu Hemas berikut para “rayi dalem”
Ngayogyakarta Hadiningrat dan para pejabat di lingkungan Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pewaris Yang
Dipertuan Pagaruyung beserta dengan kapak radainya, Rajo Tigo Selo, Basa Ampek
Balai jo Tuan Gadang Batipuah, sapiah balahan, karib kerabat, laweh basibiran,
panjang bakaratan.
Yang kami hormati tokoh “Tungku Tigo
Sajarangan”, ninik mamak, yang gedang besar bertuah, kayu gedang di tengah
kampung, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat
bergantung, daunnya rimbun, tempat berlindung di kala panas, tempat berteduh
ketika hujan. Bila mau pergi tempat bertanya, bila pulang tempat menyampaikan
berita.
Engku-engku alim ulama, suluh terang
benderang dalam nagari, yang menuntut jalan di dunia dan akhirat, yang tahu sah
dengan batal, halal dengan haram. Beliau undung-undung ke surga, payung panji
ke Medinah, tentang ilmu ushul dan fiqhi, ilmu mantik dengan ma’ani, ilmu nahu
dengan saraf, ibaratnya ganti doa sudah makan, hafal luar kepala.
Engku-engku yang bernama
cerdik-tahu-pandai, yang berilmu segala banyak, yang pandai menghitung bintang
di langit, yang arif dan bijaksana, tahu di angin yang bersabung, tahu di badai
yang akan datang, gelombang yang akan tiba, terkilat ikan dalam air, sudah tahu
jantan atau betina.
Ibu-ibu bunda kandung, yang diam di
anjung yang tinggi, berkelambu sutra dewangga, bergoba empat helai, tertegak
batal seraga, di kiri dan kanan, yang memegang garis keturunan, suku dan sako
(saka), amban puruk penyimpanan bilik dalam, peti simpanan emas dalam kayu
berlarik, bila haus tempat minta air, lapar tempat minta makan, anak kunci
lumbung berpereng.
Hadirin hadirat para undangan yang kami
muliakan. Kecil tidak disebut nama besar tidak dipanggil gelar, urang muda
selendang dunia, yang berbunga sedang berkecambah, termasuk dalam imbauan kami.
Tersebut di dalam kitab Tambo:
Di mana titik pelita
Di balik tanglung bertali
Dari mana turun nenek kita
Dari lereng Gunung Merapi
Di sana ada buaya putih
dagu, sirangkak berdengkang. Di sana ada kumpai berayun, dekat gelanggang
burung kuau. Di sanalah nagari mula berdiri, bernama Pariangan Padangpanjang.
Rajanya Sri Maharaja Diraja, serpih belahan Raja yang tiga jurai, putra dari Iskandar
Zulkarnain, (Alexander de Groot/Alexander The Great), Raja Macedonia, sejurai
turun ke negeri Rum (Roma), Raja Alif, sejurai turun ke negeri Cina disebut
Raja Dipang, sejurai lagi Sri Maharaja Diraja yang menepat (menuju) ke pulau
Perca ini.
Yang bernama Alam Minangkabau, sampai
ke riak yang berdebur, di Sikilang-Air Bangis, Tapan Indrapura, dekat dengan
Taratak Air Hitam, berbatas dengan Raja Syair Alam di Muko-Muko (sekarang Prop.
Bengkulu), membelok ke Durian Ditekuk Raja, dekat air berbalik mudik (sungai
Batanghari yang alirannya bolak-balik), Pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke
Sipisak Pisau Hanyut, dekat dusun Silukah dan Pinang yang sebatang, terus ke
rantau kurang esa dua puluh digenapkan dua puluh dengan Muaro.
Singingi dengan Teluk Kuantan,
(sekarang Propinsi Riau) Cerenti dan Paranap (Riau), sampai ke Pintu Raya Hilir
di Sialang Berlantak Besi, Siak Seri Inderapura, lalu menyeberang selat Malaka,
sampai ke Rembau-Seri Menanti di Negeri Sembilan di Semenanjung Tanah Melayu.
Pada hari yang sehari ini, entah ketika
(perlangkahan) yang elok, atau hari yang baik, dari bukit sudah menurun, dari
lurah sudah mendaki, nyatanya sudah bersila bulat, bersimpuh kotak, dari ujung
sampai ke pangkal, dari tengah sampai ke tepi, di Istana Besar Pagaruyung ini,
warna hitam bagaikan rimba sudah dibakar, merah bagaikan kesumba terhampai,
berminsie berbenang emas, bagaikan kunang-kunang terbang di tempat yang gelap,
beragam pula kain cindai nan pilihan bak panas dalam belukar, senanglah hati
kami memandangnya, sejuk dalam kira-kira (pikiran) bak rasa pulang Datuk
Katumanggungan, bak rasa hidup Parpatih nan Sabatang, berkat keramat Indah
Jelita, mulia alamnya tanah Minang.
Besi baik sudah diringgiti,
dilengongkan kiri dan kanan, ditilik hilir dan mudik, dibilang ciek-ciek,
dihitung satu persatu, dari esa kedua, sampai habis, terlihatlah orang besar
(gedang) yang tinggi tampak jauh, besar tampak dekat, yakni Sri Sultan Hamengku
Buwono X dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tersebutlah dari dinasti
Kerajaan Mataram, berdua dengan istrinya Gusti Kanjeng Ratu Hemas, duduk
berdamping dengan Gubernur, Pucuk Undang di daerah Sumatera Barat, H. Soetan
Zainal Bakar, S.H. berdua pula dengan istri beliau, Hajjah Ana Zainal Bakar.
Urang Padang mangurai banang
Dikumpa-kumpa dilipek
Dilipek patah tigo
Kok rundiang amuah dirantang
Elok dikumpa naknyo singkek
Singkek sado ka paguno
Dek hujan bapuhun, keturunan baasa,
kato bamulo, maka bermulalah kata dari masyarakat
Minang di Yogyakarta pada bulan Agustus 2001 tahun yang lalu. Sungguh besar
hasrat dan keinginan masyarakat urang awak yang menetap di daerah
Istimewa Yogyakarta untuk memberikan penghargaan kepada Sri Sultan Hamengku
Buwono X dengan mengangkatnya sebagai “mamak” orang Minang di Yogyakarta.
Hasrat yang besar tersebut disampaikan
oleh para pemuka masyarakat Minang Yogyakarta berupa usul dan permohonan kepada
Gubernur Sumatera Barat dan Pimpinan LKAAM Sumatera Barat yang secara kebetulan
ketika itu sedang berada di Kota Yogyakarta.
Permohonan tersebut disambut positif
oleh Gubernur Sumatera Barat, namun untuk memproses dan menindaklanjutinya,
diserahkan oleh gubernur kepada LKAAM Sumatera Barat. Selanjutnya oleh pihak
LKAAM dibicarakan dalam rapat-rapat pengurus bersama pimpinan Bundo Kanduang
serta memusyawarahkan dengan seluruh Pimpinan LKAAM kabupaten dan kota seluruh
Sumatera Barat untuk mencari “picak satapiak, bulek sagolek, bulek aie ka
pambuluah, bulek kato ka mufakat, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo
balapang-lapang,” maka didapatlah kesepakatan untuk mengabulkan permohonan
keluarga besar Minangkabau di Yogyakarta tersebut dengan menganugerahkan gelar
kehormatan sangsako adat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dari
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
LKAAM hanyalah suatu organisasi tempat
berhimpunnya ninik mamak/pemangku adat Minangkabau se-Sumatera Barat dan bukan
sebagai perangkat adat sudah jelas tidak punya peti bunian adat dan gelar.
Oleh karena itu, LKAAM Sumatera Barat
memohonkan kepada Pewaris Kerajaan Pagaruyung sebuah gelar yang akan
dianugerahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas
dari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejarah kontemporer Indonesia banyak
memberikan catatan untuk kita pedomani dan banyak faktor lainnya yang dapat
kita ambil dalam mempertimbangkan penganugerahan gelar tersebut. Beberapa di
antaranya ingin kami kemukakan di sini:
1. Ketika Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap
Maguwo, pada waktu subuh 19 Desember 1948 dan kemudian Yogya diduduki, maka
pada saat yang amat genting itu Bukittinggi tampil menggantikan peranan
Yogyakarta. Menteri Kemakmuran RI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang
berada di Bukittinggi segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI).
2. Meski surat mandat yang dikirimkan Soekarno-Hatta dari
Kepresidenan Yogya yang dialamatkan kepada Menteri Kemakmuran RI, Mr.
Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi tidak pernah
diterima oleh Sjafruddin (mungkin ada sabotase Belanda), namun Sjafruddin telah
bertindak sesuai dengan isi mandat tersebut. Sejak itu sangat populer sebutan
Bukittinggi sebagai Yogya II. Itu artinya dengan berpindahnya kekuasaan
pemerintahan pusat dari tangan Presiden Soekarno dan Wapres/PM Hatta kepada
PDRI, dengan sendirinya berpindah pula ibukota RI dari Yogyakarta ke tempat
kedudukan PDRI di Sumatera Barat, sebagaimana halnya kepindahan ibukota negara
dari Jakarta ke Yogyakarta, 3 Januari 1946, di kala Pemerintahan Sjahrir.
3. Ketika terbentuknya Negara RIS (Republik Indonesia Serikat),
14 Desember 1949, maka Yogyakarta dan Sumatera Barat tidak ikut-ikutan
membentuk negara federal seperti daerah-daerah lainnya. Kalau Presiden RIS
adalah Bung Karno, maka Presiden RI adalah Mr, Assaat
Dt. Mudo. Kalau Perdana Menteri RIS Bung Hatta, maka Perdana Menteri RI (Yogya)
adalah Dr. A. Halim. Ketiga jabatan penting itu diduduki oleh orang Minang.
Tidaklah salah kiranya “Audrey Kahin” berkomentar bahwa dengan adanya
tokoh-tokoh besar bangsa asal Minang di Yogyakarta dapat dikatakan bahwa
Pemerintah Yogya adalah Pemerintahan Minangkabau. Demikian dikutip oleh Dr.
Mestika Zed dalam bukunya PDRI Somewhere in The Jungle. Tokoh bangsa
lainnya yang berasal dari Minang adalah Sjahrir, H. Agus Salim, Moh. Yamin,
Natsir, Tan Malaka, dan lain-lain.
4. Ketika hubungan pemerintah pusat dengan
daerah-daerah bergolak sangat panas pada awal tahun 1958, maka Dewan Banteng
dari Sumatera Barat mengultimatum pemerintah pusat. Ultimatum tersebut berisi
antara lain: agar dalam masa 5x24 jam pemerintah membubarkan Kabinet Djuanda
dan untuk gantinya supaya Presiden Soekarno menunjuk Bung Hatta dan Sultan
Hamengku Buwono IX sebagai formatur Zaken Kabinet.
Apa yang tersirat dari ultimatum
tersebut dengan mengemukakan dua nama tokoh nasional untuk jadi formatur Zaken
Kabinet?
Kita tidak tahu dan tak sempat
mananyakan kepada Alm. Kolonel A. Hussein (tokoh Dewan Banteng itu). Yang
jelas, tentulah integritas pribadi kedua tokoh tersebut (Hatta-Hamengku Buwono
IX) tak diragukan lagi. Keduanya orang jujur, bersih, cerdas, dan berwibawa.
Lebih dari itu, barangkali, tokoh
nasional asal Minang dan asal Yogya itu hendak dipersandingkan di pentas
nasional dan diyakini akan ikut menenteramkan kemelut nasional waktu itu.
Kata orang, antara Yogya dengan
Minangkabau, hanya beda dalam meletakkan huruf. Hurufnya sama, yakni “AB” dan
“BA”. Seri mobil di Yogya: “AB”, sedangkan di Sumatera Barat “BA”. Huruf “AB”
dengan “BA” sama, hanya bertukar letak. Yang pertama mengurutkan “A” dengan
“B”, sedangkan yang kedua, kebalikannya, yakni “B” dengan “A”.
Ucapan terima kasih dan penghargaan
sudah amat patut diterima oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Alm) dan Sri
Sultan Hamengku Buwono X yang sekarang. Banyak intelektual Minangkabau tersebar
di seluruh pelosok Indonesia, bahkan di luar negeri, yang mengabdi dalam bidang
pemerintahan, jadi dosen, pengusaha, pedagang, seniman, dan lain-lain. Sebagian
besar dari padanya adalah alumnus Yogyakarta. Asrama mahasiswa
Merapi-Singgalang, asrama Bundo Kanduang, dan asrama Tanjung Raya, baik berupa
hak pakai maupun dengan cara dibeli semuanya adalah berasal dari tanah
kraton.Betullah kiranya sebagaimana dikatakan oleh adagium adat Minang:
“air titisan betung,
pusako titisan adat
anak titisan ayah.”
Artinya, air mengalir melalui berumbung
(pembuluh) betung (bambu), pusaka diturunkan melalui pengaturan adat, sedangkan
dalam jiwa anak mengalirkan darah ayah.
Ternyata jiwa kerakyatan yang mengalir
dalam diri Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengalir pula kepada putranya Sri
Sultan Hamengku Buwono X. Sri Sultan Hamengku Buwono X seorang yang rendah
hati. Ia tak memilih teman. Ia bergaul dengan siapa saja, tinggi atau rendah.
Lebih dari itu semua, ia bersahabat dengan orang Minang, baik ia seorang dosen,
pengusaha, pedagang, seniman dan lain-lain.
Dari kaki Gunung Merapi dan Singgalang
di Minangkabau, memang jauh dari Yogya, tapi tetap kami pantau geliat reformasi
di Kota Gudek itu. Kami simak dan kami dengar juga informasi dari pusat
kebudayaan Jawa itu. Hari Rabu, 20 Mei 1998, sehari sebelum langsernya Soeharto
sebagai pimpinan tertinggi Orde Baru, Kota Yogyakarta tenggelam dalam demo
besar-besaran yang diperkirakan lebih dari sejuta manusia.
Figur Hamengku Buwono X selaku pemimpin
panutan yang didukung oleh kesadaran kolektif rakyat terutama dukungan
mahasiswa, sungguh suatu prestasi yang sangat membanggakan.
Pada hari yang sama di Jakarta dan
tetangganya yang dekat yakni Kota Solo telah timbul kerusuhan, pengrusakan dan
pembakaran, ternyata Pisowanan Agung masyarakat Yogya berlangsung damai dan
tertib.
Sebagai alumnus Universitas Gadjah
Mada, Sultan Hamengku Buwono X datang memenuhi panggilan almamaternya. Ia naik
ke atas tenda mobil bersama kerabat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, para raji
dalem (adik-adiknya) serta Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Sultan Hamengku Buwono X berkata di
depan pengeras suara: “Saya berada di tengah rakyat Yogya sebagai penggerak
reformasi. Presiden Soeharto harus turun, harus lengser ke prabon,” kata Sultan
lantang. Disambut massa dengan histeris, “Hidup Sultan Hamengku Buwono X,
Hiduup!”
Beredar juga isu, bahwa Yogya akan
dibakar. Jika sempat dibakar betapa besarnya kerugian yang akan diderita oleh
warga Yogya, termasuk masyarakat Minang yang tinggal di kota itu yang mengadu
untung di Jalan Malioboro untuk menghidupi keluarganya, mencarikan pungguang
nan tak basaok, paruik nan tak baisi. Kita memang patut berterima kasih
kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sultan Hamengku Buwono X mengajak
masyarakat Yogya untuk mengembangkan budaya kejuangan Yogya yang sederhana dan
damai sebagaimana pernah dilakukan semasa perjuangan revolusi dulu.
“Oleh karena itu Yogya jangan dirusak
…” teriak Sultan Hamengku Buwono X dengan mengacungkan tangannya ke atas
(diucapkan sampai 3 kali) dan kemudian massa berangsur-angsur bubar dan kembali
ke tempatnya masing-masing.
Demikianlah hadirin/hadirat yang
terhormat, dengan ini, dengan berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, saya
lewakan gelar: Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati (Yang Dipertuan Maharaja Alam
Sakti) untuk Sri Sultan Hamengku Buwono X. Puan Gadih Puti Reno Indeswari (Puan
Gadis Putri Reno Indeswari) bagi Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Semoga Allah SWT
memberkati kita semua, Amin! Wabillahitsufig wal hidayah.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Istana Basa Pagaruyung, 29 April 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar