Kamis, 01 Mei 2014

Pidato Pati Ambalau

Sri Sultan Hamengku Buwono XGelar Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas Gelar Puan Gadih Puti Reno Indaswari

KETUA UMUM Pucuk Pimpinan LKAAM Sumatera Barat H. Kamardi Rais Dt P Simulie selesai menyisipkan keris kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X Yang Dipertuan  Agung Maharajo Alam Sati di Istano Basa Batusangkar. Foto Istimewa
Bismillahir Rahmanir Rahim

Biluluk ada dalam ketiding
Siturak jatuh ke lembah
Bila duduk hamba hendak berunding
Jika tegak mendatangkan sembah

Lapun melapun ke Inderagiri
Naik juara orang Batipuh
Sungguhpun hamba tegak berdiri
Lebih dari duduk bersimpuh


Sungayang di Batusangkar
Tempat budak membasuh muka
Tenang-tenang kita sebentar
Hamba lewakan gelar Sangsaka

Pergi mandi ke Sungai Tenang
Orang Sumpur ke Saningbaka
Petanglah hari di Singkarak
Singgah di rumah Rajo Alam
Yang dinanti sudah datang
nan ditunggu sudah tiba
Senanglah hati ninik mamak
Beserta anak dan kemenakan
Assalamualaikum warahmatullahi Wabarakatuh
Yang kami sanjung tinggi Sri Sultan Hamengku Buwono X beserta Gusti Kanjeng Ratu Hemas berikut para “rayi dalem” Ngayogyakarta Hadiningrat dan para pejabat di lingkungan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pewaris  Yang Dipertuan Pagaruyung beserta dengan kapak radainya, Rajo Tigo Selo, Basa Ampek Balai jo Tuan Gadang Batipuah, sapiah balahan, karib kerabat, laweh basibiran, panjang bakaratan.
Yang kami hormati tokoh “Tungku Tigo Sajarangan”, ninik mamak, yang gedang besar bertuah, kayu gedang di tengah kampung, uratnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar, dahannya tempat bergantung, daunnya rimbun, tempat berlindung di kala panas, tempat berteduh ketika hujan. Bila mau pergi tempat bertanya, bila pulang tempat menyampaikan berita.
Engku-engku alim ulama, suluh terang benderang dalam nagari, yang menuntut jalan di dunia dan akhirat, yang tahu sah dengan batal, halal dengan haram. Beliau undung-undung ke surga, payung panji ke Medinah, tentang ilmu ushul dan fiqhi, ilmu mantik dengan ma’ani, ilmu nahu dengan saraf, ibaratnya ganti doa sudah makan, hafal luar kepala.
Engku-engku yang bernama cerdik-tahu-pandai, yang berilmu segala banyak, yang pandai menghitung bintang di langit, yang arif dan bijaksana, tahu di angin yang bersabung, tahu di badai yang akan datang, gelombang yang akan tiba, terkilat ikan dalam air, sudah tahu jantan atau betina.
Ibu-ibu bunda kandung, yang diam di anjung yang tinggi, berkelambu sutra dewangga, bergoba empat helai, tertegak batal seraga, di kiri dan kanan, yang memegang garis keturunan, suku dan sako (saka), amban puruk penyimpanan bilik dalam, peti simpanan emas dalam kayu berlarik, bila haus tempat minta air, lapar tempat minta makan, anak kunci lumbung berpereng.
Hadirin hadirat para undangan yang kami muliakan. Kecil tidak disebut nama besar tidak dipanggil gelar, urang muda selendang dunia, yang berbunga sedang berkecambah, termasuk dalam imbauan kami. Tersebut di dalam kitab Tambo:
Di mana titik pelita
Di balik tanglung bertali
Dari mana turun nenek kita
Dari lereng Gunung Merapi
Di sana ada buaya putih dagu, sirangkak berdengkang. Di sana ada kumpai berayun, dekat gelanggang burung kuau. Di sanalah nagari mula berdiri, bernama Pariangan Padangpanjang. Rajanya Sri Maharaja Diraja, serpih belahan Raja yang tiga jurai, putra dari Iskandar Zulkarnain, (Alexander de Groot/Alexander The Great), Raja Macedonia, sejurai turun ke negeri Rum (Roma), Raja Alif, sejurai turun ke negeri Cina disebut Raja Dipang, sejurai lagi Sri Maharaja Diraja yang menepat (menuju) ke pulau Perca ini.
Yang bernama Alam Minangkabau, sampai ke riak yang berdebur, di Sikilang-Air Bangis, Tapan Indrapura, dekat dengan Taratak Air Hitam, berbatas dengan Raja Syair Alam di Muko-Muko (sekarang Prop. Bengkulu), membelok ke Durian Ditekuk Raja, dekat air berbalik mudik (sungai Batanghari yang alirannya bolak-balik), Pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke Sipisak Pisau Hanyut, dekat dusun Silukah dan Pinang yang sebatang, terus ke rantau kurang esa dua puluh digenapkan dua puluh dengan Muaro.
Singingi dengan Teluk Kuantan, (sekarang Propinsi Riau) Cerenti dan Paranap (Riau), sampai ke Pintu Raya Hilir di Sialang Berlantak Besi, Siak Seri Inderapura, lalu menyeberang selat Malaka, sampai ke Rembau-Seri Menanti di Negeri Sembilan di Semenanjung Tanah Melayu.
Pada hari yang sehari ini, entah ketika (perlangkahan) yang elok, atau hari yang baik, dari bukit sudah menurun, dari lurah sudah mendaki, nyatanya sudah bersila bulat, bersimpuh kotak, dari ujung sampai ke pangkal, dari tengah sampai ke tepi, di Istana Besar Pagaruyung ini, warna hitam bagaikan rimba sudah dibakar, merah bagaikan kesumba terhampai, berminsie berbenang emas, bagaikan kunang-kunang terbang di tempat yang gelap, beragam pula kain cindai nan pilihan bak panas dalam belukar, senanglah hati kami memandangnya, sejuk dalam kira-kira (pikiran) bak rasa pulang Datuk Katumanggungan, bak rasa hidup Parpatih nan Sabatang, berkat keramat Indah Jelita, mulia alamnya tanah Minang.
Besi baik sudah diringgiti, dilengongkan kiri dan kanan, ditilik hilir dan mudik, dibilang ciek-ciek, dihitung satu persatu, dari esa kedua, sampai habis, terlihatlah orang besar (gedang) yang tinggi tampak jauh, besar tampak dekat, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tersebutlah dari dinasti Kerajaan Mataram, berdua dengan istrinya Gusti Kanjeng Ratu Hemas, duduk berdamping dengan Gubernur, Pucuk Undang di daerah Sumatera Barat, H. Soetan Zainal Bakar, S.H. berdua pula dengan istri beliau, Hajjah Ana Zainal Bakar.
Urang Padang mangurai banang
Dikumpa-kumpa dilipek
Dilipek patah tigo
Kok rundiang amuah dirantang
Elok dikumpa naknyo singkek
Singkek sado ka paguno
Dek hujan bapuhun, keturunan baasa, kato bamulo, maka bermulalah kata dari masyarakat Minang di Yogyakarta pada bulan Agustus 2001 tahun yang lalu. Sungguh besar hasrat dan keinginan masyarakat urang awak yang menetap di daerah Istimewa Yogyakarta untuk memberikan penghargaan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan mengangkatnya sebagai “mamak” orang Minang di Yogyakarta.
Hasrat yang besar tersebut disampaikan oleh para pemuka masyarakat Minang Yogyakarta berupa usul dan permohonan kepada Gubernur Sumatera Barat dan Pimpinan LKAAM Sumatera Barat yang secara kebetulan ketika itu sedang berada di Kota Yogyakarta.
Permohonan tersebut disambut positif oleh Gubernur Sumatera Barat, namun untuk memproses dan menindaklanjutinya, diserahkan oleh gubernur kepada LKAAM Sumatera Barat. Selanjutnya oleh pihak LKAAM dibicarakan dalam rapat-rapat pengurus bersama pimpinan Bundo Kanduang serta memusyawarahkan dengan seluruh Pimpinan LKAAM kabupaten dan kota seluruh Sumatera Barat untuk mencari “picak satapiak, bulek sagolek, bulek aie ka pambuluah, bulek kato ka mufakat, duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang,” maka didapatlah kesepakatan untuk mengabulkan permohonan keluarga besar Minangkabau di Yogyakarta tersebut dengan menganugerahkan gelar kehormatan sangsako adat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat serta Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
LKAAM hanyalah suatu organisasi tempat berhimpunnya ninik mamak/pemangku adat Minangkabau se-Sumatera Barat dan bukan sebagai perangkat adat sudah jelas tidak punya peti bunian adat dan gelar.
Oleh karena itu, LKAAM Sumatera Barat memohonkan kepada Pewaris Kerajaan Pagaruyung sebuah gelar yang akan dianugerahkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas dari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejarah kontemporer Indonesia banyak memberikan catatan untuk kita pedomani dan banyak faktor lainnya yang dapat kita ambil dalam mempertimbangkan penganugerahan gelar tersebut. Beberapa di antaranya ingin kami kemukakan di sini:
1.       Ketika Belanda melakukan serangan besar-besaran terhadap Maguwo, pada waktu subuh 19 Desember 1948 dan kemudian Yogya diduduki, maka pada saat yang amat genting itu Bukittinggi tampil menggantikan peranan Yogyakarta. Menteri Kemakmuran RI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
2.      Meski surat mandat yang dikirimkan Soekarno-Hatta dari Kepresidenan Yogya yang dialamatkan kepada Menteri Kemakmuran RI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi tidak pernah diterima oleh Sjafruddin (mungkin ada sabotase Belanda), namun Sjafruddin telah bertindak sesuai dengan isi mandat tersebut. Sejak itu sangat populer sebutan Bukittinggi sebagai Yogya II. Itu artinya dengan berpindahnya kekuasaan pemerintahan pusat dari tangan Presiden Soekarno dan Wapres/PM Hatta kepada PDRI, dengan sendirinya berpindah pula ibukota RI dari Yogyakarta ke tempat kedudukan PDRI di Sumatera Barat, sebagaimana halnya kepindahan ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta, 3 Januari 1946, di kala Pemerintahan Sjahrir.
3.      Ketika terbentuknya Negara RIS (Republik Indonesia Serikat), 14 Desember 1949, maka Yogyakarta dan Sumatera Barat tidak ikut-ikutan membentuk negara federal seperti daerah-daerah lainnya. Kalau Presiden RIS adalah Bung Karno, maka Presiden RI adalah Mr, Assaat Dt. Mudo. Kalau Perdana Menteri RIS Bung Hatta, maka Perdana Menteri RI (Yogya) adalah Dr. A. Halim. Ketiga jabatan penting itu diduduki oleh orang Minang. Tidaklah salah kiranya “Audrey Kahin” berkomentar bahwa dengan adanya tokoh-tokoh besar bangsa asal Minang di Yogyakarta dapat dikatakan bahwa Pemerintah Yogya adalah Pemerintahan Minangkabau. Demikian dikutip oleh Dr. Mestika Zed dalam bukunya PDRI Somewhere in The Jungle. Tokoh bangsa lainnya yang berasal dari Minang adalah Sjahrir, H. Agus Salim, Moh. Yamin, Natsir, Tan Malaka, dan lain-lain.
4.      Ketika hubungan pemerintah pusat dengan daerah-daerah bergolak sangat panas pada awal tahun 1958, maka Dewan Banteng dari Sumatera Barat mengultimatum pemerintah pusat. Ultimatum tersebut berisi antara lain: agar dalam masa 5x24 jam pemerintah membubarkan Kabinet Djuanda dan untuk gantinya supaya Presiden Soekarno menunjuk Bung Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai formatur Zaken Kabinet.
Apa yang tersirat dari ultimatum tersebut dengan mengemukakan dua nama tokoh nasional untuk jadi formatur Zaken Kabinet?
Kita tidak tahu dan tak sempat mananyakan kepada Alm. Kolonel A. Hussein (tokoh Dewan Banteng itu). Yang jelas, tentulah integritas pribadi kedua tokoh tersebut (Hatta-Hamengku Buwono IX) tak diragukan lagi. Keduanya orang jujur, bersih, cerdas, dan berwibawa.
Lebih dari itu, barangkali, tokoh nasional asal Minang dan asal Yogya itu hendak dipersandingkan di pentas nasional dan diyakini akan ikut menenteramkan kemelut nasional waktu itu.
Kata orang, antara Yogya dengan Minangkabau, hanya beda dalam meletakkan huruf. Hurufnya sama, yakni “AB” dan “BA”. Seri mobil di Yogya: “AB”, sedangkan di Sumatera Barat “BA”. Huruf “AB” dengan “BA” sama, hanya bertukar letak. Yang pertama mengurutkan “A” dengan “B”, sedangkan yang kedua, kebalikannya, yakni “B” dengan “A”.
Ucapan terima kasih dan penghargaan sudah amat patut diterima oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Alm) dan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang sekarang. Banyak intelektual Minangkabau tersebar di seluruh pelosok Indonesia, bahkan di luar negeri, yang mengabdi dalam bidang pemerintahan, jadi dosen, pengusaha, pedagang, seniman, dan lain-lain. Sebagian besar dari padanya adalah alumnus Yogyakarta. Asrama mahasiswa Merapi-Singgalang, asrama Bundo Kanduang, dan asrama Tanjung Raya, baik berupa hak pakai maupun dengan cara dibeli semuanya adalah berasal dari tanah kraton.Betullah kiranya sebagaimana dikatakan oleh adagium adat Minang:
“air titisan betung,
pusako titisan adat
anak titisan ayah.”
Artinya, air mengalir melalui berumbung (pembuluh) betung (bambu), pusaka diturunkan melalui pengaturan adat, sedangkan dalam jiwa anak mengalirkan darah ayah.
Ternyata jiwa kerakyatan yang mengalir dalam diri Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengalir pula kepada putranya Sri Sultan Hamengku Buwono X. Sri Sultan Hamengku Buwono X seorang yang rendah hati. Ia tak memilih teman. Ia bergaul dengan siapa saja, tinggi atau rendah. Lebih dari itu semua, ia bersahabat dengan orang Minang, baik ia seorang dosen, pengusaha, pedagang, seniman dan lain-lain.
Dari kaki Gunung Merapi dan Singgalang di Minangkabau, memang jauh dari Yogya, tapi tetap kami pantau geliat reformasi di Kota Gudek itu. Kami simak dan kami dengar juga informasi dari pusat kebudayaan Jawa itu. Hari Rabu, 20 Mei 1998, sehari sebelum langsernya Soeharto sebagai pimpinan tertinggi Orde Baru, Kota Yogyakarta tenggelam dalam demo besar-besaran yang diperkirakan lebih dari sejuta manusia.
Figur Hamengku Buwono X selaku pemimpin panutan yang didukung oleh kesadaran kolektif rakyat terutama dukungan mahasiswa, sungguh suatu prestasi yang sangat membanggakan.
Pada hari yang sama di Jakarta dan tetangganya yang dekat yakni Kota Solo telah timbul kerusuhan, pengrusakan dan pembakaran, ternyata Pisowanan Agung masyarakat Yogya berlangsung damai dan tertib.
Sebagai alumnus Universitas Gadjah Mada, Sultan Hamengku Buwono X datang memenuhi panggilan almamaternya. Ia naik ke atas tenda mobil bersama kerabat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, para raji dalem (adik-adiknya) serta Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Sultan Hamengku Buwono X berkata di depan pengeras suara: “Saya berada di tengah rakyat Yogya sebagai penggerak reformasi. Presiden Soeharto harus turun, harus lengser ke prabon,” kata Sultan lantang. Disambut massa dengan histeris, “Hidup Sultan Hamengku Buwono X, Hiduup!”
Beredar juga isu, bahwa Yogya akan dibakar. Jika sempat dibakar betapa besarnya kerugian yang akan diderita oleh warga Yogya, termasuk masyarakat Minang yang tinggal di kota itu yang mengadu untung di Jalan Malioboro untuk menghidupi keluarganya, mencarikan pungguang nan tak basaok, paruik nan tak baisi. Kita memang patut berterima kasih kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Sultan Hamengku Buwono X mengajak masyarakat Yogya untuk mengembangkan budaya kejuangan Yogya yang sederhana dan damai sebagaimana pernah dilakukan semasa perjuangan revolusi dulu.
“Oleh karena itu Yogya jangan dirusak …” teriak Sultan Hamengku Buwono X dengan mengacungkan tangannya ke atas (diucapkan sampai 3 kali) dan kemudian massa berangsur-angsur bubar dan kembali ke tempatnya masing-masing.
Demikianlah hadirin/hadirat yang terhormat, dengan ini, dengan berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, saya lewakan gelar: Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati (Yang Dipertuan Maharaja Alam Sakti) untuk Sri Sultan Hamengku Buwono X. Puan Gadih Puti Reno Indeswari (Puan Gadis Putri Reno Indeswari) bagi Ibu Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amin! Wabillahitsufig wal hidayah.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Istana Basa Pagaruyung, 29 April 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...