OLEH Susas
Rita Loravianti
Kandidat Program Doktor (S3) di ISI
Surakarta
Rumah gadang yang akan dijadikan lokasi pertunjukan |
Latar Belakang Karya
Masyarakat
Minangkabau dikenal sebagai salah satu komunitas yang menerapkan sistem
matrilineal, yaitu garis keturunan secara adat diatur menurut ibu. Namun jauh
di balik itu, masyarakat Minangkabau sebenarnya juga menganut sistem matriarkhi
(matriarkhaat), di mana perempuan memiliki posisi strategis dalam
kekuasaan. Menurut Thaib, perempuan Minangkabau secara ideal harus berperan dan
berfungsi sebagai; pertama, puncak
dan basis dari sistem kekeluargaan yang disebut matrilineal; kedua, pemimpin masyarakatnya; ketiga, pemeran utama dalam kehidupan
sosial budaya; keempat, figur yang
mulia dan dimuliakan; dan kelima,
tokoh, pejuang, pendidik, jurnalis, politisi, bisnis, dan berbagai bidang dan
aktivitas lainnya (2010a: 4).
Kelima peran dan
fungsi perempuan Minangkabau tersebut di atas, menurut Thaib (2008:4-5) dalam
tulisannya yang lain, didasarkan pada pengakuan adat terhadap hakekat
perempuan. Perempuan Minangkabau dalam bahasa budaya adalah induak bareh, urang rumah, mande, bundo
kanduang, limpapeh rumah nan gadang, amban puruik, aluang bunian, payuang panji
ka Madinah, unduang-unduang ka sarugo, dan sebagainya. Posisi perempuan
Minangkabau adalah pelanjut keturunan, perekat, sitawa sidingin, dan komunikator dalam kaumnya. Artinya perempuan
akan menjaga marwah dirinya di depan masyarakat banyak sehingga kaumnya betul-betul
menjadi kaum yang terjaga dengan baik.
Sosok ideal
perempuan Minangkabau sebagaimana di atas, dapat dilihat antara lain dalam
berbagai mitologi, di mana perempuan Minangkabau digambarkan sebagai panutan,
pemimpin yang besar dan sebagainya. Di dalam berbagai kaba dan legenda, perempuan Minangkabau ditampilkan sebagai sosok
yang bijaksana, jatmika dan perkasa dalam bidang apapun. Gambaran-gambaran
ideal perempuan Minangkabau itu ditemukan kebenarannya dalam kehadiran tokoh
sejarah perempuan Minangkabau seperti Rohana Kudus, Dewi Sartika, Rahmah
El-Yunusiah, Rasuna Said, Yang Dipertuan Gadih Puti Reno Sumpu, Siti Manggopoh
dan sebagainya. Mereka merupakan tokoh-tokoh perempuan yang berjasa di
bidangnya masing-masing, terbukti tangguh, dan pekerja keras untuk mewujudkan
cita-citanya.
Ditinjau lebih
jauh ke ranah praktik sehari-hari serta struktur kekuasaan yang berlaku dalam
masyarakat Minangkabau, dapat dilihat bahwa posisi perempuan Minangkabau yang
dilambangkan oleh mitos tentang Bundo
Kanduang benar-benar berlaku dalam masyarakat Minangkabau. Perempuan,
menjadi penguasa negeri, yang
ditunjukkan dengan menempatkannya sebagai pemilik rumah gadang. Dengan sistem matriakhi, perempuan diuntungkan. Meski
secara kasat mata seolah-olah laki-laki Minangkabau adalah para pengeksekusi,
di mana yang memegang peranan adalah mamak (laki-laki), namun kaum
perempuanlah yang sesungguhnya mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
Terlibatnya kaum
perempuan Minangkabau dalam pengambilan kebijakan-kebijakan itu terjadi, karena
secara garis keturunan dan harta pusaka, perempuan Minangkabaulah yang menjadi
patron, sehingga pada posisi menentukan eksekusi, perempuan justru menjadi yang
kompeten. Berpijak dari fakta itu, dapat dikatakan bahwa dalam sistem
matriarkat Minangkabau, perempuan dan laki-laki diletakkan pada posisi yang
berimbang dan seimbang. Bedanya, kaum perempuan Minangkabau bergerak dalam
ranah moral, sebagai pengontrol, pengawas, sekaligus penetral kebijakan.
Sementara itu, kaum laki-laki bergerak dalam ranah hukum.
Berubahnya
struktur sosial-ekonomi di masa kini, secara tak terelakkan merubah pula posisi
perempuan dalam situs sosial-kultural masyarakat Minangkabau. Kondisi perempuan
hari ini tidak lagi menjadi apa yang diidealkan oleh budaya Minangkabau. Kondisi
ini dipicu oleh arus globalisasi yang berorientasi pada sistem di luar
matrilineal. Berpijak pada kondisi yang demikian, kiranya perempuan maupun
laki-laki Minangkabau, membutuhkan ruang elaborasi yang terbuka, yang
diharapkan dapat memberi pemikiran baru terhadap eksistensi perempuan dalam
konstelasi adat dan budaya Minangkabau. Di samping untuk menjadi bahan
pembelajaran tentang posisi ideal perempuan Minangkabau seperti yang diharapkan
oleh banyak pihak (antara lain diungkapkan oleh Puti Reno Ati, wawancara di
Muaralabuh, Desember 2012; Syaiful Datuak Rajo Nago, wawancara di Muaralabuh,
Desember 2012; dan Herlina Syarif, wawancara di Muaralabuh, Desember 2012), hal
tersebut juga berguna untuk menciptakan satu model peran perempuan Minangkabau
di masa sekarang.
Salah satu cara
untuk mengekspresikan dengan menggunakan ruang-ruang artistik, yang biasanya
dapat menyampaikan kritik dengan cara yang lebih halus dan elegan. Oleh sebab
itu, karya tari Garak Nagari Perempuan
ini pada dasarnya berangkat dari refleksi diri pencipta sebagai perempuan
Minangkabau. Pencipta, dalam realitas kehidupan sehari-hari berhadapan dengan
kondisi perempuan Minangkabau yang menghadapi dilema antara kebebasan
berekspresi dengan keterbatasan peran dalam budaya. Realitas adat dan budaya
menempatkan pencipta dalam situasi harus memilih antara karir kesenimanan atau
sebagai ibu dalam rumah tangga. Idealnya kedua hal ini bisa dijalankan
berdampingan secara harmonis, namun tuntutan adat terhadap perempuan
Minangkabau dirasakan memang berat.
Tuntutan berat yang diemban perempuan Minangkabau itu antara lain dirasakan
oleh salah seorang keluarga kerajaan Sungai Pagu (Puti Nilam Sari, wawancara di
Muaralabuh, Desember 2012).
Hal ini sesuai
dengan pendapat
Thaib
tentang peran perempuan yang menyatakan bahwa :
“peran
dan fungsi perempuan harus dikembalikan pada posisi yang ideal. Untuk itu
langkah yang harus ditempuh adalah; (a) Mengembalikan posisi perempuan sebagai
pemimpin, katalisator, pengawal moral, perekat, pengayom, pemberi arah dan sebagainya;
(b) Mengembalikan perempuan pada posisinya sebagai subjek; (c) Menumbuhkan rasa
percaya diri, tanggungjawa dan rasa memiliki dalam tataran adat, agama dan
kebudayaan; dan (d) menjadikan perempuan sebagai filter dalam persoalan yang
dihadapi kaumnya” (2010b:2 dan 2011:4).
Namun demikian,
proses mengembalikan posisi perempuan Minangkabau kepada posisi idealnya
tersebut bukanlah perkara mudah. Melemahnya ikatan matrileneal, yang mengarah
pada berkembangnya sistem kekerabatan bilateral di masa sekarang, mengharuskan
terjadinya reinterpretasi terhadap posisi perempuan Minangkabau. Di lain pihak,
untuk menjawab tantangan perjuangan gender yang didengung-dengungkan oleh
Barat, maka pencipta memilih perempuan di Minangkabau sebagai pembanding untuk
perempuan pada umumnya.
Koreografi Garak Nagari Perempuan merupakan salah
satu langkah untuk melihat posisi perempuan Minangkabau di masa sekarang.
Perempuan masa lalu dilihat dari kaba-kaba
(cerita rakyat) Minangkabau yang bicara tentang perempuan dengan segala
posisinya di tengah masyarakat. Sementara perempuan masa kini adalah refleksi
diri pencipta yang hidup pada zaman sekarang. Jadi kaba akan menjadi pelintasan imajinasi
untuk menciptakan karya seni tentang perempuan Minangkabau.
Dalam perwujudannya,
karya ini memakai prosa (bahasa sastra) untuk menggambarkan kondisi perempuan
Minangkabau. Prosa ini diungkapkan dengan dendang sambil menari, seperti
mendongeng dalam tarian. Mendongeng ini merupakan hal yang biasa dalam kesenian Minangkabau, di
mana ada istilah bakaba atau
bercerita. Namun dalam karya ini bakaba
dikolaborasikan dengan gerak tari. Jadi penari juga harus bisa bercerita atau
bernarasi. Untuk itu narasi merupakan hal yang sangat penting dalam karya tari
ini. Lebih jauh, dalam karya tari ini akan didukung bentuk kolaboratif seni
dengan melibatkan seni musik, seni tradisi dan kesenian bentuk yang lain
menjadi karya baru. Karya baru ini akan mengarah pada drama tari (dance theatre). Masa lalu akan dikemas
lewat seni tradisi menjadi seni yang kekinian. Karya
ini diharapkan
menjadi acuan untuk pengembangan seni tradisi.
Deskripsi Judul Karya
Garak Nagari Perempuan (bahasa Minangkabau) secara sederhana
dapat di bahasa Indonesiakan sebagai “Gerak Negeri Perempuan”. Kata dalam
bahasa Minangkabau sengaja dipilih karena alasan pemaknaan. Kata ‘garak’ dalam bahasa Minangkabau tidak
saja berarti ‘gerak’ tubuh atau fisik, melainkan juga berarti niat, pertanda,
serta dorongan atau motivasi. Sementara kata ‘nagari’ merujuk pada satuan wilayah tradisional dalam masyarakat
Minangkabau. Lebih jauh, kata ‘nagari’
mewakili pengertian tanah asal dan daerah kekuasaan. Adapun konsep ‘perempuan’ mengandung arti kumpulan ‘ampu’, yang dalam bahasa Minangkabau
berarti jari jempol. Artinya, kata ini sekaligus mewakili konsep kultural
Minangkabau, yang menempatkan perempuan sebagai makhluk sosial, dengan berbagai
prediket baik dan mulia.
Berdasarkan uraian
di atas, maka tujuan penciptaan karya tari ini adalah “menciptakan karya tari Garak Nagari Perempuan yang berpijak
pada kondisi perempuan dalam kaba
Minangkabau dan refleksi diri perempuan masa kini. Adapun manfaat penggarapan
karya tari Garak Nagari Perempuan ini adalah:
1. Memberikan
sumbangan berupa penemuan artistik kepada seniman-seniman Minangkabau dalam
menggarap karya tari berdasarkan realitas perempuan Minangkabau.
2. Memberikan
masukan kepada pelaku budaya dalam melihat posisi perempuan dalam budaya
Matrilinial.
3. Memberi
ruang terhadap eksistensi seni tradisi dalam penggarapan seni yang kekinian.
Keterkaitan Karya
Kajian
tentang perempuan Minangkabau telah banyak dilakukan, dalam rangka mencari
sosok, posisi dan peranannya secara sosial, budaya maupun politik. Sejalan
dengan dinamika kehidupan, perempuan Minangkabau dari masa ke masa selalu pula
diharapkan mampu menggapai kehidupan masa depan yang lebih baik, secara
individual maupun kolektif (kaum). Di masa sekarang, ketika berbagai anasir
kehidupan kontemporer menerobos masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
Minangkabau, tentunya dibutuhkan pola terbaru pula, untuk melihat peran dan
posisi kaum perempuan Minangkabau itu.
Untuk
kebutuhan penciptaan karya tari Garak
Nagari Perempuan, diambil kaba sebagai
inspirasi. Secara etimologis kata kaba
memang berasal dari bahasa Arab “khabarun”
yang berarti berita, warta atau kabar.
Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian kaba
tidak lagi hanya berupa berita melainkan merupakan cerita. Pada umumnya, kaba merupakan sastra lisan yang bisa
berbentuk pantun, pepatah, petitih, seperti sering terkumpul dalam Tambo Adat
Alam Minangkabau, sering ditampilkan di tengah masyarakat dalam bentuk pidato
pasambahan. Kaba juga merupakan
cerita rakyat yang bersifat prosais. Cerita rakyat berupa legenda tetap lestari
karena isinya yang banyak mengandung nilai edukatif sehingga masyarakat
berkewajiban untuk menyampaikannya kepada anak-anak mereka.
Kaba yang berbentuk
prosa lirik disampaikan sambil bernyanyi dan kadang-kadang diiringi dengan
irama ketukkan korek api, kecapi, rebab, atau dengan saluang atau bansi yang
menimbulkan daya tarik untuk mendengarkannya sampai larut malam. Kaba di Minangkabau sejak zaman dahulu
sangat disukai dan diminati oleh masyarakat. Maka kaba menjadi lembaga pendidikan informal di Minangkabau pada zaman
dahulunya, karena ia mengandung pesan pendidikan.
Kaba merupakan berita
baik dan buruk, maka tentu saja di dalam kaba
terdapat nilai-nilai yang berguna untuk kehidupan manusia dan masyarakat.
Nilai-nilai ini dianggap berasal dari Tuhan yang disampaikan lewat kaba. Dalam penyampaiannya nilai-nilai
itu tidak hanya disuguhkan dengan telanjang (verbal), akan tetapi dijalin dalam
bentuk cerita, di sinilah peran tukang kaba
menjadi sangat penting. Tukang kaba
(pencerita) hanya sebagai tukang yang menjelaskan kaba. Hal ini menyebabkan kaba-kaba pada masa dahulu bersifat anonim
(tidak ada pengarangnya). Kaba
akhirnya menjadi legenda-legenda, dan orang dapat menceritakannya kembali
dengan berbagai versi dan variasi.
Dalam
perkembangannya kemudian masalah penceritaan menjadi semakin penting. Di
samping menyampaikan nilai, juga dibutuhkan aspek lain seperti media
penyampaian kaba, estetikanya dan
sebagainya, sehingga kaba menjadi
lebih menarik dari segi hiburan dan tontonan. Jadi kaba akan menempatkan dirinya dalam karya yang bersifat tontonan
dan tuntunan. Implikasinya lebih jauh, tukang kaba semakin penting kedudukannya, tidak hanya sebagai media bagi
penyampaian ide-ide dan nilai-nilai, tetapi juga sekaligus pembentuk dan
penyusun cerita, sehingga tujuan hiburan bisa dicapai dengan cerita yang
disusun. Susunan dan teknik bercerita tidak akan merubah nilai-nilai yang
disampaikan.
Untuk
memperkuat posisi tukang cerita dalam kebebasan menyusun dan memberi variasi
penceritaan, maka biasanya pada bait-bait permulaan diucapkan kata-kata:
Banda
urang kami bandakan
Padi
barapek di halaman
Kaba
urang kami kabakan
Duto
urang kami ndak sanan
(Bandar orang kami
bandarkan
Padi terjemur di halaman
Kabar
orang kami kabarkan
Dusta orang kami tidak
ikut)
Demikian
semakin kuatnya posisi tukang cerita, maka dalam kaba itu akan terlihat juga bagaimana sikap dan pandangannya
terhadap masalah-masalah lain yang mereka temukan dalam masyarakat. Pandangan
dan kritikan mereka yang terselip terhadap gejala-gejala yang ada di dalam
masyarakat sekarang akan mereka lihat dan temukan.
Oleh
karena itu, kaba merupakan produk
dari suatu masyarakat yang tradisional, di dalamnya masih ditemukan kritik
terhadap nilai-nilai ataupun kebiasaan-kebiasaan yang sudah cocok dengan
tuntutan kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dalam kaba-kaba tertentu,
kritik-kritik tersebut bukan hanya diselipkan melainkan menjadi masalah pokok,
terutama pada kaba-kaba yang datang kemudian (terakhir).
Arby
Samah dkk., merumuskan esensi dari kaba
sebagai salah satu bentuk sastra (Minangkabau) yaitu; pertama, kaba merupakan
salah satu bentuk fiksi (cerita rekaan); kedua,
bentuk kaba bersifat liris yang
terdiri dari 8,9 atau 10 suku kata; ketiga,
tokoh dalam peristiwa menjadi suatu yang penting. Ketiga hal inilah yang
menjadi esensi dari bentuk sastra kaba
ini. Dengan meniadakan salah satu dari ketiga hal itu, maka berarti ia bukan
lagi sebuah kaba. Namun jika ada
pengembangan (secara kualitatif) maka ketiga hal itu merupakan dasar baru yang
tidak boleh ditinggalkan. Masalah bahasa yang akan digunakan, pengarang, tema
baru, plot, dan latar belakangnya tidak menjadi persoalan yang akan menyebabkan
hilangnya makna kaba. Sebagai bentuk
sastra lisan pada mulanya kaba lebih
banyak mempertimbangkan faktor pendengar dari pada faktor pembaca (1984:125).
Dalam
karya tari Garak Nagari Perempuan
ini, kaba yang digunakan mengacu pada
kaba yang berhubungan dengan tokoh
perempuan, terutama Bundo Kanduang.
Bundo Kanduang merupakan tokoh cerita dalam kaba Cinduo Mato, seperti
tergambar dalam buku berjudul Cindur Mato, karangan Aman Dt. Majiondo.
Bundo Kanduang diceritakan sebagai ratu Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau,
seorang ratu yang besar dan agung. Keagungannya diketahui dari awal cerita. Ia
menjadi raja dengan sendirinya sama terjadinya dengan alam Minangkabau. Dalam
hal ini ia dipercaya bukan manusia biasa, tidak diketahui asal-usulnya, siapa
ayah dan ibunya. Kebesarannya sama dengan Raja Rum dan Raja Cina. Dia
seketurunan dengan Raja Rum dan Raja Cina. Konon ceritanya Raja Rum dan Raja
Cina pernah melamarnya. Lamaran tersebut disetujui oleh Bundo Kanduang. Akan
tetapi, sebelum perkawinan dilaksanakan, raja-raja besar tersebut sudah
meninggal oleh karena tidak mampu mengimbangi kesaktian dan kebesaran Bundo
Kanduang. Keagungannya juga terungkap melalui perlengkapan istana yang dimilikinya,
antara lain mahkota Kulah Kamar, kain Sang Seto Sigundam-Gundam, keris Curik si
Mundam Giri.
Bundo kanduang
adalah orang yang sakti. Ia mengalami hal-hal yang bersifat supernatural. Ia
tidak mempunyai suami, tetapi ia hamil setelah diberitahu oleh seorang Wali
Allah melalui mimpi bahwa ia sedang mengandung seorang anak yang kelak menjadi
raja Minangkabau. Ia disuruh minum air kelapa nyiur gading yang sakti. Setelah meminum air kelapa gading itu, ia
hamil dan kemudian lahirlah anaknya Sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuanku,
yang kelak menjadi Raja Alam Minangkabau, Daulat yang Dipertuan.
Kaba tentang Bundo Kanduang digunakan sebagai lintasan
imajinasi koreografer dalam menciptakan tari Garak Nagari Perempuan. Bundo Kanduang dalam kaba akan diramu dengan refleksi diri atau yang dialami
perempuan Minangkabau (Bundo Kanduang)
zaman sekarang. Maka posisi kaba
menjadi landasan berpijak untuk menciptakan karakter perempuan zaman sekarang.
Sumber visual yang dipakai dalam penciptaan karya ini di
antaranya tarian kaba. Tarian kaba ini ialah penamaan untuk berbagai jenis tarian yang mengangkat
tema cerita kaba. Tari yang
mengangkat tema cerita kaba ini
sangat banyak ragamnya. Gerakannya
terpusat pada tangan dan kaki yang melangkah dan merentak. Musik
pengiring lazimnya talempong dan adok. Adok berperan pengiring nyanyian
sedangkan talempong digunakan sewaktu tidak ada nyanyian. Berbagai jenis tari ini
lebih mengutamakan nyanyian dari pada tarinya (Navis, 1984:272).
Di daerah darek tarian kaba ini bernama Tari ilau,
Tari Tupai janjang, Tari Barabah Mandi, Tari Adok (Tan bentan) yang juga
dinamakan dengan tarian Alang Bentan.
Gerakan ada lima jenis yaitu pado-pado,
dendang-dendang, adau-adau, dindin-dindin dan si jundai. Pada mulanya
tarian Adok ini merupakan tarian yang mengisahkan tentang cerita kaba yang panjang,salah satu ceritanya
yaitu tentang Cindua mato, pada
setiap perpindahan babakan ditampilkan sebuah tarian.
Tarian tradisional
Minangkabau di atas digunakan untuk sumber gerak yang diolah secara
kontemporer. Jadi ada idiom-idiom gerak yang menyampaikan nilai-nilai yang bisa
dikembangkan untuk kepentingan penggarapan tari yang lebih aktual.
Sumber visual
lainnya yaitu tari tradisi piriang, silek
luncua, dan silek harimau yang
ada di Solok Selatan. Kemudian karya koreografi yang pernah dihasilkan juga
menjadi sumber di antaranya karya drama tari Cindua Mato, Tersebab Anggun atawa
Membangun Menara Gading, Perempuan dalam Kaba,
Memetik Api, Meja, Kursi dan Segelas Jus yang Tumpah, Ulah Padusi, dan
Badantiang di Rumah Gadang.
Sebagian karya
tari yang pernah diciptakan digunakan untuk kepentingan penciptaan
tari Garak Nagari Perempuan.
Karya ini tidak mengulang karya yang lama, namun hanya sebagai pedoman
penciptaan. Seorang pencipta tentu saja sulit untuk menghindari penciptaan
tanpa pengaruh karya-karya sebelumnya. Gaya penciptaan akan menjadi mirip
karena hal itu merupakan tipikal pencipta sendiri.
Sementara karya
koreografer lain yang memberi inspirasi dalam penciptaan karya ini adalah:
karya tari Randai Gadang Sigulambai
karya Tom Ibnur (Karya ini merupakan kolaborasi antara randai dan orkestra),
Karya teater Anggun Nan Tongga karya
Wisran Hadi sutradara Dede Pramayoza, Karya teater ini menjadi rujukan untuk
melihat ketokohannya. Karya-karya ini
sebagai pembanding untuk bisa membedakan karya tari Garak Nagari Perempuan dengan karya tari yang lain tersebut.
Di bagian musik karya
ini mengambil sumber penciptaan dari seni-seni tradisi yang sudah ada di Solok
Selatan di antaranya: Saluang Panjang, Gandang Sarunai, Pupuik Batang Padi,
Rabab, Talempong Pacik, Katuak-katuan, dan Gontong-gontong. Musik tradisi ini
diolah menjadi komposisi yang akan menunjang suasana dan peristiwa tari yang
diciptakan.
Kerangka Pemikiran dan Gagasan
Untuk menuju kepada
terciptanya karya Garak Nagari Perempuan,
sebagaimana yang telah digambarkan di atas, proses penciptaan karya ini
menggunakan pijakan teori proses re-interpretasi teks. Dalam hal ini, teks
tradisional tentang Bundo Kanduang, yang diambil dari pemikiran Janet Wolff.
Dalam konteks itu,
maka mitos Bundo Kanduang dalam masyarakat Minangkabau, dapat pula dibaca
sebagai sesuatu yang ‘terkekalkan’ secara historis, dan tidak dapat diubah.
Pandangan tentang peran dan posisi perempuan Minangkabau, sebagaimana yang
diwakili oleh sosok Bundo Kanduang, dengan demikian adalah sesuatu yang
alamiah, dan bahkan ditakdirkan demikian. Padahal, ada kemungkinan bahwa mitos
Bundo Kanduang serta citra perempuan Minangkabau sebagaimana yang ada sekarang,
merupakan salah satu konstruksi saja, dari sekian banyak tafsir tentang
perempuan Minangkabau, ‘ideologi’ yang tersembunyi dalam mitos tentang Bundo
Kanduang tersebut. Sehingga, sebenarnya terbuka pula kesempatan untuk melakukan
interpretasi ulang, atau interpretasi yang berbeda sama sekali terhadap mitos
itu, untuk mendapatkan pemaknaan dan pemahaman yang baru.
Salah
satu jalan yang dapat ditempuh untuk tujuan mencapai pemaknaan dan pemahaman
baru tersebut adalah dengan melakukan reinterpretasi. Dalam
seni pertunjukan, tari khususnya, konsepsi ini dapat membantu untuk
mempertanyakan kemapanan defenisi-defenisi, dan melakukan redefenisi melalui
karya tari. Melalui dekontruksi kode-kode dominasi budaya, termasuk dalam
konteks budaya Minangkabau, sebuah karya seni dapat melakukan kritik, dan
membangun konstruksi baru, tentang berbagai defenisi. Dalam hal ini, defenisi
perempuan Minangkabau masa kini, dicari dengan melakukan dekonstruksi terhadap
kodifikasi-kodifikasi perempuan yang tersimbol dalam konsep Bundo Kanduang,
untuk selanjutnya di rekonstruksi sebagai Bundo Kanduang yang baru, seperti
yang terekpresikan dalam karya tari Garak
Nagari Perempuan.
Melalui salah satu
bagian dari bukunya The Social Production of Art, Janet Wolff mengambarkan bahwa proses
interpretasi oleh seorang pembaca terhadap sebuah teks, pada dasarnya adalah
proses kreasi tersendiri. Melalui pembacaannya, seorang membaca membangun makna
(meaning) bagi dirinya sendiri. Proses ini, selanjutnya menjadi penentu
dari posisi seseorang terhadap teks bersangkutan, yang secara tidak langsung
merefleksikan posisi ideologis dan budayanya (1981,15).
Berpijak pada teori
itu, maka proses penciptaan karya tari Garak
Nagari Perempuan pada dasarnya adalah proses interpretasi terhadap
teks-teks sastra lisan kaba oleh koreografer. Interpretasi itu, kemudian
menjadi bahan dasar bagi penggarapan karya tari, yang tidak saja akan memperlihatkan posisi
kritis koreografer sebagai warga budaya Minangkabau, namun juga berbagai dimensi
kehidupan masakini, lingkup dari mana sang koreografer melakukan
interpretasinya. Posisi ini, akan menjadi stimulan bagi koreografer dalam
berkarya, untuk membawa teks-teks kaba tersebut, kepada bentuk yang
lebih aktual dan kontektual, yakni sebuah peristiwa tari kontemporer .
Salah satu media
bagi pembangunan citra perempuan Minangkabau adalah dunia kaba, yaitu
cerita rakyat (folklore) Minangkabau, yang senantiasa dipercaya memiliki
kontribusi besar bagi proses identifikasi diri masyarakat Minangkabau (Junus,
1984). Dalam kaba, sosok perempuan Minangkabau umumnya diceritakan
sebagai karakter yang mengambil peran penting dalam konstruksi cerita, yang
secara tidak langsung membangun pencitraan positif terhadap eksistensi
perempuan. Hal ini bisa dilihat dari kehadiran karakter utama yang membangun
citra tentang ‘keperkasaan’ kaum perempuan, yaitu sosok Bundo Kanduang yang menjadi pemimpin Minangkabau.
Secara mitologis,
teks-teks kaba, yaitu sastra lisan
rakyat Minangkabau tersebut, menempatkan perempuan pada kedudukan yang ideal
dan istimewa. Namun jika struktur dari masing-masing kaba tersebut
diuraikan untuk kemudian dibaca kembali, dengan kata lain di dekonstruksi, maka
akan terlihat bahwa posisi perempuan dalam masing-masing cerita itu tidaklah
seideal dan seindah yang dibayangkan bersama dalam kesadaran kolektif
masyarakat Minangkabau selama ini. Apalagi, jika masing-masing karakter
perempuan yang telah dilepaskan dari struktur konvensionalnya tersebut
dikonstruksikan kembali secara bersama dalam sebuah penceritaan, atau
katakanlah kaba baru.
Melalui proses
interpretasi terhadap teks kaba,
sejarah, serta kondisi hari ini, dan
selanjutnya memantulkannya ke dalam koreografi, karya tari Garak Nagari Parampuan diharapkan akan mengantarkan pada temuan
tentang pola dan bentuk gerak tari yang menunjukan persamaan sekaligus
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem matriarkat Minangkabau.
Temuan ini dipandang penting, sebab diasumsikan merupakan ciri khas tari yang
berangkat dari nilai-nilai adat dan budaya matriarkat Minangkabau.
Gagasan Isi Karya
Kaba menjadikan pandangan dunia masyarakat Minangkabau tampak
tak terbantahkan karena alamiah atau ‘ditakdirkan’ demikian. Dalam konteks itu,
maka kaba Bundo Kanduang dalam
masyarakat Minangkabau, dapat pula dibaca sebagai sesuatu yang ‘terkekalkan’
secara historis, dan tidak dapat diubah. Pandangan tentang peran dan posisi
perempuan Minangkabau, sebagaimana yang diwakili oleh sosok Bundo Kanduang, dengan
demikian adalah sesuatu yang alamiah, dan bahkan ditakdirkan demikian.
Padahal, ada
kemungkinan bahwa kaba Bundo Kanduang
serta citra perempuan Minangkabau sebagaimana yang ada sekarang, merupakan
salah satu konstruksi saja, dari sekian banyak tafsir tentang perempuan
Minangkabau. Dengan kata lain, ada kemungkinan bahwa terdapat berbagai
kepentingan yang tersembunyi dalam kaba
tentang Bundo Kanduang. Sebenarnya terbuka pula kesempatan untuk melakukan
interpretasi ulang, atau interpretasi yang berbeda sama sekali terhadap kaba itu, untuk mendapatkan pemaknaan
dan pemahaman yang baru.
Salah
satu jalan yang dapat ditempuh untuk tujuan mencapai pemaknaan dan pemahaman
baru tersebut adalah dengan melakukan dekonstruksi terhadap kaba bersangkutan. Dekonstruksi adalah
sumber sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
bentuk kesimpulan yang baku. Konsep dekonstruksi yang dimulai dengan konsep
demitifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada
kemurnian realitas pada dasarnya
dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (signifier) melalui
penyusunan konsep (signified). Dekonstruksi bertujuan membalik hierarki
oposisi biner,sehingga yang pada awalnya adalah pusat, fondasi, prinsip
diplesetkan hingga berada di pinggir, tidak lagi menjadi fondasi dan tidak lagi
prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan
ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan hampir tanpa batas.
Dalam seni
pertunjukan tari, konsepsi ini dapat membantu untuk mempertanyakan kemapanan
defenisi-defenisi dan melakukan redefenisi melalui karya tari. Melalui dekontruksi
kode-kode dominasi budaya, termasuk dalam konteks budaya Minangkabau. Sebuah
karya seni dapat melakukan kritik dan membangun kontruksi baru, tentang
berbagai defenisi. Dalam hal ini, defenisi perempuan Minangkabau masa kini,
dicari dengan melakukan dekonstruksi terhadap kodifikasi-kodifikasi perempuan
yang tersimbol dalam falsafah Bundo Kanduang. Untuk selajutnya direkonstruksi
sebagai Bundo Kanduang yang baru, seperti yang terekspresikan dalam karya tari Garak Nagari Perempuan.
Proses interpretasi
oleh seorang koreografer terhadap sebuah teks, pada dasarnya adalah proses
kreasi tersendiri. Melalui pembacaannya, seorang koreografer membangun makna (meaning)
bagi dirinya sendiri. Proses ini, selanjutnya menjadi penentu dari posisi
seseorang terhadap teks bersangkutan, yang secara tidak langsung merefleksikan
posisi ideologis dan budayanya.
Proses penciptaan
karya tari Garak Nagari Perempuan
pada dasarnya adalah proses interpretasi terhadap teks-teks sastra lisan kaba
oleh koreografer. Interpretasi itu, kemudian menjadi bahan dasar bagi
penggarapan karya tari, yang tidak saja akan memperlihatkan posisi kritis
koreografer sebagai warga budaya Minangkabau, namun juga berbagai dimensi
kehidupan masakini, lingkup darimana sang koreografer melakukan
interpretasinya. Posisi ini, akan menjadi stimulan bagi koreografer dalam
berkarya, untuk membawa teks-teks kaba tersebut, kepada bentuk yang
lebih aktual dan kontekstual, yakni sebuah peristiwa tari.
Gagasan Garap Karya
Sebagaimana layaknya
sebuah proses penciptaan karya seni tari, proses penciptaan Garak Nagari Perempuan pada dasarnya
merupakan proses transformasi gagasan menjadi praktik. Untuk tercapainya tujuan
itu, tentunya proses penciptaan ini hanya akan dapat berjalan dengan baik
melalui proses yang sistematis dan didukung oleh piranti keilmuan yang memadai,
agar gagasan yang telah dipilih tersebut mendapatkan pengolahan yang maksimal.
Selain dengan melakukan penelitian dengan pendekatan-pendekatan keilmuan yang
mendukung, ide tersebut juga harus dapat diwujudkan ke dalam bentuk karya seni
yang auditif-visual, dalam hal ini seni pertunjukan tari.
Secara umum, metode
penciptaan yang digunakan, yaitu eksploitasi (penggalian), eksplorasi
(penjelajahan), dan improvisasi (pengembangan). Pada tahapan eksploitasi,
berbagai bahan yang dianggap relevan digali, baik dari kaba dan tambo,
idiom-idiom tari dan teater tradisional Minangkabau, maupun dari pengalaman
keseharian. Teknik yang digunakan adalah studi kepustakaan, observasi dan
wawancara. Melalui wawancara dengan beberapa tokoh perempuan Minangkabau
masakini, diharapkan dapat digali pandangan-pandangan baru tentang dunia
perempuan.
Berdasarkan
sifatnya, proses penciptaan ini dapat dikatakan sebagai rekonstruksi dan
rekoreografi. Dari segi tema, proses yang terjadi adalah rekonstruksi terhadap
berbagai konsep tentang perempuan Minangkabau. Sementara dari segi garapan,
berbagai idiom gerak kemudian diletakkan kembali dalam sebuah koreografi baru,
dengan mendapatkan maknanya yang baru. Adapun urutan kerja dalam proses
penciptaan karya tari Garak Nagari
Perempuan ini adalah: (1) Riset dan Dokumentasi; (2) Reinterpretasi Teks;
(3) Konsepsi; (4) Eksploitasi dan Rekonstruksi; (5) Eksplorasi dan Improvisasi; dan terakhir (6) Try Out dan Resital.
Riset dan
dokumentasi merupakan langkah awal untuk mencari data tentang perempuan
Minangkabau. Riset dilakukan dengan wawancara yang melibatkan tokoh-tokoh
perempuan yang ada sekarang dan mengetahui keinginan mereka terhadap eksistensi
perempuan Minangkabau. Dokumentasi merupakan langkah untuk kembali melihat
perempuan masa lalu melalui kaba dan
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam kaba Minangkabau.
Hasil wawancara dan
hasil dokumentasi akan direinterpretasi untuk kepentingan pertunjukan tari.
Hasil reinterpretasi merupakan konsep untuk dijadikan dasar berpijak penciptaan
tari Garak Nagari Perempuan. Konsep
akan dieksplorasi dan rekonstruksi menjadi narasi-narasi sastra yang nantinya
akan menjadi alat untuk tokoh-tokoh menari, berdendang dan mendongeng.
Pertunjukan akan memasukkan monolog-monolog tentang perempuan Minangkabau.
Dalam proses latihan
akan dilakukan ekplorasi dan improvisasi guna menggali lebih jauh tentang
gerak-gerak yang dipakai sebagai wujud artistik. Penggalian ini akan
memaksimalkan kemampuan penari dalam menterjemahkan keinginan koreografer
dengan konsepnya. Terakhir adalah try out
yang merupakan uji coba pertunjukan sebelum masuk pada resital yaitu
pertunjukan yang sebenarnya.
Gagasan yang
dilahirkan melalui sebuah peristiwa tari, sebagaimana sebuah cerita, selalu
dapat dihubungkan dengan manusia, ruang tempat pertunjukan, masyarakat,
lingkungan, budaya setempat, dan institusi setempat. Demikian pula halnya
dengan kaba, ataupun eksplorasi kaba sebagaimana yang akan
dilakukan oleh Garak Nagari Perempuan
ini. Oleh karena itu, selain dengan memanfaatkan berbagai idiom gerak khas
Minangkabau dan pemanfaatan ruang-ruang yang identik dengan budaya Minangkabau,
karya tari ini, kiranya juga perlu mendapatkan sentuhan artistik yang
merefleksikan kebutuhan-kebutuhan kekinian.
Pertunjukan tari ini
akan berbentuk sebuah pertunjukan dramatari atau bahkan dance-theater
yang didukung oleh musik dan visual multimedia, yang diharapkan dapat mewakili
penggambaran dari peristiwa masa lalu sampai pada kenyataan pada saat ini.
Berbagai unsur teaterikal, misalnya penggunaan dialog dalam tari, kiranya juga
dibutuhkan untuk menunjukkan posisi kaum perempuan sebagai pihak yang memiliki
‘hak bersuara’, untuk melakukan kritik terhadap ‘budaya diam’ dan fetisisme
perempuan, yang selama ini menjadi kesan yang dimunculkan oleh budaya tari.
Keterlibatan berbagai elemen artistik ini, sekaligus diharapkan dapat
merefleksikan kebutuhan pertunjukan kontemporer, di mana kesadaran tentang seni
pertunjukan (performance) telah mengaburkan batasan-batasan tegas antara
berbagai genre seni, dan
menggantikannya dengan garis putus-putus, yang terbuka bagi berbagai
kemungkinan.
Secara artistik,
karya ini dimulai dari pengolahan ruang yaitu Rumah gadang, yang menjadi
simbol dari matriarkhi Minangkabau, dan karenanya memiliki nilai filosofi
tersendiri terhadap keberadaan perempuan Minangkabau. Perempuan, dalam mamangan adat Minangkabau adalah limpapeh
rumah nan gadang yang memiliki makna perhiasan Rumah gadang, namun
juga bisa dimaknai sebagai tiang besar tempat berhimpunnya tiang-tiang kecil.
Posisi ini, sekaligus menggambarkan ikonitas Bundo Kanduang dengan segala kekuasaannya.
Dari rumah
gadang, pengolahan ruang dilanjutkan dengan merespons ruang lain di luar rumah
gadang yaitu jalanan kampung dan pasar rakyat di mana realitas kehidupan
sesungguhnya berlangsung, dan dilanjutkan dengan merespons Balai Adat, di mana
berbagai persoalan adat dan kehidupan masyarakat Minangkabau dibicarakan. Dari
respons terhadap ruang-ruang itulah, diharapkan karya tari Garak Nagari Perempuan diharapkan mampu melahirkan gerak-gerak
tari, untuk selanjutnya menemukan koreografinya sendiri. Secara lengkap,
perkiraan tentang tari Garak Nagari
Perempuan itu akan diuraikan di bawah ini.
Media yang dipakai
adalah gerak tradisi yang dipadukan dengan gerak hasil eksplorasi sehingga
melahirkan bentuk seni tari yang baru. Tari tradisi dijadikan dasar berpijak
untuk menuju pertunjukan yang lebih kontemporer. Hal ini juga merupakan konsep
interkulturalisme dalam dunia seni tari. Interkulturalisme merupakan persoalan
keberagaman dan silang budaya yang dihadapi setiap komunitas (dalam hal ini
adalah tari) dan menantang kesadaran setiap masyarakat untuk lebih terbuka.
Istilah ini merujuk pada proses kerjasama, interaksi dan persilangan antar
kelompok budaya yang memiliki fenomena budaya berbeda, termasuk juga dunia seni
tari.
Materi bentuk juga
dipengaruhi oleh seni tradisi randai, tari adok, silek harimau, tari
piring, tari alang suntiang pangulu, dan tari mancak koto anau. Masing-masing
wilayah di Minangkabau memiliki gerak silat tersendiri yang masing-masingnya
memiliki perbedaan-perbedaan yang mendasar. Silat yang dipakai dalam karya ini
adalah silat harimau. Umumnya tari-tari tradisi seperti Adok, Mancak,
Suntiang Pangulu dan sebagainya merupakan pengembangan dari
unsur-unsur silat di Minangkabau. Hal inilah yang menjadi dasar gerak karya
tari ini.
Cerita yang akan
disampaikan melalui karya ini diawali dengan peristiwa-peristiwa yang terdapat
pada kaba Minangkabau, yaitu menghadirkan tokoh Bundo Kanduang dan aktivitas perempuan dalam sebuah rumah gadang.
Seperti halnya kegiatan rutinitas perempuan saat ini yang berada dalam rumah
tangga. Suasana agung yang lebih mendukung kekuasaan dan kebesaran seorang Bundo Kanduang dalam rumah gadang
tersebut.
Sebagai pendukung
koreografi ini digunakan musik tari yang berangkat dari berbagai repertoar
tradisional, baik yang bersifat adat, antara lain talempong pacik, gontong-gontong,
gandang sarunai, maupun yang
berkaitan dengan kegiatan keagaaman, antara lain Barabano dan Basalawaik
Dulang. Musik tari dalam koreografi ini dihasilkan melalui metode
kolaborasi. Pencipta akan bekerja sama dengan para seniman musik tradisional,
untuk mencari kemungkinan-kemungkinan komunikasi antara gerak dengan musik.
Tata busana dalam
karya tari ini direncanakan akan di garap oleh saudara Benny Andrea, desainer
dari Minangkabau. Dalam perancangan busana pertunjukan Garak Nagari Perempuan ini menggunakan nuansa busana tradisi
Minangkabau. Dari segi kostum, kostum yang dipakai oleh Bundo Kanduang adalah baju kuruang beludru warna hitam,
selendang kain Balapak, sarung kain Balapak,
Tekuluk Tanduak. Kostum
masyarakat yaitu yang biasa dipakai oleh masyarakat atau perempuan Minangkabau
sehari hari yang bernuansa tradisi Minangkabau dan juga ada yang bernuansa
kekinian seperti kostum Polwan, dokter, sekretaris, pramugari, satuan pamong
praja, dan sebagainya yang hari ini telah dimasuki oleh kaum perempuan.
Sementara itu, kostum pemusik yaitu memakai baju hitam gadang, sarawa jao batiak, badeta hitam, dan kain saruang bugih.
Properti yang
digunakan yaitu payung dari kertas semen untuk pedagang di pasar, tiga buah Dangau
untuk tempat pemain musik. Dangau merupakan tempat beritirahat oleh para
petani di sawah yang berbentuk rumah kecil dengan atap dari jerami, biasanya
terletak di pematang sawah yang agak luas. Lasuang
yaitu lesung yang dipakai oleh
para ibu ibu di Minangkabau untuk menumbuk padi ataupun beras untuk menjadi
tepung.
Untuk koregrafi yang
menggambarkan suasana perempuan masa kini direncanakan juga memakai kursi yang
berputar dengan tiga buah bangku untuk tempat duduk. Ikon perempuan yang ada
dalam kaba Minangkabau yaitu Bundo
Kanduang, bergerak di kursi ini dengan bahasa tubuh yang sangat bebas
mengekspresikan watak dan karakter yang lembut, keras, dan kuat.
Bendi dan kuda juga
dihadirkan dalam peristiwa ini yang akan dipergunakan oleh Bundo Kanduang
sebagai kendaraan dalam perjalanan menuju
pasar dan balai adat. Kerbau dan pedati, mobil, sepeda motor, sepeda
dayung, dan komputer, digunakan untuk symbol-simbol kekinian, sedangkan
properti penari dipakai piring, dulang, alu untuk penumbuk, perian bambu, kayu
bakar, nyiru, dan katidiang.
Tata rias yang
digunakan adalah rias kolektif, yaitu dengan mempertegas garis garis wajah, dan
menutupi kekurangan pada wajah. Tata rias yang dibuat tidak menampilkan
karakteristik tokoh atau orang tertentu
yang bersifat khas. Tata rias yang digunakan hanya untuk memenuhi aspek
estetis, mebuat wajah terlihat segar,berseri seri dan cantik. Beberapa
peralatan yang akan dipakai, alas bedak,
bedak
tabur,
eye shadow, eye liner,
blush on, pensil alia, mascara, dan lipstik.
Konsep tata cahaya
yang digunakan pada koreografi dan pertunjukkan Garak Nagari Perempuan ini sebagai pembentuk suasana. Secara
keseluruhan tata cahaya yang digunakan akan bersifat tradisional, namun ada
beberapa lampu follow spott yang
dipakai untuk mengiringi tokoh tokoh dalam pertunjukan. Untuk pencahayaan yang
bersifat tradisional akan dibuat dari botol ataupun kaleng bekas yang diberi
sumbu serta minyak tanah yang di Minangkabau dinamakan lampu togok. Tata cahaya yang lain juga
menggunakan obor dan lampu lampu petromaks. Efek dari pencahayaan obor,
petromaks dan lampu togok serta cahaya dari api yang
membakar daun kelapa yang diikat dapat
mendukung suasana dan peristiwa yang diinginkan.
Oleh
karena itu, jelas bahwa karya tari Garak
Nagari Perempuan memerlukan penari-penari yang tidak saja menguasai teknik
tari dan memahami fungsi-fungsi gerak dalam tari, namun juga memiliki kamampuan
dalam membangun karakter. Proses penciptaan, akan dimulai dengan transformasi
gagasan kepada para pendukung pertunjukan, sehingga nantinya mereka dapat
mewujudkan ide tersebut dalam bentuk audio visual seni pertunjukan tari. Dari
segi teknik, para penari diharapkan adalah orang yang telah menguasai basis
gerak tari Minangkabau, yaitu gerak-gerak yang mengambil inspirasi utama kepada
silek (silat).
Selain
workshop tentang beberapa repertoar tari tradisional
Minangkabau, dan beberapa karya tari terdahulu milik koreografer, kiranya
diperlukan pula workshop untuk
memberikan pendalaman terhadap karekteristik dan kecendrungan-kecendrungan
gambaran perempuan yang ada di dalam kaba, agar para penari mampu untuk
membaca kemungkinan gerak yang dapat dikembangkan pada ruang, waktu dan tempat
yang dipilih sebagai lokasi pertunjukan. Persoalan yang berhubungan dengan
perempuan pada masa sekarang ini dapat dikembangkan pada sebuah peristiwa tari
yang aktual dan kontekstual. Dalam hal ini, kiranya diperlukan pula pelatihan
olah vokal bagi para pendukung tari, agar mereka dapat mengucapkan dialog
secara benar dalam pertunjukan tersebut.
Bersandar
dari konsep itu, maka, proses penciptaan akan bertumpu pada ekplorasi ruang, di
mana para penari akan memberi respons dengan tubuhnya. Diharapkan dengan telah
dikuasainya dasar-dasar gerak beberapa repertoar tari tradisional Minangkabau,
serta karya terdahulu dari koreografer oleh para penari, maka respons tubuh
yang mereka berikan tetap akan mengekpresikan gerak-gerak yang khas. Beberapa
proses awal nantinya akan dilaksanakan di dalam rumah gadang, di halaman
rumah gadang, di jalan dan pasar, serta di balai adat, untuk melihat
berbagai kemungkinan koreografi dan pengolahan ruang sebagai tempat
pertunjukan.
Gagasan Bentuk Karya
Sebagai sebuah
peristiwa/iven kesenian, koreografi Garak
Nagari Perempuan akan didorong untuk menjadi peristiwa budaya. Peristiwa
dimulai pada siang hari, melalui aktivitas di pasa (pasar tradisional), tapian
(tepian), dan lingkungan Rumah Gadang. Pada siang harinya, akan digelar
berbagai kesenian rakyat masyarakat Sungai Pagu, antara lain: randai, tari indang, tari piriang di
ateh karambia, dikie rabano, talempong pacik, saluang panjang, gontong-gontong,
gandang sarunai, dan salawaik dulang. Sorenya
dilaksanakan peristiwa arak-arakan perempuan membawa dulang tinggi yang berisi makanan.
Peristiwa ini diiringi musik gontong-gontong
yang dimainkan perempuan. Malam harinya dilaksanakan pertunjukan karya Garak Nagari Perempuan.
Secara garis
besar, koreografi Garak Nagari Perempuan akan terdiri beberapa bagian. Masing-masing bagian, akan
ditandai oleh perubahan ruang pertunjukan, yaitu Ustano (istana), Rumah gadang, Pasa (Pasar Rakyat), Balai
Adaik (Balai Adat), dan Surau.
Kelima ruang ini, diyakini sebagai latar yang mewakili berbagai suasana dan
karakter interaksi dalam masyarakat Minangkabau di Sungai Pagu. Rumah Gadang,
sebagaimana telah dibahas, adalah simbol berjalannya matriarkhi Minangkabau,
dengan segala aturan dan adatnya. Pasa (pasar rakyat) adalah perwakilan
dunia sehari-hari, di mana realitas hidup berlangsung. Sementara itu, Balai Adaik adalah ruang berdiskusi dan
bermufakat tentang berbagai masalah kehidupan.
Pada bagian
pertama, karakter perempuan ditunjukkan
dalam sedang berada di atas Rumah gadangnya, dengan segala hiasan dan
kemewahan yang ia miliki. Ia menerima berbagai masalah yang datang dari dunia
luar dengan keanggunan dan kearifannya. Bundo
Kanduang menyelesaikan semua persoalan dari atas ustano, dan hanya
memandangi kehidupan dari jendela-jendelanya yang besar dan megah. Ini adalah
gambaran tentang realitas adat Minangkabau, yang memandang bahwa kaum perempuan
Minangkabau telah didudukkan pada posisi yang tinggi, dan karenanya kekal.
Dengan memakai
properti kursi yang memiliki berbagai sisi tokoh perempuan ini memainkan
perannya masing-masing dalam menghadapi laki-laki. Pada bagian kedua, Bundo Kanduang yang menyaksikan
perubahan pada diri para perempuan, lalu menyadari bahwa ternyata dunia luar rumah
gadang sedang bergerak dengan laju dan arah yang tidak ia bayangkan. Bundo Kanduang lalu turun ke halaman rumah
gadang, dan berjalan menyusuri jalanan kampung, hingga sampai di pasa
(pasar),dimana ia menyaksikan berbagai perubahan pada diri kaum perempuan yang
ditemuinya. Di tengah keramaian pasa, Bundo Kanduang bahkan melihat lebih banyak lagi perubahan pada diri
kaum perempuan. Ia melihat kaum perempuan yang telah menerobos jauh memasuki
ranah kehidupan sosial dengan berbagai identitas dan atribut. Bundo Kanduang pun melihat
perempuan-perempuan yang lain.
Demikian pula pada
bagian ketiga, Bundo Kanduang yang
tercerahkan, karena telah menyaksikan berbagai hal yang terjadi pada diri
perempuan di luar Rumah gadang, kemudian melangkah ke Balai Adaik,
bermaksud menginisiasikan sebuah rapat, untuk membuka ruang diskusi tentang
peran perempuan Minangkabau masa kini. Di Balai Adaik, berbagai elemen
masyarakat Minangkabau yang
lain telah menunggu. Bundo Kanduang
membawa persoalan perempuan Minangkabau ke Balai Adaik, untuk ikut
berjuang memperoleh keadilan, dan sebuah dialog pun dimulai.
Tokoh utama yaitu
Bundo Kanduang, merupakan tokoh yang selalu bergerak sambil menyampaikan kaba lewat dendang, monolog dan nyanyian
yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentuk yang estetik dan
artistik.
Gagasan Wujud Penyajian/Pementasan
Sebagaimana telah
dibahas, terdapat enam ruang yang akan diolah dalam tari Garak Nagari Perempuan, yaitu rumah gadang, pasa, balai
adaik, tapian, musajik, dan labuah. Keenam ruang ini pada dasarnya adalah syarat terjadinya nagari dalam konvensi budaya
Minangkabau. Rumah gadang, seperti telah disebutkan, diolah karena dari
sinilah semua persoalan kaum perempuan Minangkabau dipetakan. Adapun halaman rumah
gadang adalah ruang yang dimiliki bersama, baik oleh kaum laki-laki maupun
perempuan Minangkabau. Ketika sebuah kegiatan adat sedang berlangsung di atas rumah
gadang, halaman rumah gadang menjadi tempat informal, untuk
menanggapi persoalan. Mereka-mereka yang menanggapi dari halaman rumah
gadang ini, rata-rata adalah kaum perempuan. Tentu saja, tanggapan mereka
tidak pernah (akhirnya) menjadi bagian dari kebijaksanaan, karena semuanya
telah diputuskan di atas rumah gadang. Padahal, bukan tidak mungkin,
tanggapan itu memiliki kearifan yang lebih baik.
Bersandar dari
fenomena itu, tidak saja di dalam rumah gadang, tetapi halaman rumah
gadang pun akan di eksplorasi sebagai sebuah ruang. Demikian pula halnya
dengan jalanan kampung, pasa dan
balai adat. Ekplorasi yang terjadi di semua ruang itu, tidak saja diharapkan
dapat melahirkan koreografi, namun juga membuka kemungkinan artistik sebagai
tempat pertunjukan tari alternatif. Semua hasil proses, diharapkan dapat
sekaligus mewakili karakter dari semua ruang yang telah dipilih itu, yang
sekaligus mengkonstruknya menjadi tempat pertunjukan yang representatif dan
estetis. Dengan demikian, ruang-ruang di dalam dan di luar rumah gadang
itu akan siap untuk dipilih menjadi ruang gelar bagi pertunjukan karya seni
tari, yang direncanakan akan berdurasi lebih kurang 100 menit ini.
Pengolahan ruang
ini, bertitik tolak pada kesadaran tentang silang budaya, yang memperoleh
dimensinya yang baru karena konsepsi ruang yang berubah. Dalam praktik
komunikasi antar budaya, ruang-ruang eksklusif dibuka menjadi ruang publik, di
mana persentuhan yang intensif antar kebudayaan terjadi, baik karena proses
globalisasi maupun revolusi media. Persentuhan antar budaya, tidak saja
melampaui batas-batas geografis, tetapi juga bersilangan dalam dimensi waktu yaitu
bergerak ke masa lampau dan masa depan, sebagai sesuatu yang ulang-alik.
Pemadatan ruang dan waktu dalam proses silang budaya, dapat membongkar
kelaziman transmisi nilai yang biasanya diwariskan generasi ke generasi.
Tempat pelaksanaan
karya ini adalah di Muara Labuah, nagari Pasir Talang, kecamatan Sungai Pagu,
Kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat. Sementara penonton karya ini diharapkan
akan datang dari kalangan kaum adat, akademisi, seniman tradisi dan modern,
generasi muda dan masyarakat tradisional Minangkabau secara umum.
DAFTAR
ACUAN
Alfian
dan Dewi Fortuna Anwar. 1983. “Wanita dalam Masyarakat Minangkabau”. Makalah. Jakarta: Symposium Yayasan
Bunda 7 April 1983.
Alisyahbana,
Sutan Takdir. 1983. " Sistem Matrilineal Minangkabau dan Revolusi Kedudukan
Perempuan di Zaman Kita". Dalam Dialektika
Minangkabau Dalam Kemelut Sosial dan
Politik. Padang: Genta Singgalang Press.
Aman Dt. Majo Indo.1997 .Cindur Mata.Jakarta: Balai Pustaka
Hadi, Wisran.1982. Anggun Nan Tongga.
Jakarta: PN Balai Pustaka
Ibrahim, Dt.
Sanggono Dirajo. 2009. Tambo Alam Minangkabau:
Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal
Multimedia.
Junus, Umar. 1984.
Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau;
Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Junus,Umar.1981. Mitos dan Komunikasi.Jakarta: Sinar Harapan
Manggis, M. Rasyid Dt. Radjo Panghulu.
1999a. Sabai Nan Aluih. Bukittinggi: CV. Pustaka Indonesia.
Manggis, M. Rasyid Dt. Radjo Panghulu.
1999b. Kaluak Randai. Bukittinggi: CV. Pustaka Indonesia.
Navis,A.A.1984. Alam Terkembang Jadi Guru,Adat dan Kebudayaan Minangkabau.Jakarta:
PT.Pustaka Grafitipers
Thaib, Raudha. 2008. “Perjuangan Siti
Manggopoh Sebagai Spirit Perjuangan Nan Kokoh Bagi Perempuan Minangkabau”. Makalah. Lubuk Basung: Seminar Pendidikan
1 Juni 2008.
Thaib, Raudha. 2010a. “Perempuan
Minangkabau Dulu, Kini dan Akan Datang (Perempuan dalam Perspektif Sejarah)”. Makalah. Padang: Seminar KAMMI 29 Mei
2010
Thaib, Raudha. 2010b. “Kedudukan,
Peranan dan Fungsi Perempuan Menurut Tatanan Adat dan Budaya Minangkabau”. Makalah. Padang: Seminar 1 Mei 2010
Thaib, Raudha. 2011. “Jender dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau”. Makalah.
Padang: Pelatihan PPKB Sumbar 21-22 September 2011.
Usman, Upi Tuti Sundari.2005. Refleksi Perempuan Minangkabau. Draf
buku belum diterbitkan
Wolff, Janet. The Social Production
of Art. New York: St. Martin’s Press, 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar