OLEH Budiawan
Dosen
tidak tetap di Jurusan Sejarah, FIB UGM
Diskusi buku Pulang |
Saya ingin melakukan kontekstualisasi
fakta historis yang terkandung di dalam novel ini, yakni perihal para eksil
politik Indonesia sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi. Kontekstualisasi
ini mungkin bermanfaat untuk memperkaya wawasan sejarah, yang di dalam novel
ini menyisakan sejumlah celah. Sebuah novel, bahkan novel sejarah sekalipun,
memang tidak berpretensi untuk menuturkan kisah sejarah itu sendiri.
Sebelum melakukan kontekstualisasi itu,
saya merasa perlu memaparkan ringkasan isi novel ini. Sebab, saya tidak boleh
berasumsi bahwa semua yang hadir dalam forum ini sudah membaca novel ini.
Novel ini berkisah tentang empat eksil
politik Indonesia yang menjadi pendiri “Restoran Tanah Air” di Paris: Dimas
Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna [Tjai Sin Soe]).
Keempatnya adalah wartawan – kecuali Tjai – pada Kantor Berita Nusantara
sebelum Peristiwa 30 September 1965 terjadi.
Menjelang Peristiwa 30 September 1965
terjadi, Dimas Suryo dan Nugroho menghadiri KonperensiInternational
Organization of Journalists di Santiago, Chile. Sedangkan Risjaf menghadiri
‘event’ lain di Havana, Kuba. Sementara Tjai meninggalkan Indonesia menuju
Singapura hanya beberapa waktu sesudah Peristiwa 30 September 1965
terjadi. Bagaimana mereka bisa bertemu
kembali, lalu mendirikan Restoran “Tanah Air” di Paris?
Pucuk pimpinan Kantor Berita Nusantara,
Hananto Prawiro, dikenal sebagai seorang jurnalis kawakan yang ‘sangat kiri’
atau pengikut PKI. Karena itulah Kantor Berita ini pun dianggap sebagai ‘sarang
pengikut/simpatisan PKI’, meskipun tidak semua wartawan/karyawannya pengikut
PKI, bahkan ada yang haluan politiknya berseberangan dengan pimpinan. Kantor
Berita inipun tidak luput dari razia tentara, polisi dan pemuda anti-PKI pada
hari-hari dan minggu-minggu sesudah Peristiwa 30 September 1965 terjadi.
Hananto Prawiro menjadi buronan (dan tertangkap pada April 1968).
Sadar bahwa situasi politik di Indonesia
pasca-30 September 1965 bukan hanya sedang tidak berpihak tetapi sangat
berbahaya bagi siapapun yang dengan mudah bisa dikait-kaitkan dengan PKI, maka
Dimas Suryo dan Nugroho serta Risjaf tidak berani memutuskan untuk pulang.
Selain itu, dan ini alasan yang lebih penting, mereka memang tidak mungkin bisa
pulang karena paspor mereka dicabut. Mereka pun lalu pergi ke Peking, bertemu
dengan orang-orang Indonesia yang juga mengalami nasib sama. Dari Peking lalu
ke Eropa, dan keempatnya ketemu di Paris. Sejak itulah (1968) mereka menyandang
status sebagai eksil politik Indonesia, sebelum kemudian setelah beberapa tahun
menetap di sana memperoleh status sebagai warga negara Prancis. Untuk bertahan
hidup, setelah menjalani sejumlah pekerjaan serabutan, mereka mendirikan
restoran masakan Indonesia yang mereka namai “Restoran Tanah Air”.
Dimas Suryo, eksil politik yang menjadi
tokoh sentral dalam novel ini, dikisahkan sebagai seseorang yang senantiasa
memendam harapan dan keinginan untuk pulang ke Indonesia, entah hidup atau
mati. Sebab baginya “Indonesia” adalah rumah, kendati pemerintahnya (mungkin
juga sebagian warganya) tidak menghendaki kehadirannya.
Dimas Suryo menikah dengan perempuan
Prancis, Vivienne Deveraux, dan punya anak yang dia namai Lintang Utara.
Singkat cerita, Lintang dewasa pergi ke Jakarta untuk menyelesaikan tugas
akhirnya di universitas Sorbonne, yaitu membuat film dokumenter yang berisi
wawancara dengan para eks-tapol Peristiwa 1965 beserta keluarga mereka. Ia
pergi ke Jakarta pada bulan Mei 1998, ketika situasi politik Indonesia memanas
antara lain sebagai dampak dari krisis monoter sejak 1997, dan tuntutan agar
Presiden Suharto mundur pun semakin kencang.
Selang sebulan kemudian, ayahnya menyusul
ke Jakarta. Akhirnya ia benar-benar bisa pulang, tetapi sudah menjadi satu
dengan tanah.
Dalam kenyataan, eksil politik seperti
Dimas Suryo dkk. itu (hingga) kini jumlahnya masih (se)ribuan, bahkan mungkin
lebih, dan tersebar di berbagai negara Eropa. (Majalah berita mingguan Gamma,
edisi 9 Januari 2000 mencatat [sampai dengan akhir 1999] ada sekitar 1400
orang). Pertanyaannya: mengapa dan bagaimana mereka sampai menjadi eksil
politik? (Menjadi eksil politik jelas bukan pilihan mereka, tetapi rezim Orde
Barulah yang memaksa mereka menyandang status itu).
Latar belakang yang membuat mereka
terpaksa menjadi eksil memang beragam. Tetapi secara umum jawabannya bisa
dilacak ke akhir 1950-an, ketika Presiden Sukarno dengan Dekritnya mencanangkan
apa yang disebut Manipol USDEK (Manifestasi Politik UUD 1945, Sosialisme ala
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia).
Terkait dengan poin keempat, yakni Ekonomi Terpimpin, Sukarno menjabarkannya
sebagai suatu cita-cita Indonesia sekian puluh tahun ke depan, yaitu Indonesia
dengan ekonomi berdikari, yang sanggup mengolah segala bahan mentah – baik
hasil tambang maupun pertanian dan perkebunan – yang ada di bumi Indonesia.
Untuk itulah sejak 1960 hingga 1965 pemerintah secara bergelombang mengirimkam
ribuan kaum muda untuk belajar di universitas-universitas di negara-negara blok
sosialis, misalnya Uni Soviet,
Yugoslavia, Rumania, Cekoslovakia, Hungaria, Albania, Polandia, Bulgaria,
Jerman Timur, Kuba, RRT, dsb. (Negara-negara blok sosialis waktu itu memiliki
kedekatan politik dengan Indonesia, dan hendak dijadikan sebagai model
pembangunan industri oleh Presiden Sukarno). Mereka belajar di berbagai
disiplin ilmu, dari teknik, kedokteran, ekonomi, pendidikan hingga linguistik.
Mereka yang dikirim ke negara-negara blok
sosialis itu belum tentu memiliki haluan politik dan ideologi pada PKI. Namun
yang jelas mereka mendukung ide Nasakom-nya Sukarno. Sesudah Peristiwa 30
September 1965 terjadi dan kekuasaan Sukarno secara de facto sudah diambil-alih
oleh Suharto dan rezim Orde Baru (dengan pilarnya Angkatan Darat) secara de
facto pula sudah mulai berkuasa, mereka – para mahasiswa Indonesia di
negara-negara blok sosialis itu – dihadapkan pada tuntutan politik rezim Orba:
mengutuk G30S sebagai bikinan PKI dan menolak kepemimpinan Sukarno, atau
mendukung tindakan Suharto membubarkan PKI dan sekaligus menerima
kepemimpinannya. Bila mereka memilih pilihan pertama, maka mereka pun bisa
pulang ke Tanah Air dengan aman, karena dianggap telah melakukan transformasi
mental menjadi “Orde Baru”-is. (Salah satu contohnya adalah Tungki Aribowo,
yang belajar di Yugolsavia, dan sepulang ke Indonesia lalu memimpin Krakatau
Steel). Sebaliknya, bila mereka tidak memilih pilihan pertama, maka mereka
bukan hanya dicap sebagai masih bermentalitas Sukarnois, tetapi juga pendukung
atau simpatisan PKI. Konsekuensinya, status kewarganegaraan mereka sebagai WNI
pun dicabut. Karena kebanyakan dari mereka merasa tidak tahu persis apa yang
sesungguhnya terjadi dengan G 30 S, serta masih memandang Sukarno sebagai
pemimpin bangsa dan negara Indonesia, maka mereka pun mengalami konsekuensi
itu: dicabut status mereka sebagai WNI. Mereka pun menjadi ‘stateless’ atau tak
berkewarganegaraan.
Kebanyakan dari mereka masih bertahan di
negara-negara blok sosialis itu – yang di masa Orde Baru hubungan diplomatiknya
dengan Indonesia relatif dingin, bahkan ada yang putus sama sekali, yaitu RRT.
Di negara-negara sosialis itulah mereka berkarya dalam berbagai bidang
kehidupan, menyumbangkan keahlian mereka pada pemerintah dan masyarakat di
negara-negara itu. Ketika tembok Berlin runtuh dan rezim-rezim komunis goyah
atau bahkan jatuh, banyak di antara mereka hijrah ke Eropa Barat (dan beberapa
negara lain) sebagai pengungsi politik, sebelum akhirnya memperoleh status
sebagai warga negera di mana mereka kemudian menetap.
Di negara-negara baru itu sebagian
beruntung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka, misalnya
seperti Dr. Warunojati yang bekerja di Max Planc Institute, Jerman; Dr. Sri
Basuki, apoteker, yang bermukim di Berlin; Dr. Ernoko Adiwasito, ekonom,
menjadi dosen di Venezuela; Dr. Sophian Walujo (tokoh Perguruan Taman Siswa),
ahli pendidikan anak terbelakang mental, menjadi dosen di Swedia. Namun, tidak
sedikit yang kurang beruntung, dalam arti tidak mendapatkan pekerjaan yang
sesuai dengan keahlian mereka. Yang kurang beruntung itulah yang antara lain
lalu mendirikan restoran masakan Indonesia, sebagaimana yang menjadi fokus
cerita novel ini.
Cerita-cerita itu nyaris tak pernah
terdengar dalam buku-buku sejarah, entah tidak resmi apalagi resmi.
Cerita-cerita tentang ribuan kaum terpelajar Indonesia yang pada mulanya
disiapkan oleh Sukarno untuk menjadi pilar-pilar penyangga cita-cita Indonesia
dengan Ekonomi Berdikari itu sepanjang Orde Baru berkuasa boleh dibilang
‘non-existent’, tak ada dalam wacana publik, tak hinggap kedalam memori sosial.
Bahkan rezim Orba ketika mulai menggelindingkan wacana tentang perlunya
pengembangan sumber daya manusia (SDM) pada awal 1980-an, masih sempat
mengatakan Sukarno dengan Orde Lamanya lebih sibuk dengan politik dan revolusi,
ketimbang dengan pembangunan ekonomi dan sumberdaya manusia. Rezim Orba lupa
atau sengaja lupa bahwa wacana pengembangan SDM itu sudah dilakukan dua puluh
tahun sebelumnya.
Pasca-Suharto jatuh, kisah-kisah dan
cerita-cerita tentang para eksil politik Indonesia itupun mulai bermunculan.
Kini kita sadar bahwa dalam perjalanan sejarah Indonesia pasca-1945 kita pernah
membuang dan menyia-nyiakan satu generasi emas hanya karena perbedaan haluan
politik. Novel ini adalah bagian dari manifestasi kesadaran itu – sebuah
kesadaran dan ingatan yang perlu diwariskan tak lain agar generasi mendatang
tidak mengulanginya. Disinilah makna kehadiran novel ini dalam konteks meninjau
kembali historiografi kita, yakni menghadirkan salah satu sisi perjalanan
sejarah kita yang dulu dengan sengaja dilupakan oleh rezim Orba.
Dalam posisinya sebagai karya sastra,
tentu novel ini bisa dibaca lebih dari dari sekedar “mengungkapkan sejarah yang
dilupakan itu”. Tetapi saya merasa ini di luar porsi saya. Terim kasih.
Artikel ini disampaikan dalam Diskusi
Novel “Pulang” di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta, Jumat 1 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar