OLEH Devy
Kurnia Alamsyah
Sutradara “Selopanggung” dan nominator Festival
Film Dokumenter (FFD) 2010
Wajah kebingungan
terpancar pada sebagian besar penonton yang melenggang keluar dari ruang
pertunjukan Teater Salihara Oktober tahun lalu. Ragam pertanyaan sepertinya
membuat beberapa hadirin kebingungan. Pertanyaan yang muncul dari keraguan dan
ketidaktahuan.
“Opera apa ini? Sungguh, tak mengerti. Tidak ada
ceritanya.”
“Judulnya Opera Tan
Malaka, tapi dimana Tan Malaka-nya?”
“Goenawan Mohammad (GM) yang terlalu pintar atau aku yang
terlalu bodoh?”
Ragam pertanyaan yang
menarik—semenarik senyum GM dalam meningkahi jabatan tangan dan ucapan selamat dari
beberapa rekan dan hadirin yang sepertinya
juga kebingungan menyaksikan malam penutupan Festival Salihara. Apakah GM menyenangi kebingungan para
penontonnya itu? Menarik. Semenarik pesta penuh alkohol sesudahnya—tanda
pesta sudah usai. Mungkin seperti itu. Mungkin pula tidak—karena aku tak hadir
sesudahnya, sama seperti Tan Malaka yang tak pula hadir di opera-esai itu. Aku tak hadir maka aku ada.
Sebelumnya, di
penghujung 2009 terbit sebuah buku berjudul “Tan Malaka dan Dua Lakon Lain” yang ditulis oleh GM dan itulah
pertemuan pertamaku dengan naskah Tan
Malaka. Butuh waktu satu tahun untuk menunggu pementasannya. Cukup lama
persiapannya ternyata. Tak apa, karena yang menarik bagiku saat itu adalah
diskusi mengenai Tan Malaka selama tiga hari sebelum Opera Tan Malaka dimulai. Filmku “Selopanggung”, film dokumenter tentang penggalian makam Tan Malaka
di Kediri juga diputar. Harry Poeze, yang juga memberi diskusi, malah ingin
membandingkan hasil komponis Tony Prabowo dengan Peter Schat yang membuat satu
komposisi berjudul “An Indic Requiem”(1995).
Dalam sebuah wawancara, Schat mengakui bahwa tenor, orkestra dan koir ini
tercipta sebagai bentuk kreasi seninya yang terinspirasi oleh kejahatan
kolonialisme Belanda terhadap Indonesia dan oleh perjuangan Tan Malaka dalam
melawan kolonialisasi tersebut. Menarik.
Aku pun hadir kemudian
sebagai satu penonton yang sudah membaca lakon bernama Opera Tan Malaka. Aku pun datang tidak dengan kosong, karena aku mengetahui sedikit banyak tentang Tan Malaka, setidaknya
itu yang kupikir. Tapi ternyata aku keluar dengan ekspresi yang sama dengan mereka
yang tak membaca naskah lakon itu. Ada
apa ini?
Lalu tak lama
kemudian, di awal Januari 2011, rekaman pagelaran tersebut yang sedianya akan
diputar di beberapa stasiun televisi lokal justru dilarang penayangannya di
Malang dan Kediri. Pelarangan ini konon datang dari pihak militer yang masih
alergi dengan hal-hal yang berbau komunisme. Entah benar entah tidak. Ada apa ini? Rakyat yang tak menonton
dokumentasi pergelearan pun ikut-ikutan bingung. Tapi satu hal yang pasti, hal
ini tak menyurutkan GM untuk melanjutkan karnaval Opera Tan Malaka.
Opera-esai tiga
babak ini kembali ditayangkan 23-24 April lalu di Taman Ismail Marzuki (TIM)
Jakarta. Konsep opera tahun sebelumnya direnovasi mengingat setting yang tak
lagi sama dengan Salihara yang tak cukup besar. Opera Tan Malaka menjadi opera yang dinamis. Komposisi brilian Tony
Prabowo yang di-conduct oleh Josefino
Chino Toledo bersaing dengan koreografi tari apik dari Fitri Setyaningsih. Aria
dari Paduan Suara Paragita Universitas Indonesia berpadu dengan nyanyian Nyak
Ina “Ubiet” Rasukie dan Binu Doddy Sukaman. Narasi Landung Simatupang dan Adi
Kurdi yang berbalasan secara paralel. Banyak cara bagi GM untuk mempromosikan
lakonnya kali ini. Entah karena promosi entah karena diundang, tak
tanggung-tanggung, Wakil Presiden Boediono beserta istri hadir di pementasan
kali ini. “Berat,” demikian katanya ketika ditanya oleh rekan-rekan wartawan
mengenai opera tersebut. Nah lho?
Semakin senang GM
sepertinya menyaksikan kebingungan ini.
***
Menarik pula
akhirnya kemudian ketika Haluan memuat dua opini dari Indra J. Piliang (3/5/11)
dan Raudal Tanjung Banua (9/5/11)—dua orang yang tak (mau) menonton Opera Tan Malaka. Mereka memberikan
opini dari ketidakhadirannya. Satu opini dibuka bahwa Opera Tan Malaka adalah lakon ahistoris—Tan Malaka bukan opera.
Salah arah. Satu opini kemudian bersetuju pula dengan opini sebelumnya. Melalui
kacamata ekstrinsik berupa orientasi pengarang dengan lingkungan sosialita
ibukota dilihat bahwa telah terjadi pencairan sosok Tan Malaka sehingga menjadi
lebih instan. Opera ini dianggap tak hanya salah arah, tapi juga salah kotak.
Jika IJP bertanya
musik apa yang disukai Tan, maka ini adalah pertanyaan menarik. Mengenai musik,
Tan Malaka adalah seorang pemain biola ketika bersekolah dulu di Bukit Tinggi
dan di Belanda. Bahkan beberapa minggu setelah proklamasi, bersama Ahmad
Soebardjo dan Jo Paramitha, Tan Malaka memainkan salah satu komposisi Schubert.
Jo pun menanyakan apakah Tan Malaka akan kembali bermain musik. Tidak, selama
Belanda belum keluar dari pantai Indonesia, demikian jawabnya. Mengenai sastra,
pada tahun 1927, Tan Malaka mengaku sedang menulis sebuah novel mengenai
penindasan yang terjadi pada bangsanya. Ia tak berhasil menyelesaikan novel
itu. Satu hal yang patut diingat, rekannya Semaoen dan Mas Marco juga menulis
novel pada waktu itu—namun mereka berhasil menyelesaikan karya mereka. Tan
Malaka akhirnya mengirim draft novel itu ke Adinegoro dan Adinegoro menyerahkan
surat-surat itu ke Hasbullah Parindurie yang kemudian dikenal dengan nama pena
Matu Mona. Pada tahun 1938 terbitlah roman spionase Patjar Merah Indonesia di Medan. Roman ini menjadikan sosok Tan
Malaka sebagai legenda—terutama bagi dunia pergerakan saat itu.
Mengenai lakon,
sekitar tahun 1944-an, di Banten, Tan Malaka mendirikan satu klub drama (dan
sepakbola) bernama Pantai Selatan.
Tan Malaka tak hanya menuliskan lakonnya tapi juga menyutradarainya. Ada dua
lakon yang diketahui yang pernah ia sutradarai di Banten; Hikayat Hang Tuah dan Prajurit
Pekerja. Kritiknya terhadapnya kejamnya fasisme Jepang dan kondisi
menyedihkan kaum romusha ia sampaikan melalui bentuk lain. Gaya penulisan lakon
Tan Malaka ini masih dipertahankan dan bisa dilihat pada karyanya yang tulis
lima tahun kemudian yang terbit dalam bentuk brosur (Muslihat, Politik). Satu hal pula yang patut diingat, Roestam
Effendy sebagai tokoh Murba juga adalah seorang pegiat teater. Mengenai
olahraga pun, Tan Malaka menggagas pembuatan satu lapangan sepakbola di Banten
bagi para pekerja romusha. Ia kerap menggelar pertandingan sepakbola waktu itu.
Dalam hal ini, sepertinya Tan Malaka yang ditugasi dalam hal propaganda oleh
Komintern melihat seni sebagai bagian penting dalam praktik dekolonisasi
bangsanya.
Berpuluh tahun
kemudian, dalam pameran “Dari Penjara ke
Pigura” Agus Suwage menjadikan satu potret Tan Malaka sebagai lukisannya.
Ia memberikan anasir-anasir merah berapi di pepinggir rambut Tan Malaka.
Beberapa kalimat Tan Malaka dibiarkan menyatu dengan lukisan sehingga mencipta
suatu dialektika antara kata dan rupa. Erik Wirawan, mahasiswa IKJ, pun membuat
satu film fiksi pendek berjudul “Tan
Malaka” yang diputar di berbagai festival. Keinginan untuk membuat Tan
Malaka dalam versi layar lebar pun mulai menjadi wacana di kalangan filmmaker kelas atas tanah air—entah
siapa yang akan lebih dulu merealisasikannya. Bahkan kelak akan ada sebentuk
randai akan dipentaskan tentang Tan Malaka. Tak hanya GM yang mengapresiasi Tan
Malaka—apapun bentuknya. Maka di sinilah aku ingin mengambil posisi. Aku
mengapresiasi Tan Malaka dengan caraku.
Jika Althusser
menyarankan untuk sedikit serius dalam memperhatikan sesuatu yang tak-hadir (absence) dalam teks bukan karena ia tak
muncul di dalam teks, melainkan ada satu proses penyembunyian di dalam teks tersebut. Ia sengaja disembunyikan—oleh seseorang, oleh sesuatu, untuk suatu
tujuan. Jika Tan Malaka yang tak hadir di dalam Opera Tan Malaka dianggap sebagai alegori dari ketidakhadirannya
dalam konstelasi sejarah bangsa ini, semacam ada dan tiada, hadir untuk hilang,
hidup untuk mati, maka dapat dilihat bahwa GM pun punya maksud tertentu kenapa
ia menghilangkan Tan Malaka di dalam opera tersebut—sama seperti penguasa
bangsa ini yang meniadakan Tan Malaka dalam buku sejarah resmi. GM tak menjawab,
pun seperti diamnya penguasa. Tugas kitalah untuk mencari jawabannya—dengan
berbagai cara.
Bagiku, Tan Malaka
adalah simbol dari absensivitas itu sendiri. Kediriannya menjadi petanda
semangat jaman, penanda bagi takutnya para penguasa. Ia tiada maka ia ada. Ia
ada dalam ketiadaannya. Ia tiada dalam keadaannya. Ia adalah narasi. Ia hadir
dalam diskursus. Ia dimunculkan dan dihilangkan sekaligus. Ia dirayakan justru
ketika ia selesai. Idealismenya malah dijadikan pijakan kapitalistis. Ia
ditunggu. Ia dicaci. Ia dibunuh. Ia dikubur. Ia digali. Ia dicintai. Ia
dibenci. Gagasan-gagasan besarnya dilupakan. Tan Malaka menjadi kompleksitas
itu sendiri. Ambigu. Realitas dan fiksi campur aduk. Ketika sejarah cenderung
menghilangkan potensi seseorang yang dianggap lawan penguasa maka kemudian seni
yang memunculkannya kembali. Ini yang aku percaya, Tan Malaka adalah wajah kita sendiri—baik sebagai individu
atau sebuah bangsa. Entah dengan Anda.
Jadi masih perlukah
kebingungan itu dilanjutkan?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar