OLEH Moehar Daniel
Direktur
Pemberdayaan Petani Yayasan AFTA
Sering kita baca dan sering kita dengar dan bahkan
juga sering kita lihat, petani menerima penghargaan. Petani sering diusung ke Istana
Negara untuk menerima hadiah, menerima piagam penghargaan ataupun menerima
sertifikat. Setiap tahun di Agustus, saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan
Republik, sangat banyak lapisan masyarakat yang menerima segala macam
penghargaan.
Begitu juga sering kita baca dan lihat di siaran
televisi, banyak para pemberdaya masyarakat yang menerima hadiah, mendapat
penghargaan dan juga didaulat sebagai anak bangsa yang berjaya. Melihat semua
itu, kita pasti merasa bangga dan gembira, rupanya anak bangsa ini sudah pada
maju dan sudah banyak juga yang bermanfaat untuk orang lain. Sudah banyak
petani yang sukses, menjadi kaya dan hidup sejahtera. Itulah gambaran di layar
kaca dan di kolom berita.
Kalau kita dalami kondisi yang sebenarnya terjadi, ternyata
masih sangat banyak petani kita yang menderita. Bekerja membanting tulang dan
bermandikan keringat dari pagi sampai petang, tetapi hasil yang diterimanya
belum cukup untuk bisa hdup lebih baik dan tenang.
Sementara orang kota menganggap petani kita sudah
maju, rumahnya sudah rumah batu, dan bahkan sudah banyak juga yang sering
tampil menjadi selebritis baru. Manakah yang benar? Apakah petani yang tampil
tersebut mewakili semua petani, atau hanya mewakili 50 persen petani, atau
apakah bisa mewakili 10 persen petani. Ekstremnya,
apakah mewakili dirinya sendiri yang kebetulan adalah petani? Kalau memang dia
petani. Harus diingat dan diketahui bahwa, data statistik mengatakan 62 persen penduduk Indonesia (lebih kurang 125 juta
jiwa) hidup dari sektor pertanian.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa telah terjadi
perbaikan di mana kehidupan petani sekarang lebih baik dibanding 10-15 tahun
yang lalu. Ukurannya adalah “mata telanjang”. Sebagian mereka sudah memiliki
rumah baru, memiliki sepeda motor, bahkan banyak juga yang sudah memiliki
kendaraan roda empat. Apakah itu ukuran kesejahteraan dan apakah itu mewakili
semua petani?
Belum ada data akurat yang bisa menjelaskan semua itu,
yang pasti kenyataan di lapangan, masih sangat banyak petani yang hidup
menderita di antara kehidupan mewah lapisan masyarakat di atasnya. Kesenjangan
kehidupan antara petani dengan lapisan masyarakat yang lebih beruntung sangat
jauh dan mencolok. Masih banyak anak petani yang tidak sekolah dan tidak
mendapat pekerjaan yang layak untuk memperjuangkan kehidupannya. Siapa yang
peduli kepada nasib dan kehidupan mereka?
Dalam beberapa tulisan sering dibahas mengenai kondisi
dan keberadaan petani serta rakyat kecil dewasa ini. Intinya, mereka berada
dalam ketidakberdayaan yang sebagian besar dicerminkan oleh maraknya kemiskinan,
pengangguran, kebodohan dan kepincangan. Tanpa menyalahkan siapa dan apa, sudah
saatnya kita sebagai bagian dari anak bangsa yang besar ini untuk mulai
menengok dan memperhatikan serta “peduli” kepada bagian terbesar anak bangsa
ini. Kepedulian bisa diwujudkan melalui berbagai kegiatan seperti pemikiran,
himbauan, perbuatan dan lain sebagainya. Paling tidak kita harus gunakan apa
yang kita miliki untuk berbuat dan berperan serta mendukung upaya pemerintah dalam
memerangi ketiga hal di atas. Ketiganya merupakan butir akibat yang sangat
ditakuti oleh negara berkembang yang sedang giat melakukan pembangunan.
Petani kita butuh sentuhan. Sentuhan itu merupakan
kata kunci dalam membimbing dan memotivasi masyarakat untuk menggali semua
potensi yang ada guna mencapai kesejahteraan dan kekuatan mencapai keseimbangan.
Dengan demikian, posisi tawar masyarakat kecil akan meningkat dan sekaligus
kemiskinan serta pengangguran dapat dieliminir. Bagaimana memberi “sentuhan”
kepada petani, dan apa yang dimaksud dengan sentuhan”.
Pada dasarnya, di samping masalah harga dan pemasaran,
masalah utama yang dihadapi petani yang menciptakan ketidak berdayaan mereka
adalah: 1) Lemahnya penguasaan modal, 2) Lemahnya penguasaan informasi dan
teknologi serta 3) Kurangnya pembinaan yang berkelanjutan.
Sampai saat ini petani masih tertatih-tatih mencari
jatidiri untuk memperkuat posisi tawar mereka. Tetapi tampaknya tanpa campur
tangan pemerhati atau personal maupun lembaga yang punya “kepedulian”
terhadap petani, sulit diharapkan nasib petani akan berubah. Bahkan
dikhawatirkan bila keadaan ini berlanjut, pergeseran yang akan terjadi lebih
mengarah pada penajaman jurang pemisah antara mereka dengan lapisan yang lebih
beruntung yang membuat petani semakin terpuruk. Apalagi kalau diperhatikan,
dewasa ini sistem kapitalis sudah merasuk sampai kelapisan bawah untuk menghisap
rakyat kecil.
Petani
Dimanfaatkan
Celakanya lagi, suasana pemilu dan pilkada dimana-mana
banyak yang memanfaatkan keberadaan petani. Karena kantong suara untuk
pemenangan pertarungan politik ada di tangan petani. Pengalaman masa lalu
diharapkan tidak berulang kembali, dimana petani sering dimanfaatkan sesaat
untuk mencapai tujuan sang pemain politik.
Berbagai embel-embel, berbagai janji manis atau angin
surga dilemparkan supaya petani memilih mereka. Tetapi setelah terpilih, mereka
asyik memperjuangkan kepentingan diri pribadi dan kelompoknya. Sementara petani
dan rakyat kecil lainnya tetap terabaikan. Diharapkan, petani dan masyarakat
kecil mulai berpikir jernih, tidak mudah terpengaruh dan berupaya tidak tergoda
dengan segala bujuk rayu agar tidak menimbulkan penyesalan nantinya.
Sementara, kepada para petani juga kita himbau untuk ikut
aktif dan progresif dalam merubah
nasibnya sendiri. Satu hal yang mendasar dan sangat dibutuhkan dari petani
adalah perubahan perilaku. Petani sering menganggap bahwa setiap yang datang
dari atas (pemerintah) selalu membawa bantuan. Dan bantuan itu tidak harus
dikembalikan. Perilaku ini telah menggagalkan program pembangunan yang
dilakukan pemerintah melalui berbagai kegiatan bantuan, ataupun penguatan
modal.
Bantuan yang telah banyak dikucurkan melalui program yang
disebut dengan dana bergulir (revolving
fund), ternyata tidak banyak memberi manfaat. Jangankan mengharapkan dana
bantuan akan kembali (bukan itu tujuannya), perubahan nasib petani saja pun
tidak diperoleh. Yang terakhir inilah yang diharapkan sebagai sasaran, dimana
dengan bantuan dana bergulir, petani bisa meningkatkan usahanya guna perbaikan
kehidupan. Tetapi apa yang terjadi? Dana yang digulirkan tersebut kebanyakan
tidak dimanfaatkan untuk keperluan bagaimana mestinya. Petani lebih cenderung
menggunakan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sesaat, dengan berbagai
alasan. Petani cenderung menjadi konsumtif, apalagi karena tidak ada sanksi
dari penyimpangan penggunaan ataupun penunggakan guliran dana tersebut. Buah
yang diperoleh dari program ini adalah perubahan perilaku petani, menjadi tidak
bertanggung jawab dan tidak peduli dengan nasibnya sendiri.
Disadari bahwa kesalahan tidak hanya terletak ditangan
petani, tetapi juga karena lemahnya bimbingan dan pengawasan serta tindakan
dari petugas. Tetapi kita tidak akan mempersalahkan hal tersebut, nasi sudah
jadi bubur. Ke depan mari kita jadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran
untuk mengubah diri, mengubah metode dan merubah pendekatan agar semua kegiatan
pembangunan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh swasta, bahkan oleh
petani sendiri bisa dilakukan lebih baik, agar bisa dicapai sasaran yang
diinginkan.
Petani jangan hanya mau dipedulikan saja, tetapi juga
harus bisa memperlihatkan bahwa mereka juga peduli dengan nasibnya sendiri.
Harus ikut membangun dirinya dan harus bertanggung jawab dalam menjalankan
program yang semuanya adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan petani. Kata
kunci semuanya adalah partisipatif dan saling peduli. Jangan ada dusta di antara petani dan pemberdaya, dan jangan ada
jurang pemisah antara petani dengan aparat pemerintah. Aparat pemerintah
bekerja untuk petani dan petani bekerja untuk keluarganya, mereka adalah
pejuang pembangunan negara dan anak bangsa.
Penulis menghimbau kepada semua pihak yang tergerak
hatinya dan yang mempunyai kepedulian terhadap nasib sesama anak bangsa serta
punya rasa tanggung jawab terhadap perkembangan daerah, untuk ikut
berpartisipasi. Mari kita peduli dengan nasib petani kita. Petani adalah
orangtua kita, yang telah susah payah mendidik dan menyekolahkan kita. Sekarang
mereka terpuruk oleh keadaan, pedulikah kita?
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk peduli dengan
sesama dan hidup saling mengasihi. Manusia yang paling mulia disisi Allah
adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya. Kepedulian kita berarti telah
mengangkat martabat anak bangsa dan berperan mengembangkan perekonomian daerah.
Siapa lagi yang akan membangun negeri ini kalau tidak kita sendiri. Mari kita
coba untuk saling peduli dan mari kita maju bersama petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar