OLEH Deddy Arsya
Pengarang
WS. Rendra, penyair yang terkenal itu, di
tahun 1980an, pernah memperkenalkan sebuah istilah yang kemudian juga terkenal:
‘penyair salon’. Mereka, tulis Rendra dalam sebuah sajak, adalah penyair yang asyik-masyuk
“bersajak tentang anggur dan rembulan” sementara melupakan realitas sosial yang
buruk tempat di mana mereka berpijak. Penyair yang sibuk bersolek diri dengan
keindahan kata-kata, tetapi tidak mau terlibat dalam kenyataan pahit dari
masyarakatnya. Ketika itu, Orde Baru memang sedang makmur akibat ‘boom’ minyak.
Pembangunanisme dirayakan, tetapi bersifat berat sebelah. Di tengah kemajuan
ekonomi rezim, kepincangan sosial merebak. Rendra berbicara dalam sajaknya pada
konteks ini.
Namun, tulisan ini tidak akan berbicara
lebih banyak lagi tentang penyair, pun tentang implikasi ‘boom’ minyak Orde
Baru. Tulisan ini tentang politikus.
Istilah yang lebih-kurang persis juga
pernah dipakai di masa silam yang lebih jauh, oleh seorang akademikus pribumi zaman
kolonial. Bukan untuk menyindir penyair, tetapi menyindir para pelaku politik
pada zamannya. Kaum pergerakan, mereka yang lebih kurang memiliki tabiat
seperti penyair yang dimaksudkan Rendra: mereka yang sibuk membangun citra,
mempercantik diri dengan jumbai kata-kata, tetapi tidak mau peduli atau tidak
melakukan apa-apa untuk kehidupan rakyat banyak.
“Salon politicus”, demikian istilah
tersebut, diperkenalkan Dr. Muhammad Amir pada tahun 1925, dalam sebuah buku
bertajuk Bunga Rampai, Kumpulan Karangan yang Terbit Tahun
1923-1939. Tahun ketika istilah ini diperkenalkan adalah tahun ketika kegandrungan pada politik
sedang menanjak naik di kalangan kaum bumiputra (politik etis dianggap telah
berimplikasi lain: memberi kesadaran politik yang luas bagi anak jajahan). Kaum
komunis belum memberontak, pemberontakan baru terjadi setahun kemudian, pada
1926/27. Rapat-rapat akbar, pertemuan-pertemuan politik, masih leluasa
dilakukan. Nyaris belum banyak larangan, presdelict
misalnya, atau upaya pembungkaman. Jargon pemerintah kolonial yang terkenal
dalam periode pergerakan politik, rust en
orde (keamanan dan keteraturan, istilah yang sering digunakan untuk
memberangus lawan politik pemerintah jajahan), masih belum nyaring terdengar.
Pemerintah kolonial memang kadang-kadang was-was terhadap gerakan politik
pribumi, tetapi belum bersikap keras.
Di panggung-panggung rapat akbar itu,
pejuang politik berbicara dengan kata-kata berjumbai, mencitrakan dirinya
seorang pejuang keadilan, atau paling tidak mengatasnamakan rakyat. Mereka
memermak diri untuk terlihat cantik di depan kalayak, di depan massa pendengar
yang memang sedang antusias pada politik. Mereka ingin membuat para
pendengarnya terpukau, untuk itu, dengan berani mereka serang
kesewenang-wenangan pihak kolonial, mereka kutuk kebejatan pegawai pemerintah
misalnya.
Tetapi, tidak semua di antara kaum
pergerakan itu, sebagaimana dikatakan M. Amir, betul-betul “jang maoe memikoel konsekwensi
dari kejakinannja”. Yaitu mereka yang mau setia pada apa yang diucapkan. Mereka
yang mau menanggung setiap kata-kata yang dikeluarkannya, bukan sekedar untuk mendongkrak
citra dirinya di depan orang ramai. Di antara yang banyak itu, ada
bergelimpangan oportunis-oportunis, yang memasuki kancah politik untuk “mengisi
sakoe sendiri”, demikian tulis M. Amir.
***
Ada sebuah novel yang dengan pas
memperlihatkan kecendrungan oportunistik ini dalam kalangan kaum pergerakan. Sebuah
novel berbahasa Belanda, Buiten het
Gareel, yang terbit pada 1939, yang ditulis seorang Indonesia bernama
Suwarsih Djojopuspito, (yang baru-baru ini edisi terjemahannya diterbitkan kembali
menjadi Manusia Bebas). Suwarsih
menulis, bahwa di antara mereka yang berjuang untuk memajukan masyarakat, ada
banyak orang yang hanya menjadikan organisasi, perkumpulan, atau pun organ
politik, sebagai kuda tempat menonggokkan badan sampai ke tujuan. Tujuan yang
tak lebih dari kepentingan diri sendiri, untuk “... hanya mengejar kesenangan
belaka dan oleh karena itu mengira dapat membeli keluruhan budi,” demikian
tulis novel itu. Mereka terjun ke dunia politik dengan tujuan “... mengumpulkan
uang secepat mungkin.”
Kalimat-kalimat serupa itu ditulis,
seperti telah juga disinggung, ketika kegandrungan akan politik sedang menanjak
naik di kalangan kaum pribumi Indonesia. Tidakkah seperti juga kini, ketika
kran politik terbuka dan memancar dengan derasnya?
Namun, apakah kaum politikus kita, akan
mau dan mampu menanggungkan, seperti apa yang ditanggungkan tokoh Sudarmo dan
Sulastri dalam novel Suwarsih: sepasang suami-istri ini bersetia pada
perjuangan pergerakan sekalipun hidup dalam kemiskinan? Mereka, tokoh kita itu,
adalah orang-orang yang mau merasakan apa yang tadi disebut M. Amir sebagai
“kesoesahan, kemelaratan, dan kemiskinan”? Sementara kawan-kawan di sekeliling
mereka berebutan menjadi pegawai gubernemen Belanda yang dulu pernah mereka
lawan berapi-api; sementara di dunia kita kini orang-orang partai beramai-ramai
menangguk keuntungan dari jabatan politis yang sedang diembannya untuk
memperkaya diri sendiri, menambah rumah dan mobil, bahkan istri? Kesusahan
hidup membuat mereka ngeri. Pada akhirnya, mereka ini menjadi ‘spion’ polisi
reserse Belanda untuk menjaring sesama teman pergerakan, atau (sebagaimana
kawan-kawan Sudarmo) setidak-tidaknya bungkam demi menjaga keselamatan diri
pribadi padahal sebelumnya suara mereka begitu nyaring.
***
Musim politik kini telah datang lagi. Sebentar
lagi pemilu akan dilangsungkan. Hari-hari kita kini diisi informasi seputar
itu, baik oleh suratkabar cetak, elektronik, maupun media-media online. Ke mana
pun kita berjalan, akan bertemu dengan baliho, ke mana pun mata memandang akan
terlihat poster orang-orang politik itu. Hidup kita tiba-tiba saja seperti
dipenuhi oleh foto dan tanda gambar orang-orang yang sebelumnya tidak pernah
hidup dalam hari-hari kita.
Semoga ke depan kita menemukan mereka
yang betul-betul berjuang untuk orang yang diatasnamakanya, bukan berjuang demi
“mengisi sakoe sendiri”, sebagaimana M. Amir katakan hampir seratus tahun yang
silam. Semoga kita tidak lagi menemukan ‘salon politicus’, politikus salon,
yang pandai bersolek, memoles dirinya di depan orang ramai, tetapi tidak mampu
melakukan yang terbaik untuk rakyatnya.
Padang, 2013
Deddy Arsya, pengarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar