OLEH Lukman
Hakiem
Sekretaris
Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
Agresi militer Belanda ke Ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 19 Desember 1948 yang nyaris
mengakhiri riwayat Republik Indonesia—karena
praktis telah menyebabkan pemerintahan tidak lagi
berfungsi—dan pembentukan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) oleh Menteri Kemakmuran Mr Sjafruddin
Prawiranegara di Sumatera Barat (dulu termasuk provinsi Sumatera
Tengah) adalah dua peristiwa yang unik dalam sejarah
Republik Indonesia.
Sungguh pengalaman sangat
pahit dan memalukan, ibukota dan para pemimpin sebuah negara jatuh dan ditawan pada hari pertama serangan tentara Belanda.
Akan tetapi, dalam situasi
tegang dan mencekam, para pemimpin Republik tidak kehilangan akal sehat dan
masih mampu berpikir jernih.
Rapat kilat kabinet memutuskan
untuk mengirim kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara
yang sejak minggu ketiga November 1948 berada di Bukittinggi. Kawat tersebut berisi mandat untuk membentuk Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera. Kepada Soedarsono, LN. Palar,
dan AA. Maramis di New Delhi, India,
dikirim juga kawat agar jika ikhtiar Sjafruddin di Sumatera gagal, ketiganya
membentuk Exile Government Republic of
Indonesia di India.
Sejarah mencatat, kawat yang
dikirim dari Yogyakarta itu tidak pernah sampai ke
tangan Sjafruddin.
Inisiatif
Lokal
Tanpa mengetahui adanya mandat
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta kepadanya, pada sore hari tanggal 19 Desember 1948,
bersama Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera, Mr. T.M. Hasan, Sjafruddin
dan Hasan bersepakat membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI–perhatikan penamaan yang berbeda dengan yang
tertulis dalam kawat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta) yang pada 22 Desember 1948 diumumkan di Halaban, sebuah desa di daerah
Payakumbuh.
Dibanding dengan duet
Soekarno-Hatta, duet Sjafruddin-Hasan jelas bukan
siapa-siapa. Di Sumatera Tengah ketika itu, meskipun
Sjafruddin adalah Menteri Kemakmuran, hanya sedikit orang tahu siapa Sjafruddin. Di Jawa
pun pastilah cuma sedikit orang yang mengetahui siapa Teuku
Mohammad Hasan.
Akan tetapi, ketika perjuangan nasional
dalam krisis, masyarakat ternyata tidak pernah
tertarik untuk mempertanyakan siapa Sjafruddin
atau siapa Teuku Hasan. Masyarakat lebih tertarik untuk melihat apa yang mereka perbuat untuk menjaga
tetap tegaknya kemerdekaan Republik Indonesia.
Dua peristiwa di sekitar terbentuknya PDRI
menunjukkan betapa sesungguhnya inisiatif-inisitaif lokal itulah yang sebagai totalitas memiliki nilai limpah untuk
kepentingan nasional.
Prakarsa membentuk PDRI,
menunjukkan betapa pentingnya inisiatif lokal bagi perjuangan nasional.
Kearifan
PDRI
Sikap keras PDRI terhadap proses Persetujuan Roem-Roijen,
7 Mei 1949, yang meninggalkan PDRI dan muatan Persetujuan yang dipandang kurang
mencerminkan keadaan Republik yang sesungguhnya, menunjukkan betapa di tengah
situasi kritis yang memerlukan kesatupaduan segenap komponen bangsa, para
pemimpin kita di masa lalu masih tetap bisa memperdebatkan masalah bangsa dan
negara secara jujur dan jernih.
Jika bukan dikhianati, PDRI merasa telah ditinggalkan oleh
Soekarno-Hatta. Itu sebabnya, sangat kuat suara di kalangan PDRI yang menentang Persetujuan Roem-Roijen. Akan
tetapi, lagi-lagi sejarah menunjukkan, di saat-saat kritis, yang muncul adalah
kebersamaan. Bukan ego masing-masing kelompok.
Sjafruddin dan PDRI sebagai pemegang mandat
kekuasaan Republik yang ditinggalkan oleh para pemimpinnya, ternyata memilih
bersikap arif. Dalam sikap akhirnya terhadap Persetujuan Roem-Roijen, di depan
Soekarno-Hatta, Sjafruddin mengatakan: “PDRI
tidak mempunyai pendapat tentang ‘pernyataan Roem-van Roijen’, tetapi segala
akibat yang ditimbulkannya kita tanggung bersama.”
Kita tidak bisa bayangkan, apa yang akan terjadi
jika di masa krisis itu Sjafruddin bersikeras menolak Persetujuan Roem-Roijen
dan menolak menyerahkan kembali mandat (yang secara fisik tidak pernah
diterimanya) kepada Presiden dan Wakil Presiden.
Hanya
Mengisi Kekosongan?
Bangsa ini ternyata gagap
menerima kenyataan PDRI yang heroik dan berhasil mempertahankan eksistensi
Republik Indonesia sejak tanggal pembentukannya 19 Desember 1948 sampai
pengembalian mandat kekuasaan kepada Soekarno-Hatta di Yogyakarta pada tanggal 13 Juli 1949.
Mengutip pendapat pakar
sejarah terkemuka, Prof. Dr. Taufik Abdullah, pemegang
kekuasaan mempunyai kepentingan dengan bagaimana sejarah ditulis. Sejalan
dengan itu pemegang kekuasan pun
mempunyai kecenderungan pula untuk melupakan berbagai hal. Ketika kedua
kecenderungan itu terjadi maka kita pun tahu bahwa sejarah, yaitu rekonstruksi
tentang peristiwa di masa lalu, telah dianggap sebagai wacana untuk mengatakan
sesuatu tentang sesuatu.
Untuk dan atas nama kepentingan kekuasaan, PDRI dan
para aktor utamanya selama berpuluh tahun telah diusahakan dengan keras untuk
dihilangkan dari ingatan kolektif bangsa. Alhamdulillah, meskipun berbagai cara
dilakukan untuk menenggelamkan PDRI dari permukaan sejarah, tetapi PDRI tetap
hidup dalam pikiran mereka yang mau dan berani bersikap jujur terhadap sejarah.
Empat puluh
sembilan tahun sejak mandat PDRI
dikembalikan, atau lima
puluh tahun sejak didirikan, peranan PDRI dan
tokoh-tokohnya dianggap tidak ada. Baru di masa Presiden BJ. Habibie,
mantan Ketua PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara diberi penghargaan Bintang
Republik Adipradhana, dan baru para tahun 2006 hari lahir PDRI 19 Desember
dinyatakan sebagai Hari Bela Negara.
Entah karena tidak mengenali sejarah perjuangan
bangsa dengan baik, pertimbangan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2006 tentang
Hari Bela Negara ternyata hanya memosisikan PDRI sekadar untuk “… mengisi kekosongan kepemimpinan
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka bela Negara,”
padahal pembentukan dan keberadaan PDRI lebih dari sekadar mengisi kekosongan
pemerintahan yang semata-mata bersifat administratif sebagaimana jika Presiden
ke luar negeri.
PDRI lahir untuk menyambung eksistensi Negara
Republik Indonesia yang sejak 19 Desember 1948 oleh pemerintah kolonial Belanda
dianggap telah lenyap dari peta bumi, karena ibukota Yogyakarta, Presiden,
Wakil Presiden, dan para pemimpinnya telah mereka tawan dan dibuang jauh dari
Yogyakarta ke pulau Sumatera.
Peran
PDRI
Sepuluh tahun silam, di Bukittinggi, Prof. Dr. Emil
Salim dan Maludin Simbolon memberi kesaksian. Menurut Emil Salim, “Hadirnya
PDRI telah mengukuhkan eksistensi Republik Indonesia sehingga memperkuat
perjuangan diplomasi delegasi RI di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.”
PDRI, menurut Simbolon, adalah pemerintah yang
efektif. “Jadi,” kata Simbolon, “kenapa
PDRI yang efektif itu diabaikan, di-ignored?”
Memosisikan PDRI hanya sekadar sebagai pengisi kekosongan kepemimpinan
pemerintahan, yang bersifat administratif, jelas telah mereduksi peran dan
fungsi PDRI yang sebenarnya, yaitu sebagai pemerintahan yang telah
menyelamatkan Republik dari kemungkinan terhapus dari peta sejarah.
Dengan Agresi Militer II, 19 Desember 1948, Belanda
mengira dengan demikian posisi legal perwakilan RI di PBB dapat dipertanyakan.
Akan tetapi, belum sempat hal itu terjadi, PDRI telah memberi kuasa kepada
delegasi RI untuk meneruskan perjuangan, dan dengan demikian posisi delegasi RI
di PBB tidak dapat diganggu-gugat.
PDRI telah meneguhkan posisi wakil Republik Indonesia
di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Jika kita jujur di dalam membaca sejarah, maka
peran PDRI, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, dapat
dilihat dari tiga aspek: (1) memberi legitimasi bagi Republik Indonesia yang
diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 yang pemerintah pusatnya tetap tegar
berdiri walau secara darurat dengan kekuatan tentara yang aktif bergerilya dan
didukung oleh rakyat umum, sungguh pun Presiden dan Wakil Presidennya serta
pemimpin-pemimpin penting lainnya ditangkap oleh Belanda, (2) menjadi pusat
komunikasi Republik Indonesia dengan luar negeri, sehingga dunia tetap
mengetahui perjuangan rakyat Indonesia, dan (3) menjadi sumber inspirasi bagi
kelanjutan perang gerilya yang sepenuhnya didukung oleh Panglima Besar Jenderal
Soedirman, dan pemimpin-pemimpin lainnya.
Nilai
Limpah
Maka, di sinilah pentingnya pelaksanaan seminar
nasional bertema: “Makna PDRI dalam
Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia” di Istana Bung Hatta,
Bukittinggi, Ahad 3 April yang diselenggarakan oleh Panitia Satu Abad Mr.
Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011)
bekerja sama dengan Yayasan Peduli Perjuangan PDRI 1948-1949.
Paling sedikit ada empat nilai limpah strategis
dari kegiatan ini: Pertama, menyegarkan
kembali ingatan masyarakat terhadap peristiwa heroik dan strategis yang terjadi
lebih enam dasawarsa yang lalu di daerah Sumatera Tengah (kini meliputi
Provinsi-provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau), dan Aceh. Kedua, menggali dan menegaskan
pentingnya nilai-nilai lokal dan partisipasi masyarakat bagi perjuangan
nasional. Ketiga, mengingatkan
komponen bangsa agar dalam situasi apapun tidak kehilangan akal sehat dan sikap
kritis, dan keempat, memahami makna
PDRI yang sesungguhnya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. Mudah-mudahan kita tidak gagap lagi membaca sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar