Muhammad Alwi Dahlan |
Muhammad Alwi Dahlan atau dikenal dengan
Alwi Dahkan tercatat sebagai doktor ilmu komunikasi pertama Indonesia lulusan
Amerika Serikat tahun 1967, tepatnya dari Illionis University, Urbana dengan
tesis "Anonymous Disclosure of Government Information as a Form of
Political Communication". Pergi sekolah ke negeri Paman Sam tahun 1958
saat sedang kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI)
berdasarkan beasiswa foreign sudent leadership project di Minnesota, Alwi
Dahlan sebelumnya berhasil meraih gelar B.A dari American University,
Washington DC tahun 1961.
Gelar B.A. ini menurut Surat Keputusan
Lihat Daftar Menteri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu setara dengan
S-1. Di Washington, untuk membiayai kuliah pria kelahiran Padang, Sumatera
Barat 15 Mei 1933 ini bekerja sebagai penjaga malam di Kedutaan Besar RI.
Sebelum meraih gelar doktor, keponakan sutradara film terkemuka Sutradara Usmar
Ismail ini melanjutkan pendidikan ke Stanford University, di California untuk
meraih gelar Master of Arts (M.A.) bidang ilmu komunikasi massa tahun 1962.
Selama studi M Alwi Dahlan bukan hanya
pernah menjadi penjaga malam di KBRI Washington DC. Sebelum kembali ke tanah
air usai meraih doktor masih menyempatkan diri membantu Atase Pendidikan di
KBRI Washington, yang waktu itu dirangkap oleh Atase Pertahanan M Kharis Suhud.
Dan, sewaktu akan pulang ke tanah air Kharis Suhud berkenan mengajak Alwi agar
mau membantu Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) sebagai tenaga ahli, yang lalu
dilakoninya sepanjang tahun 1968-1970. Kharis Suhud, mayor jenderal TNI AD
terakhir menjabat sebagai Ketua MPR/DPR RI.
Alwi Dahlan adalah orang Indonesia
pertama yang menggondol gelar doktor ilmu komunikasi dari Amerika Serikat.
Bidang komunikasi kiblat dari Amerika adalah bidang baru yang lebih luas
pengertian dan definisinya dari ilmu jurnalistik maupun publisistik yang
berkiblat ke Jerman. Tak mengherankan, pada waktu itu komunikasi massa belum
begitu dipahami di Indonesia sehingga keahlian ilmu komunikasi Alwi belum serta
merta memperoleh ruang kerja yang jelas.
"Saya lalu melakukan berbagai hal,
sekaligus ingin memperlihatkan bahwa sebagai ahli dalam bidang (komunikasi)
ini, yang bersifat interdisiplin, dapat berkiprah di berbagai bidang ilmu dan
berprofesi," cerita Alwi, yang butuh waktu lama membuktikan keahliannya
sebelum guru besar ilmu komunikasi massa Universitas Indonesia ini dipercaya
oleh Presiden sebagai Menteri Penerangan tahun 1998. Walau hanya beberapa
bulan, antara Maret hingga 21 Mei 1998 sesuai "umur jagung" kabinet
terakhir Presiden Soeharto sebelum mengundurkan diri, posisi Menteri Penerangan
adalah pembuktian akan kualitas kedoktoran pakar ilmu komunikasi Alwi Dahlan.
Merintis
M Alwi Dahlan putra Dahlan Sjarif Datuk
Djundjung, seorang bupati pada kantor Gubernur Sumatera Tengah, di almamaternya
Fisip-UI sejak tahun 1969 hingga 1992 hanya bisa dipercaya sebagai dosen luar
biasa alias dosen tidak tetap. Ia harus merintis atau meneruka beberapa bidang
kegiatan yang pada waktu itu dianggap masih baru di Indonesia.
Seperti, antara tahun 1969-1971 ia
menerbitkan dan menjadi pemimpin umum mingguan Chas, sebuah mingguan berkala
berita yang pertama tampil dalam bentuk tabloid. Ia juga mendirikan Institute
for Social, Commercial & Opinion Research (Inscore) Indonesia, sebuah
lembaga riset masalah komersial dan pendapat umum swasta yang pertama di
Indonesia. Alwi mendirikan pula Inscore Adcom sebuah perusahaan jasa komunikasi
total dan public relation (PR) pertama di Indonesia.
Sebagai doktor ilmu komunikasi massa
pertama Indonesia lulusan Amerika Serikat banyak hal yang baru yang untuk
pertama kalinya dirintisnya, sebelum akhirnya mulai mapan berkiprah di
pemerintahan saat Emil Salim tahun 1978 resmi mengajaknya bergabung sebagai
asisten menteri.
Emil Salim ketika itu diangkat Presiden Soeharto
menjadi Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH), maka,
jadilah Alwi Dahlan tercatat sebagai Asisten Menteri KLH sepanjang tahun 1979
hingga 1993, atau antara era Emil Salim hingga Sarwono Kusumaatmaja.
Kepada Alwi Emil Salim membebankan tugas
membantu merintis pengembangan bidang yang masih sangat baru di Indonesia pada
masa itu, yaitu pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup. Terbiasa mempunyai
naluri sebagai perintis tantangan itu ia terima. Alwi resmi diangkat menjadi
Asisten Menteri Bidang Pengawasan tahun 1978-1983, kemudian menjadi Asisten
Menteri Bidang Keserasian Kependudukan dan Lingkungan tahun 1983-1988, serta
menjadi Asisten Menteri Bidang Kependudukan tahun 1988-1993 di bawah Emil Salim
dan Sarwono Kusumaatmaja.
Hingga tahun 1990 kepada Alwi Dahlan
masih diserahi tugas dan tanggung jawab Kampanye Kesadaran Lingkungan Hidup,
tugas yang antara lain berhasil menelorkan kebijakan pemberian penghargaan
tahunan Kalpataru, Neraca Lingkungan Daerah, dan berbagai kebijakan lingkungan
hidup lainnya. Untuk semua pengabdiannya yang tercatat hingga saat itu Presiden
Soeharto menganugerahi Alwi Dahlan penghargaan Bintang Jasa Utama, yang
disematkan langsung oleh Presiden pada 17 Agustus 1994.
Penulis
Skenario
Selain pakar dan guru besar komunikasi
massa, pejabat kementerian lingkungan hidup, mantan Wakil Kepala BP-7, dan
Menteri Penerangan, banyak sisi menarik lain kehidupan Alwi Dahlan yang belum
pernah terangkat ke permukaan. Dalam usia muda 16 tahun, misalnya, pria yang
menamatkan pendidikan SR di Padang (1946) sedangkan SMP (1950) dan SMA (1953)
keduanya di Bukit Tinggi, ini sudah menunjukkan bakat luar biasa. Ia ketika itu
sudah aktif mengarang cerita di majalah Kisah dan Mimbar Indonesia terbitan
Jakarta. Di koran lokal sendiri, Padang Nippo dan Detik terbitan Buktitinggi ia
malah hanya sesekali menulis. Duduk di bangku SMP di Batusangkar ia sudah
menerbitkan sendiri koran lokal sekolah.
"Di Mimbar Indonesia, selain menulis
cerita pendek saya juga membuat sketsa atau vignet dengan tinta Cina," aku
suami dari Elita Rivai sama-sama berasal dari Kabupaten Tanah Datar.
Di majalah Siasat, sebagai koresponden ia membuat reportase, esei, dan cerita
pendek mengisi rubrik kebudayaan Gelanggang. Ketika duduk di bangku SMA Alwi
sudah berkesempatan menulis rangkaian reportase perjalanan kaki menjelajahi
pedalaman Alas, Gayo, Aceh untuk Siasat. Masih di bawah usia 20 tahun Alwi
menulis di Zenith sebuah majalah
kebudayaan yang diterbitkan oleh Mimbar
Indonesia.
Ketika diterima kuliah di FE-UI, ketika
itu belum dibuka jurusan ilmu komunikasi, Alwi menyalurkan bakat dan keahlian
tulis-menulisnya di penerbitan kampus Forum dan Mahasiswa. Bersama sahabatnya
Emil Salim, Teuku Jacob, dan Nugroho Notosusanto, tahun 1958 ia mendirikan
Ikatan Pers Masiswa Indonesia.
Bakat kepengarangan putera Padang Panjang
ini boleh dikata menurun dari pamannya Usmar Ismail, sutradara film terkemuka
yang juga dikenal sastrawan Angkatan '45. Alwi Dahlan pernah mencatat prestasi
gemilang menulis sembilan skenario film sepanjang tahun 1953-1958. Ia bersama
pamannya Usmar Ismail menulis skenario untuk film Harimau Campa, yang pada Festival film Indonesia (FFI) tahun 1958
merebut piala Citra sebagai skenario film terbaik.
Demikian pula untuk film Tiga Dara hasil kerja bareng
paman-keponakan itu. Sebuah film Usma Ismail lainnya, Jenderal Kancil dibuat justru berdasarkan novel karangan Alwi
Dahlan berjudul Pistol Si Kancil
terbitan Balai Pustaka.
Alwi Dahlan ketika masih disibukkan
tugas-tugas eksekutif di pemerintahan, terakhir menjabat Wakil Kepala BP-7
sebelum diangkat Menteri Penerangan oleh Pak Harto, masih menyempatkan diri
mengembangkan diri di bidang ilmu komunikasi massa sebagai akademisi menjabat
Guru Besar Fisip UI. Ia banyak diminta berbicara dalam berbagai seminar, baik
di dalam negeri maupun di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Kanada,
Jepang, Cina, Singapura, Malaysia, Filipina, India, Pakistan, Rusia, dan
lain-lain. Ia akhirnya tergolong sebagai pembicara seminar yang laris, berbeda
ketika ia masih harus menjelaskan posisi dan peran ilmu komunikasi massa
sebagai ilmu yang baru di Indonesia.
Tentang istrinya, Elita Rivai sama-sama
asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat ia katakan diketemukan di Jakarta.
"Ceritanya, waktu saya di Amerika,
beberapa tahun sebelum pulang saya melihat wajah Elita dalam foto di antara
banyak orang. Waktu pulang, saya mencarinya sampai dapat di Jakarta,"
tutur Alwi Dahlan, yang selalu berpenampilan tenang dan simpatik dengan tutur
bahasa santun bersahaja.
Sutradara
Politik
Sejak memenangkan Pilpres 2009, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono didera isu-isu sensitif. Mulai dari sinyalemen
kecurangan DPT, terorisme, hingga skandal Bank Century. Ironisnya, Presiden SBY
hampir selalu bersikap reaktif dalam menghadapi isu-isu yang dianggap menurunkan citra Presiden.
Sikap over
reaktif itu tidak lepas dari strategi komunikasi politik SBY yang memang kurang
konprehensif. SBY lebih sering mengambil alih peran juru bicara presiden yang
seharusnya menjadi “bumper” sebelum Presiden memberikan statement.
Penilaian terhadap strategi komunikasi
politik SBY tersebut diungkapkan oleh Muhammad Alwi Dahlan, mantan Menteri
Penerangan RI di era pemerintahan Presiden Soeharto. Di mata doktor ilmu
komunikasi pertama Indonesia ini, juru bicara Presiden lebih sering tidak
menjalankan fungsinya atau tidak dipakai karena selalu diambil-alih langsung
oleh SBY.
Menurut guru besar ilmu komunikasi massa
Universitas Indonesia ini, komunikasi politik Soeharto jauh lebih baik
ketimbang SBY. Soeharto baru berbicara ketika sebuah persoalan memang menjadi
porsi seorang Presiden. Alwi mencontohkan reaksi SBY terkait demonstran yang
membawa kerbau untuk melecehkan SBY. Dalam hal ini SBY justru terjebak oleh
taktik-taktik pihak lawan yang sebenarnya dalam posisi jauh di bawah tataran
seseorang Presiden.
Apa yang diungkapkan Alwi Dahlan memang
tidak sebatas teori akademik. Pria berdarah Minang ini selain dikenal sebagai
akademis juga sempat berkiprah sebagai biokrat yang memiliki posisi sentral.
Sebagai seorang Juru Bicara Presiden
menjelang lensernya Soeharto, Alwi Dahlan sempat dituding menghalangi
bergulirnya reformasi. Akibat salah interpretasi media massa, sebagai Menpen,
Alwi diberikan mengeluarkan statemen bahwa reformasi di Indonesia baru bisa
dilakukan pada 2003.
Alwi Dahlan juga sempat mengeluarkan
kebijakan “TV Pool”, sejak 16 Mei 1998. Kebijakan itu mewajibkan relai berita
TVRI bagi televisi swasta pada berita pagi dan siang. Pertimbangannya, televisi
swasta telah melakukan ekspos berlebihan terkait gelombang penjarahan dan
kerusuhan 13-14 Mei 1998 sehingga dinilai telah mendorong semakin meluasnya
penjarahan dan kerusuhan ke berbagai tempat.
Perjuangan Alwi Dahlan membawa ilmu
komunikasi sebagai kohesi atau perekat bangsa di tengah-tengah semua
keanekaragaman pada era globalisasi, memang tidak pernah terhenti.
Dalam buku “Seorang Komunikator
Berpengetahuaan”, Sabam Siagian menulis, bahwa meskipun masuk di kabinet di era
Soeharto, pascalengsernya Soeharto, Alwi Dahlan tidak menjadi sorotan negatif.
Alwi dipandang sebagai seorang profesional yang sebatas melakukan tugasnya, dan
bukan pendukung fanatik Soeharto, dan bukan pula seorang yang ikut menikmati
kekayaan keluarga Soeharto.
Profil
Nama : Prof. Muhammad Alwi Dahlan Ph.D.
Tempat/Tgl
Lahir : Padang, 15 Mei 1933
Agama : Islam
Pendidikan :
SR Adabiah I Padang
(1946)
SMP Bukittinggi (1950)
SMA Bukittinggi (1953)
Fakultas Ekonomi UI,
Jakarta (1958)
Sarjana Srata 1 (S1),
American University, Washington DC (1961)
Master of Arts, Stanford
University (1962)
Doktor Ilmu Komunikasi,
IIIionis, Urbana (1967)
Guru Besar ilmu
komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI (1997)
Karir :
Staf Ahli Atase
Pendidikan di KBRI Washington
Staf Ahli Markas Besar
Angkatan Darat (MBAD) (1968-1979)
Direktur Inscore
Indonesia (1971-1979)
Asisten Menteri
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) (1979-1993)
Kepala BP-7 (1993-1998)
Menteri Penerangan
(Maret-Mei 1998)
Organisasi :
Ketua Umum Ikatan
Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) (1983-1998)
Ketua Umum Himpunan
Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (Hipiis), (1984-1995)
Anggota Dewan Kehormatan
PWI (1984-1995)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar