OLEH Nasrul
Azwar
Perbincangan yang berkaitan
dengan masyarakat dan kebudayaan Minangkabau—katakanlah itu seni tradisi
Minangkabau—kerap berarti berbicara mengenai tatanan masyarakat dengan struktur
sosial, nilai-nilai, norma tradisional
yang sebagian masyarakat masih membayangkan sesuatu yang ideal dan asli. Tatanan
masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat dengan sistem kekerabatan
matrilineal dan bahkan dalam batas tertentu, sistem politik matriarki,
sedangkan norma-norma dan nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang terkandung dalam berbagai bentuk ekspresi kabahasaan seperti
pepatah petitih, pantun, dan cerita lisan berupa kaba (Faruk dalam Minangkabau
di Persimpangan Generasi: 2007).
Tradisi secara umum dapat
diartikan sebagai kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan
nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Tradisi memperlihatkan bagaimana
anggota masyarakat bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi
maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib atau keagamaan. Di dalam tradisi,
telah diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang lain, atau satu
kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana manusia bertindak
terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap alam yang lain.
Dengan demikian, tradisi berkembang menjadi suatu sistem, memiliki pola dan
norma sekaligus, serta mengatur penggunaan sanksi dan ancaman terhadap
pelanggaran dan penyimpangan (Soebadio,1983:18; Esten 1999:36).
Kebudayaan tidak bersifat
statis, namun cenderung dinamis, selalu berubah sesuai dengan perkembangan
zaman. Seni tradisi dalam perjalanannya selalu mengikuti perubahan yang tengah
berlangsung. Beberapa seni tradisi Minang mengalami proses adaptasi yang cukup
kreatif: Seni teater rakyat berupa randai di Minangkabau telah melewati proses
demikian. Posisi seni tradisi randai mengalami modernisasi secara berlahan.
Jika masa dahulunya, tokoh perempuan dalam cerita randai tidak dibenarkan
dimainkan oleh perempuan, tapi oleh laki-laki yang berlaku seperti perempuan. Kini,
perempuan bisa tam memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita randai.
Perubahan demikian tanpaknya merupakan tuntutan zaman dan modernisasi.
Sekaitan dengan hal ini,
Faruk (2007) menyebutkan, setidaknya ada dua kekuatan utama yang terbilang
menentukan terjadinya proses globalisasi di seluruh penjuru dunia sekarang,
yaitu (a) kekuatan ekonomi kapitalis yang telah melepaskan aktivitas ekonomi yang
berbasis bukan lagi pada tanah, melainkan modal yang terus bergerak dan yang
dapat diakumulasikan secara tidak terbatas (b) kekuatan teknologi, khususnya
teknologi elektronik yang memungkinkan semakin mudahnya mobilitas manusia,
barang, informasi, pengetahuan, gagasan ke seluruh penjuru dunia.
Namun demikian, pada batas
yang sederhana, globalisasi dapat dimaknai sebagai ancaman dan sekaligus peluang. Sebagai ancaman,
globalisasi membuka jalan bagi ekspansi kekuatan kapitalis yang tak terbatas,
juga globalisasi dapat memperlebar jurang kesenjangan masyarakat. Globalisasi
juga akan mengancam akar kultural
masyarakat sehingga tertutup dari berbagai akses karena lemahnya daya
dukung dan teknologi informasi.
Sebagai peluang, globalisasi
membuka jalan bagi masyarakat untuk memeroleh informasi yang demikian banyak.
Globalisasi juga membuka demikian banyak terbentuknya budaya global, yang di
dalamnya juga berkembang budaya lokal.
“Globalisasi” dalam budaya
Minangkabau memberikan dampak yang boleh dikatakan cukup dahsyat terhadap
kehidupan masyarakat, karakter individu dan juga prilakunya. Kecenderungan
otonomisasi diri—terutama bagi masyarakat Minangkabau yang hidup di kota— dalam
kehidupan sehari-harinya tampak telah melemahkan ikatan adat dan nilai-nilai tradisional.
Kehidupan sosial mereka telah dipengaruhi kekuatan kebudayaan modern dan juga
arus globalisasi.
Kini, di tengah deraan
globalisasi, kehidupan yang biasa dijalani dengan keluarga besar di rumah
gadang diganti dengan keluarga inti. Rumah gadang di Minangkabau yang dihuni
oleh keluarga besar telah berganti dengan rumah biasa yang hanya dihuni oleh
keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Satu sisi, menurut adat
Minangkabau yang menganut sistem matrilineal, perempuan memegang posisi terpenting
di rumah gadang, tidak hanya sebagai penerus generasi tetapi pewaris yang
memiliki hak sebagai penentu, serta mengelola harta keluarga tersebut. Sebaliknya,
pada keluarga inti, menjadi satu satuan ekonomis dan sosial yang berdiri
sendiri, dengan ayah yang memegang posisi tertinggi dalam keluarga.
Seperti budaya dan tradisi
lainnya, budaya Minangkabau tidak bersifat statis melainkan sangat dinamis.
Budaya ini mengakui hakekat perubahan dan terbuka untuk perubahan tersebut.
Pepatah Minang telah mengungkapkan kedinamisan budaya ini: Sakali aie
gadang, sakali tapian barubah.
Ungkapan ini memberikan
makna bahwa masyarakat Minang menyadari bahwa perubahan itu akan terjadi dan
mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Masyarakat Minang tidak
akan menghindari perubahan, malah sebaliknya berusaha mengantisipasi untuk
perubahan yang dihadapi.
Pada dasarnya, kebudayaan
berubah seirama dengan perubahan hidup masyarakat. Perubahan tersebut dapat
berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibat dari
penyesuaian cara hidup baru serta kebiasaan pada situasi baru. Sikap mental dan
nilai budaya turut dikembangkan guna suatu keseimbangan dan integrasi baru.
Tidak setiap perubahan berarti kemajuan, karena perubahan tidak jarang disertai
timbulnya krisis, konflik, pergeseran nilai-nilai lama, dan pada suatu ketika
terjadilah pengingkaran terhadap hasil budaya yang telah dibangun sekian lama,
atau sebaliknya akan lebih memperkaya warisan budaya dan peningkatan terhadap
nilai-nilai yang ada. Perubahan dalam masyarakat sangat berharga, adalah
apabila ketahanan budaya dan nilai-nilai obyektifnya selalu sanggup
memperbaharui diri. Dalam proses pembaharuan dengan perubahan tersebut, sikap
mental dan ketahanan budaya berperan positif untuk menjaga keseimbangan antara
kesinambungan sistem nilai yang disepakati dengan unsur perubahan menuju
kemajuan. Inilah yang secara umum harus dianggap sebagai muatan konsep dasar
kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan bukan produk
akhir atau selalu statis. Kebudayaan sebenarnya selalu bersifat dialektis dan
berkembang sesuai dengan perjalanan zaman, karena itu pula kebudayaaan akan
selalu terlibat dalam kondisi tawar menawar dengan arah pembangunan. Melalui
proses tawar menawar tersebut, visi dan misi pembangunan dapat dipertajam.
Kebudayaan harus mampu mengembangkan dirinya untuk menjadi atau bertindak
sebagai agen perubahan baik dalam tatanan sistem sosial maupun dalam sistem
budaya itu sendiri.
Globalisasi
ekonomi, informasi, dan budaya telah menciptakan sebuah dunia yang tampak
semakin kecil dan semakin kehilangan batas-batasnya. Pergaulan antarmanusia dan
antarbudaya, tidak saja meluas lingkup dan cakupannya—melewati batas-batas
geografi, negara, budaya dan agama—akan tetapi juga meningkat intensitas dan kompleksitasnya.
Dunia kini dibentuk oleh kondisi kesalingbergantungan dan kesalingterhubungan
yang semakin kuat, sehingga perubahan di sebuah tempat kini tidak bisa
dipisahkan dari perubahan di tempat-tempat lainnya. Globalisasi telah
mengintegrasikan berbagai elemen dan kelompo-kelompok budaya—termasuk
budaya-budaya lokal—ke dalam sebuah wadah, yang disebut ‘budaya global’ (global culture).
Meskipun demikian, integrasi budaya tersebut
sebaliknya telah memunculkan ‘aksi balik’, berupa meningkatnya kesadaran
eksistensial pada budaya-budaya lokal, khususnya kesadaran tentang
keberagaman, perbedaan, dan identitas. Kesadaran tersebut telah
menarik isu globalisasi ke dalam sebuah bingkai ideologis, sebagai pertentangan
‘budaya global’ vs ‘budaya lokal’, yang selanjutnya menumbuhkan berbagai
sentimen ideologis, seperti: ‘proglobalitas’ vs ‘antiglobalitas’. Kebudayaan
yang kuat melihat globalisasi sebagai sebuah peluang bagi ekspansi dan
perluasan pengaruh budayanya, dan berupaya mendo-rong globalisasi ke arah
proses percepatannya; sebaliknya budaya yang (merasa dirinya) lemah, melihat
globalisasi justru sebagai sebuah an-caman terhadap eksistensi budaya mereka,
dan berupaya menolak proses perluasannya (Yasraf Amir Piliang, 2006).
Globalisasi
tampaknya telah menghadapkan kebudayaan-kebudayaan lokal pada situasi
dilematis: antara tradisi dan perubahan, antara identitas dan transformasi. Situasi
dilematis ini muncul akibat sosok globalisasi itu sendiri yang menampakkan
‘wajah ganda’. Di satu sisi, globalisasi menciptakan integrasi,
homogenisasi, standardisasi, internasionalisasi, di dalam ‘dunia tanpa batas’;
sementara di sisi lain, globalisasi justeru telah menguatkan semangat
desentralisasi, penganekaragaman, pluralitas, tribalisme, sukuisme dan
sektarianisme.
Situasi
dilematis tersebut juga dihadapi oleh gerakan-gerakan ‘budaya lokal’ di
Indonesia, khususnya dalam upaya revitalisasi budaya. Di satu pihak, semangat
reformasi, otonomi, dan demokratisasi telah memunculkan berbagai sentimen lokal
(kesukuan, keagamaan, ras, dan kedaerahan), yang bahkan pada titik yang ekstrim
telah menyulut berbagai bentuk konflik dan kekerasan. Di pihak lain, kehidupan
sehari-hari masyarakat lokal justru sangat dipengaruhi oleh pola-pola kehidupan
masyarakat global dan budaya global. Pengaruh tersebut telah merubah
cara hidup, gaya hidup bahkan pandangan hidup mereka, yang pada titik tertentu justru mengancam
eksistensi warisan adat, kebiasaan, simbol, identitas dan nilai-nilai budaya
lokal.
Dalam situasi
dilematis tersebut, upaya-upaya bagi revitalisasi budaya-budaya lokal dalam
konteks perkembangan budaya global, tampaknya harus didukung oleh pemikiran,
filosofi, visi dan strategi budaya yang cerdas dan kreatif, sehingga
globa-lisasi dapat dijadikan sebagai peluang bagi pengkayaan budaya lokal di
dalam kancah budaya global, tanpa ha-rus meninggalkan nilai-nilai kunci budaya
lokal itu sendiri (Yasraf, 2003).
Minangkabau
dalam Arus Global
Kebudayaan daerah—termasuk
kebudayaan Minangkabau—dapat dimaknai sebagai sistem nilai yang fungsinya
adalah mendorong dan membimbing masyarakatnya menjawab tantangan yang mereka
hadapi sepanjang masa. Sistem nilai tersebut merupakan ciri identitas sebuah
kelompok masyarakat budaya. Pada masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham
egalitarian yang hidup di dalam nagari-nagari.
Hadirnya ruang publik di
tengah-tengah kehidupan nagari di Minangkabau, misalnya, galanggang (sasaran),
yang merupakan ranah bagi anak nagari
untuk mengekspresikan diri mereka, dapat disebut sebagai sistem nilai budaya. Di
dalam galanggang itu akan teraktualisasikan ekspresi individu, masyarakat, dan
komunal.
Galanggang atau sasaran yang
tumbuh sebagai ruang publik di nagari itu terefleksi, umpamanya, pada seni
randai dan pencak silat. Randai dan pencak silat sebagai salah satu bentuk
permainan anak nagari di Minangkabau, mengemuka sebagai cerminan sistem nilai
yang berkaitan dengan komunalisme, egalitarian, yang identitas kultural. Maka,
dengan itu pula, galanggang terkukuhkan dalan struktur budaya Minangkabau. Galanggang
menjadi yang inheren dengan perjalanan dan akselerasi budaya Minangkabau. Di
sisi lain, surau, yang dimiliki setiap pasukuan di nagari-nagari Minangkabau,
juga merupakan ruang publik bagi anak nagari. Di surau-surau berkembang dengan
baik seni-seni yang bersifat religius yang bernapaskan Islam: Salawat dulang, dikia, indang, dan tabui adalah
beberapa contoh kesenian Minangkabau yang bernapaskan Islam.
Akan tetapi, dalam sejarahnya, tidak
sedikit pula kesenian Minangkabau yang sama sekali tidak bersentuhan dengan
nilai-nilai keislaman, seperti randai dan pencak silat. Sepintas terlihat ada
dualisme: seni yang kuat napas keislamannya dan satu sisi tidak bersentuhan
dengan Islam.
Menurut Drs Yusriwal, M.Si (Singgalang,
Senin, 27 Mei 1996), inti dari kebudayaan Minangkabau memang terletak pada
dualisme seperti itu. Dalam pemerintahan umpamanya dikenal Lareh Koto
Piliang yang aristokrat dan Lareh Bodi Caniago yang demokrat. Pada
kesenian, dualisme itu terjadi disebabkan perbedaan basis tempat kelahirannya,
yaitu surau dan sasaran. Dari surau lahirlah kesenian bernapaskan
Islam, seperti salawat dulang, sedangkan dari sasaran yang
fungsi utamanya untuk latihan silat muncul pula kesenian seperti randai.
Oleh masyarakat Minangkabau, kedua
jenis kesenian tersebut diberi hak yang sama untuk hidup. Mereka tidak pernah
mempertentangkannya dan tidak pula memberikan penilaian mana yang lebih baik di
antara keduanya. Yang ada hanyalah pembedaan kepentingan. Dalam acara
keagamaan, seperti memperingatan Maulid Nabi, kesenian yang dipertunjukkan
adalah yang bernapaskan Islam. Dan belum dan tidak akan pernah seni randai
dimainkan di surau atau masjid.
Sepanjang sejarahnya,
memang, kesenian randai menjadi salah satu cabang seni tradisi Minangkabau yang
cukup berkembang dan populer di Sumatra Barat. Hampir setiap nagari yang
jumlahnya saat kini 523 nagari memiliki kelompok randai. Seni randai acap ditampilkan
pada acara panen padi, perkawinan, upacara batagak penghulu, dan
pesta-pesta rakyat lainnya. Kehadiran seni randai menjadi keniscayaan dalam
mempertebal rasa bernagari, dan juga kehadiran randai tampak mengesankan kesempurnaan
terhadap adat istiadat Minangkabau itu sendiri. Seni Randai dalam bentuknya
yang sekarang, merupakan hasil dari suatu proses akulturasi yang panjang antara
tradisi kesenian Minangkabau dengan bentuk-bentuk sandiwara modern seperti
tonil, yang mulai dikenal masyarakat Minangkabau sejak awal abad ke-19.
Dalam konteks kesenian tradisi di Minangkabau—termasuk
salah satunya randai di atas tadi—telah dihadapkan dengan tantangan yang
demikian besar. Kesenian tradisi yang berada dalam pusaran pengaruh budaya
global memang dianggap menjadi sebuah persoalan. Pada saat itu pula berkembang
berbagai bentuk ketidakcocokan, ketidaksetaraan atau ketidakharmonisan di dalam
pola-pola interaksinya, ketika di dalamnya terdapat ancaman terhadap eksistensi
dan keberlanjutan budaya-budaya lokal. Budaya global menjadi sebuah persoalan
politis, ketika budaya-budaya lokal
terserap ke dalam budaya dominan, yang bersifat impersonal, yang
dikendalikan dan diatur oleh elit-elit profesional, yang mempunyai kekuatan
hegemoni dalam pengambilan keputusan dan menentukan nasib dan masa depan
budaya-budaya lokal (Yasraf: 2003).
Globalisasi dan Seni Tradisi Minang
Namun demikian, semenjak reformasi tahun 1998,
lebih jauh lagi sejak ditetapkannya Peraturan Daerah No 9 Tahun 1999 dan
direvisi lai dengan Peraturan Daerah No 1 Tahun 2007 tentang kembali ke nagari
di Sumatra Barat, eforia yang cenderung romantik akan kebesaran masa lalu, kian
terasa dan mengemuka. Berkembangnya semangat kembali ke budaya nagari merupakan
sebuah reaksi terhadap sifat hegemoni budaya yang melekat pada budaya global,
berupa homogenisasi atau penyeragaman budaya secara kolosal, yang menyebabkan
semakin sempitnya ruang gerak, merosotnya pamor budaya-budaya lokal, sehingga
menimbulkan kekhawatiran akan lenyapnya budaya tersebut dilindas arus
globalisasi. Kekhawatiran tersebut telah mendorong munculnya berbagai bentuk
perjuangan budaya, khususnya perjuangan
representasi budaya (cultural repre-sentation), yang di
dalamnya respek terhadap akar-akar
budaya lokal digunakan sebagai senjata
untuk menentang kekuatan impersonal, predator dan anonim globalisasi.
Dari itu pula, seperti yang disampaikan
Yasraf Amir Piliang (2003) revitalisasi budaya lokal, dalam hal ini dapat
dipandang sebagai sebuah upaya
‘reteritorialisasi kultural’ (cultural reterritorialization),
yaitu upaya bagi reposisi kultural pasca rezim otoriter (rezim penyeragaman),
yang di dalamnya diperjuangkan sifat-sifat kebebasan, otonomi, pluralitas, dan
penentuan diri sendiri. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah,
kebudayaan-kebudayaan lokal yang bersifat otonom tersebut tidak berada di dalam
sebuah ‘ruang hampa’, yang mempunyai kekuasaan tak terbatas dalam perumusan
bentuk dan strategi budayanya masing-masing.
Berbagai bentuk pergaulan global tampaknya
merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap budaya-budaya lokal dalam upaya
revitalisasinya, bila ia tidak mau terlindas oleh arus globalisasi itu sendiri.
Budaya-budaya lokal yang cukup kuat akan memanfaatkan peluang dari globalisasi;
akan tetapi, budaya-budaya yang tidak
cukup tangguh cenderung untuk diserap, ditransformasikan atau bahkan
dihancurkannya.
Revitalisasi
budaya berarti, menciptakan budaya yang ‘lebih kuat’, ‘lebih aktif’, ‘lebih
produktif’, ‘lebih sehat’, ‘lebih dinamis’. Sistem-sistem budaya lokal harus
diperbaharui, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Singkatnya, ia harus diberi ‘nafas baru’ (new spirit). Akan tetapi,
revita-lisasi budaya lokal harus dilakukan secara sistematis dan
terencana. Berbagai pertimbangan
mendalam pada tingkat filosofis, strategis maupun praksis ha-ruslah dilakukan,
agar budaya lokal tidak hanya men-jadi ‘obyek’ globalisasi, melainkan ‘subyek’
yang ber-peran dalam membentuk perkembangan globalisasi itu sendiri.
Berbagai tantangan dan
perkembangan yang bersifat paradoksal di dalam kebudayaan Minangkabau
akhir-akhir ini akan menentukan masa depan seni tradisi itu sendiri. Satu sisi,
ada tantangan yang dihadapkan secara langsung dengan apa yang disebut dengan
globalisasi. Sisi lainnya, muncul berbagai hambatan budaya tradisi secara
internal—misalnya rendanya atensi kaum cendekiawan di nagari-nagari di
Minangkabau yang merupakan masalah tersendiri yang harus diselesaikan secara
baik, agar kesenian anaka nagari dapat menentukan sikapnya sebagai landasan
normatif dalam merekonstruksi masa depan kesenian itu sendiri.
Dunia kesenian tradisi
Minangkabau—barangkali sudah terstruktur dalam sistem budaya
masyarakatnya—semenjak dulu sampai hari ini telah dengan sendirinya
tersegmentasi atas nagari-nagari yang ada Minangkabau. Pola yang segmentatif
ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu
sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat. Rumusan adat selingkar
nagari yang berlaku di Minangkabau memberikan tanda bahwa seni tradisi yang
tumbuh di nagari-nagari diakomodasi pada batas nagari. Seni tradisi indang
berkembang di Solok dan Pariaman misalnya, tidak akan dijumpai di nagari-nagari
50 Koto. Juga seni tradisi sijobang juga tak akan ditemui di daerah pesisir
Sumatra Barat.
Kesenian dan Ruang Publik
Dalam menghadapi berbagai
tantangan zaman dan tekanan dari berbagai kebijakan politik negara terhadap seni
tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat juga dapat diartikan sebagai strategi
yang salah dari kekuasaan. Sentralisasi budaya yang otoriter yang dijalankan
Orde Baru selama 32 tahun merupakan salah satu determinasi terputusnya
komunikasi antarbudaya yang terbuka selama ini.
Pada masa Orde Baru,
komunikasi budaya cenderung diintruksikan dari atas sehingga berbagai potensi
kultural publik tidak mendapat tempat artikulasinya secara baik. Pola serupa
juga dirasakan setelah masa Orde Baru walau bentuk dan tabiatnya beda, namun
tujuannya tetap sama: memarjinalkan seni tradisi Minangkabau.
Salah satu contoh adalah
kesenian indang, dan juga seni tradisi lainnya yang ada di seluruh pelosok
nagari-nagari di Minangkabau, mengalami nasib sial dan hidup dalam negeri yang
serakah mengisap darah seni tradisi itu. Fenomena yang kian berkembang di
Provinsi Sumatra Barat, terutama di tingkat kaputaten dan kotanya, seni tradisi
dibina, diberi bantuan untuk kepentingan kepariwisataan.
Kesenian indang dikemas
untuk selera penikmatnya yang baru, pertunjukan disesuaikan dengan selera wisatawan
itu, dan ini terbukti, misalnya, ketika Pemerintah Provinsi Sumatra Barat
menggelar Pekan Budaya Sumatra Barat pada 27 November– 3 Desember 2006.
Pada Pekan Budaya itu, semua
kabupaten dan kota di Sumatra Barat mengirimkan kontingen kesenian mereka.
Dengan pemikiran yang biasa merasuki para birokrat kebudayaan, kesenian tradisi
dihadirkan ke tengah-tengah khalayak yang dinilai sebagai wisatawan, dengan
kurang memahami konsep dan estetika kesenian tradisi itu sendiri. Padahal,
kesenian tradisi memiliki konsepsi estetika dan kosmos tersendiri, yang
dibutuhkan dalam kehidupan keseniannya. Perbedaan ini akan terlihat secara
nyata bila kita melihat kesenian tradisi yang hidup dan ditampilkan di daerah
dan masyarakat pendukungnya dengan kesenian tradisi yang ditampilkan dalam
helat di hotel-hotel atau ruang lainnya.
Jalan tengahnya tentu saja
tetap ada. Helat seni tradisi tetap dapat dibawa dan masuk dalam ruang di
luarnya, namun ini membutuhkan penanganan dan kearifan pada seni tradisi itu
sendiri. Birokrat kebudayaan, dan pemerintah secara umum, mesti memahami
realitas ini. Konsepsi kebudayaan dan pariwisata dalam sebuah relasi yang
harmonis harus dibangun dengan tanpa menghancurkan salah satunya (Nasrul Azwar,
Media Indonesia, 8 Desember 2006).
Kekuasaan dan Akomodasi Seni
Tradisi
Saat ini kita menyaksikan arus gerak budaya yang
paradoksal, antara arus budaya global yang bersifat sentrifugal dan mampu
merobohkan tembok-tembok budaya sebuah bangsa; dan arus gerak sentripetal yang
mendorong tumbuhnya sentimen lokal yang eksklusif, dengan muatan semangat
etnis-religius.
Gerak sentrifugal didorong oleh ambisi dan
kekuasaan kapitalisme dunia dengan dukungan iptek moderen, terutama teknologi
informatika dan keunggulan serat optik dalam teknologi internet, sedangkan
gerak sentripetal dipicu oleh semangat ideologis untuk mempertahankan sebuah
identitas budaya yang berakar pada sentimen etnis dan keagamaan.
Sebagaimana yang kita amati, dua arus ini
berlangsung begitu mengesankan meskipun sesungguhnya terdapat berbagai faktor
yang membuat alur dan proses gerak budaya tidak sesederhana yang disebutkan di
atas. Misalnya saja faktor agama. Agama adakalanya dilihat sebagai sub-kultur
budaya bangsa, namun dalam waktu yang sama penegasan identitas dan gerak
keagamaan juga melintasi batas negara. Berakhirnya era perang dingin dan munculnya
ketegangan politik di beberapa wilayah, semisal Palestina, Afganistan, dan
Irak, ternyata telah membangkitkan solidaritas emosional yang berakar pada
keyakinan dan emosi keagamaan, yang mengabaikan tembok-tembok nasionalitas.
Trend di atas menjadi persoalan serius ketika
sebuah bangsa dan negara seperti Indonesia dalam kondisi tidak stabil dan
lemah. Tanpa pengaruh luar pun semangat provinsialisme dan etnisisme kini
menguat, namun tidak diimbangi atau dipagari oleh posisi negara yang sehat dan
kuat. Maka apa yang disebut state building bisa terancam gagal sehingga
berbagai aset natural, sosial dan politik mengalami kebangkrutan dan bangsa ini
terjebak pada proses self-destroying nation.
Persoalan identitas dan krisis budaya ini
memiliki kaitan tali-temali dengan variabel lain, sehingga perlu dipetakan
secara komprehensif spektrum permasalahannya, lalu dicari prioritas tahapan
penyelesaiannya.
Apa yang dapat disimpulkan kalau reformasi telah
lenyap kini dari wacana kebudayaan? Apakah berarti bangsa kita telah melepaskan
harapan karena suatu stereotype manusia Indonesia baru telah muncul
dengan keyakinan: bahwa kehidupan bermasyarakat selalu tidak adil dan
ketidakadilan itu tidak dapat dilawan, bahkan harus dimanfaatkan. Ini berarti
hilangnya nilai-nilai dan timbulnya sinisme bermasyarakat dan berpolitik (Toeti
Heraty N. Roosseno, 2003).
Perjalanan kultural bangsa Indonesia saat ini
tengah berada pada era global-industrial. Pada satu sisi konteks global
tertandai dengan terjadinya keterjangkauan informasi hampir di semua bidang
kehidupan, sedangkan di sisi yang lain konteks industrial tertandai dengan
terjadinya trasnformasi pada berbagai konsentrasi sumber investasi.
Keterjangkauan informasi dan transformasi berbagai sumber investasi ini terjadi
karena adanya kemajuan ilmu dan teknologi yang sangat pesat dalam dua atau tiga
dasa warsa terakhir.
Implikasi dari kondisi tersebut di atas
terjadilah kompetisi global di semua bidang kehidupan; dan dalam hal ini hanya
manusia yang berkualitas sajalah yang mampu memenangkan kompetisi.
Latar belakang krisis otoritas (kewibawaan) dalam
perkembangan masyarakat dan kebudayaan Indonesia, bermula dari peralihan rezim Orde
Baru ke Orde Reformasi, berbarengan dengan krisis moneter, berurutan dengan
krisis ekonomi dan krisis politik. Akumulasi dari krisis ini, mengakibatkan
krisis kepercayaan terhadap kekuasaan yang memberi kesempatan timbulnya krisis
kerukunan beragama, seperti gejala yang timbul di berbagai daerah.
Krisis moralitas sebagai dampak dari krisis
kepercayaan, saling pengaruh timbal balik terhadap krisis kepemimpinan hampir
di semua sektor, terutama kepemimpinan politik. Dampak dari krisis kepemimpinan
memberi pengaruh terhadap otoritas pemimpin, tokoh dan figur yang selama ini dipercayai
sebagai pembawa amanat.
Krisis otoritas menjalar pada otoritas hakim,
pengadilan dan kepolisian sebagai penegak keadilan, bahkan otoritas ninik mamak
dan ulama. Kepastian hukum dan ketidakadilan, amat dirasakan oleh rakyat atas
kebijakan hukum yang berlaku. Lembaga DPR yang mewakili aspirasi dan tempat
menggantungkan perbaikan nasib rakyat, mulai tidak dipercayai, mereka lebih
banyak berpikir atas nama partainya. Lembaga ini, cenderung melampaui
wewenangnya sebagai social control terhadap eksekutif, sehingga seringkali
timbul konflik antara legislatif dengan eksekutif (Komaruddin Hidayat, 2003).
Pola hubungan otoritas tradisional yang berakar
di nagari-nagari di Minangkabau sudah luntur semenjak era meletusnya PRRI tahun
1957 dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru atas peningkatan idea
nasionalisme, digantikan oleh otoritas formal oleh pejabat pemerintahan. Ikatan
rohani rakyat dengan figur informal, sudah hilang. Sementera tokoh formal tidak
membumi di akar rumput. Dalam era reformasi sekarang, kepercayaan rakyat
terhadap kalangan elite, baik elit pemerintah maupun elite politik, mengalami
krisis multi dimensional.Apa yang menjadi pegangan sekarang ini, adalah masih
adanya nilai-nilai budaya lokal dan budaya daerah yang masih potensil diakui
dan ditaati, laksana katup pengaman timbulnya konflik horizontal.
Pada wilayah kebijakan
rakyat yang berkaitan dengan keperluan legitimasi kultural-politik, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Minangkabau administratif perlu
mengatur dengan menerbitkan peraturan daerah (Perda). Munculnya Perda Kembali
ke Nagari, Perda Penyakit Masyarakat, dan perda-perda lainnya merupakan
indikator dan bukti konkret bahwa negara berada dalam garis terdepan mengatur
narasi besar tentang proses keberlangsungan kultural Minangkabau. Seterusnya,
pada tingkat pemerintahan paling bawah, yaitu nagari juga dapat menerbitkan
peraturan nagari (Perna).
Pada batas yang demikian, sesungguhnya di
Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang
belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan
simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme.
Pembagunan pasar dan hotel yang diidentikkan dengan ikon
kota metropolitan menjadi persyaratan utama menuju kota modern. Para bupati dan
wali kota yang berkuasa di wilayah Minangkabau dalam garis administrasi itu
setiap hari meneriakkan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di
wilayah hukumnya. Kebijakan penguasa tidak lagi mempertimbangkan jeritan
pedagang-pedagang kecil. Jika muncul gejolak di tengaah masyarakat menolak
kebijakan penguasa itu, maka stigma langsung dilekatkan kepada mereka:
menghalangi investor masuk ke daerah.
Minangkabau sekarang adalah Minangkabau yang berada dalam
cengkeraman gurita konglomerasi-konglomerasi urban yang bertindak sebagai
titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai aktivitas ekonomi yang beragam.
Minangkabau telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi,
distibusi, dan sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul
pertukaran informasi dan proses pembuatan keputusan.
Minangkabau telah berada
pada titik nadir, dan jelas sangat berbahaya jika terus dibiarkan. Dari itu
pula, wilayah publik, wilayah anak nagari, dan wilayah yang lainnya yang selama
ini berada di tangan penguasa sudah saatnya dikembalikan ke dalam wilayah
kultural Minangkabau.
"Perlawanan" yang
paling dimungkinkan adalah dengan penguatan institusi informal, melakukan bargaining
power terhadap kebijakan yang diambil oleh penguasa Minangkabau yang
administratif itu. Memperjelas wilayah-wilayah yang pantas disentuh tangan
penguasa, dan mempertajam kembali simpul-simpul kultural yang selama ini
dimatikan oleh sistem kekuasaan.
Selain itu, penguasa Minangkabau
administratif itu harus mempertegas dirinya untuk tidak menyentuh
wilayah-wilayah yang sesungguhnya bisa digerakkan oleh sistem yang berjalan
secara kultural.***
Daftar Pustaka
Abrar Yusra, Ed, 2001, Tantangan
Sumatra Barat (Mengembalikan Keunggulan Pendidikan Berbasis Budaya
Minangkabau), Citra Pendidikan, Jakarta
Adriyetti
Amir, Zuriati, dan Khairil Anwar. 2006, Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau,
Andalas University Press, Padang.
Chris Barker, 2005, Cultural
Studies: Teori dan Praktik, Bentang, Yogyakarta
James L Peacock, 2005, Ritus
Modernitas (Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia, Desantara,
Depok
Jurnal
Seni Pertunjukan Indonesia Tahun X-2000. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia
(MSPI), Bandung.
Koentjaraningrat, 1994, Masalah
Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, UI-Press, Jakarta
Komaruddin Hidayat,
“Identitas dan Krisis Budaya”, makalah dalam Kongres Kebudayaan V 2003
Nasrul Azwar-Ed. 2003. Menyulam
Visi: DKSB dalam Catatan,
Dewan Kesenian Sumatra Barat Padang.
Nasrul Azwar, Indang yang Nyaris Tenggelam, Media
Indonesia, Sabtu, 9 Desember 2006
Yerri S
Putra –Ed. 2007, Minangkabau di Persimpangan Generasi, Pusat Studi
Humaniora dan Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang
Yusriwal, Konsep Kesenian dan Islam
di Minangkabau, Singgalang, Senin, 27 Mei 1996
Toeti Heraty N. Roosseno,
“Reformasi: Kesadaran Sesaat Melawan Arus”, makalah dalam Kongres Kebudayaan V
2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar