OLEH
H. Mas’oed Abidin
Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. (UUD-45). “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”, dan
"Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab, serta berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa”. (UU No. 20 th 2003, Sistem Pendidikan Nasional).
Manusia Berkualitas
Kemulian pengabdian seorang pendidik
terpancar dari keikhlasan membentuk anak manusia menjadi pintar, berilmu,
berakhlak dan pengamal ilmu yang menjelmakan kebaikan pada diri, kerluarga, dan
di tengah umat kelilingnya. Namun sekarang, kita menatap fenomena mencemaskan.
Penetrasi bahkan infiltrasi budaya asing ternyata berkembang pesat. Pengaruhnya
tampak pada perilaku pengagungan materia secara berlebihan (materialistik) dan
kecenderungan memisah kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik).
Kemudian berkembang pula pemujaan kesenangan indera dengan mengejar kenikmatan
badani (hedonistik). Hakekatnya, telah terjadi penyimpangan perilaku yang
sangat jauh dari budaya luhur – adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah-. Kesudahannya, rela atau tidak, pasti mengundang kriminalitas,
sadisme, dan krisis secara meluas.
Pergeseran paradigma materialistic
acapkali menjadikan para pendidik (murabbi) tidak berdaya menampilkan model
keteladanan. Ketidakberdayaan itu, menjadi penghalang pencapaian hasil
membentuk watak anak nagari. Sekaligus, menjadi titik lemah penilaian terhadap
murabbi bersangkutan. Tantangan berat ini hanya mungkin dihadapi dengan
menampilkan keterpaduan dalam proses pembelajaran dan pengulangan contoh baik
(uswah) terus menerus. Jati diri bangsa terletak pada peran maksimal ibu bapa –
yang menjadi kekuatan inti masyarakat – dalam rumah tangga. Pekerjaan ini
memerlukan ketaletenan dengan semangat dan cita-cita yang besar ditopang
kearifan.
Kesejagatan (global) yang deras secara
dinamik perlu dihadapi dengan penyesuaian kadar apa yang di kehendaki. Artinya,
arus kesejagatan tidak boleh mencabut generasi dari akar budaya bangsanya.
Sebaliknya, arus kesejagatan itu mesti dirancang dapat ditolak mana yang tidak
sesuai.
Alaf baru ini ditandai mobilitas serba
cepat dan modern. Persaingan keras dan kompetitif seiring dengan laju informasi
dan komunikasi serba efektif tanpa batas. Bahkan, tidak jarang membawa pula limbah
budaya ke barat-baratan, menjadi tantangan yang tidak mudah dicegah. Menjadi
pertanyaan, apakah siap mengha¬dapi perubahan cepat penuh tantangan, tanpa
kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas yang berani melawan terjangan
globalisasi itu?” Maka, semua elemen masyarakat berkewajiban menyiapkan
generasi yang mampu bersaing di era tantangan sosial budaya, ekonomi, politik,
menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Globalisasi membawa perubahan
perilaku, terutama terhadap generasi muda. Jika tidak mempunyai kekuatan ilmu,
akidah dan budaya luhur, akan terancam menjadi generasi buih, sewaktu-waktu
terhempas di karang dzurriyatan dhi’afan, menjadi “X-G” atau the loses
generation.
Membiarkan diri terbawa arus deras
perubahan sejagat tanpa memperhitungkan jati diri akhirnya menyisakan
malapetaka. Pemahaman ini, perlu ditanamkan di kala melangkah ke alaf baru.
Kelemahan mendasar terdapat pada melemahnya jati diri. Kelemahan ini dapat
terjadi karena kurangnya komitmen kepada nilai luhur agama (syarak) yang
menjadi anutan bangsa. Lemahnya jati diri akan dipertajam oleh tindakan isolasi
diri lantaran kurang kemampuan dalam penguasaan “bahasa dunia” (politik,
ekonomi, sosial, budaya).
Hilangnya Akhlak
Penyimpangan perilaku menjadi ukuran
moral dan akhlak. Hilang kendali menjadi salah satu penyebab lemahnya ketahanan
bangsa. Yang merasakan akibatnya, terutama tentulah generasi muda, lantaran
rusaknya sistim, pola dan politik pendidikan. Hapusnya panutan dan impotensi
tokoh pemangku adat dalam mengawal budaya syarak, dan pupusnya wibawa ulama
menjaga syariat agama, memperlemah daya saing anak nagari. Lemahnya tanggung
jawab masyarakat, akan berdampak dengan terbiarkan kejahatan meruyak secara
meluas. Interaksi nilai budaya asing yang bergerak kencang tanpa kendali, akan
melumpuhkan kekuatan budaya luhur anak nagari. Bergesernya fungsi lembaga
pendidikan menjadi bisnis. Akibatnya, profesi guru (murabbi) mulai dilecehkan.
Hilang keseimbangan telah mendatangkan
frustrasi sosial yang parah. Tatanan bermasyarakat tampil dengan berbagai
kemelut. Krisis nilai akan menggeser akhlak dan tanggungjawab moral sosial
ke arah tidak acuh (permisiveness). Dan bahkan, terkesan toleran terhadap
perlakuan maksiat, aniaya dan durjana. Konsep kehidupan juga mengalami krisis
dengan pergeseran pandang (view) terhadap ukuran nilai. Sehingga, tampil pula
krisis kridebilitas dalam bentuk "erosi kepercayaan". Peran orang
tua, guru dan pengajar di mimbar kehidupan mengalami kegoncangan wibawa.
Giliran berikutnya, lembaga-lembaga masyarakat berhadapan dengan krisis
tanggung jawab kultural yang terkekang sistim dan membelenggu dinamika.
Orientasi kepentingan elitis sering tidak populis dan tidak demokratis.
Dinamika perilaku mempertahankan prestasi menjadi satu keniscayaan beralih ke
orientasi prestise dan keijazahan. Tampillah krisis solidaritas.
Kesenjangan sosial, telah mempersempit
kesempatan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan secara merata. Idealisme pada
generasi muda tentang masa datang mereka, mulai kabur. Perjalanan budaya (adat)
terkesan mengabaikan nilai agama (syarak). Pengabaian ini pula yang
mendatangkan penyakit sosial yang kronis, di antaranya kegemaran berkorupsi.
Adalah suatu keniscayaan belaka, bahwa masa depan sangat banyak ditentukan oleh
kekuatan budaya yang dominan. Sisi lain dari era kesejagatan adalah perlombaan
mengejar kemajuan seperti pertumbuhan ekonomi dan komunikasi untuk menciptakan
kemakmuran. Lemahnya syarak (aqidah tauhid) di tengah mesyarakat serta merta
mencerminkan perilaku tidak Islami yang senang melalaikan ibadah.
Generasi Penyumbang
Membentuk generasi penyumbang dalam
bidang pemikiran (aqliyah), ataupun pembaharuan (inovator) harus menjadi
sasaran perioritas. Keberhasilan akan selalu ditentukan oleh adanya keunggulan
pada institusi di bidang pendidikan yang ditujukan untuk membentuk generasi
yang menguasai pengetahuan dengan kemampuan dan pemahaman mengidentifikasi
masalah yang dihadapi. Seterusnya, mengarah kepada kaderisasi diiringi oleh
penswadayaan kesempatan-kesempatan yang ada. Generasi baru yang mampu mencipta
akan menjadi syarat utama keunggulan.
Kekuatan budaya bertumpu kepada individu
dan masyarakat yang mampu mempersatukan seluruh potensi yang ada. Generasi muda
harus menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan. Mereka mesti dibina dengan
budaya kuat yang berintikan "nilai-nilai dinamik" dan relevan dalam
kemajuan di zaman itu. Generasi masa depan yang diminati, lahir dengan budaya
luhur (tamaddun) berlandaskan tauhidik, kreatif dan dinamik.
Maka, strategi pendidikan mesti mempunyai
utilitarian ilmu berasas epistemologi Islam yang jelas. Sasarannya, untuk
membentuk generasi yang tumbuh dengan tasawwur (world view) yang integratik dan
umatik sifatnya. Artinya, pendidikan mengarah kepada membentuk generasi yang
bermanfaat untuk semua, terbuka dan transparan. Generasi sedemikian hanya dapat
dikembangkan melalui pendidikan akhlak, budi pekerti dan penguasaan ilmu
pengetahuan.
Maka akhlak karimah adalah tujuan
sesungguhnya dari proses pendidikan, dan menjadi wadah diri dalam menerima
ilmu-ilmu lainnya, karena pada akhirnya ilmu yang benar, akan membimbing umat
ke arah amal karya, kreasi, inovasi, motivasi yang baik (shaleh). Dengan
demikian, diyakini bahwa akhlak adalah jiwa pendidikan, inti ajaran agama, buah
dari keimanan.
Generasi penerus harus taat hukum. Upaya
ini dilakukan dengan memulai dari lembaga keluarga dan rumah tangga.
Mengokohkan peran orang tua, ibu bapak, dan memungsikan peranan ninik mamak dan
unsur masyarakat secara efektif. Memperkaya warisan budaya dilakukan dengan
menanamkan sikap setia, cinta dan rasa tanggung jawab, sehingga patah tumbuh
hilang berganti.
Menanamkan aqidah shahih (tauhid) dengan
istiqamah pada agama Islam yang dianut. Menularkan ilmu pengetahuan yang segar
dengan tradisi luhur. Apabila sains dipisah dari aqidah syariah dan akhlak,
niscaya yang akan lahir saintis tak bermoral agama. Kesudahannya, ilmu banyak
dengan iman yang tipis, berujung dengan sedikit kepedulian di tengah
bermasyarakat.
Langkah-langkah ke arah pembentukan
generasi mendatang sesuai bimbingan Kitabullah QS.3:102 mesti dipandu pada
jalur pendidikan, formal atau non formal. Mencetak anak bangsa yang pintar dan
bertaqwa (QS.49:13), oleh para pendidik (murabbi) yang berkualitas pula.
Keberhasilan gerakan dengan pengorganisasian (nidzam) yang rapi.
Menyiapkan orang-orang (SDM) yang
kompeten, dengan peralatan memadai. Penguasaan kondisi umat, dengan mengenali
permasaalahan keumatan. Mengenali tingkat sosial dan budaya daerah, hanya dapat
di baca dalam peta dakwah yang bagaimanapun kecilnya, memuat data-data tentang
keadaan umat yang akan diajak berperan tersebut. Di sini terpampang langkah
pendidikan yang strategis itu.
Di samping itu perlu pula menanamkan
kesadaran serta tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban asasi individu secara
amanah. Sikap penyayang dan adil, akan dapat memelihara hubungan harmonis
dengan alam, sehingga lingkungan ulayat dan ekosistim dapat terpelihara.
Melazimkan musyawarah dengan disiplin, akan menjadikan masyarakat teguh politik
dan kuat dalam menetapkan posisi tawar. Kukuh ekonomi serta bijak memilih
prioritas pada yang hak, menjadi identitas generasi yang menjaga nilai puncak
budaya Islami yang benar. Sesuatu akan selalu indah selama benar. Semestinya
disadari bahwa budaya adalah wahana kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu
bangsa ditentukan oleh kekuatan budayanya.
Sumber Daya Berkualitas
Kita berkewajiban membentuk SDM menjadi
sumber daya umat (SDU) yang berciri kebersamaan dengan nilai asas "gotong
royong", berat sepikul ringan sejinjing, atau prinsip ta'awunitas.
Beberapa model dapat dikembangkan di kalangan para pendidik. Antara lain, pemurnian
wawasan fikir disertai kekuatan zikir, penajaman visi, perubahan melalui ishlah
atau perbaikan. Mengembangkan keteladanan (uswah hasanah) dengan sabar, benar,
dan memupuk rasa kasih sayang melalui pengamalan warisan spiritual religi serta
menguatkan solidaritas beralaskan iman dan adat istiadat luhur. “Nan kuriak
kundi nan sirah sago, nan baik budi nan indah baso”. Akhirnya, intensif
menjauhi kehidupan materialistis, “dahulu rabab nan batangkai kini langgundi
nan babungo, dahulu adat nan bapakai kini pitih nan paguno”.
Para pendidik (murabbi) adalah bagian
dari suluah bendang dengan uswah hidup mempunyai sahsiah bermakna pribadi yang
melukiskan sifat individu mencakup gaya hidup, kepercayaan, kesadaran beragama
dan harapan, nilai, motivasi, pemikiran, perasaan, budi pekerti, persepsi,
tabiat, sikap dan watak akan mampu menghadirkan kesan positif masyarakat
Nagari.
Rida Allah
Setiap muslim harus melakukan
perbaikan (ishlah) pada dua sisi. Dimulai dengan, ishlah an-nafsi, yaitu
perbaikan kualitas diri sendiri, sebagaimana arahan Rasulullah, "Mulailah
dari diri kamu kemudian lanjutkan kepada keluargamu" (Al Hadist).
Selanjutnya islah al-ghairi yaitu perbaikan kualitas lingkungan menyangkut
masalah hubungan sosial masyarakat, sosial ekonomi, kebudayaan dan pembinaan
alam lingkungan yang dikenal sebagai sustainable development atau pengembangan
berkesinambungan.
Langkah awal yang harus ditempuh adalah
menanamkan kesadaran tinggi tentang perlunya perubahan dan dinamik yang
futuristik. Penggarapan secara sistematik dengan pendekatan proaktif, untuk
mendorong terbangunnya proses pengupayaan (the
process of empowerment), umat membangun dan memelihara akhlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar