OLEH Indra J Piliang
Ketua
Dewan Pendiri Nangkodo Baha Institute
Indra J Piliang |
Dalam rangka mengisi waktu luang ketika
menghadiri acara Partai Golkar di Kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman,
saya berkesempatan memancing di pantai Piaman Laweh. Atas jasa baik Pak Akhir,
mantan Kepala Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri (SUPMN) Pariaman, saya
dan sejumlah teman berlayar ke lautan biru.
Semula, kami merencanakan untuk
memancing pada malam hari. Tetapi, kondisi muara sungai Batang Naras sedang
pasang elang (tidak tinggi), maka kapal tidak bisa melaut. Terpaksa kami
menunggu pagi hari, lalu berangkat pada 19 Juli 2011.
Ombak menampar-nampar. Perjalanan yang
terasa menantang. Kapal tergoncang. Pengalaman yang sudah lama tidak saya
rasakan dan alami. Terakhir kali menyeberangi laut dengan motor boat saya
lakukan dari Ternate ke Tidore tahun 2008, bolak-balik. Dan perahu kami
mendekati perahu nelayan yang sendirian memancing ikan. Sejumlah teman jatuh
terkapar, mabok laut.
Siangnya, kami singgah di Pulau Kasiak
(Pulau Pasir) milik Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Sejumlah pekerja
sedang membangun tempat tinggal bagi petugas menara mercusuar yang dipasang di
pulau itu. Pulau kecil yang indah khas tropis. Matahari menyengat. Sekitar
pukul tiga sore baru kami ke laut lagi, memancing, setelah puas bermain di
Pulau Kasiak.
Saya tentu tak ingin bercerita soal apa
yang kami rasakan dan lihat selama perjalanan memancing itu. Yang saya sadari
kemudian, ternyata “orang Pariaman” tidak bisa melaut. Lalu, bagaimana dengan
nasib Anggun Nan Tongga yang sudah berubah menjadi hotel? Bagaimana juga dengan
Nangkodo Baha? Apakah benar suku bangsa Minangkabau tidak memiliki pengetahuan
yang cukup tentang dunia maritim? Ataukah kemaritiman identik dengan Malin
Kundang, seorang anak yang lahir miskin, lalu menjadi saudagar di rantau orang
dan dianggap durhaka kepada ibunya?
***
Sumatera Barat langsung berbatasan dengan
Lautan Hindia. Di sinilah dulu, pada akhir abad ke 16, para pedagang Eropa
berdatangan dan melayarkan kapal menuju Pulau Jawa hingga Ternate dan Tidore.
Pantai Pariaman salah satu menjadi tempat persinggahan itu, selain Tiku di
Agam. Hanya saja, melihat Pariaman dan Padang Pariaman dari arah lautan, terasa
sekali betapa sulitnya mencari muara untuk melabuhkan kapal. Apalagi pelabuhan
yang memang dibuat oleh manusia, sama sekali tidak ada.
Padahal, pelabuhan adalah jembatan bagi
dunia darat dan dunia laut. Tanpa ada pelabuhan, sulit sekali bagi kapal-kapal
skala kecil dan menengah untuk bersandar. Perahu-perahu barangkali dengan mudah
bisa dibawa ke muara sungai atau dihela bersama-sama naik ke pasir pantai. Tapi
kapal jelas tidak bisa. Kalau tidak ada pelabuhan, bagaimana manusia, ikan,
ataupun hasil angkutan laut lainnya bisa didaratkan?
Kalau dihitung, dari 19 kabupaten dan
kota di Sumbar, terdapat 7 kabupaten dan kota yang memiliki lautan, yakni
Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kota
Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Kepulauan
Mentawai. Artinya, terdapat 7 Dinas Kelautan dan Perikanan di Sumbar, ditambah
dengan Dinas Kelautan dan Perikanan di tingkat provinsi. Dari sini saja
terlihat betapa laut menjadi wilayah yang dibelah-belah oleh dinas-dinas
pemerintahan daerah.
Padahal, ketika saya memancing sore
harinya, laut membawa kami hanyut sampai ke Tiku, Kabupaten Agam. Soalnya, kapal
tidak ditambatkan. Sauh sama sekali tidak dilepaskan. Nah, kondisi ini sama
dengan para nelayan. Mereka datang dari pelbagai daerah, lalu memasuki wilayah
laut yang luas itu. Tidak ada pagar di lautan biru itu. Pantai Pariaman yang
dimasuki pelaut dari Sibolga atau Pesisir Selatan atau Jawa, sudah biasa.
Sebagian malah menggunakan bom ikan, sehingga merusak terumbu karang.
Dinas-dinas pemerintah sama sekali tak terlihat ramai, ketika kasus-kasus
seperti itu terjadi.
Luasnya laut dan banyaknya dinas, jelas
kurang efektif bagi pengelolaan laut dan isinya, berikut penduduk yang mencari
makan di dalamnya. Saya kira akan jauh lebih efektif dan efisien apabila
dinas-dinas kelautan di masing-masing kabupaten dan kota di Sumbar ini
disatukan. Selain nelayan yang diatur sedikit, masalah yang dihadapi di lautan
juga tidak terlalu banyak. Dengan penyatuan kekuatan, akan ada usaha yang lebih
serius lagi di depan untuk memajukan bidang kelautan dan perikanan di Sumbar.
***
Di luar laut, nelayan ataupun dinas-dinas
pemerintah, patut kita pikirkan kembali kehadiran maritim dalam kebudayaan
Minangkabau. Dari tambo kita tahu betapa daerah pesisir dianggap mewakili
daerah rantau. Akibatnya, sebagai daerah rantau, daerah pesisir kurang mewakili
struktur “pemerintahan” adat di ranah Minang. Yang lebih celaka lagi, daerah
pesisir dianggap sebagai pintu masuk segala sesuatu yang merusat adat dan
budaya Minangkabau.
Daerah pesisir dan laut telah menjadi
anak tiri dalam kebudayaan Minangkabau. Akibatnya, perlakuan atas pesisir dan
laut juga tidak selayaknya. Bupati Padang Pariaman (yang meliputi Kota Pariaman
dan Kabupaten Kepulauan Mentawai) Anas Malik, dulu, membersihkan pantai
Pariaman dari kotoran manusia. Pekerjaan yang justru mengharumkan namanya.
Hanya saja, sampai sekarang, nasib pesisir bagaikan halaman belakang sebuah
rumah yang tak boleh terlihat oleh tamu.
Sudah saatnya Sumatera Barat memikirkan
lagi perkembangan daerah pesisir dan laut, berikut para nelayan yang
mempertaruhkan hidup di dalamnya. Paling tidak, saya melihat ada beberapa kapal
nelayan yang tidak digunakan, milik Pemda Kabupaten Padang Pariaman. Menurut
informasi yang saya peroleh, kapal-kapal pemberian pemerintah pusat itu sulit
melaut. Pertama, biaya pembelian bahan bakarnya yang mahal. Kedua, konstruksinya
yang tidak sesuai dengan laut Sumbar yang bergejolak.
Padahal, dari lautlah sejumlah nama
terkenal di jagat mitologi Minangkabau, termasuk Malin Kundang, Anggun Nan
Tongga dan Nangkodo (Nahkoda) Baha. Diperlukan penggalian yang lebih dalam atas
model-model teknologi yang pernah digunakan di laut oleh rakyat Sumatera Barat.
Begitu juga hubungan perdagangan, agama, budaya dan politik yang pernah begitu
hiruk-pikuk di pantai barat Sumatera pada abad-abad lampau.
Dari sana, sudah saatnya memikirkan
kebudayaan maritim di Minangkabau. Kontruksi yang sudah ada dalam tradisi,
tinggal digali dan ditelusuri dengan visi yang jauh menjangkau ke depan. Kalau
tidak, Sumatera Barat hanya akan tergantung kepada kebudayaan agraris yang
semakin lama semakin terdesak oleh kemajuan zaman. Begitulah…n
Indra J Piliang, The
Indonesian Institute, Jln Wahid Hasyim No. 194, Jakarta Pusat. Twitter:
@IndraJPiliang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar