Sabtu, 19 April 2014

Melacak Asal Dongeng

OLEH Maya Lestari Gf
Penulis

Dongeng selalu memiliki tempat di berbagai kebudayaan. Dari Asia hingga Eropa, dari kumpulan kecil keluarga Suku Inuit di Kutub Utara hingga kota-kota metropolitan dunia, dongeng selalu hadir, terutama di tengah kanak-kanak. Dongeng sejak dahulu telah dianggap sebagai media yang baik untuk mengajarkan nilai-nilai positif. Kisah-kisah kebaikan, kepahlawanan, kejujuran selalu mewarnai hampir setiap dongeng di dunia. Di Indonesia kita mengenal kisah Bawang Putih dan Bawang Merah yang mirip dengan kisah Cinderella di Perancis, Ashputtel di Jerman, Katie Woodencloak di Norwegia, dan Little Saddleslut di Yunani. Di berbagai kebudayaan lain juga dikenal dongeng semisal Pangeran Katak, yang mengisahkan pangeran yang dikutuk jadi katak, lalu berbalik jadi pangeran kembali setelah dicium seorang putri. 

Kisah ini dijumpai dalam berbagai versi seperti Legenda Katak milik suku Indian Inuit di Alaska, Sang Katak di Tibet, Pangeran Katak di Srilanka serta kisah Katak yang Menjadi Kaisar di China. Apapun kisah dongeng itu nilai-nilai yang diajarkan nyaris sama, yakni kesabaran, kerendahhatian, kejujuran dan kepahlawanan.

Bila membaca ragam dongeng di dunia, kita akan menjumpai satu hal menarik. Bukan saja berkait dengan nilai, tapi juga persamaan kisah-kisahnya. Satu cerita dikisahkan dalam beragam versi semisal kisah Cinderella dan Pangeran Katak di atas. Dongeng-dongeng lainnya juga sama. Misalnya kisah Red Riding Hood (Gadis Kecil Bertudung Merah) yang terkenal. Menurut DR Jamie Tehrani, seorang antropolog budaya  dari  Universitas Durham, dikutip dari tulisan Richard Grey di Telegraph, memiliki 35 versi. Dongeng yang mengisahkan gadis cilik bertudung merah yang dimakan serigala ini bisa ditemui di China, Iran, Prancis, Jerman, Afrika dan lainnya. Dongeng Rapunzel adalah contoh lainnya. Dongeng yang mengisahkan seorang gadis cantik berambut panjang yang disekap dalam menara oleh penyihir ini hadir di Jerman, Perancis, Afrika, Denmark, Asia, Afrika. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa satu cerita bisa ada dalam banyak kebudayaan? Bukankah pada zaman dahulu belum ada teknologi mesin cetak yang memungkinkan manusia memproduksi buku-buku cerita dan menjualnya secara masif? Bila mengacu pada teori penyebaran manusia, bisa jadi semua cerita ini berasal dari tempat yang sama, lalu ketika sebagian manusia di tempat tersebut bermigrasi ke berbagai penjuru dunia, kisah-kisah itu pun ikut bermigrasi dan akhirnya menjadi folklore pula di tempat baru. Jika memang benar demikian, maka yang menarik untuk diketahui adalah, seberapa kuat dongeng ini memberi pengaruh pada kehidupan manusia sehingga terus dibawa dan selalu mendapat tempat dimanapun berada. Tak hanya itu, dongeng pun diwariskan dari generasi ke generasi.

Perlambang Kehidupan

Bila menilik dari berbagai kajian tentang dongeng, setidaknya ada dua sebab mengapa dongeng dilahirkan. Pertama, dongeng salah satu bentuk penghormatan manusia zaman dahulu pada alam, termasuk ke dalamnya penghormatan pada para dewa. Teori ini biasa disebut Sun Myth Theory. Disebutkan, bahwa dongeng sebenarnya merupakan cermin dari pengalaman manusia saat berhubungan dengan alam. Angin dikisahkan sebagai burung bahkan kadang monster, raja merupakan perlambang dari matahari dan ratu perlambang dari bulan. Makna ini perlahan hilang seiring waktu, sehingga yang tinggal cerita belaka (Laura F. Kready B.S, A Study of Fairy Tales)

Kedua, dongeng merupakan kisah manusia itu sendiri, namun diceritakan dalam bentuk kiasan atau lambang-lambang. Pendapat ini dikemukakan oleh DR. Jamie Tehlani. Ia mencontohkan kisah The Red Riding Hood. Dongeng ini menurutnya bisa jadi lahir dari peristiwa kekerasan yang dialami anak-anak. Mungkin peristiwa ini berujung pada akhir hidup yang sangat tragis. Tokoh serigala dalam dongeng ini merupakan perlambang dari si penjahat.

Kisah kekerasan ini juga tampak dalam Hansel dan Gretel. Bruno Bettleheim, seorang penulis dan psikolog anak Amerika Serikat menyebutkan kisah Hansel dan Gretel—sebuah kisah dimana dua anak ditinggal kedua orangtuanya di hutan, lalu ditemukan penyihir yang suka memakan anak-anak, syukurnya dua anak ini berhasil menyelamatkan diri, merupakan kisah tentang ketakutan anak-anak diabaikan orangtuanya sendiri. Sementara menurut peneliti dongeng Jack Zipes dan Maria Tatar kisah ini berkemungkinan lahir ketika zaman paceklik melanda, kelaparan terjadi di mana-mana. Orangtua yang merasa tak sanggup memberi makan anak-anaknya, meninggalkan kedua anaknya di hutan, membiarkan dua anaknya yang masih kecil menentukan nasib sendiri. (John K. Davis, The History of Hansel and Gretel Tales).  Sosok penyihir mungkin perlambang penjahat yang menemukan anak-anak tersebut. Bisa jadi penjahat itu seorang (yang terpaksa jadi) kanibal karena langkanya makanan. Kisah ini, seindah apapun dipoles, tetap saja akan terdengar mengerikan bagi anak-anak.

Teori yang kedua ini mungkin menemukan pembenarannya pada kisah Cinderella. Sebagaimana yang ditulis sejarahwan Yunani, Strabo. Kisah Cinderella merujuk pada nasib mujur yang menimpa Rhodopis, seorang budak rupawan yang tinggal di Naucratis, daerah koloni Mesir. Disebutkan, suatu hari saat Rhodopis mandi, seekor elang mengambil sandalnya, menerbangkannya ke Memphis dan menjatuhkannya tepat di atas kepala raja. Terpesona oleh keindahan lekuk sandal tersebut, sang raja memerintahkan orang-orang untuk mencari si pemilik sandal. Rhodopis yang elok lalu ditemukan, kemudian—seperti yang kita ketahui, dinikahi sang raja. Cerita ini kemudian tersebar dan dikisahkan dalam berbagai versi. Di versi yang paling terkenal, versi Charles Perrault, ditambahkan elemen lain seperti ibu peri, kereta labu, tikus yang menjadi kuda, jam 12 malam dan sepatu kaca.

Abadi Karena Fleksibel

Hampir semua dongeng di dunia memiliki usia yang panjang, mencapai ribuan tahun. Kisah-kisahnya seolah  abadi. Mengapa usia dongeng-dongeng ini bisa sedemikian panjang? Setidaknya ada beberapa penjelasan.

Pertama, kisah-kisahnya familiar dengan kehidupan nyata. Kisah Red Riding Hood juga Hansel dan Gretel ditemukan hampir sepanjang zaman, sepanjang peradaban. Kekerasan terhadap anak seperti tak akan pernah hilang. Mungkin karena itu dongeng-dongeng ini terus dikisahkan, menjadi semacam kearifan lokal untuk menjaga hidup anak-anak.

Kedua, sebagian dongeng  memenuhi fantasi manusia terhadap kemapanan dan kejayaan. Ini tampak pada kisah Cinderella dan Pangeran Katak. Dua tokoh cerita ini digambarkan begitu beruntung karena derajat sosialnya terangkat setelah dinikahi bangsawan. Kisah-kisah semacam ini sering terjadi. Beberapa waktu lalu berbagai media menyebut Kate Middleton sebagai Cinderella abad ini. Disebabkan ia menikah dengan Pangeran William, calon raja Inggris.

Ketiga, dongeng dalam perkembangannya menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai hidup pada anak-anak. Ini membuat berbagai dongeng mengalami revisi di banyak tempat, sesuai standar si pengisah juga standar nilai yang ada di tempat tersebut. Dongeng menjadi fleksibel dankarenanya mudah diterima dan diwariskan. Kisah Red Riding Hood misalnya, dalam versi Prancis, si gadis bertudung merah tewas dimangsa serigala, dalam versi Jerman si gadis diselamatkan pemburu, dan dalam versi China diselamatkan neneknya. Kisah Hansel dan Gretel dalam satu versi ditelantarkan oleh ibu kandungnya sendiri, namun di versi Jerman ditelantarkan ibu tirinya. Adanya perubahan cerita juga merupakan tanda bahwa kisah versi asli mungkin kurang pas ditujukan ke anak-anak. Di sini tampak adanya kesadaran akan tingkat penerimaan anak-anak. Pendongeng yang terkenal berusaha meng’anak-anakkan’ dongeng adalah duo bersaudara Grimm yang bertahun-tahun menghabiskan waktu mengumpulkan ratusan dongeng. Dua bersaudara ini kerap melakukan perubahan mencolok pada dongeng-dongeng yang mereka ceritakan ulang.


Agaknya, dongeng-dongeng yang kita kenal sekarang masih akan terus bertahan hingga berpuluh, beratus bahkan mungkin beribu tahun lagi. Bahkan bukan tak mungkin, usaha memodifikasi kisah-kisahnya akan terus berlanjut. Selama kisah-kisahnya dipandang baik dan indah, setiap generasi akan terus mengisahkannya, hingga dunia sastra mencatatnya sebagai kanon. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...