OLEH Maya Lestari Gf
Penulis
Dongeng selalu memiliki tempat di berbagai kebudayaan.
Dari Asia hingga Eropa, dari kumpulan kecil keluarga Suku Inuit di Kutub Utara
hingga kota-kota metropolitan dunia, dongeng selalu hadir, terutama di tengah
kanak-kanak. Dongeng sejak dahulu telah dianggap sebagai media yang baik untuk
mengajarkan nilai-nilai positif. Kisah-kisah kebaikan, kepahlawanan, kejujuran
selalu mewarnai hampir setiap dongeng di dunia. Di Indonesia kita mengenal
kisah Bawang Putih dan Bawang Merah yang mirip dengan kisah Cinderella di
Perancis, Ashputtel di Jerman, Katie Woodencloak di Norwegia, dan Little
Saddleslut di Yunani. Di berbagai kebudayaan lain juga dikenal dongeng semisal
Pangeran Katak, yang mengisahkan pangeran yang dikutuk jadi katak, lalu
berbalik jadi pangeran kembali setelah dicium seorang putri.
Kisah ini dijumpai
dalam berbagai versi seperti Legenda Katak milik suku Indian Inuit di Alaska,
Sang Katak di Tibet, Pangeran Katak di Srilanka serta kisah Katak yang Menjadi
Kaisar di China. Apapun kisah dongeng itu nilai-nilai yang diajarkan nyaris
sama, yakni kesabaran, kerendahhatian, kejujuran dan kepahlawanan.
Bila membaca ragam dongeng di dunia, kita akan
menjumpai satu hal menarik. Bukan saja berkait dengan nilai, tapi juga
persamaan kisah-kisahnya. Satu cerita dikisahkan dalam beragam versi semisal
kisah Cinderella dan Pangeran Katak di atas. Dongeng-dongeng lainnya juga sama.
Misalnya kisah Red Riding Hood (Gadis Kecil Bertudung Merah) yang terkenal. Menurut
DR Jamie Tehrani, seorang antropolog budaya dari Universitas
Durham, dikutip dari tulisan Richard Grey di Telegraph, memiliki 35 versi.
Dongeng yang mengisahkan gadis cilik bertudung merah yang dimakan serigala ini
bisa ditemui di China, Iran, Prancis, Jerman, Afrika dan lainnya. Dongeng
Rapunzel adalah contoh lainnya. Dongeng yang mengisahkan seorang gadis cantik
berambut panjang yang disekap dalam menara oleh penyihir ini hadir di Jerman,
Perancis, Afrika, Denmark, Asia, Afrika. Dari sini muncul pertanyaan, mengapa
satu cerita bisa ada dalam banyak kebudayaan? Bukankah pada zaman dahulu belum
ada teknologi mesin cetak yang memungkinkan manusia memproduksi buku-buku
cerita dan menjualnya secara masif? Bila mengacu pada teori penyebaran manusia,
bisa jadi semua cerita ini berasal dari tempat yang sama, lalu ketika sebagian
manusia di tempat tersebut bermigrasi ke berbagai penjuru dunia, kisah-kisah
itu pun ikut bermigrasi dan akhirnya menjadi folklore pula di tempat
baru. Jika memang benar demikian, maka yang menarik untuk diketahui adalah, seberapa
kuat dongeng ini memberi pengaruh pada kehidupan manusia sehingga terus dibawa
dan selalu mendapat tempat dimanapun berada. Tak hanya itu, dongeng pun
diwariskan dari generasi ke generasi.
Perlambang Kehidupan
Bila menilik dari berbagai kajian tentang dongeng,
setidaknya ada dua sebab mengapa dongeng dilahirkan. Pertama, dongeng salah
satu bentuk penghormatan manusia zaman dahulu pada alam, termasuk ke dalamnya
penghormatan pada para dewa. Teori ini biasa disebut Sun Myth Theory.
Disebutkan, bahwa dongeng sebenarnya merupakan cermin dari pengalaman manusia
saat berhubungan dengan alam. Angin dikisahkan sebagai burung bahkan kadang
monster, raja merupakan perlambang dari matahari dan ratu perlambang dari
bulan. Makna ini perlahan hilang seiring waktu, sehingga yang tinggal cerita
belaka (Laura F. Kready B.S, A Study of Fairy Tales)
Kedua, dongeng merupakan kisah manusia itu sendiri,
namun diceritakan dalam bentuk kiasan atau lambang-lambang. Pendapat ini
dikemukakan oleh DR. Jamie Tehlani. Ia mencontohkan kisah The Red Riding Hood.
Dongeng ini menurutnya bisa jadi lahir dari peristiwa kekerasan yang dialami
anak-anak. Mungkin peristiwa ini berujung pada akhir hidup yang sangat tragis.
Tokoh serigala dalam dongeng ini merupakan perlambang dari si penjahat.
Kisah kekerasan ini juga tampak dalam Hansel dan
Gretel. Bruno Bettleheim, seorang penulis dan psikolog anak Amerika Serikat
menyebutkan kisah Hansel dan Gretel—sebuah kisah dimana dua anak ditinggal
kedua orangtuanya di hutan, lalu ditemukan penyihir yang suka memakan
anak-anak, syukurnya dua anak ini berhasil menyelamatkan diri, merupakan kisah
tentang ketakutan anak-anak diabaikan orangtuanya sendiri. Sementara menurut
peneliti dongeng Jack Zipes dan Maria Tatar kisah ini berkemungkinan lahir
ketika zaman paceklik melanda, kelaparan terjadi di mana-mana. Orangtua yang
merasa tak sanggup memberi makan anak-anaknya, meninggalkan kedua anaknya di
hutan, membiarkan dua anaknya yang masih kecil menentukan nasib sendiri. (John
K. Davis, The History of Hansel and Gretel Tales). Sosok penyihir mungkin perlambang penjahat
yang menemukan anak-anak tersebut. Bisa jadi penjahat itu seorang (yang
terpaksa jadi) kanibal karena langkanya makanan. Kisah ini, seindah apapun
dipoles, tetap saja akan terdengar mengerikan bagi anak-anak.
Teori yang kedua ini mungkin menemukan pembenarannya
pada kisah Cinderella. Sebagaimana yang ditulis sejarahwan Yunani, Strabo. Kisah
Cinderella merujuk pada nasib mujur yang menimpa Rhodopis, seorang budak
rupawan yang tinggal di Naucratis, daerah koloni Mesir. Disebutkan, suatu hari
saat Rhodopis mandi, seekor elang mengambil sandalnya, menerbangkannya ke
Memphis dan menjatuhkannya tepat di atas kepala raja. Terpesona oleh keindahan
lekuk sandal tersebut, sang raja memerintahkan orang-orang untuk mencari si
pemilik sandal. Rhodopis yang elok lalu ditemukan, kemudian—seperti yang kita
ketahui, dinikahi sang raja. Cerita ini kemudian tersebar dan dikisahkan dalam
berbagai versi. Di versi yang paling terkenal, versi Charles Perrault,
ditambahkan elemen lain seperti ibu peri, kereta labu, tikus yang menjadi kuda,
jam 12 malam dan sepatu kaca.
Abadi Karena Fleksibel
Hampir semua dongeng di dunia memiliki usia yang
panjang, mencapai ribuan tahun. Kisah-kisahnya seolah abadi. Mengapa usia dongeng-dongeng ini bisa
sedemikian panjang? Setidaknya ada beberapa penjelasan.
Pertama, kisah-kisahnya familiar dengan kehidupan
nyata. Kisah Red Riding Hood juga Hansel dan Gretel ditemukan hampir sepanjang
zaman, sepanjang peradaban. Kekerasan terhadap anak seperti tak akan pernah
hilang. Mungkin karena itu dongeng-dongeng ini terus dikisahkan, menjadi semacam
kearifan lokal untuk menjaga hidup anak-anak.
Kedua, sebagian dongeng memenuhi fantasi manusia terhadap kemapanan
dan kejayaan. Ini tampak pada kisah Cinderella dan Pangeran Katak. Dua tokoh
cerita ini digambarkan begitu beruntung karena derajat sosialnya terangkat
setelah dinikahi bangsawan. Kisah-kisah semacam ini sering terjadi. Beberapa
waktu lalu berbagai media menyebut Kate Middleton sebagai Cinderella abad ini.
Disebabkan ia menikah dengan Pangeran William, calon raja Inggris.
Ketiga, dongeng dalam perkembangannya menjadi media
untuk mengajarkan nilai-nilai hidup pada anak-anak. Ini membuat berbagai
dongeng mengalami revisi di banyak tempat, sesuai standar si pengisah juga
standar nilai yang ada di tempat tersebut. Dongeng menjadi fleksibel dankarenanya
mudah diterima dan diwariskan. Kisah Red Riding Hood misalnya, dalam versi
Prancis, si gadis bertudung merah tewas dimangsa serigala, dalam versi Jerman
si gadis diselamatkan pemburu, dan dalam versi China diselamatkan neneknya.
Kisah Hansel dan Gretel dalam satu versi ditelantarkan oleh ibu kandungnya
sendiri, namun di versi Jerman ditelantarkan ibu tirinya. Adanya perubahan
cerita juga merupakan tanda bahwa kisah versi asli mungkin kurang pas ditujukan
ke anak-anak. Di sini tampak adanya kesadaran akan tingkat penerimaan
anak-anak. Pendongeng yang terkenal berusaha meng’anak-anakkan’ dongeng adalah
duo bersaudara Grimm yang bertahun-tahun menghabiskan waktu mengumpulkan
ratusan dongeng. Dua bersaudara ini kerap melakukan perubahan mencolok pada dongeng-dongeng
yang mereka ceritakan ulang.
Agaknya, dongeng-dongeng yang kita kenal sekarang
masih akan terus bertahan hingga berpuluh, beratus bahkan mungkin beribu tahun
lagi. Bahkan bukan tak mungkin, usaha memodifikasi kisah-kisahnya akan terus
berlanjut. Selama kisah-kisahnya dipandang baik dan indah, setiap generasi akan
terus mengisahkannya, hingga dunia sastra mencatatnya sebagai kanon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar