OLEH Willson Gustiawan
Dosen
Politeknik Negeri Universitas Andalas Padang dan Pecinta Kereta Api
Suara tut…tut…tut,
sinyal nyala, serangkaian kereta siap masuk stasiun. Setelah melewati
ampang-ampang perlintasan sebidang. Lokomotif bergerak di rel bergigi, melambat
untuk beristirahat sejenak. Lalu siap melanjutkan perjalanan melewati kawasan
berpemandangan elok di Sumatera Barat.
Kereta api Sumatera
Barat, pada masa jayanya melayani penumpang dan barang di berbagai rute. Kereta
api melayani relasi Payakumbuh sampai Padang, Sawahlunto sampai Teluk Bayur
Padang. Ujung rel di Sungai Limau dan Limbanang juga pernah dilewati. Bahkan
jalur sampai ke Pekanbaru melalui Muaro. Total, jalur kereta api di Sumatera
Barat mencapai 240 km.
Kejadian seperti
demikian, untuk sementara ini, barangkali telah menjadi cerita semata.
Setidak-tidaknya untuk daerah yang jalur kereta apinya sedang nonaktif. Tidak
demikian untuk masyarakat sepanjang Padang sampai Pariaman yang telah menikmati
Kereta Api (KA) Dang Tuanku. Setiap minggu KA Wisata Singkarak membawa
wisatawan dari Padang Panjang ke Sawahlunto pulang pergi. Sedikit waktu lagi,
akan diaktifkan KA Cindua Mato untuk relasi Padang–Padang Panjang. Hal yang
lebih menggembirakan lagi, Sumatera Barat akan kedatangan “railbus” yang akan
melayani masyarakat perkotaan Padang.
Sejarah Singkat
Jika menelisik
sejarahnya, jalur kereta api di Sumatera Barat dimulai dengan keputusan
pemerintah kolonial untuk membangun jalur dari Sawahlunto ke Teluk Bayur
melalui Padang Panjang pada tahun 1878 guna mengangkut batubara. Jalur dibangun
melewati Lembah Anai.
Tahun 1892,
diresmikan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur), sekalian pembukaan jalur kereta
api Padang-Teluk Bayur dan Solok-Muara Kalaban. Setahun sebelumnya juga telah
diresmikan jalur Padang-Padang Panjang. Setelah itu, dibuka pula jalur mendaki
melalui Koto Baru ke Bukittinggi, dan Payakumbuh. Mengingat kondisi alam
Minangkabau, beberapa segmen jalur rel kereta api diberi rel bergigi.
Demikianlah,
perkeretaapian Sumatera Barat beroperasi mendukung kegiatan perekonomian sejak
zaman Belanda, dan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Dalam alam kemerdekaan menjadi sarana transportasi unggulan sampai dengan tahun
1980-an.
Seiring menipisnya
cadangan batubara di Sawahlunto, sejak 2003 kejayaan kereta api Sumatera Barat
mulai memudar. Sayang, warisan peninggalan pemerintah kolonial bermuatan
sejarah itu terbengkalai, sehingga harus ada upaya pelestarikannya.
Diskusi Perkeretaapian
Untuk menggiatkan
kembali perkeretaapian Sumatera Barat, baru-baru ini di Stasiun Padang Panjang
diadakan diskusi yang digagas oleh Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), The
Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) bersama PT Kereta Api Indonesia
(Persero) Divisi Regional II Sumatera Barat.
Dalam diskusi
tersebut mengemuka beberapa hal antara lain, kondisi sarana dan prasarana
kereta api; optimalisasi kereta wisata, pengembangan potensi aset jaringan
kereta api; pengembangan potensi angkutan komoditas; mendorong percepatan shortcut Padang-Solok; pemberdayaan
sinergi dan dukungan pemerintah dan pemda, legislatif, dan badan usaha;
mempercepat studi kelayakan pengembangan jalur Bukittinggi-Limbanang, dan Pulau
Air-Padang; dan sosialisasi UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Hasil
diskusi ini akan dielaborasi lebih lanjut dalam bentuk seminar nasional
perkeretaapian Sumatera Barat.
Ketiadaan onderdil
mesin menyebabkan penumpukan loko yang tak terpakai lagi di berbagai dipo
terutama di Simpang Haru. Prasarana kereta api meliputi antara lain stasiun,
rel, jembatan, perlintasan, sinyal, dan lain sebagainya di beberapa jalur
nonaktif kondisinya sangat memprihatinkan. Rel kereta api telah menjadi “rail
estate” karena bangunan berada di atas rel. Rel terpotong, tanah digerus,
stasiun berubah fungsi merupakan pemandangan lazim. Banyak kelengkapan stasiun
yang terbengkalai atau tertimbun. Contohnya round
table di Stasiun Koto Baru sudah tidak bisa ditemukan lagi. Jembatan telah
berkarat tak terawat dan bantalannya banyak yang sudah lapuk dan hilang. Hampir
semua perlintasan sebidang dengan jalan raya, sudah terbenam dalam aspal.
Sinyal-sinyal banyak yang berdiri layu di antara halaman dan atap rumah-rumah
semi permanen.
Kereta wisata
Singkarak melayani para wisatawan dari Stasiun Padang Panjang ke Sawahlunto dan
sebaliknya. Kereta loko uap E 10 60, warisan peninggalan kolonial atau lebih
dikenal sebagi “Mak Itam” melayani rute wisata pendek Sawahlunto-Muaro Kalaban.
Kedua kereta wisata ini perlu dioptimalkan lagi agar tidak menjadi beban bagi
PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan pemerintah daerah. Kurangnya pemasaran,
membuat rute ini sempat berhenti operasi.
Pengembangan potensi
aset jaringan kereta api perlu juga mendapat perhatian pemangku kepentingan.
Jaringan kereta api belum menyentuh daerah Sumatera Barat bagian utara, dimana
potensi komoditas telah jauh berkembang dan memerlukan sarana angkutan yang
ekonomis dan cepat. Dalam hal ini jaringan kereta api dapat dikembangkan ke
daerah Pasaman, disambungkan lagi ke daerah Riau menuju perairan Selat Malaka
sebagai gerbang pelabuhan pengiriman komoditas ke wilayah timur. Jalur rintisan
ini diharapkan dapat menjadi pengumpan (feeder)
yang dapat diintegrasikan dengan rencana jalur Trans Sumatera Railway dari Aceh
sampai Lampung.
Selain jalur itu,
perlu dipercepat rencana jalan memotong (shortcut)
antara Padang dan Solok sebagai bagian
dari jaringan Padang-Pekanbaru. Jalur nonaktif dari Padang Panjang ke Limbanang
agaknya perlu diaktifkan kembali. Jalur nonaktif yang tak kalah potensial
diaktifkan adalah Pulau Air-Padang Simpang Haru. Jalur ini dapat digunakan
untuk menjalankan railbus untuk melayani masyarakat perkotaan Padang. Railbus
dapat dioperasikan sampai ke Duku untuk melayani penumpang pesawat udara yang
ingin ke Bandara Internasional Minangkabau. Bahkan, railbus ini sangat
potensial melayani penumpang sampai ke Pariaman.
Terbitnya UU No 23
Tahun 2007 tentang Perkeretaapian masih belum banyak diketahui oleh khalayak
ramai. Hadirnya undang-undang tersebut akan menjawab pernyataan tentang pihak
mana yang bertanggungjawab sebagai
operator, pengelola, pemilik dan pengambil kebijakan. Persoalan perkeretaapian
tentunya memerlukan sinergi dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait
seperti pemerintah dan pemda, legislator di pusat dan daerah, dan badan usaha
milik pemerintah maupun swasta dan masyarakat secara umum.
Mambangkik Batang Tarandam
Membangkitkan
kembali perkeretaapian Sumatera Barat, tidak mungkin dibebankan seluruhnya
kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) sendiri saja yang menurut UU
Perkeretaapian adalah sebagai operator. Di samping itu, peran pemerintah,
legislatif, swasta dan masyarakat juga tidak bisa dikesampingkan. Kesemuanya
harus turun tangan untuk mengembangkan perkeretaapian di Sumatera Barat.
Kereta api Sumatera
Barat saat ini harus dibangkitkan kembali. Batang itu memang telah bangkit yang
selama ini sempat terendam, tetapi belum lagi muncul dari permukaan air. Kita
mendambakan kembali peran kereta api sebagai sarana transportasi andalan, di tengah
kondisi sarana transportasi darat lainnya yang tak lepas dari kemacetan pada
waktu dan jalur tertentu, pengemudi yang ugal-ugalan, tarif yang tidak murah,
dan lain sebagainya. Mudah-mudahan pada saatnya nanti, perkeretaapian Sumatera
Barat benar-benar bangkit, menjemput masa jayanya seperti dahulu. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar