Kamis, 03 April 2014

Kondisi Pariwisata Sumbar Setelah “G 30 S”

OLEH DR Abdullah Rudolf Smit CTM CHt-IBH
Praktisi dan Konsultan Pariwisata dan menetap di Sumatra Barat sejak 2002

Bila pertanyaan ini diajukan kepada para praktisi pariwisata di Kota Padang saat ini, maka jawaban yang akan diberikan pasti bernada negatif. Sudah tentu yang dimaksud dengan praktisi pariwisata di sini bukanlah pemilik hotel bintang empat satu-satunya yang masih berdiri setelah G30S (Gempa 30 September 2009), tetapi pengelola biro perjalanan wisata, pendukung pariwisata seperti toko cenderamata, kedai/lapau, rumah makan/restoran, angkutan taksi, armada transportasi, dan lain-lain.

Pengelola hotel di Bukittinggi mengeluhkan turunnya jumlah orang yang menginap. Saya berani menyatakan bahwa pariwisata provinsi saat ini menderita dan telah mematikan banyak usaha pariwisata berdasarkan pengakuan mereka secara pribadi  kepada saya. Perdebatan bisa saja terjadi dengan pemerintah daerah apalagi bila kita mengacu pada statistik yang dipergunakan untuk menjustifikasi pendapat masing-masing. Apalagi pemerintah akan selalu bernada positif dengan mengeluarkan angka-angka yang keabsahannya pun perlu dipertanyakan.
Gempa besar pada 2007  dan 2009 mengubah persepsi masyarakat terhadap gempa. Gawatnya adalah reaksi para “terdidik” yang lebih mempercayai SMS gelap dan selebaran-selebaran tak bertanggung jawab daripada pemerintah dan para ilmuwan sehingga menularkan panik kepada masyarakat. Berita-berita seperti inilah yang sampai ke negeri jiran Malaysia dan para pemasok wisatawan asing disana membatalkan perjalanan wisatawan mereka ke Sumatra Barat.
Dampak buruk terhadap pariwisata dari bencana alam tidaklah permanen dimanapun di dunia. Walau untuk jangka pendek berakibat penurunan dari jumlah wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus) kondisi ini bisa dengan cepat diperbaiki apabila ada kegiatan promosi terintegrasi dari para pelaku pariwisata, pemerintah dan media. Pariwisata adalah sebuah kegiatan manusia yang tak akan surut karenanya pariwisata di Sumatra Barat tidak akan berhenti hanya saja menurun untuk sementara waktu.
Tak Ada Konsep Terintegrasi
Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah dan para pelaku wisata di Sumatra Barat bersatu untuk memasarkan provinsi ini sebagai sebuah destinasi unggulan. Dari tahun 2002 waktu saya pertama menginjakkan kaki di ranah Minang untuk bekerja, saya tidak melihat adanya sebuah konsep terintegrasi untuk menjadikan pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar. Pembangunan, pengembangan dan pelaksanaan pariwisata di provinsi ini tidak terkoordinir dan masing-masing pelaku termasuk pemerintah daerah tingkat II sepertinya tidak memahami apa itu pariwisata dan hanya memberikan ‘lip service’ alias asbun (asal bunyi) bila bicara pariwisata. Bahkan sebagian masyarakat masih menilai pariwisata sebagai sebuah kegiatan yang mengandung maksiat.
Perbedaan persepsi mengenai pariwisata membuat pembangunan dan pengembangan pariwisata berjalan di tempat. Reaksi terhadap bencana saja berbeda dan tidak ada upaya terpadu untuk mengatasinya. Ini disebabkan tidak adanya satu konsep yang disepakati bersama oleh pemerintah, pelaku usaha pariwisata dan masyarakat. Tanpa bencana pun kita sudah sering mendengar dan membaca di media bagaimana buruknya pelayanan terhadap wisatawan di Sumatra Barat. Permasalahan yang dihadapi bisa dari pemalakan atau kehadiran para preman di suatu obyek wisata sampai pelayanan yang kurang baik di beberapa obyek wisata. Semua ini bisa dikurangi dan bahkan dihilangkan, seperti di Pulau Dewata, bila ada persepsi yang sama perihal pariwisata.
Multiplier Effect
Salah satu istilah yang sering disebut tetapi kurang dipahami apalagi dihayati dan diamalkan adalah multiplier effect atau efek ganda dari pariwisata. Tidak ada suatu kegiatan yang memiliki efek ganda terbesar daripada pariwisata. Pariwisata bukan hanya suatu kegiatan ekonomi tetapi suatu kegiatan multidimensi yang mencakup segala aspek kehidupan baik itu sosial, psikologis, maupun ekonomi. Manusia berwisata bukan untuk membuang-buang uang tetapi untuk memenuhi kebutuhan psikologis. Manusia cenderung jenuh dan untuk memulihkan kondisi dan semangat hidup manusia membutuhkan penyegaran atau refreshing.
Salah satu cara menyegarkan jiwa dan pikiran adalah dengan melancong, berjalan-jalan ke daerah-daerah lain yang jauh dari tempat tinggal. Tindakan berjalan-jalan (travelling) ini baik secara perorangan atau berkelompok disebut pariwisata dan sudah tentu akan berdampak secara sosial akibat dari pertemuan manusia dari berbagai latar belakang budaya. Tetapi bila dikelola dengan baik benturan budaya (culture shock) dapat dihindari dan bahkan menciptakan saling pemahaman dan toleransi akan keanekaragaman manusia di muka bumi ini. Manfaat ekonomis dari pariwisata juga lebih merata daripada kegiatan ekonomi lainnya. Wisatawan membeli langsung cenderamata (souvenir) dari pengrajin atau pengusaha yang mengumpulkan berbagai cenderamata untuk dipasarkan bersama. Contoh yang jelas adalah kegiatan di Pasar Atas, Bukittinggi. Kebutuhan akan makanan dan minuman dalam perjalanan juga berdampak positif pada penjaja makanan dan minuman.
Kebutuhan akan tempat berteduh atau tempat tinggal juga membawa berkah dan usaha akomodasi muncul karena kebutuhan dasar manusia untuk tidur. Dampak meluas dari pariwisata inilah yang disebut dengan efek ganda atau multiplier effect.
Konsep Tak Terintegrasi
Sumatra Barat tidak memiliki konsep pariwisata terintegrasi. Bila kita sebut Bali maka dunia sudah tahu apa yang ditawarkan oleh Pulau Seribu Pura ini. Budaya berlatar Agama Hindu Khas Bali dan Alam Lingkungan seperti pantai, bukit, persawahan dan taman bawah laut. Kalau Sumatra Barat apa? Konsep pembangunan dan pengembangan obyek wisata juga tidak ada di Sumatra Barat.
Saya selalu menyampaikan kepada para pimpinan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota serta kepada para praktisi pariwisata swasta mengapa tidak menggunakan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah sebagai dasar konsep pariwisata Sumatra Barat. Istilah yang saya gunakan adalah “Minangkabau Islam, Islam Minangkabau”. Konsep ini sederhana saja. Para wisatawan dibawa melihat dan menikmati obyek-obyek wisata adat dan obyek-obyek wisata Islam. Mengapa kita tidak membawa wisatawan melihat Masjid Gantiang, misalnya, salah satu dari 5 masjid tertua di Pulau Sumatra? Di setiap destinasi atau daerah tujuan wisata di Sumatra Barat ada unsur adat dan agama. Mengapa tour-tour yang ada hanya menunjukkan obyek wisata adat? Di Singapura saja yang mayoritas penduduknya tidak beragama Islam memiliki Wisata Berjalan Kaki (Walking Tour) mengelilingi sebuah wilayah dan salah satu yang dikunjungi adalah sebuah Mmasjid bersejarah di dalam mana mereka diberi keterangan mengenai sejarah masjid dan Islam.
Terintegrasi berarti seluruh pembangunan dan pengembangan pariwisata di Sumatra Barat harus sambung menyambung dan berkelanjutan. Dari tingkat provinsi, turun ke tingkat kabupaten dan kota, semua mengacu pada hal yang sama. Bukan hanya Rencana Induk Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang diperlukan, tetapi pelaksanaannya harus dipastikan dijalankan sesuai konsep terintegrasi ini. Termasuk di dalamnya pola bertransaksi termasuk sanksi bagi mereka yang melanggar kesepakatan.
Jika Kota Sawahlunto membangun Taman Air atau Waterboom, kabupaten dan kota lain meniru hal yang sama. Ciri khas suatu daerah yang harus ditonjolkan bukan karena iri terhadap pembangunan di suatu wilayah. Semua pembangunan harus  berdasarkan skala prioritas. Mana yang lebih dahulu dibangun? Bukan berdasarkan selera kepala daerah, atau selera kepala dinas pariwisata, atau selera pemodal? Tetapi harus berdasarkan suatu studi kelayakan pemasaran yang dilakukan oleh ahli pemasaran pariwisata dan bukan oleh pemerintah yang tidak memiliki keahlian itu. Jadi, tidak ada dana yang mubazir apalagi dikorup.
Konsep pariwisata Sumatra Barat harus dengan visi bahwa bila wisatawan datang dan memiliki waktu sekian hari maka ia dapat mengelilingi provinsi ini dan melihat ciri-ciri khas berbagai destinasi bukan melihat yang itu-itu juga. Tidak perlu studi banding ke Bali, tetapi kita semua tahu bahwa Bali membangun berdasarkan keunikan setiap destinasi. Tidak ada yang sama.
Contohnya, apa yang bisa ditampilkan oleh Kota Padang? Pantai Air Manis? Kita ingin memperlihatkan Pantai Air Manis kepada wisatawan, tapi apakah pernah ada penelitian mengenai apa selera wisatawan bila mengunjungi ibukota seperti Padang? Mungkin mereka lebih suka melihat Masjid Gantiang daripada sebuah pantai yang pelayanannya sangat diragukan kualitasnya. Apa ciri khas Kota Padang? Katanya Padang adalah Kota Bingkuang? Kenapa saya belum pernah melihat hotel menawarkan minuman selamat datang (welcome drink) yang terbuat dari buah bingkuang. Kan setiap hotel dan restoran bisa membuat bingkuang juice yang bervariasi dari hotel ke hotel, dari restoran ke restoran?
Saya bisa berbicara berjam-jam untuk memperlihatkan betapa besarnya potensi pariwisata yang ada di Sumatra Barat yang dengan mudah dapat dilaksanakan tanpa mengeluarkan dana besar tetapi semuanya kembali kepada sumber daya manusia yang ada.
Pembangunan dan pengembangan pariwisata sudah menjadi tekat pemerintah pusat dan sudah banyak yang dilakukan pusat untuk provinsi ini, namun maukah masyarakat menjadikan pariwisata primadona pembangunan provinsi. Apakah pemerintah daerah tingkat I dan II bisa bekerjasama dan menyamakan persepsi?
Persepsi Sama-Sarasehan
Menurut saya tidak akan ada konsep terintegrasi atau visi yang sama bila dikembangkan hanya oleh pemerintah. Karena sifat pariwisata adalah multidimensi dan multidisipliner, maka semua unsur masyarakat termasuk pemerintah harus duduk bersama dan menyamakan persepsi terlebih dahulu. Saya sarankan sebuah sarasehan dimana semua unsur terwakili dalam mana masing-masing unsur menyampaikan pemahaman mereka mengenai pariwisata. Kaum adat, dari cadiak pandai hingga bundo kanduang, kaum agama, pemerintah, wakil rakyat, pelaku, pengrajin, pedagang, nagari, dan lain-lain semua diundang dan selama 3 hari duduk bersama, tidak saling menggurui. Kemudian, para ahli pariwisata dari luar Sumatra Barat menyampaikan apa sebenarnya pariwisata dan apa yang ingin dilihat wisatawan di negeri ini. Pada akhir sarasehan ini kemudian ditelurkan sebuah kesepakatan bersama bagaimana pariwisata akan dibangun dan dikembangkan. Kesepakatan inilah yang kemudian dilaksanakan berdasarkan komitmen bersama.
Saya ingin tahu seberapa banyak orang mengetahui mengenai Kode Etik Pariwisata Internasional yang ikut ditandatangani oleh Indonesia sebagai anggota dari Organisasi Pariwisata Sedunia (World Tourism Organization)? Pelajari dulu Kode Etik ini sebelum sarasehan dimulai. Bila berhasil baru kita bisa mengatakan telah terjadi “gempa” pariwisata di Sumatra Barat. Saya yakin kita bisa. Tetapi bila gagal, maka gempa tsunami dan bencana alam maupun bencana buatan manusia lainnya akan tetap menghancurkan Sumatra Barat. Kita sudah ketinggalan dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatra padahal potensinya tak terduakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...