OLEH DR Abdullah Rudolf Smit CTM CHt-IBH
Praktisi
dan Konsultan Pariwisata dan menetap di Sumatra Barat sejak 2002
Bila pertanyaan ini
diajukan kepada para praktisi pariwisata di Kota
Padang saat ini, maka jawaban yang akan diberikan pasti bernada negatif.
Sudah tentu yang dimaksud dengan praktisi pariwisata di sini
bukanlah pemilik hotel bintang empat satu-satunya yang masih berdiri setelah G30S
(Gempa 30 September 2009), tetapi pengelola biro
perjalanan wisata, pendukung pariwisata seperti toko cenderamata, kedai/lapau,
rumah makan/restoran, angkutan taksi, armada transportasi, dan lain-lain.
Pengelola
hotel di Bukittinggi mengeluhkan turunnya jumlah orang yang menginap. Saya
berani menyatakan bahwa pariwisata provinsi saat ini menderita dan telah
mematikan banyak usaha pariwisata berdasarkan pengakuan mereka secara
pribadi kepada saya. Perdebatan bisa
saja terjadi dengan pemerintah daerah apalagi bila kita mengacu pada statistik
yang dipergunakan untuk menjustifikasi pendapat masing-masing. Apalagi
pemerintah akan selalu bernada positif dengan mengeluarkan angka-angka yang
keabsahannya pun perlu dipertanyakan.
Gempa besar pada
2007 dan 2009 mengubah persepsi
masyarakat terhadap gempa. Gawatnya adalah reaksi para “terdidik” yang lebih
mempercayai SMS
gelap dan selebaran-selebaran tak bertanggung jawab daripada pemerintah dan
para ilmuwan sehingga menularkan panik kepada masyarakat. Berita-berita seperti
inilah yang sampai ke negeri jiran Malaysia dan para pemasok wisatawan asing
disana membatalkan perjalanan wisatawan mereka ke Sumatra Barat.
Dampak buruk
terhadap pariwisata dari bencana alam tidaklah permanen dimanapun di dunia.
Walau untuk jangka pendek berakibat penurunan dari jumlah wisatawan mancanegara
(wisman) maupun wisatawan nusantara (wisnus) kondisi ini bisa dengan cepat
diperbaiki apabila ada kegiatan promosi terintegrasi dari para pelaku
pariwisata, pemerintah dan media. Pariwisata adalah sebuah kegiatan manusia
yang tak akan surut karenanya pariwisata di Sumatra Barat tidak akan berhenti
hanya saja menurun untuk sementara waktu.
Tak
Ada Konsep Terintegrasi
Tetapi yang lebih
penting adalah bagaimana pemerintah dan para pelaku wisata di Sumatra Barat
bersatu untuk memasarkan provinsi ini sebagai sebuah destinasi unggulan. Dari
tahun 2002 waktu saya pertama menginjakkan kaki di ranah
Minang untuk bekerja, saya tidak melihat adanya sebuah konsep terintegrasi
untuk menjadikan pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar. Pembangunan,
pengembangan dan pelaksanaan pariwisata di provinsi ini tidak terkoordinir dan
masing-masing pelaku termasuk pemerintah daerah tingkat II sepertinya tidak
memahami apa itu pariwisata dan hanya memberikan ‘lip service’ alias asbun (asal bunyi) bila bicara pariwisata.
Bahkan sebagian masyarakat masih menilai pariwisata sebagai sebuah kegiatan
yang mengandung maksiat.
Perbedaan persepsi
mengenai pariwisata membuat pembangunan dan pengembangan pariwisata berjalan di
tempat. Reaksi terhadap bencana saja berbeda dan tidak ada upaya terpadu untuk
mengatasinya. Ini disebabkan tidak adanya satu konsep yang disepakati bersama
oleh pemerintah, pelaku usaha pariwisata dan masyarakat. Tanpa bencana pun kita
sudah sering mendengar dan membaca di media bagaimana buruknya pelayanan
terhadap wisatawan di Sumatra Barat. Permasalahan yang dihadapi bisa dari
pemalakan atau kehadiran para preman di suatu obyek wisata sampai pelayanan
yang kurang baik di beberapa obyek wisata. Semua ini bisa dikurangi dan bahkan
dihilangkan, seperti di Pulau Dewata, bila ada persepsi yang sama perihal
pariwisata.
Multiplier Effect
Salah satu istilah
yang sering disebut tetapi kurang dipahami apalagi dihayati dan diamalkan
adalah multiplier effect atau efek
ganda dari pariwisata. Tidak ada suatu kegiatan yang memiliki efek ganda
terbesar daripada pariwisata. Pariwisata bukan hanya suatu kegiatan ekonomi
tetapi suatu kegiatan multidimensi yang mencakup segala aspek kehidupan baik
itu sosial, psikologis, maupun ekonomi. Manusia berwisata bukan untuk
membuang-buang uang tetapi untuk memenuhi kebutuhan psikologis. Manusia
cenderung jenuh dan untuk memulihkan kondisi dan semangat hidup manusia
membutuhkan penyegaran atau refreshing.
Salah satu cara
menyegarkan jiwa dan pikiran adalah dengan melancong, berjalan-jalan ke daerah-daerah
lain yang jauh dari tempat tinggal. Tindakan berjalan-jalan (travelling) ini baik secara perorangan
atau berkelompok disebut pariwisata dan sudah tentu akan berdampak secara
sosial akibat dari pertemuan manusia dari berbagai latar belakang budaya. Tetapi
bila dikelola dengan baik benturan budaya (culture
shock) dapat dihindari dan bahkan menciptakan saling pemahaman dan
toleransi akan keanekaragaman manusia di muka bumi ini. Manfaat ekonomis dari
pariwisata juga lebih merata daripada kegiatan ekonomi lainnya. Wisatawan
membeli langsung cenderamata (souvenir)
dari pengrajin atau pengusaha yang mengumpulkan berbagai cenderamata untuk
dipasarkan bersama. Contoh yang jelas adalah kegiatan di Pasar Atas,
Bukittinggi. Kebutuhan akan makanan dan minuman dalam perjalanan juga berdampak
positif pada penjaja makanan dan minuman.
Kebutuhan akan
tempat berteduh atau tempat tinggal juga membawa berkah dan usaha akomodasi
muncul karena kebutuhan dasar manusia untuk tidur. Dampak meluas dari
pariwisata inilah yang disebut dengan efek ganda atau multiplier effect.
Konsep Tak Terintegrasi
Sumatra Barat tidak
memiliki konsep pariwisata terintegrasi. Bila kita sebut Bali maka dunia sudah
tahu apa yang ditawarkan oleh Pulau Seribu Pura ini. Budaya berlatar Agama
Hindu Khas Bali dan Alam Lingkungan seperti pantai, bukit, persawahan dan taman
bawah laut. Kalau Sumatra Barat apa? Konsep pembangunan dan pengembangan obyek
wisata juga tidak ada di Sumatra Barat.
Saya selalu
menyampaikan kepada para pimpinan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota
serta kepada para praktisi pariwisata swasta mengapa tidak
menggunakan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah sebagai dasar konsep
pariwisata Sumatra Barat. Istilah yang saya gunakan adalah “Minangkabau Islam,
Islam Minangkabau”. Konsep ini sederhana saja. Para wisatawan dibawa melihat
dan menikmati obyek-obyek wisata adat dan obyek-obyek wisata
Islam. Mengapa kita tidak membawa wisatawan melihat Masjid Gantiang, misalnya,
salah satu dari 5 masjid tertua di Pulau Sumatra? Di setiap
destinasi atau daerah tujuan wisata di Sumatra Barat ada unsur adat dan agama.
Mengapa tour-tour yang ada hanya
menunjukkan obyek wisata adat? Di Singapura saja yang mayoritas penduduknya
tidak beragama Islam memiliki Wisata Berjalan Kaki (Walking Tour) mengelilingi sebuah wilayah dan salah satu yang
dikunjungi adalah sebuah Mmasjid bersejarah di dalam
mana mereka diberi keterangan mengenai sejarah masjid dan Islam.
Terintegrasi berarti
seluruh pembangunan dan pengembangan pariwisata di Sumatra Barat harus sambung
menyambung dan berkelanjutan. Dari tingkat provinsi, turun ke tingkat kabupaten
dan kota, semua mengacu pada hal yang sama. Bukan hanya Rencana Induk
Pembangunan dan Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang diperlukan,
tetapi pelaksanaannya harus dipastikan dijalankan sesuai konsep
terintegrasi
ini. Termasuk di dalamnya pola bertransaksi termasuk sanksi
bagi mereka yang melanggar kesepakatan.
Jika Kota Sawahlunto
membangun Taman Air atau Waterboom, kabupaten dan kota lain
meniru hal
yang sama. Ciri khas suatu daerah yang harus ditonjolkan bukan karena iri
terhadap pembangunan di suatu wilayah. Semua pembangunan harus berdasarkan skala prioritas. Mana yang lebih
dahulu dibangun? Bukan berdasarkan selera kepala
daerah,
atau selera kepala
dinas
pariwisata,
atau selera pemodal? Tetapi harus berdasarkan suatu studi kelayakan pemasaran
yang dilakukan oleh ahli pemasaran pariwisata dan bukan oleh pemerintah yang
tidak memiliki keahlian itu. Jadi, tidak ada dana yang mubazir apalagi dikorup.
Konsep pariwisata Sumatra
Barat harus dengan visi bahwa bila wisatawan datang dan memiliki waktu sekian
hari maka ia dapat mengelilingi provinsi ini dan melihat ciri-ciri khas
berbagai destinasi bukan melihat yang itu-itu juga. Tidak perlu studi banding
ke Bali,
tetapi kita semua tahu bahwa Bali membangun berdasarkan keunikan setiap
destinasi. Tidak ada yang sama.
Contohnya,
apa yang bisa ditampilkan oleh Kota Padang? Pantai Air Manis? Kita ingin
memperlihatkan Pantai Air Manis kepada wisatawan,
tapi apakah pernah ada penelitian mengenai apa selera wisatawan bila
mengunjungi ibukota seperti Padang? Mungkin mereka lebih suka melihat Masjid
Gantiang daripada sebuah pantai yang pelayanannya sangat diragukan kualitasnya.
Apa ciri khas Kota Padang? Katanya Padang adalah Kota Bingkuang? Kenapa saya
belum pernah melihat hotel menawarkan minuman selamat datang (welcome drink) yang terbuat dari buah
bingkuang. Kan setiap hotel dan restoran bisa membuat bingkuang
juice yang bervariasi dari
hotel ke hotel, dari restoran ke restoran?
Saya bisa berbicara
berjam-jam untuk memperlihatkan betapa besarnya potensi pariwisata yang ada di Sumatra
Barat yang dengan mudah dapat dilaksanakan tanpa mengeluarkan dana besar tetapi
semuanya kembali kepada sumber daya manusia yang ada.
Pembangunan dan
pengembangan pariwisata sudah menjadi tekat
pemerintah pusat dan sudah banyak yang dilakukan pusat untuk provinsi ini,
namun maukah masyarakat menjadikan pariwisata primadona pembangunan provinsi.
Apakah pemerintah daerah tingkat I dan II bisa bekerjasama dan menyamakan
persepsi?
Persepsi Sama-Sarasehan
Menurut saya tidak
akan ada konsep terintegrasi atau visi yang sama bila dikembangkan hanya oleh
pemerintah. Karena sifat pariwisata adalah multidimensi dan multidisipliner,
maka semua unsur masyarakat termasuk pemerintah harus duduk bersama dan
menyamakan persepsi terlebih dahulu. Saya sarankan sebuah sarasehan dimana
semua unsur terwakili dalam mana masing-masing unsur menyampaikan pemahaman
mereka mengenai pariwisata. Kaum adat, dari cadiak pandai hingga bundo
kanduang, kaum agama, pemerintah, wakil rakyat, pelaku, pengrajin, pedagang,
nagari, dan lain-lain semua diundang dan selama 3 hari duduk bersama, tidak
saling menggurui. Kemudian, para ahli pariwisata dari luar Sumatra Barat
menyampaikan apa sebenarnya pariwisata dan apa yang ingin dilihat wisatawan di
negeri ini.
Pada akhir sarasehan ini kemudian ditelurkan sebuah kesepakatan bersama
bagaimana pariwisata akan dibangun dan dikembangkan. Kesepakatan inilah yang
kemudian dilaksanakan berdasarkan komitmen bersama.
Saya ingin tahu
seberapa banyak orang mengetahui mengenai Kode Etik Pariwisata Internasional
yang ikut ditandatangani oleh Indonesia sebagai anggota dari Organisasi
Pariwisata Sedunia (World Tourism
Organization)? Pelajari dulu Kode Etik ini sebelum sarasehan dimulai. Bila
berhasil baru kita bisa mengatakan telah terjadi “gempa” pariwisata
di Sumatra Barat. Saya yakin kita bisa. Tetapi bila gagal, maka gempa tsunami
dan bencana alam maupun bencana buatan manusia lainnya akan tetap menghancurkan
Sumatra Barat. Kita sudah ketinggalan dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau
Sumatra padahal potensinya tak terduakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar