OLEH
Israr Iskandar
Pengajar
FIB Unand
Belakangan ini gonjang-ganjing politik
terfokus pada masalah prospek koalisi pemerintahan yang dipimpin Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden sendiri sudah mengingatkan dan
memberikan sinyal akan mengevaluasi keberadaan beberapa partai peserta koalisi,
khususnya Partai Golkar dan PKS. Kedua partai ini dianggap mengingkari
butir-butir konsensus koalisi yang dulu mereka teken dan sepakati dengan SBY.
Reaksi keras SBY atas Golkar dan PKS tentu
saja tak terlepas dari sikap kedua parpol yang mengusulkan hak angket pajak
beberapa waktu lalu. Meskipun usulan itu kandas, tapi tampaknya SBY tetap geram
dengan “inkosistensi” kedua parpol. SBY dan Demokrat sedikit diuntungkan, karena Gerindra yang selama ini dikenal
kritis pada pemerintah justru menolak usulan angket.
Gonjang-ganjing politik seputar kaolisi
ini praktis menyita perhatian publik. Ironisnya, isu mafia pajak itu sendiri
justru tenggelam. Kelompok pro maupun
kontra angket berseteru sekitar “cara penyelesaian” kasus mafia pajak, khususnya
terkait keterlibatan 150-an perusahaan. Masalahnya, apakah masalah kasus mafia
pajak tersebut bisa dituntaskan segera?
Kalau koalisi dirombak, bagaimanakah
dampaknya terhadap kepentingan rakyat, khususnya terkait pemberantasan korupsi?
Kalau koalisi pro-SBY dipertahankan, apakah juga akan membawa pengaruh pada
perjuangan untuk kepentingan rakyat? Inilah antara lain pertanyaan fundamental
yang mesti dijawab elit politik, termasuk SBY, yang kini berhasil “mengalihkan”
perhatian publik pada isu bongkar pasang koalisi.
Koalisi
dan kolusi
Dalam konteks sejarah Indonesia, koalisi
bukanlah hal baru. Pada awal kemerdekaan dan dekade 1950-an, koalisi membentuk pemerintahan
merupakan gejala lazim. Maklum dalam sistem demokrasi parlementer saat itu, tidak
ada partai yang dominan yang leluasa membentuk dan menjaga stabilitas pemerintahan. Bahkan pada dekade 1950-an, dua
parpol besar, PNI dan Masyumi, pun pernah melakukan koalisi, sekalipun pada
saat lain keduanya terlibat persaingan amat keras.
Pada masa itu, koalisi memang tetap lebih
banyak didasari kepentingan taktis dan pragmatis, termasuk menjaga stabilitas pemerintahan,
sekalipun kenyataannya tidak demikian (labil), termasuk saat PNI-Masjumi
berkoalisi. Perbedaan idiologis dan kepentingan sempit elit parpol ditenggarai
telah menjadi penyebab utama koalisi yang dibangun mudah retak. Di pihak lain,
sikap oposisional dari partai oposisi juga amat keras. Kenyatannya ini ikut
menjadi penyebab pemerintahan masa ini sering jatuh bangun. (Feith, 1960)
Memasuki era “Demokrasi Terpimpin” (1959-1966)
yang otoriter, istilah koalisi tentu tak lagi lazim. Begitu juga era Orde Baru
(1966-1998). Kedua rezim malah menempatkan era 1950-an sebagai salah satu periode
“gelap” dari sejarah Indonesia, khususnya
terkait kabinet parlementer yang
kerap jatuh bangun, konflik idiologis, persaingan keras elit politik hingga maraknya
pergolakan daerah.
Barulah di era reformasi, istilah koalisi
dipakaikan lagi, sekalipun Indonesia menganut sistem presidensial. Bahkan
ketika sistem ini kian “disempurnakan”, koalisi seakan menjadi kenyataan
politik yang niscaya, baik koalisi yang tergabung dalam pemerintahan maupun di
luar pemerintahan. Banyak kalangan ahli melihat istilah dan praktik “koalisi”
dan juga “oposisi” dalam sistem presidensial salah kaprah.
Apapun, semua dinamika politik saat ini
mestinya mengarah pada kepentingan rakyat. Jangan sampai kerjasama politik
dimaksud justru kian menguatkan sinyelemen bahwa koalisi tak lebih manifestasi
politik transaksional alias kolusi berorientasi kepentingan oligarki. Celakanya, gelagat yang terlihat, genderang
politik yang kini ditabuh kaum elit justru kian menenggelamkan urusan kepentingan
rakyat. Tenggelamnya isu mafia pajak ditimpa isu perombakan koalisi seakan
mewakili kekhawatiran terhadap prospek
penyelesaian pelbagai skandal megakorupsi lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar