Rabu, 23 April 2014

KERADJINAN AMAI SETIA: “Perlawanan” Kaum Perempuan Pribumi

OLEH Fitriyanti
Keradjinan Amai Setia (KAS) merupakan organisasi perempuan pertama yang berdiri di  Kotogadang, Bukittinggi, Minangkabau, Sumatera Barat. Tujuan utama pendirian KAS adalah untuk kemajuan perempuan dan berupaya melestarikan serta mengembangkan berbagai keahlian kerajinan tangan. Terbentuknya organisasi perempuan KAS disebabkan kaum perempuan belum mendapat kesempatan menempuh pendidikan formal dan nonformal, karena pada masa itu pendidikan lebih diutamakan untuk kaum laki-laki.

Nagari Kotogadang merupakan salah satu dari 11 nagari yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Asal usul Nagari Kotogadang menurut sejarahnya dimulai pada akhir abad ke-17. Ketika itu sekelompok kaum yang berasal dari Pariangan Padang Panjang mendaki dan menuruni bukit dan lembah, menyeberangi anak sungai, untuk mencari tanah yang elok untuk dipeladangi dan dijadikan sawah serta untuk tempat pemukiman.
Demi meningkatkan kehidupan yang lebih baik dengan menuntut ilmu yang lebih tinggi, banyak kaum laki-laki Kotogadang yang merantau ke luar kampung, meninggalkan keluarganya untuk memasuki sekolah formal atau menimba ilmu dan keterampilan langsung dari mereka yang ahli di bidang masing-masing, sehingga Kotogadang menjadi tempat yang dikenal banyak melahirkan orang-orang pandai di berbagai disiplin ilmu dan keterampilan.
Sementara kaum laki-laki merantau, maka kaum perempuan tinggal di kampung untuk mengurus keluarga dan harta pusaka kaumnya (seperti sawah, ladang, dan rumah), sambil menunggu ayah, suami atau anak laki-lakinya kembali pulang ke kampung halaman.
Dalam menjalani kehidupan kesehariannya, perempuan Kotogadang juga harus bisa  menjalankan kehidupan rumah tangga sehari-hari menyesuaikan dengan kondisi apa adanya. Hal ini menggugah hati beberapa Bundo Kanduang, yang kemudian  mencetuskan  ide untuk mengadakan pendidikan khusus perempuan.
Pada masa itu, umumnya perempuan Kotogadang telah dibekali ilmu dan keterampilan yang turun-temurun diwariskan. Keterampilan itu adalah menjahit, menyulam, menenun, mengaji dan sebagainya.
Ekonomi yang Baik
Pada abad ke-19, kehidupan perempuan Kotogadang bisa dibilang biasa-biasa saja, tidak jauh beda dengan kehidupan perempuan di Tanah Melajoe pada umumnya. Namun dibandingkan dengan nasib kaum perempuan di Tanah Melajoe—di bawah penjajahan pemerintahan kolonial Belanda pada umumnya—
perputaran roda kehidupan perempuan Kotogadang lebih baik. Keadaan ekonomi mereka umumnya cukup berada karena mamak atau ayah mereka yang mempunyai usaha sebagai perajin emas dan perak, pedagang, dan pejabat tinggi pemerintahan.
Perempuan Kota Gadang mengikuti perjalanan hidup yang sudah ditentukan secara turun-temurun oleh peraturan adat istiadat dan penafsiran agama yang dikaitkan pada Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.
Karena kaum perempuan tidak boleh meninggalkan Kotogadang, kesempatan untuk masuk sekolah cenderung diberikan kepada kaum laki-laki saja. Sikap ini baru mulai berubah pada 1905 ketika bundo kanduang, ninik-mamak, dan ulama sepakat memutuskan bahwa anak perempuan boleh menempuh pendidikan formal dan nonformal yang setara dengan kaum laki-laki
Pada 1907, di Kotogadang didirikan “Kinder Julius Vereeniging”, sebuah perkumpulan untuk anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, yang mempunyai gedung sekolah sendiri. Di sana, anak-anak diajarkan pengetahuan bahasa Belanda sebagai persiapan untuk memasuki Sekolah Belanda (Europeesche School).
Dari Kinder Julius Vereeniging itulah lahir Studiefonds Kota Gedang yang mendapat besluit dari Pemerintah Belanda No. 10 pada 27 Januari 1910 untuk diberikan rechtspersoon (badan hukum).
Lewat organisasi ini masyarakat Kotogadang, baik yang tinggal di kampung maupun yang berada di rantau, berlomba-lomba mengumpulkan dana untuk membiayai studi anak-kemenakan mereka ke Jawa dan juga ke Belanda. 
Dengan terbukanya kesempatan bagi perempuan Kotogadang, maka lahirlah Vereeniging “Karadjinan Amai Setia” te Kota Gedang. Amai Setia (Amai = ibu/ perempuan) sebuah organisasi perempuan pertama di Minangkabau, Sumatera yang didirikan pada awal abad ke-20 di zaman Hindia Belanda. Organisasi ini didirikan atas kesadaran jiwa kaum perempuannya untuk berjuang mencapai kemajuan.
Berdirinya KAS
Pada 11 Februari 1911, atas prakarsa Rangkayo (Rky) Rekna Puti yang punya inisiatif mendirikan perkumpulan amai-amai perajin diiringi pemikiran Rky Roehana Koeddoes untuk meningkatkan pendidikan ilmu pengetahuan umum serta keahlian Hadisah sebagai penenun dan atas dukungan seluruh kaum perempuan di Kotogadang, maka didirikan organisasi perempuan Kerajinan Amai Setia. Tujuan utama: “Mengangkat Harkat dan Martabat Perempuan Kotogadang” untuk membekali kaum perempuan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Dan Ketua Vereeniging K.A.S te Kota Gedang terpilih pada 11 Februari 1911 adalah Rky Roehana Koeddoes.
Tanggal 14 Juni 1913, Rky. Roehana cs (bestuursleden), dalam hal ini didampingi oleh Rky. Hadisah dan Rky. Adisah, lalu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan Vereeniging K.A.S., agar diakui dan disahkan sebagai rechtspersoon. Setelah permohonan dicatat dan diterima, Rky. Roehana bisa mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan geldloterij (lotere uang).
Pada tanggal 20 November1913 diperoleh izin dari departemen Onderwijs en Eerendienst untuk penyelenggaraan lotere tersebut. Hadiah lotere sebesar f 10.000. Penarikan lotere oleh pemerintah diselenggarakan pada 20 Oktober 1914.
Dari hasil keuntungan lotere, Rky. Roehana didampingi Rky. Hadisah dan Rky. Adisah lalu membeli sebidang tanah di Koto Kaciak, Kotogadang dengan akte notaris J. Tewnacht pada 28 Agustus 1914 dan diakui oleh Assistent Resident Van Agam, Karel Armand James. Pelunasan pembayaran untuk pembelian tanah tersebut sebesar f 180 terlaksana pada 14 Desember 1914. Pada tahun 1915 secara bertahap dibangunlah gedung Keradjinan Amai Setia yang baru selesai hingga tahun 1919.
Pada 15 Januari 1915, Kerajinan Amai Setia dinyatakan sebagai perkumpulan yang  berbentuk Badan Hukum dengan diterbitkannya Besluit No.31 Tahun 1915 dari Pemerintah Hindia Belanda.
Dengan berkembangnya kegiatan Vereeniging K.A.S te Kota Gedang, dirasakan bahwa gedung Studiefonds sudah tidak memadai lagi bagi murid-murid yang menumpang belajar dari pukul 14.00-17.00 di sana. Atas perhatian dan bantuan dari Groeneveld, Koemendur Lumbung, maka K.A.S. disarankan mengadakan kegiatan lotere untuk memperoleh dana mendirikan gedung sekolah, keuntungannya boleh diambil oleh penyelenggara.
Berkat dukungan para tokoh adat dan cendekiawan Kotogadang dan usaha para tokoh Vereeniging (perkumpulan) Karadjinan Amai Satia (KAS) te Kota Gedang, maka jumlah anak perempuan yang dapat baca-tulis, serta masuk sekolah formal dan nonformal terus meningkat.

Selain mengajari baca-tulis dan pengetahuan umum lainnya, Amai Setia juga mengajari berbagai keterampilan yang menunjang pergerakan ekonomi kaum perempuan, bahkan masyarakat di Kotogadang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...