OLEH
Yusriwal
Peneliti di Fakultas Sastra Unand
Di pusara Chairil Anwar |
Indonesia telah kehilangan seorang pujangga
dengan meninggalnya Chairil Anwar pada 28 April 1949. Dia meninggal di sebuah
rumah sakit di Jakarta karena penyakit paru-paru dan radang usus. Jenazahnya
dimakamkan di pekuburan Karet, Jakarta.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan 26 Juli
1922 dari pasangan Tulus dan Saleha, yang berasal dari Minangkabau. Secara
geneologis, Chairil Anwar adalah orang Minangkabau. Lalu bagaimana secara budaya?
Walaupun Chiairil lahir dan hidup di luar
Minangkabau, tetapi ada hal menarik yang biasa berlaku dalam keluarga perantau
Minangkabau. Mereka tetap menggunakan bahasa Minangkabau untuk berkomunikasi
dalam keluarga dan dengan sesama perantau Minangkabau lainnya. Tampaknya, mereka
tidak ingin anak-anak mereka tidak mengerti bahasa dan adat Minangkabau.
Selain itu, ada pula pewarisan nilai-nilai
budaya yang terjadi melalui penularan secara tidak langsung antargenerasi.
Sebuah keluarga, walaupun tidak lagi berkomunikasi dalam bahasa etnis dari mana
mereka berasal, tapi dalam melihat dan mencermati suatu persoalan, mereka tetap
memakai pola pikir dan konsep-konsep budaya etnis asal mereka.
Dapat dikatakan bahwa sebelum ke luar rumah,
para orangtua telah memakaikan "kacamata" etnis asal tersebut kepada
anak-anak atau anggota keluarga lainnya. Pearl S. Buck yang lahir, besar,
menulis tentang dan dalam bahasa Cina, misalnya, tetap saja melihat persoalan yang
berhubungan dengan masyarakat Cina dengan "kacamata" Inggrisnya. Karena
kedua orangtua Buck berasal dari Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada
diri dan keluarga Chairil Anwar. Persinggungannya
dengan bahasa dan kebudayaan Minangkabau tetap ada dan ini terlihat dalam puisi-puisi
Chairil Anwar sendiri.
Sebagai penulis (sastrawan), Chairil Anwar
sebenarnya cukup produktif. Dia mulai menulis pada usia 20 atau 21 dan
meninggal dalam usia 27 tahun. Dalam waktu yang singkat itu, Chairil telah
menghasilkan 70 buah sajak asli, 4 buah sajak saduran, 10 buah sajak
terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Ke-94 buah karya itulah
warisan Chairil Anwar untuk kesusastraan dan bangsa Indonesia.
Agak disayangkan bahwa selama ini karya-karya
Chairil Anwar hanya dianggap sebagai hasil sastra yang benar-benar made in Indonesia belaka. Kebanyakan kritikus
melihat Chairil Anwar sebagai tokoh pelopor Angkatan 45. Kalau tidak, ia akan
dibicarakan sehubungan dengan keterpengaruhannya akan sastra dan pemikiran
Barat.
Anggapan para kritikus bahwa Chairil dengan
Angkatan 45-nya telah mendobrak tradisi sebelumnya, juga tidak sepenuhnya
benar. Karya-karya penyair Angkatan 45 memang berbeda dengan karya-karya
penyair Pujangga Baru. Tetapi perbedaan itu hanya terjadi sebatas tidak
terikat pada persajakan akhir, jumlah kata, dan suku kata tiap bait.
Perbedaannya hanya dari segi cara pengungkapan, sedangkan "roh" dari
kebudayaan asal masing-masing penyair Angkatan 45, masih terlihat dengan
jelas. Hal yang sama terlihat juga pada karya-karya penyair Pujangga Baru.
Penyimpangan Sintaksis
Jarang para kritikus atau peneliti sastra
mencoba melihat dan membicarakan karya-karya Chairil Anwar dalam hubungannya
dengan bahasa dan kebudayaan Minangkabau. Padahal menurut A.A. Navis (dalam Haluan,
1956), Chairil Anwar memperlihatkan sikap hidup orang Minangkabau. Dan keminangkabauannya
dapat diamati dari beberapa kecenderungan yang ada pada karya-karyanya.
Pertama dan paling menonjol terlihat pada struktur
sintaksis bahasa puisinya. Kalau dibandingkan dengan struktur
sintaksis bahasa Indonesia, Chairil Anwar memakainya secara tidak lazim berupa
pembalikan susunan kata. Pada puisi Senja di Pelabuhan Kecil dia menulis:
"Ini kali tidak ada yang mencari cinta". Menurut kelaziman bahasa
Indonesia, kalimat itu seharusnya ditulis: "Kali ini tidak ada yang
mencari cinta". Dalam bahasa Indonesia, struktur yang lazim adalah
keterangan subyek ("ini", "itu") harus mengikuti subyek
("kali"), misalnya "rumah itu", "saat ini", dan
sebagainya. Pembalikan susunan kata ini sangat banyak didapati pada puisi-puisi
Chairil Anwar. Malah menurut Pradopo (1987: 103), Chairil Anwar merupakan
pelopor dalam penyimpangan struktur sintaksis ini.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan bahasa
Minangkabau, apa yang dilakukan Chairil Anwar itu merupakan keharusan. Dalam
bahasa Minangkabau keterangan subyek adalah mendahului subyek, misalnya indak
den cameh jo buruang tabang (bukan aku cemas oleh burung yang terbang).
Kata keterangan indak mendahului subyek den.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
contoh berikut. Chairil Anwar menulis: "Sudah tercacar semua di
muka", yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Minangkabau adalah Alah tacaca
kasadonyo di muko. Kalau mengikuti struktur kalimat bahasa Indonesia yang
lazim, kalimat itu seharusnya menjadi "semua sudah tercacar di muka".
Dari contoh kecil itu—masih banyak contoh lainnya—kelihatan bahwa
(sesungguhnya) yang dilakukan Chairil Anwar adalah menulis puisi dalam bahasa
Minangkabau dengan kosa kata bahasa Indonesia (Melayu?). Artinya, secara
struktur ia adalah bahasa Minangkabau, hanya kata-katanya dari bahasa Indonesia.
Gaya Hiperbol
Kecenderungan kedua adalah pemakaian gaya bahasa hiperbol. Gaya bahasa ini
paling dominan dalam karya-karya Chairil. Ia muncul hampir di setiap puisi,
seolah ia seperti "napas" atau "roh" yang menghidupi
puisi-puisinya. Sekadar contoh, antara lain, "Aku tetap meradang menerjang",
"Mengingat Kau penuh seluruh", dan "Harum rambutmu
mengalun bergelut senda".
Hiperbol pada ketiga puisi di atas dimaksud
Chairil Anwar sebagai penguat makna: kata "meradang" dipertegas maknanya
oleh kata "menerjang", begitu juga dengan kata "penuh"
diperjelas oleh kata "seluruh", dan kata "senda"
memperjelas kata "bergelut". Kedua kata, baik yang diperjelas maupun
yang memperjelas, mempunyai kesejajaran. Masing-masing kata yang membentuk
hiperbol itu dapat berdiri sendiri.
Selain mempertegas makna, hiperbol juga
dipergunakan penyair untuk keperluan intensitas pernyataan. Dalam bahasa
(kebudayaan) Minangkabau, bentuk pernyataan yang berupa hiperbol juga berfungsi
sebagai penguat makna dan untuk keperluan intensitas pernyataan. Sebagai
contoh, untuk mengungkapkan kebesaran seorang datuak atau pangulu, ungkapan
Minangkabau menyebutnya nan gadang basa batuah. Kata gadang dan basa
mempunyai arti yang sama, yaitu "besar".
Masyarakat Minangkabau tidak asing dengan
gaya bahasa hiperbol. Ungkapan-ungkapan yang mengandung hiperbol ditemui dalam
setiap pernyataan yang berhubungan dengan setiap aspek kehidupan
mereka. Ketika membicarakan adat, kesenian, dan percakapan sehari, mereka
menggunakan ungkapan-ungkapan hiperbolis, misalnya, dipikia diino'i (dipikir
direnungkan), ditangisi dirato'i (ditangisi diratapi), dikicok
dirasoi (dicicipi dirasai). Bahkan penggunaan hiperbol yang lebih
"ekstrem" biasa ditemui dalam kaba—salah satu bentuk sastra
lisan Minangkabau. Hiperbol tersebut terdiri dari 4 kata yaitu nan sakarang
kini nangko. Terjemahannya adalah "saat ini". Bentuk ini dibangun
oleh tiga kata yang mempunyai arti sama.
Kecenderungan ketiga dapat dilihat
pada imaji yang ditampilkan Chairil Anwar melalui puisi-puisinya. Ada
dua imaji yang ditampilkannya di sana: pada
suatu saat imaji itu tampil dengan semangat yang bergelora sedang pada saat
yang lain ia tampil mendayu-dayu, bahkan cenderung melankolis. Keduanya seolah
berada pada dua kutub yang saling berlawanan.
Contoh yang paling menarik adalah
membandingkan antara puisi Aku atau Semangat dengan Derai-derai
Cemara berikut:
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
DERAI-DERAI CEMARA
cemara menderai
sampai jauh
terasa hari
akan jadi malam
ada beberapa
dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarag
orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan
kanak lagi
tapi dulu
memang ada satu bahan
yang bukan
dasar perhitungan kini
hidup hanya
menunda kekalahan
tambah terasing
dari cinta sekolah rendah
dan tahu ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada
akhirnya kita menyerah.
Puisi Aku jelas sekali menggambarkan
vitalitas hidup Chairil Anwar. Puisi ini ditutup dengan "Aku mau hidup
seribu tahun lagi" yang sekaligus menggambarkan sikap tersebut. Kata-kata
yang dipilih pun menyatakan gelora semangat penyairnya.
Hal yang sangat bertentangan dengan pernyatan
di atas terlihat pada puisi Derai-derai Cemara. Chairil menulis
"hidup hanya menunda kekalahan". Di sini tidak terlihat lagi
vitalitas Chairil, seolah dia menerima saja apa yang akan terjadi. Dia pesimis
dengan "hidup (yang) hanya menunda kekalahan... sebelum pada akhirnya
kita menyerah". Pertentangan serupa akan terlihat pula jika membandingkan
beberapa puisi Chairil, misalnya antara puisi Diponegoro dengan puisi Nisan.
Dalam Lingkaran Dualisme
Kecenderungan untuk selalu berada pada dua
kutub yang berbeda sering ditemukan dalam diri orang Minangkabau. Kenyataannya,
orang Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari selalu dihadapkan pada dualisme
yang disebabkan oleh pemaksaan dari faktor yang berada di luar dirinya.
Faktor-faktor itu antara lain, (1)
pertentangan antara adat dan
agama Islam: sistem
kekerabatan menurut adat adalah matrilineal, sedangkan Islam adalah
partilineal. Sementara itu, antara adat dan agama di Minangkabau tidak dapat
dipisahkan, karena adat itu dasarnya adalah agama Islam; (2) Pertentangan dua
laras, Bodi Caniago dengan
Koto Piliang. Bodi Caniago
demokrat dan Koto Piliang aristokrat; (3) Pertentangan antara Luhak nan
Tigo (Minangkabau pusat) dengan Rantau. Pemerintahan Luhak dipegang
oleh penghulu sedangkan Rantau
diperintah oleh seorang raja.
Akan tetapi, pertentangan-pertentangan
tersebut tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat Minangkabau. Sikap
kompromi merupakan sikap dasar mereka, sebagaimana pepatah mengatakan rancak di awak, katuju di urang (kalau kita
menyenanginya, orang lain pun akan menyukainya).
Akibat dari sikap ini, di permukaan orang
Minangkabau adalah orang yang tegar, tetapi di bawahnya tersembunyi jiwa yang
sentimental. Lagu-lagu Minangkabau umpamanya penuh dengan syair-syair sedih,
menceritakan nasib dan perasaan jauh dari orang yang dicintai dan dikasihi.
Chairil Anwar menampakkan hal yang sama. Dia
begitu tegar dalam Aku dan sangat sentimental dalam Derai-derai
Cemara. Perasaan terhadap orang yang dicintai tergambar jelas pada Senja
di Pelabuhan Kecil.
Begitulah, ketiga kecenderungan di atas yang tercermin dalam
puisi-puisi Chairil Anwar, mempunyai hubungan yang sangat erat dengan bahasa
dan masyarakat Minangkabau. Kenyataan ini sekaligus memperkuat anggapan bahwa
akar budaya Minangkabau masih kuat tertanam dalam diri Chairi Anwar.*
Sumber:
Harian Kompas, Rabu, 26 April 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar