OLEH Empi
Muslion
Alumnus Universitas Lumiere Lyon 2 dan ENTPE Lyon
Perancis
Pada 7 September
2011 lalu, CNN melansir sebuah survei tentang
daftar kuliner dunia yang masuk kategori terlezat di dunia (World's 50 most delicious foods). Survei CNN yang diikuti lebih dari 35.000 orang dari
seluruh dunia melalui situs jejaring Facebook
menobatkan randang (rendang) sebagai makanan paling lezat di
muka bumi. Jagad kuliner Indonesia dan Ranah Minangkabau khususnya pantas
berbangga hati.
Selama ini kuliner
merupakan salah satu senjata efektif untuk meningkatkan brain dan promosi bagi sebuah negara.
Sebut saja kreativitas racikan tangan dari berbagai negara yang sudah familiar di tengah masyarakat kita, seperti masakan dan minuman anggur
dari Prancis, Pizza dari Italia, ice cream
dari Amerika, kebab
dari Turki, sushi
dari Jepang, roti
cane
dari India, dan kuliner negara lainnya yang menyatu
dengan simbol negara asalnya. Bukan hanya makanannya, bahkan budaya sajian
kulinernya pun sudah masuk dan menukar
ranah tradisi budaya tradisional kita, seperti acara
jamuan makan ala Prancis atau yang dikenal dengan hidangan Prancis.
Akan halnya dengan
rilis CNN tentang makanan terlezat di dunia ini, bagi daerah asalnya Ranah Minang,
apakah momentum ini dapat dimanfaatkan untuk mendatangkan keberkahan dan
peluang kesejahteraan lewat launching
CNN dengan topik kuliner terlezatnya yang dibaca oleh seluruh warga dunia yang
menempatkan randang
sebagai juaranya?
Melesatnya randang
sebagai kampiun kuliner terlezat di dunia tentu tidak terlepas dari cita rasanya
sendiri yang memang tidak bisa disangkal lagi aroma dan kelezatan rasanya bagi
lidah siapa saja yang mengecapnya, baik orang Indonesia maupun orang luar
negeri. Dan bahkan Mc Donald sebuah simbol tradisi kuliner abad
modernaisasi saat ini juga sudah
menjadikan randang sebagai menu jualannya di samping menu ayam goreng
yang selama ini semata mata diperdagangkannya.
Randang hadir menjadi
kuliner spesifik masyarakat Ranah Minang tidaklah karena dipoles atau hasil
permakasi dari rempah-rempah yang dicampur zat kimia yang saat ini merajai lidah-lidah
generasi abad maya. Randang hadir dari eksprimen nenek moyang yang beribu tahun
yang lalu dengan trial and error nya
sampai menghasilkan rasa randang terlezat yang kita rasakan saat ini, murni
dari olahan bahan-bahan alami yang tumbuh di daerah tropis.
Artinya pengakuan
dunia internasional terhadap randang bukanlah karena dibuat-buat, karena
dipoles/dipermak, karena zat kimia, tetapi randang diakui murni karena kualitas
cita rasanya
yang dibikin lewat tradisi turun-temurun yang dipilih dari daging yang segar, takaran
bumbunya harus seimbang dan proses memasaknya harus dengan jiwa yang tekun dan sabar.
Padahal kalau
dilihat dari segi bentuk dan warnanya randang persis tidak memiliki nilai
estetika yang penuh warna warni untuk mengundang selera sama sekali, randang
kalau disajikan di
atas piring atau belanga hanya berupa tumpukan potongan daging yang
berlumeran dengan kuah santan yang sudah membeku dengan warna hitam legam, tetapi
randang menjadi idaman ketika aromanya menusuk hidung dan daging serta dedaknya
melekat diujung lidah.
Oleh sebab kualitas
aroma dan cita rasa randang yang sangat menendang itulah dia menjadi makanan yang sangat bergengsi
di setiap
rumah, randang merupakan kapten bagi menu-menu masakan lainnya di Rumah Makan
Padang. Randang juga merupakan sajiaan utama bagi perayaan atau acara
seremonial di Minangkabau maupun bagi perantaunya, apakah acara pergelaran
adat, acara kenduri perkawinan, acara keagamaan, Hari Raya Idul Fitri, dan
sebagainya. Sebuah fenomena rutinitas tahunan menarik akan tersaji saat
kegiatan Hari Raya Idul Adha dimana sepanjang jalan di nagari yang ada di
Sumatera Barat yang dimukimi oleh penduduk, aroma randang sahut menyahut mendesir
diudara menyapa kerongkongan.
Dari kualitas dan
konsistensi yang selalu dipelihara inilah randang menunjukkan eksistensi diri
dan citranya. Dia hadir permanen dalam dirinya, dia tidak muncul mendadak
sebagaimana fenomena demokrasi seremonial, prosedural dan struktural yang mendominasi
wajah bangsa kita pasca euphoria reformasi, di mana banyak politisi
dadakan yang menjadi terkenal kerena dipermak lewat iklan dan baliho yang
dipasang besar-besaran di
sepanjang jalan. Pengakuan
kelezatan randang bukanlah akibat popularitas yang didongkrak dengan menyewa
lembaga survei,
dikarbit lewat dagang politik yang masak diperam. Randang menjadi popular tidak
melalui kamuflase pembungkusnya yang dibuat wah dan bergensi dengan balutan
kopiah, dasi, lipstik dan jasnya atau bak seperti produk-produk imitasi yang
dipajang di etalase mal-mal mewah. Randang popular memang karena kualitas
rasanya.
Untuk itu bagi yang
ingin mendapat pengakuan dan bermanfaat bagi masyarakat dalam
mengaktualisasikan diri di medan pengabdian masyarakat, pakailah filosofi randang.
Tingkatkan kualitas dan kapasitas diri, peliharalah integritas dan moralitas,
tegakkan komitmen dan konsistensi. Lambat laun kepopuleran dan pengakuannya
akan datang langsung dari masyarakat, seperti randang.
Peluang Randang
Kekayaan khazanah
kuliner dan budaya Minangkabau tentu tidak hanya berhenti sampai di randang,
banyak bidang lainnya yang belum terangkat ketingkat pencapaian setinggi prestasi
randang, sebenarnya nasi goreng dan sate yang pada survei
CNN berada di urutan 2 dan 14 pada hakikatnya juga adalah masakan dari Sumatera
Barat yang sudah familiar selama ini.
Jika diidentifikasi
dan dieksplorasi lebih jauh, banyak sekali warisan khazanah budaya dan
peninggalan leluhur yang bernilai tinggi di Ranah Minang. Sebut saja arsitektur
rumah gadangnya yang bernuansa elegan, eksotik dan unik, hukum adatnya yang
spesifik dengan harmonisasi antara adat dan agama, garis keturunan matrilinial
yang menjadi kajian dari berbagai penjuru dunia, keseniannya yang memukau dan
mendayu, ada ; rabab, saluang, talempong, randai, tari piriang, dan sebagainya.
Tokoh negara,
pujangga, cendekiawan,
diplomat, ulama banyak lahir dari daerah ini, sehingga menjadi kajian
tersendiri dihati para peneliti. Kulinernya yang lezat dan bercita rasa tinggi
selain randang, ada dendeng, palai, gulai banak, ikan bilih dan sebagainya
dengan berbagai variasi menu dan masakannya. Begitu juga disegi makanan ringan,
sebut saja, dakak-dakak, kerupuk jangek, lamang tapai, kerupuk sanjai yang
sudah menjadi produksi berskala menengah dan sebagainya.
Semua asset tangible dan intangible Ranah Minang tersebut, jika dikelola dengan seksama dan
profesional tidak saja akan mengangkat nama harum dan kepopuleran Minangkabau
dipentas dunia, tetapi akan merambat ke ranah peningkatan kesejahteraan
masyarakat dari berbagai jasa yang akan dilahirkan.
Karena itu kita
tunggu sepak terjang pimpinan daerah, politisi, birokrasi, akademisi, pelaku
usaha dan berbagai profesi lainnya untuk menangkap momentum juaranya randang sebagai
makanan terlezat di planet bumi ini, Pemerintah Daerah diharapkan dapat memanfaatkan
promosi daerah dan pariwisata gratis ini menjadi sebuah peluang dalam
percepatan pembangunan daerah sehingga mendatangkan manfaat yang bermaslahat
dan kesejahteraan bagi masyarakat Ranah Minang.
Jangan sampai kemasan
randang hak patennya terdaftar sebagai produk yang berasal dari negara
Malaysia, cukup sudah lelucon lagu dindin bakdindin yang diklaim oleh negeri
serumpun terulang menampar muka kita, jangan sampai rumah makan Mc Donald, KFC,
dan sejenisnya lebih terkenal masakan randangnya dari pada Rumah Makan Padang.
Jangan sampai pengusaha asal Afrika yang berdomisili di Minangkabau lebih
menikmati limpahan rezeki karena mampu mengemas randang dengan lebih apik.
Selamat memakan dan
memaknai filsafat randang…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar