OLEH Yusriwal
Peneliti di Fakultas Sastra Unand
Postmodernisme sering disalahpahami sebagai penolakan terhadap modernitas, dan kerap diidentikkan dengan khaos, ketidakteraturan, kesemana-menaan[1].
Posmodernisme
muncul sebagai antitesis terhadap kebekuan modernisme, bukan antitesis terhadap
modernisme. Sementara sebagian kalangan berangggapan, kemunculan posmodernisme
adalah harapan baru bagi masa depan dunia karena dengan posmodern keberagaman
akan tampil sebagai sebuah nilai unggul dalam kehidupan manusia. Dengan begitu
tidak akan ada lagi klaim sesuatu atas sesuatu karena kebenaran hidup adalah
milik bersama dan setiap orang berhak mengucapkan serta menjalankan kebenaran
itu menurut keyakinan dan caranya
sendiri.
Posmodernisme
di Indonesia
Adalah
kelompok pemikir sosialis yang mula-mula menghembuskan posmodernisme sebagai
ungkapan kekecewaan terhadap realitas modern yang digerakkan oleh kapitalisme[2]. Sejak awal
munculnya di Eropa tahun 50-an, pemikiran posmodern banyak mendapat tantangan
karena membawa sifat yang dekonstruktif. Tantangan yang telah dialamatkan
terhadap posmodernisme, antara lain tercermin dalam ungkapan Herbert W Simons:
bahwa alam pikiran posmodern mengutuk apapun, tetapi tidak mengusulkan apapun[3].
Sedikit
banyaknya pandangan mengenai hal ini dipengaruhi oleh beberapa kerancuan dalam
pembicaraan mengenai posmodernisme selama ini. Di antaranya adanya anggapan
bahwa posmodernisme adalah suatu bangunan teoritis yang sudah jadi dan
dilawankan dengan modernisme. Padahal posmodernisme tidak atau belum muncul
sebagai bangunan teoretis untuk menutupi kekurang-kekurangan realitas modern
selama ini, tetapi suatu bangunan kesadaran bagi setiap kritik yang dialamatkan
kepada kebekuan-kebekuan modernitas itu[4].
Posmodernisme
bukanlah sebuah solusi dan ia memang tidak bermaksud menawarkan sebuah solusi
atas kebuntuan-kebuntuan yang terjadi dalam realitas modern, melainkan hanya
suatu upaya eksistensial, narasi-narasi kecil yang memiliki kehadiran berarti
seperti halnya kehadiran narasi besar. Mengenai apakah paradigma posmodern akan
tampil mengkooptasi pemikiran manusia sebagaimana modernisme sekarang? Hal itu
tergantung pada proses historis yang bisa dicapai oleh gerakan ini nantinya
karena saat ini posmodernisme masih
berlangsung menuju pembuktian historis.
Di Indonesia,
posmodernisme sebenarnya telah mengisi kreativitas sastrawan Indonesia di era
70-an, ditandai dengan maraknya pembicaraan mengenai dekonstruksi pada
karya-karya seniman Indonesia. Akan tetapi, fenomena yang sensasional baru
terjadi di tahun 90-an, yakni saat dilangsungkannya Biennale Seni Rupa Indonesia di Jakarta.
Peristiwa
ini pada intinya menjadi media pengungkapan keprihatinan beberapa perupa
Indonesia atas stagnasi dalam seni rupa Indonesia. Perkembangan itu sejalan
dengan perkembangan situasi di negeri-negeri Asia yang tengah mengalami suatu
kejenuhan atas dampak modernitas di seluruh lini kehidupan. Tak terkecuali
Indonesia, yang dalam hal ini merupakan salah satu negara yang pola-pola
pembangunannya dilandasi dengan paradigma modernitas yang begitu konvensional.
Globalisasi
kemudian menjadi kenyataan dan di belakang globalisasi itu ada satu kekuatan
pengendali yakni kapitalisme global. Segala-galanya diambil alih oleh semangat
kapitalisme global itu. Seolah-olah tidak ada posisi tawar lagi dengan apa yang
dimiliki, identitas ditentukan, dan kultur secara umum dibentuk oleh arus besar
kapitalisme yang bersembunyi di belakang globalisasi itu.
Dalam
kondisi seperti ini timbullah hasrat untuk berbeda dengan menjadi diri sendiri,
yang merupakan dasar dari seluruh pemikiran posmodern. Eksistensi tengah
dipertanyakan dan dibangun: apakah akan dibiarkan modernitas merampas apa saja
secara semena-mena? Bukankah Indonesia ini adalah bangsa yang besar dengan
identitas yang jelas? Bukankah di sini dulu pernah ada kejayaan pemikiran, dan
seterusnya, dan seterusnya? Alam pikiran posmodern seolah-olah akan membawa
keluar dari kemelut eksistensial yang seperti ini, karena dirasa akan membantu
untuk hidup di antara kepingan-kepingan masa lalu itu. Di antara kejayaan-kejayaan
yang sudah tak ada itu diharapkan dapat menjawab tantangan hegemoni dari
realitas modern yang begitu kaku. Taoisme lalu dibuka, Hinduisme dibicarakan
lagi, pikiran-pikiran Timur lainnya dibicarakan dengan bernafsu. Di Indonesia
khususnya, pembicaraan awal tentang posmodernisme itu dimulai dengan
pertanyaan: apakah Kang Semar itu posmodern, bukankah struktur bahasa sanskrit
itu posstruktural?[5]
Tentu saja
terlihat sebuah ironi yang cukup dalam, apabila munculnya posmodern dilihat
sebagai pembicaraan di Indonesia, dengan fenomena posmodern di negara seperti
Amerika. Di Amerika, kehadiran posmodern itu telah menginspirasi hadirnya
berbagai aliran-aliran ‘kiri’ dalam kesenian. Salah satunya adalah Dadaisme. Seniman-seniman dadais menolak
segala macam konvensionalitas yang ditawarkan oleh seni-seni tinggi.
Karya-karya mereka sering dicirikan sebagai karya-karya imitasi dari proses
berkarya seniman di masa lampau (sebelum modernitas menguasai hajat hidup orang
banyak). Bahan-bahan dan ide-ide penciptaan mereka cenderung aneh, oleh karena
itu sensasional. Misalnya, bagaimana seorang dadais menyimpan kotorannya
sendiri untuk dipergunakan sebagai bahan melukis dan mereka tentu saja memiliki
sejumlah alasan ekologis atas hal itu.
Menurut catatan Robert Dunn, satu hal yang
telah dicapai (dan merupakan bahaya atas kualitas karya mereka) oleh kelompok
posmodern adalah populisme. Aksi-aksi mereka yang sensasional berbuah populisme
tadi. Mereka menembus batas-batas yang selama ini disepakati oleh aliran konvensional.
Akibat adanya perubahan kultur komunikasi oleh media massa, perilaku-perilaku
posmodern itu lalu menjadi semacam ‘mazhab’ yang dituruti oleh sebagian
generasi.
Hiperrealitas
atau ekstasi komunikasi versi Jean Baudrillard seperti yang kita lihat
sekarang, sebenarnya telah mendukung kehadiran
posmodern. Karya-karya seni posmodern hanya eksis di tengah situasi gaya
hidup yang hiper dan mencandu. Dapat dilihat misalnya, bagaimana eksisnya
berbagai kelompok musik underground
(bisa dibaca; next generation),
bagaimana Madonna menyita perhatian publik di panggung dengan tubuh telanjang
dan salibnya, bagaimana makna-makna diperbaharui dengan kehendak sendiri.
Itulah fenomena terakhir posmodern. Atau dalam bahasa Yasraf Amir Piliang
itulah produk posmodern yang fenomenal.
Berdasarkan
data-data yang disajikan oleh beberapa pengamat itu, gerakan posmodern terlihat
ironis, yakni bagaimana fakta-fakta posmodern itu ternyata ditunggangi dan
sampai ke berbagai penjuru dunia lewat kekuatan-kekuatan kapitalis. Barangkali, agar lebih bijaksana,
perlu membedakan fenomena posmodern itu menjadi negatif dan positif. Sebab,
melihat kasus Indonesia (dan juga Asia umumnya), isu posmodern muncul sebagai
antisipasi terhadap apa yang kita sebut bahaya modernitas (yang sebenarnya juga
bahaya posmodernitas). Bagaimanapun posmodern sebagai sebuah gerakan yang
kontinyu belum pernah benar-benar terlaksana di Indonesia. Tidak ada data yang
valid, atau memang tidak pernah ada pencatat yang mampu menyimpulkan apakah
posmodernisme itu benar-benar ada di sini, atau apakah para seniman Indonesia
telah mendasari kreativitas seninya dengan alam pikiran posmodern itu. Ia baru
saja muncul sebagai sebuah hal, tapi belum pernah menjadi ihwal. Baru saja
dipertanyakan, lalu sudah menghilang dari ‘bursa’ pemikiran kesenian Indonesia.
Sayang sekali memang, karena tidak akan dapat secara jernih dan tepat
membicarakan perihal gerakan pemikiran ini, jika tidak melakukan studi yang
mendalam atas hal itu.
Posstruktural dan Posmedernisme
Berdasarkan
argumen A Teeuw[6],
dekonstruksi telah berakhir di Eropa sejak kemunculan Jacques Derrida, salah
seorang penggagas posstruktural karena sifat teorinya yang revolutif dan
mengacaukan struktur yang sudah ada. Satu garis dengan Jacques Derrida dapat
dicatat nama-nama seperti Roland Barthes (dengan terobosan semiotiknya), Julia
Kristeva, Jean-Francois Lyotard dengan pengetahuan posmodernnya. Antara
posmodern dengan posstrukturalisme, terjalin suatu keterkaitan utuh.
Posstrukturalisme adalah posmodern di bidang bahasa dan ilmu tanda. Kalangan
posstrukturalis menganggap, definisi struktur selama ini telah baku dan mereka
perlu mencairkannya agar struktur bahasa itu tidak berada dalam satu pemahaman
konvensional belaka.
Persoalan
apakah Jacques Derrida sudah benar dan telah berhasil memberikan suatu
kebenaran baru dalam hal bahasa ini, hal itu tergantung pada keyakinan
masing-masing orang. Namun, yang pasti tidak sedikit dari para ahli yang telah
menguraikan kelemahan teori-teori Jacques Derrida, seperti Jean Baudrillard
misalnya, meski tidak sedikit juga yang terpengaruh oleh gagasan-gagasannya
itu. Jean Baudrillard mengeritik Jacques Derrida, yang dikatakannya sebagai
upaya hidup di antara kepingan-kepingan masa lampau karena semangat bahasa yang
dipergunakan Jacques Derrida, misalnya, adalah semangat bahasa purba yang tidak
mengandung keterikatan-keterikatan historis dengan waktu, keterikatan dengan
makna, dan terbuka peluang untuk tafsiran-tafsiran baru.
Pemikiran Jacques
Derrida tersebut merupakan kritikan atas pemikiran Ferdinand de Saussure yang
sangat terikat kepada referensi dan makna dalam konsep bahasanya, yang ada
mendahului sebuah penanda. Hal itu dipandang Jacques Derrida sebagai satu
kecenderungan yang dogmatis dan tak kreatif dalam wacana bahasa karena menutup
peluang bagi tafsiran baru. Kecenderungan bahasa ini dipandang bersifat
logosentris, yakni kecenderungan untuk bergantung pada jaminan makna kebenaran
fundamental, prinsipil inti atau tunggal (ideologis, teologis, dan mitologis).
Jacques Derrida
sendiri membedakan antara dua pandangan tentang tafsiran. Pertama, yang disebutnya tafsiran restrospektif, yaitu upaya-upaya
bagi rekonstruksi makna atau kebenaran asli atau awal; kedua, tafsiran prospektif, yang secara eksplisit menerima
ketidakpastian makna. Tafsiran pertama membentuk ketergantungan pada logos, yang di dalam filsafat disebut
kebenaran akhir atau kebenaran mutlak, dan dalam teori Kristiani ia dapat
diterjemahkan wahyu Tuhan. Jaminan makna tersebut, dengan demikian bersifat
transendental, dan pada tingkat tertentu bersifat dogmatis. Tafsiran kedua
justru membuka peluang bagi permainan bebas bahasa tanpa terikat pada dogma. Jacques
Derrida melihat kecenderungan filsafat bahasa Ferdinand de Saussure sebagai
kecenderungan teologis belaka. Piramida pada konsep semiotika strutural
Saussure pada akhirnya akan merujuk pada petanda, yang pada ujungnya akan
bermuara pada Tuhan.
Dekonstruksi
adalah istilah yang digunakan Jacques Derrida sebagai salah satu bentuk
pembongkaran oposisi biner yang dikembangkan dalam linguistik Ferdinand de Saussure
seperti antara ucapan dan tulisan, oposisi biner antara: makna/bentuk,
jiwa/badan, transendensi/imanensi. Satu istilah sentral dalam filsafat bahasa
dekonstrusi Jacques Derrida adalah gram
atau differance. Gram, menurut Jacques
Derrida dalam position, adalah
struktur sekaligus pergerakan, yang tidak lagi mungkin dipandang atas dasar
oposisi biner antara: hadir/absen, penanda/petanda. Ia tidak bertumpu lagi pada
kehadiran petanda atau logos. Dengan mengabaikan asumsi adanya makna dalam
wacana, gram menjadi sebuah permainan
bebas pembedaan, yaitu sebuah pergerakan dari satu penanda ke penanda lain,
sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan baru[7].
Istilah
penting lainnya dalam dekonstruksi adalah diseminasi.
Diseminasi adalah keadaan kehampaan makna disebabkan telah dibongkarnya
petanda/logos. Dengan membongkar petanda—dengan demikian makna—maka lenyap pula
fungsi komunikasi dalam bahasa. Dalam
ketiadaan petanda/logos maka bahasa berkembang lewat energi dan kreativitasnya
sendiri[8].
Estetika
Posmodern di Indonesia
Kecemasan
pada posmodern barangkali disebabkan oleh sifat dekonstruktif yang dibawa oleh
gerakan ini. Menurut Paul Virilio, hakikat dari ruang posmodernisme adalah
kecepatan dan percepatan atau ruang epilepsi, yaitu ruang yang disarati oleh
kejutan-kejutan dan frekuensi-frekuensi yang variasinya tidak terduga, yang
tidak lagi sekadar berkait dengan interupsi (melalui percepatan), muncul dan
menghilangnya dunia nyata[9].
Apabila
mengamati proses pemaknaan ruang oleh para seniman kita belakangan ini, sedikit
banyak akan terlihat kecenderungan ke arah definisi Virrilio mengenai ruang
posmodern tadi. Kejutan-kejutan dari dunia seni rupa dimulai dengan
bermunculannya pameran karya-karya instalasi. Banyak perupa yang memamerkan
karya instalasinya di alam terbuka, sesuai dengan inspirasi yang dibawakan
dalam karya instalasinya itu.
Instalasi
‘Segitiga Api’ oleh perupa Made Wianta, misalnya, mengambil tempat di hutan
kecil di ujung Desa Apuan, Bali. Di situ, sekaligus ia hendak menangkap bahasa
estetik alam dengan kreasi estetik instalasinya. Ruang bukanlah satu persoalan
perizinan tempat lagi. Sebuah pementasan bisa terlaksana di mana saja dan
orang-orang tidak harus mendapatkan tiket untuk melihatnya. Justru keluasan ruang
ala posmodern itu ditentukan oleh komunikasinya dengan elemen-elemen ekologi
yang lain.
Pada
Desember 1999, seniman Made Wianta kembali mengomunikasikan bahasa ruangnya
kepada audiens. Mengambil tema perdamaian, ia menggelar suatu pertunjukan
spektakuler di sepanjang pantai Padang Galak, Sanur. Dalam pengantar
pemerannya, Made Wianta mengatakan bahwa ada ratusan penari bergerak di pasir
pantai sambil membawa kain lebar putih yang panjang. Tak lama kemudian di
ketinggian 50 kaki ada sebuah helikopter menjatuhkan spanduk berisi pesan-pesan
perdamaian. Konon, rencananya, Made Wianta akan menulisi kain spanduk itu dari
helikopter tersebut (tapi tampaknya rencana itu tidak terlaksana).
Selanjutnya,
kita melihat orang-orang bergulingan di pasir. Seandainya dengan bahasa ruang
ini cukuplah bagi kita untuk menggolongkan sebuah pertunjukan seni ke dalam
aliran pemikiran posmodern, maka tidak hanya Made Wianta, hampir seluruh
pertunjukan seni tradisional Bali sebenarnya telah bergerak dalam lingkaran
posmodernisme.
Pertunjukan
tradisi semacam “Calon Arang” adalah suatu upaya komunikatif antara seni
pertunjukan itu dengan elemen-elemen lain, dengan ruang secara keseluruhan. Hal
yang sama akan dapat dilihat dalam pertunjukan Barong Klutuk di Desa Trunyan,
Bangli[10].
Beberapa
contoh di atas tidak dapat disebut sebagai seni posmodern meskipun ia berada
pada alur tersebut. Karya spektakuler Made Wianta dan pertunjukan tradisi “Calon
Arang”, adalah model seni konvensional yang membawakan pesan-pesan khusus. Di
dalamnya kita menemukan realisme, naturalisme, dan sekaligus nuansa kontemporer
yang merupakan ciri seni modern. Dalam seni realisme dan naturalisme pesan yang
jelas (yang sering diabaikan oleh posmodern) menjadi satu hal penting, namun
apabila pesan itu dimaknai secara interpretatif, maka di dalam posmodern
sebenarnya terkandung pesan yang cukup jelas (setidaknya kepada realitas
modern). Inilah barangkali yang membuat banyak pengamat mengatakan kalau
posmodern bersifat mendua dalam banyak hal.
Ambiguitas,
itulah salah satu ciri posmodernisme. Watak ambigu ini tampaknya dilandasi oleh
penolakan (kalau bukan kegamangan) alam pikiran posmodernis pada suatu tanda
atau kebenaran yang mutlak. Mereka
menolak universalitas karena universalitas mengklaim mengatasi segala-galanya
dan merupakan cerminan prinsip totalitarian. Maka kalangan posmodern cenderung
melihat segala sesuatu sebagai parodi dan hidup dalam realitas parodi itu.
Namun, apakah alam pikiran posmodern menawarkan satu bentuk yang benar-benar
baru dalam realitas dunia yang sudah tua ini? Tidak ada bentuk yang belum
terlaksana. Semua kini yang tersisa hanyalah kepingan-kepingan (historis), yang
masih tersisa untuk dilakukan adalah bermain dengan kepingan-kepingan itu.
Bermain dengan kepingan-kepingan itulah posmodern,” kata Baudrrilard [11].
Berbeda
dari Paul Virilio, Jean Baudrillard
mengibaratkan karakteristik seni posmodern sebagai padang pasir. Di padang
pasir, yang ditemukan hanya kedataran, tidak ada kejutan, tidak ada provokasi.
Selanjutnya, dengan metaforanya ia melukiskan bahwa kesunyian padang pasir
merupakan satu bentuk visual, sebuah tatapan, namun tidak pernah menemukan cara
untuk merefleksikannya. Tidak pernah ada kesunyian di gunung, disebabkan oleh
gaung konturnya. Dan agar bisa sunyi di sana, waktu itu sendiri harus menggapai
semacam kedataran, tak ada gaung waktu masa depan, kita hanya semata
(mengalami) pergeseran lapisan geologis antara satu dan lainnya, yang
menyuguhkan tak lebih dari bisikan-bisikan fosil[12].
Ada
beberapa ciri pokok dalam bahasa estetik posmodern yang bersifat hiperrealitas
dan ironis, seperti diuraikan Yasraf Amir Piliang[13], yaitu:
1.
Pastiche, adalah
karya sastra, seni, atau arsitektur yang disusun dari elemen-elemen yang
dipinjam dari para pengarang, seniman, atau arsitek dari masa lalu. Pastiche dianggap miskin orisinalitas
karena mengandung unsur peminjaman. Sering juga dikatakan penggunaan topeng
bahasa atau pengungkapan dengan bahasa yang telah mati,
2.
Parodi, segala
ungkapan dalam parodi dibuat sedemikian rupa supaya humoristik dan absurd.
Sejak dari masa lalu, parodi digunakan sebagai ungkapan rasa tidak puas atas
suatu karya yang serius,
3.
Kistch, sering ditafsirkan sebagai sampah artistik,
pungutan, pseudo art yang tanpa
selera. Strategi kistch adalah menyimulasi
atau menyalin elemen-elemen gaya dari seni tinggi atau objek sehari-hari untuk
kepentingannya sendiri, yang produksinya didasarkan pada semangat
mendemitosisasi seni tinggi,
4.
Camp, cirinya
menyanjung kevulgaran, ingin menjadi berlebihan, glamour, dan spesial,
5.
Schizophrenia,
Jacques Lacan, seorang ahli psikoanalisis mendefinisikan skizofrenia sebagai
putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian stıgmatis penanda yang bertautan
dan membentuk satu ungkapan atau makna. Bagi seorang schiphrenic, semua tanda atau penanda dapat digunakan untuk
menyatakan satu konsep atau petanda.
Dalam tahap ini, tidak dibedakan antara masa lalu, masa depan, dan masa
kini.
Tampaknya
ciri yang diambil Yasraf Amir Piliang di atas, diperoleh berdasarkan kesan
kesan sensasional dari fenomena posmodern belakangan ini. Seandainya ciri-ciri
itu tidak bisa diubah lagi, maka tak ada gunanya kita melakukan kajian
posmodern terhadap karya seni Indonesia. Sebab, tidak satu pun dari karya seni
di Indonesia yang semata-mata hanya memiliki ciri di atas. Namun, tentu saja
tidak akan begitu karena ciri yang fundamental dalam seni posmodern seperti
diuraikan Yasraf Amir Piliang (berdasarkan ciri posmodern dari berbagai ahli),
adalah misteri, permainan, dan perombakan. Itu mungkin lebih tepat disebut
sebagai watak atau karakter yang fundamental, yang muncul di setiap karya
posmodern.
Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna
Menilik
ciri posmodern yang berkaitan dengan misteri, permainan, dan perombakan
tersebut, adalah suatu hal yang menarik bila dikaitkan dengan sajak-sajak
Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna.
Pembicaraan
tentang puisi Sutardji Calzoum Bachri selama ini justru banyak dituntun oleh
kredonya sendiri mengenai puisi, yakni membebaskan kata dari beban makna;
kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian[14], makna adalah
kata-kata itu sendiri, karena itu kata-kata harus bebas. Kredo tersebut lalu
menjadi alasan bagi banyak kritikus untuk mengatakan Sutardji telah keluar dari
garis tradisi puisi Indonesia atau seperti yang dikatakan Popo Iskandar dalam
salah satu tulisannya bahwa Sutardji Calzoum Bachri telah memberikan nuansa
baru bagi tradisi puisi Indonesia.
Masih
terlihat kesimpangsiuran pembicaraan dalam upaya menilai Sutardji dan upaya
yang dilakukan Afrizal Malna sebagai agen dari posstruktural, sebagaimana Jacques
Derrida melakukan dekonstruksi terhadap struktur bahasa konvensional. Namun,
tidak satu tulisan pun yang telah lahir dengan cara pandang tersebut. Pada
kasus Afrizal Malna, malah hanya dilakukan oleh dia sendiri.
Afrizal
dalam berbagai forum menjelaskan perihal puisinya sebagai suatu altenatif di
tengah realitas zaman ketika benda-benda begitu mendominasi kehidupan manusia.
Pada satu perdebatan dengan Ignas Kleden di harian Kompas, Afrizal Malna mencoba menggunakan wacana posstrukturalis Jacques
Derrida untuk membela dirinya dari serangan Ignas Kleden. Namun, Afrizal Malna gagal
menjelaskan pemikirannya dengan lebih baik, hingga pembelaannya terkesan
emosional.
Dapat
dikatakan, semua puisi (seperti juga semua karya seni) mengandung misteri dan
semangat bermain. Sebuah puisi, sering dinilai berdasarkan kadar permainan dan
misteri yang dibawakan dalam puisi itu. Menurut Frans Nadjira[15], misteri dan
semangat bermain dalam sebuah puisi adalah
kerangka estetik yang penting. Tapi bermain tidak sama dengan
bermain-main dan misteri tidak sama dengan misterius, wilayah yang sulit bagi seorang penyair. Kebahagiaan bermain itu menurutnya dapat diandaikan dengan
senangnya kanak-kanak dalam keseharian mereka, dalam permainan petak umpet,
kejar-kejaran, dan sebagainya. Permainan dan misteri mengundang imajinasi
karena itu seniman tak dapat lepas darı permainan dan misteri. Sungguhpun semua
puisi dan karya seni membawa sifat misteri dan permainan, tidak banyak karya
puisi yang membawa semangat perombakan (dalam arti instrinsik) seperti halnya
perombakan yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri. Karena itu, pembicaraan akan
difokuskan pada puisi-puisi yang mengandung sifat perombakan tersebut.
Umar Junus[16] mengatakan
kalau sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri bukanlah antistruktural. Untuk
menilai sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri ternyata masih bisa menggunakan
paradigma struktural. Hanya struktur pada sajak Sutardji Calzoum Bachri
tersembunyi dengan rapat dan bukanlah struktur yang lazim ditemukan pada
sajak-sajak penyair lain.
Mantra
adalah satu kata kunci untuk menjelaskan sajak Sutardji Calzoum Bachri dengan
pendekatan struktural. Di dalam mantra, struktur tidak terfokus pada makna yang
timbul karena keterkaitan antara elemen dengan elemen lainnya, melainkan
kehadirannya. Analisis Umar Junus dalam menemukan struktur berulang atau
perulangan struktur dalam sajak Pot
dapat dilihat sebagai berikut.
Pot apa pot itu pot
kaukah pot aku
Pot pot pot
Yang jawab pot pot pot potkaukah
pot itu
Yang jawab pot pot pot potkaukah
pot aku
Potapa potitu potkaukah
potaku
POT
Perulangan
dan persambungan begitu dominan. Ia hanya berbicara tentang pot dengan
pertentangan antara “pot aku” dan “pot kau”. Dan kesimpulan yang penting
baginya adalah pot. Keadaan yang serupa juga terlihat dalam sajak Daun;
daun
burung
sungai
kelepak
mau
sampai langit
siapa tahu
buah rumput selimut
dada biru
langit dadu
mari!
rumput pisau batu kau
kau kau
kau kau kau kau
kau
kau kau
kau KAU kau kau kau
kau kau
kau kau kau
kau kau
kau
Persambungan
di dalamnya dapat terlihat sebagai berikut (hanya beberapa contoh belaka):
daun-burung:burung
biasanya hinggap berdekatan dengan daun
daun-sungai: daun yang dihanyutkan air
dan hidup oleh adanya air
daun-kelepak: dihubungkan melalui kata
kelopak
burung-sungai: burung yang bermain dekat
air dan minum air
pisau-kau: bunyi au dan pisau yang digunakan manusia untuk menyabit rumput
Dalam
sajak ini perulangan kau sekaligus bertugas
sebagai ledakan. Bagian yang penuh dengan kau
mempunyai tugas sebagai berikut:
·
perulangan,
yang merupakan lukisan yang intensif;
·
kesimpulan
terhadap keseluruhan sajak;
·
kontras
terhadap bagian sebelumnya yang tidak mengandung perulangan.
Begitulah
semua sajak Sutardji Calzoum Bachri menurut Umar Junus dapat dianalisis dengan
model penganalisisan di atas. Ini membuktikan adanya semacam sistematik pada
sajak-sajaknya walaupun kalau dilihat begitu saja, payah untuk mengatakan
adanya sistematik di dalamnya karena ada pertentangan bentuk lahir antara satu
sajak dengan sajak lainnya, yaitu kalau dilihat tanpa analisis. Tapi analisis
dapat membuktikan bahwa semuanya dihasilkan melalui proses yang sama[17].
Lebih
lanjut, Umar Junus menguraikan kalau sajak Sutardji Calzoum Bachri secara umum
mengandung selubung misteri. Hal itu karena sifat mantra yang terdapat pada
sajak-sajak tersebut. Sebuah mantra mengandung misteri, tetapi ia tidak
misterius. Daya mantra ada pada rayuan dan perintah. Pada mantra,
yang penting bukanlah bagaimana orang memahaminya, tapi kenyataannya sebagai
mantra dan kemanjurannya sebagai sebuah mantra karena mantra lebih merupakan
permainan bunyi dan bahasa belaka. Pada mantra, yang penting adalah efek dari
kehadirannya, eksistensinya dan bukan pada apa yang dibawanya.
Namun, ada
yang tidak bisa ditinggalkan dalam sebuah mantra, yaitu kemanjurannya. Unsur
kemanjuran pada mantra tergantung pada struktur permainan yang terdapat di
dalamnya. Jika permainan dalam mantra
tersebut mampu memerangkap pendengar atau pembaca, berarti mantra manjur.
Sebuah mantra tidak membawa amanat apa-apa, kecuali jika kehadiran yang begitu dipentingkan dalam mantra tersebut dapat
dianggap sebagai sebuah amanat. Sutardji Calzoum Bachri memang tidak
mempedulikan amanat. Apakah dengan demikian ia dapat digolongkan kedalam
kelompok Jacques Derrida, Roland Barthes, atau Julia Kristeva, misalnya?
Dalam
pembicaraan Umar Junus di atas, tidak terlihat upaya untuk mengelompokkan Sutardji
Calzoum Bachri ke dalam kelompok penyair posstruktural. Umar Junus hanya
menggunakan kerangka pemikiran posstruktural dalam menganalisis sajak-sajak Sutardji
Calzoum Bachri karena dalam mantra memang terdapat salah satu ciri
posstruktural yaitu tidak komunikatif, namun memberikan pengaruh (efek khusus)
kepada pendengar atau pembacanya.
Beberapa
tahun setelah Sutardji Calzoum Bachri muncul nama Afrizal Malna. Kemunculan
penyair ini terutama diramaikan oleh media massa. Media massa (koran dan
majalah sastra) konon telah menjadi suatu institusi kontrol baru bagi
kesusastraan yang dikenal dengan istilah
sastra koran. Hal itu mungkin disebabkan fenomena budaya dalam masyarakat telah
bergeser ke arah budaya massa dan populisme. Koran-koran dan majalah dengan
setia menyajikan karya-karya sastra dan polemik-polemik sastra terbaru, sehingga
media massa hampir saja menjadi dapat dikatakan
lembaga kontrol yang setia bagi perkembangan kesusastraan di Indonesia.
Afrizal Malna
muncul dalam kondisi yang seperti itu. Secara umum, ciri sajak-sajak Afrizal Malna
adalah aktifnya benda-benda dalam sajak-sajaknya (diskusi dengan Afrizal Malna
di Sanur, 1997). Untuk itu Afrizal Malna, kadang-kadang mengadakan perjalanan
sastra ke daerah-daerah, mengadakan dialog dengan para peminat sastra perihal
sajak-sajaknya.
Afrizal
menjelaskan bahwa era ini, adalah era pascamodernitas, telah memberi peluang
secara keterlaluan terhadap benda-benda. Hidup kita pada masa ini telah
dikuasai oleh benda-benda tersebut. Orang bisa seharian penuh berada di sebuah
mal hanya untuk melihat-lihat baju, sepatu, peralatan elektronik, piring makan
Perancis. Orang rela korupsi untuk dapat membeli sebuah mobil mewah, rumah
mewah, handphone, yang semuanya
hanyalah benda mati. Manusia zaman ini telah memberinya tempat yang tinggi.
Karena itu, bahasa pun harus berubah, puisi harus memberi tempat kepada
hadirnya benda-benda tersebut secara penuh. Tidak hanya sekadar sarana
inspirasi atau sekadar alat untuk menyampaikan maksud sang penyair, tapi
benda-benda itulah sesungguhnya yang mempengaruhi pikiran mereka.
Dalam
puisi-puisinya, pemikiran Afrizal Malna tersebut memang terlihat secara
gamblang. Puisinya biasa bercerita tentang: sendok
gigi menggigit kepala burung,…sepatu mencungkil langit,…kabel listrik berkata-kata kepada kaca
jendela yang telah memecahkan kepala seorang gadis di tengah hujan.
Benda-benda
menjadi begitu aktif dalam sajak-sajak Afrizal. Dia benar-benar melakukan
dekonstruksi terhadap puisi Indonesia selama ini.
Pada
hakikatnya, kondisi posmodern ditandai oleh terjadinya pergeseran makna dari
konvensi modern ke suatu pemahaman yang lebih terbuka. Apabila diperhatikan
penolakan Jacques Derrida atas oposisi biner Ferdinand de Saussure, dapat
dilihat bahwa alam posmodern berusaha untuk mencari eksistensi di tengah bentuk-bentuk dan makna-makna
baru yang diinginkan, relasi antara benar/salah, hitam/putih, buruk/jelek,
bagus/tidak, dan karena itu pemikiran posmodern dikatakan berangkat dari
narasi-narasi kecil yang terlupakan dalam alam pikiran modern.
Alam
pikiran posmodern juga menyatakan penolakan terhadap klaim ilmiah berdasarkan
paradigma kaum positivistik karena kebenaran ilmiah mereka adalah sebuah
hegemoni. Menurut pemikiran posmodern kebenaran ilmiah bisa ada di dalam apa
saja, bahkan di dalam ketidakbenaran itu sendiri. *
[1] Nirwan Dewanto, “Carut-marut yang Bikin
Kagum dan Cemas”, Kalam edisi I – 1994 hal. 4.
[2] Nirwan
Ahmad Arsuka “Perang Ilmu, Nostalgia Kosmis..” Bentara Budaya Kompas 5 Mei 2000.
[3] Yasraf
Amir Piliang 1999. Sebuah Dunia yang
Dılıpat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung :
Mizan. Hal. 311.
[4] Diskusi
dengan Aant Kawitsar di tempat tinggalnya di Nusa Dua Bali ,
seorang pelukis yang dulu pernah bekerja di majalah sastra Horison.
[5] Yasraf
Amir Piliang 1999. Sebuah Dunia yang
dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung :
Mizan. Hal. 311.
[6] A.
Teeuw 1989. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
Hal. 45-60.
[7] Yasraf
Amir Piliang 1999. Sebuah Dunia yang
dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung :
Mizan. Hal. 268.
[8] Ibid
hal. 269-270.
[9] Ibid
hal. 269
[10] Diskusi
di Warung Budaya Denpasar, April 1999.
[11] Dalam
Yasraf Amir Piliang 1999. Sebuah Dunia
yang dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung :
Mizan. Hal. 338.
[12] Idem
[13] Ibid
hal. 255.
[14] Umar
Junus 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Hal. 201.
[15] Dalam
sebuah diskusi yang dilakukan di rumahnya di Denpasar, tanggal 6 Mei 2000.
[16] Umar
Junus 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Hal. 210-235.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar