OLEH
Yusriwal
Peneliti
di Fakultas Sastra Unand
Ukiran pandai sikek di rumah gadang |
Masalah estetika cukup rumit karena bidang
ini bukan hanya sebatas seni dan filsafat. Untuk memahami estetika,
beberapa hal perlu diperhatikan: 1) apresiasi terhadap seni mencakup pengamatan
(mendengarkan, membaca, dan lain-lain) pada situasi dan modus yang berbeda
sehingga seseorang dapat menikmati dan meresapi segala sesuatu yang terpendam
dalam karya tersebut. Apresiasi sering melibatkan berbagai kalangan seperti
dosen, pencinta seni, serta melalui berbagai cara seperti peragaan, percakapan
formal, dan bahkan dengan mengulangi secara diam-diam; 2) kritik terhadap karya
seni terdiri atas kata-kata, yaitu kata-kata tentang karya seni dan dirancang
untuk lebih memahami dan mengapresiasi karya seni (gaya atau periodenya) dengan
cermat.
Kritik terhadap seni merupakan cara untuk mencapai tujuan akhir yang
lazim dilakukan di akademi/universitas yang mengurusi seni, sastra, musik,
lukisan, pahat arsitek dan tari dengan melibatkan orang yang begitu telaten di
bidangnya; dan 3) estetika termasuk bidang filsafat. Dalam estetika kita
mencoba mengklarifikasi konsep yang dipakai dalam berpikir dan berbicara
tentang objek pengalaman estetika (yang umumnya adalah karya seni, objek alam,
pohon, matahari, lereng bukit dan manusia itu sendiri). Di antara konsep-konsep
yang dipakai secara konstan untuk membicarakan estetika adalah Estetika
(keindahan), nilai keindahan, makna estetika, simbolisme, representasi,
ekspresi, kebenaran, dan seni.
Secara teknis, estetika dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari keindahan. Keindahan tersebut terdapat di
mana-mana. Di samping itu, manusia juga membuat keindahan yang dituangkan dalam
karya seni. Keindahan karya seni yang diciptakan manusia tersebut dapat
dinikmati, namun sebagai penikmat belum dapat disebut sebagai ahli estetika.
Estetika bukanlah cara untuk menikmati keindahan tetapi usaha untuk memahami
dan menjelaskannya (Anwar,1985:9).
Estetika berasal dari bahasa Yunani aesthesis
yang berarti perasaan atau sensitivitas. Hal itu disebabkan keindahan itu erat
kaitannya dengan selera dan perasaan yang dalam bahasa Inggris disebut taste
dan dalam bahasa Jerman disebut geschmack. Namun dalam perkembangan
selanjutnya arti kata estetika berubah menjadi bidang filsafat yang mengupas
persoalan indah atau tidak indah. Dalam perkembangan awal ilmu pengetahuan dan
filsafat estetika bersama etika dan logika disebut sebagai tri tunggal ilmu
normatif. Bahkan, perguruan tinggi yang didirikan Plato, hanya mengajarkan
logika, etika, dan estetika.
Oleh sebab itu, sebelum berbicara mengenai
objek dan metode estetika, karena berhubungan cara mendefinisikan estetika,
diperlukan uraian tentang sejarah dan perkembangannya. Setelah itu akan
dibicarakan objek, teori, dan metode dalam estetika.
Sejarah Perkembangan Estetika
Secara umum, sejarah perkembangan estetika
dapat dibagi atas tiga periode: (1) periode
dogmatis, yaitu tahap pembentukan, (2) periode kritika, yaitu tahap perkembangan, dan (3) periode positif, yaitu dari
perkembangan hingga saat ini. Periodisasi ini tidak sepenuhnya dapat dipisah
seperti di atas, namun hanya sebatas pembeda saja. Dalam periode dogmatis,
misalnya, tetap sudah ada perkembangan, namun perkembangan yang paling pesat
dan dapat diamati dengan jelas adalah pada periode kritika. Periodesasi
dimaksudkan hanya sebagai pembeda bukan sebagai pemisah. Oleh sebab itu,
pembicaraan selanjutnya tidak didasarkan atas periode tersebut, melainkan
berdasarkan urutan kemunculan tokoh dan pemikirannya.
Selain itu, mungkin akan lebih menarik
pembagian periode perkembangan estetika yang dikemukakan oleh Mudji Sitrino
dalam buku Estetika Filsafat Keindahan (1993). Ia membagi sejarah
perkembangan estetika ke dalam tiga periode. Dasar pemikiran ini dilatarbelakangi
oleh pandangannya yang tidak terlepas dari nilai agama dan kepercayaan. Ini
menarik karena berbicara mengenai estetika Minangkabau yang tak bisa dilepaskan
dari agama dan kepercayaan masyarakat Minangkabau.
Berikut tiga periode perkembangan estetika
yang dikemukakan oleh Mudji Sitrino.
1.
Zaman
Yunani Kono
Plato
(428-348 SM)
Tokoh pertama yang mengenalkan estetika
adalah Plato. Ia yang mengajarkan estetika pertama kali di perguruan tinggi
yang didirikannya. Hal itu juga yang menyebabkan periode ini disebut peri0de
platonis.
Plato adalah filsuf pertama di dunia Barat yang dalam seluruh
karyanya mengemukakan pandangan yang meliputi hampir semua pokok estetika, yang
dibahas sepanjang sejarah filsafat sampai dewasa ini. Pembahasannya tidak utuh
dan merupakan suatu sistem tersendiri, tetapi tersebar dalam seluruh karyanya.
Pandangan Plato tentang keindahan dapat
dibagi atas pandangannya tentang dunia ide dan dunia nyata. Pandangannya yang
pertama ia kemukakan dalam wawancara Symposion sebagai pendirian Socrates.
Socrates mengatakan bahwa ajaran itu diterimanya dari seorang dewata bernama
Diotima. Menurutnya, yang indah itu adalah benda material, misalnya, tubuh
manusia yang tampak. Jika selanjutnya melihat manusia seperti itu, pengalaman
akan keindahan itu menjadi meningkat. Kemudian Socrates mengajak pendengar
untuk lebih maju lagi sampai pada idea yang indah. Itulah yang paling indah,
sumber segala keindahan. Semua keindahan lain hanya mengambil bagian yang indah
yang ada dalam dunia idea.
Pandangan kedua terdapat dalam Philebus.
Di sini dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan itu adalah yang
paling sederhana. Sederhana maksudnya adalah dalam bentuk dan ukuran yang tidak
dapat diberi batasan yang jelas. Keindahan seperti itu, tentang warna, misalnya,
warna merah. Keindahan warna merah ini tidak dapat dibandingkan dengan
keindahan warna hijau, karena keduanya memang berbeda.
Pandangan pertama sesuai dengan seluruh
filsafat Plato. Jika dilihat saat ini jadi kurang memuaskan karena Plato melepaskannya
dari pengalaman jasmaniah. Dengan demikian, suatu teori dapat disebut indah
dengan pengertian yang jauh dari pengertian indah dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Plato, keindahan dalam pengertian hidup sehari-hari adalah keindahan
tingkat kedua.
Pandangan Plato yang kedua punya
keistimewaan karena tidak terlepas dari pengalaman inderawi yang merupakan
unsur konstitutif dari pengalaman estetis dalam pengertian sehari-hari. Dalam
pandangan kedua ini unsur inderawi dijabarkan sesedikit mungkin.
Tentang sikap Plato terhadap karya seni
terutama dijabarkan dalam Politeia (Republik). Di sini Plato tidak hanya
berpendapat bahwa karya seni adalah tiruan yang jauh dari kebenaran sejati
tetapi juga bahwa karya seni menjauhkan para warga negara, terutama para
remaja, dari tugasnya untuk membangun negara. Plato melawan karya sastra dan
drama yang tidak memuat kebenaran. Misalnya, karya sastra yang mengemukakan
perilaku kasar para dewa, kebohongan, pertumpahan darah, dan lain sebagainya.
Aristoteles
(384-322 SM)
Sebagai murid Plato, Aristoteles
mengemukakan pandangan yang mirip dengan pandangan Plato, tetapi dari sudut
pandang yang berbeda. Pandangan Aristoteles dapat dilihat dalam Poietika.
Dalam buku ini Aristoteles mengemukakan persoalan keindahan menyangkut
keseimbangan dan keteraturan ukuran: ukuran material. Pangan ini berlaku untuk
benda-benda alam maupun untuk karya seni ciptaan manusia.
Karya seni yang dibicarakan Aristoteles
terutama sastra dan drama. Menurutnya, karya seni harus dinilai sebagai tiruan,
yakni tiruan dari alam dan dunia manusia. Aristoteles tidak menyetujui penilian
negatif Plato terhadap karya seni. Tiruan yang dimaksudkannya bukan sekadar
tiruan belaka karena minatnya lebih kepada sastra dan drama, bukan seni lukis.
Pembuat karya seni (sastra) menurut
Aristoteles berbeda dari karya sejarah yang harus mencerminkan kejadian yang
pernah terjadi. Karya seni seharusnya memiliki keunggulan filosofis, yang tidak
hanya mencerminkan kejadian sesaat, dapat berlaku universal dan sepanjang masa.
Hal yang paling penting dalam pandangan
Aristotels adalah mengenai katarsis, pemurnian atau penyucian. Segala
peristiwa, pertemuan, wawancara, permenungan, keberhasilan, kegagalan, dan
kekecewaan, harus disusun sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara
serentak semuanya tampak logis namun seolah-olah tidak terduga. Pada saat
itulah katarsis muncul secara tiba-tiba. Semuanya pecah dan mencair, tak jarang
terjadi secara mengharukan. Katarsis adalah puncak dari karya seni.
Pandangan Aristoteles ini sangat besar
pengaruhnya terhadap filsafat keindahan setelahnya.
Stoa
dan Epikurisme
Aliran Stoa mengemukakan bahwa karya seni
yang baik itu adalah karya seni yang dapat menimbulkan ketenangan jiwa (apatheia).
Sedangkan aliran Epikurisme lebih menekankan kepada isi keindahan yang bersifat
material antara lain bahwa seni untuk tujuan pendidikan. Sikap ini dipengaruhi
oleh penghargaan akan kenikmatan material.
Plotinos
(205-270 SM)
Plotinos dikenal dengan filsafatnya tentang
pengaliran atau emanasi. Ia
mengemukakan bahwa semua hal berasal dari Yang Esa dan kembali kepada-Nya.
Dalam perjalan kembali kepada Yang Esa itu manusia mengalami sesuatu yang
disebut indah. Keindahan itu ditemukan dalam yang terlihat, yang terdengar, bahkan
juga dalam watak dan tingkah laku manusia.
Pengalaman tentang keindahan terbentuk dari
persatuan dari berbagai bagian yang berbeda. Sebuah rumah indah karena
merupakan kesatuan bahan-bahan yang tidak sama: batu, kayu, dan besi, dan
terdiri pula atas bentuk yang berbeda: segi tiga, lingkaran, dan persegi.
Di sini terlihat bahwa Plotinos mendekatkan
pengalaman estetis dengan pengalaman religius.
Agustinus
(353-430 SM)
Pandangan Agustinus dipengaruhi oleh
Neopatonisme. Menurutnya pengamatan mengenai keindahan mengandaikan dan memuat
suatu penilaian. Bila menilai objek yang indah, mengamatinya harus sesuai
dengan apa yang ada di dalamnya, yaitu keteraturannya. Bila menilai objek yang
jelek, harus diamati sebagai sebuah penyimpangan dari yang harus ada di dalamnya,
yaitu ketidakteraturan. Untuk dapat mengamati keduanya pengamati harus memiliki
idea tentang keteraturan yang ideal yang hanya diterima melalui “terang ilahi” (divina
illuminato).
Thomas
Aquinas (1225-1274 M)
Pandangan Aquinas tersebar dalam beberapa
karyanya. Pandangannya tentang keindahan cukup penting dalam perkembangan
pandangan tentang keindahan dalam zaman modern, dan teorinya juga cukup banyak
dikutip. Menurut Aquinas, keindahan terkait dengan pengetahuan.
Ringkasan Sejarah Kesenian dalam Tiga Agama
Monoteis
Dalam tradisi bangsa Yahudi, baik Abraham
maupun Musa dan para nabi sesudahnya dipandang sebagai utusan Tuhan untuk
menjunjung tinggi iman akan Allah Yang Maha Agung, sambil mengajak dan menegur
bangsa Yahudi untuk menghancurkan segala berhala. Dalam kerangka itu semua
patung dan gambar-gambar manusia maupun hewan dilarang demi mempertahankan
kemurnian iman, terutama karena patung dan gambar-gambar seperti itu oleh
bangsa-bangsa di sekitarnya disembah sebagai dewa-dewa.
Dengan begitu, iman yang monoteistis bisa
dipertahankan. Hal ini membawa implikasi dalam bidang kesenian. Salah satu
akibat dari kenyataan di atas ialah bahwa seni rupa tidak banyak berkembang
walaupun ada perhiasan tempat-tempat suci, ada kaligrafi, ada keindahan dalam
pakaian sehari-hari, kenegaraan maupun peribadatan, dan ada alat-alat untuk
ibadat. Selain itu tentu ada mazmur, musik, nyanyian, tarian.
Setelah peristiwa pembuangan di Babilon, di
seluruh wilayah di sekitar Laut Tengah sampai agak jauh ke Timur aliran dan
pandangan helenisme tersebar dan mulai berkembang, apalagi orang Yahudi ikut
merantau di seluruh wilayah itu. Pandangan ini khususnya berkembang di kalangan
mereka yang tinggal di perantauan (“diaspora”).
Di kalangan ini muncul suatu “kosmopolitisme” dengan
anggapan-anggapan yang mungkin lebih luas dari pada anggapan selama abad-abad
sebelumnya. Perkembangan sikap baru ini dicurigai oleh bangsa Yahudi yang tetap
tinggal di tempat asal.
Sikap baru ini mengakibatkan munculnya
terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), dan perkembangan
dalam bidang kesenian, seperti terlihat dalam peninggalan Sinagoga Dura-Eropos
di tepi Sungai Eufrat, di daerah Syria sekarang. Di situ terdapat
bermacam-macam lukisan berdasarkan cerita-cerita Kitab Suci. Pelukisan seperti
itu diperbolehkan berdasarkan keyakinan bahwa Allah ikut ambil bagian dalam
proses sejarah nenek-moyang mereka. Oleh karena itu, untuk tetap mengenang
karya Allah itu, karya seni dianggap berguna, meskipun ada manusia dan hewan
yang ikut digambarkan di dalamnya.
Keyakinan dan iman akan Allah ini
memperoleh dimensi baru yang bertitik pangkal pada peristiwa Yesus dalam
lingkungan Yahudi, yang diimani sebagai Putra Allah yang menjelma menjadi
manusia. Iman ini diungkapkan dalam tulisan yang tidak lama kemudian diterima
secara umum sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru, sederajat dengan Kitab Suci
bangsa Yahudi yang diberi nama Perjanjian Lama.
Pada masa itu di semenanjung Arab, di luar
wilayah kekaisaran kristiani, terjadi pembaharuan besar dalam penghayatan iman
akan Allah Yang Maha Esa, yang dirintis oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satu
ajaran utama yang termuat dalam Alquran ialah bahwa demi kemurnian penyembahan
Allah Yang Maha Esa itu semua berhala harus dimusnahkan, dan implikasinya lebih
lanjut bahwa penggambaran manusia itu dianggap haram.
Tidak lama kemudian Islam mulai tersebar di
banyak wilayah yang sudah Kristiani. Cukup lama, di bawah beberapa kalifah yang
bijaksana, komunitas Islam dan Kristiani berhasil hidup secara berdampingan di
seluruh wilayah Timur Tengah sampai dengan Persia. Ternyata pada masa Islam
awal itu, khususnya dalam lingkungan Shi’a, gambar manusia masih dianggap halal,
termasuk Muhammad sendiri, seperti tampak dalam sejumlah hiasan naskah kuno
dari Persia. Tidak lama praktik semacam ini dipandang haram. Akibatnya,
seniman-seniman Islam berbelok ke beberapa bentuk kesenian yang tersedia bagi
mereka dan terjadilah perkembangan yang hasilnya menakjubkan sampai dewasa ini:
arsitektur masjid maupun istana, hiasan dinding dalam bentuk lukisan maupun
mosaik dengan tema daun-daunan atau matematis dan benteng. Seni sastra juga
mencapai beberapa mutu yang amat tinggi.
Meskipun pada masa itu antara umat Islam
dan kristiani di wilayah yang dikuasai Islam masih ada sikap saling menerima,
di kalangan orang kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak
ikon dan gambar di gereja-gereja dan tempat-tempat umum lainnya. Di samping itu
masih ada suatu unsur dari dalam umat Kristiani sendiri, yakni rasa curiga di
kalangan tertentu terhadap penghormatan ikon dan patung Kristus seakan-akan
keilahian-Nya kurang diakui. Kelompok yang melawan ikon-ikon suatu saat
didukung oleh kaisar, lalu terjadilah “ikonoklasme” atau penghancuran ikon
secara besar-besaran. Keadaan tenang baru tercapai lagi sewaktu dalam Konsili
Nicea II (787) ikonoklasme ditolak dan sikap hormat pada ikon-ikon dinyatakan
sesuai dengan iman Kristiani. Tetapi puluhan dan mungkin ratusan ribuan ikon,
patung dan gambar lain sudah dihancurkan.
Peralihan
ke Masa Renaissance dan Humanisme
Melalui perubahan mendalam yang mulai
terjadi sejak puncak perkembangan kebudayaan dan filsafat Abad Pertengahan
Barat (abad ke-13) sudah tampak ciri masa modern Barat, yaitu tekanan pada
subyek. Sudah kita lihat bahwa Tomas de Aquino selama abad itu mengangkat
peranan subyek sama seperti pada masa purba telah dilakukan Aristoteles.
Kedua-duanya hidup dalam suatu kebudayaan di mana penghargaan akan yang
partikular ditemukan atau ditemukan kembali. Kedua-duanya terlibat juga dalam
pergeseran nilai dari yang lebih sakral menuju yang lebih profan.
Dalam masa yang masih sedang kita bicarakan
ini pergeseran itu dapat kita saksikan dalam dua seniman termasyhur, yaitu
penyair berbahasa Italia Dante Alighieri (1265-1321) dan pelukis Giotto
(1266-1337). Kedua-duanya memang masih mewakili “abad iman”, tetapi karya
mereka membicarakan dan menampilkan banyak pokok dan tokoh profan, dengan minat
besar akan yang konkret, partikular dan individual. Masa berikutnya sudah
menunggu di ambang pintu.
Masa
Modern (Sampai Akhir Abad ke-19)
Pada awal masa Renaissance, khususnya di Kota
Firenze, filsafat Plato dipelajari dan amat dikagumi. Salah seorang anggota
“akademi” yang bersangkutan ialah Marsilio Ficino (1433-1499) yang antara lain
secara teoretis menyelidiki soal keindahan. la berpandangan bahwa dengan suatu
“konsentrasi yang mengarah pada inti batin” seorang seniman mendahului
penciptaan karya seni yang kemudian diwujudkannya secara nyata. Dalam pandangan
ini ada suatu bentuk dualisme yang bahkan tidak ada dalam karya Plato sendiri.
Pandangan ini sudah mendekati rasionalisme yang akan muncul di kemudian hari.
Dalam hal ini sebenarnya Plato lebih dekat dengan pendekatan
eksistensial-fenomenologis modern yang suka menekankan terjadinya ilham seni
dalam penciptaan karya seni itu sendiri, dan juga menekankan kesinambungan
pengamatan karya seni dengan muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau
pengalaman estetis. Hubungan itu bersifat timbal balik: yang satu mendukung
yang lain.
Di samping itu, di Italia juga ada beberapa
seniman pencipta karya seni, yang sekaligus menjadi teoritikus atau malahan
filsuf kesenian, keindahan dan estetika secara umum. Perintis kelompok itu
ialah Leon Battista Albert (1409-1472), seorang arsitek yang menyelidiki
syarat-syarat apa yang kiranya harus dipenuhi dalam karya seni lukis, seni
pahat dan arsitektur dari sudut pengolahan materi, yaitu suatu keseluruhan yang
terdapat di antara segala bagian karya seni yang dengan demikian menjadi satu
kesatuan. Untuk menikmati keindahan karya seni, yakni untuk dapat mengamati
keselarasan tadi, si penggemar dituntut memiliki “cita rasa keindahan” (sense
of beauty).
Lebih terkenal lagi ialah Leonardo da Vinci
(1452-1519), seorang ahli ilmu alam dan seniman ternama, yang menulis tentang
seni lukis dan tekniknya) secara istimewa juga menyinggung kesetiaan dan
ketelitian dalam penggambaran sembari memperhatikan segala unsur sampai yang
terkecil sekali pun. Kecenderungan terakhir ini merupakan warisan dari akhir
Abad Pertengahan. Da Vinci juga mengadakan studi tentang “hukum-hukum”
perspektif yang amat berarti.
Perlu disebutkan juga beberapa seniman
besar yang menguasai hampir segala bidang seni rupa (lukisan, pahatan,
arsitektur, syair pun) seperti Michelangelo Buonarroti (1475-1564), Sanzio
Raphael (1483-1520) dan Donato Bramante (1444-1514). Sama seperti da Vinci,
mereka yakin bahwa dalam menciptakan karya seni si seniman perlu berpegang pada
pedoman umum bahwa karya seni mana pun akan “takluk” pada ilham seniman asal
seniman tersebut “taat” pada alam. Ini tidak berarti bahwa alam harus ditiru
begitu saja, tetapi pengejawantahan ilham seniman dalam bahan karya seni harus
terjadi berdasarkan pengamatan dan penelitiannya terhadap alam, khususnya tubuh
manusia sebagai sumber keseimbangan ukuran yang menjamin terjadinya karya seni
dan pengalaman estetis dalam rangka mengekspresikan apa yang sedang dihayati
atau dibayangkan oleh seniman itu. Makin setia ia, makin berhasil dan
sangguplah ia “berbicara” lewat karya seni itu.
Di Jerman sikap dan pandangan itu kita
temukan dalam Albrecht Durer (1471-1528). Ajaran da Vinci dan praktik
Michelangelo dilanjutkan dengan studi mendalam mengenai perspektif geometris
serta ukuran-ukuran proporsi tubuh manusia.
Di benua Eropa kontinental (teristimewa di
Perancis dan kemudian di Jerman) mulai akhir abad ke-16 sampai pada pertengahan
abad ke-18 aliran rasionalisme mewarnai medan filsafat dan hidup budaya pada
umumnya. Teori mengenai keindahan dan karya seni tak luput dari pengaruh itu.
Meskipun Rene Descartes (1596-1650) hanya
sebentar saja menyinggung bidang keindahan, rasionalisme yang diciptakannya
cukup mempengaruhi pandangan-pandangan mengenai estetika yang muncul
sesudahnya. la mengutarakan unsur-unsur apriori dan epistemologis, sambil
kurang memperhatikan unsur-unsur aposteriori dan perasaan. “Estetika neoklasik”
yang kaku dan hampir matematis melulu, yang muncul dalam rangka rasionalisme
itu kurang menarik dibandingkan hasil pikiran masa Renaissance.
Kendati demikian, dalam masa rasionalisme
ini pun ada seniman-seniman sejati yang mau lepas dari kerangka buatan itu.
Umpamanya, kedua pengarang sandiwara Perancis Pierre Corneille (1606-1648) dan
Moliere (1622-1673, nama yang sebenarnya: Jean-Baptiste Poquelin) tak takut
menyimpang dari patokan-patokan rasionalisme serta menggunakan pendekatan ke
arah karya seni yang mau diciptakan berdasarkan data-data dan pengalaman
empiris yang konkret. Dalam bidang musik, di samping dasar matematis untuk
perpaduan suara, lama kelamaan telinga manusia mulai digunakan lagi untuk
menentukan ada tidaknya keindahan dan seni. Umpamanya, dalam karya Giovanni
Pierluigi da Palestrina (1525-1594) dan Orlando di Lasso (1532-1594) dari abad
sebelumnya.
Dengan melewati Gottfried Wilhelm von
Leibniz (1646-1716) yang mengembangkan pandangan-pandangannya mengenai
keindahan sesuai dengan teorinya tentang “preestablished harmony” dalam
makrokosmos yang tercermin dalam setiap monade mikrokosmos, kita
berhenti sebentar pada Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762).
Akexander Gottilieb Baumgarten ada dalam
tradisi filsafat sistematis rasionalisme yang dirintis Christian Wolff
(1679-1754). Wolff hanya mau dan hanya mampu mengembangkan filsafat dengan
menggunakan idea-idea yang jelas dan terpilah-pilah (idea clara et
distincta) dari Descartes, yang kiranya dapat disampaikan kepada orang lain
tanpa ragu-ragu.
Oleh karena ia berpandangan bahwa pikiran
yang menyangkut rasa senang, puas dan indah, yang mungkin clear namun
tidak distinct bahkan
confused, bidang
keindahan tidak diberi tempat dalam filsafat sistematis ciptaan Wolff itu.
Lowongan itulah yang ingin diisi Baumgarten, yakni bidang yang ditempati “clear and confused ideas” (ide-ide
yang jelas namun tak terpilah-pilah). Karena bidang “clear and confused ideas” adalah bidang inderawi, bidang
itulah yang mau diselidiki dalam dua jilid berjudul Aesthetica (1750-1758, sebenarnya direncanakan lebih dari dua
jilid) sebagai bagian dari “psikologi” empiris (yang kini kita sebut dengan
nama Filsafat Manusia) yang membicarakan “inferior faculty”, yakni kemampuan untuk pengamatan,
pengalaman dan pengenalan yang bersifat inderawi.
la ingin memeriksa apa saja yang diperlukan
agar kemampuan-kemampuan inderawi tersebut juga berguna demi tercapainya
pengetahuan berdasarkan akal budi. Tujuan itu konkret—sedang tujuan pengetahuan
akal budi itu abstrak—artinya hasil pengetahuan kemampuan inderawi itu
mempertahankan sifat-sifat konkret yang telah dijumpai dalam perjalanan
inderawi menuju sasarannya tersebut.
Menurut Baumgarten, seluruh deretan
pengalaman itu memiliki susunan atau struktur yang paling rinci serta bersatu
dalam seni sastra berbentuk puisi sebagai wacana inderawi (sensate discourse). Hasilnya—dalam
seni sastra berbentuk puisi—ialah suatu “kejelasan yang luas” (extensive clarity) yang
seakan-akan teraba di mana-mana dalam karya seni dan pengalaman estetis yang
berpangkal pada karya tersebut. Hal ini memiliki keistimewaannya sendiri,
dibandingkan dengan ciri-ciri ‘kejelasan intensif’ (intensive clarity) sebagai hasil dan tujuan kegiatan akal
budi yang abstrak itu.
Sebaiknya kita sadari bahwa yang menjadi
pokok bahasan karya Aesthetica Baumgarten
itu seluruh bidang pengalaman dan khususnya pengetahuan inderawi. Pengetahuan
itu bertujuan pada yang indah, yang kini kita sebutkan estetika. Istilah ini
kemudian digunakan juga dalam karya Immanuel Kant (1724-1804). Baumgarten
membicarakan lebih lanjut kemampuan khas manusia untuk “menangkap” bagian
keindahan yang terkandung dalam pengalaman inderawi, yaitu citarasa (taste).
Bidang-bidang perhatian Baumgarten serta
cara pendekatannya pada pengalaman keindahan menunjukkan bahwa ia berutang budi
pada empirisme Inggris masa modern yang selanjutnya akan kita tinjau sebentar
sejauh aliran pemikiran itu memberi sumbangan pada estetika.
Sejak akhir abad pertengahan gaya hidup
seperti tercermin dalam karya sastra dan filsafat serta dalam penghayatan iman
ternyata sangat diwarnai oleh minat akan yang konkret dan nyata. Orang Inggris
pada masa itu seakan-akan tidak sanggup melihat dimensi lain selain manusia
individual dalam hubungan timbal-balik dengan dunia di sekitarnya. Gaya
pendekatan empiris itu juga jelas dalam pembahasan tentang keindahan dan karya
seni selama masa modern. Menurut peristilahan yang dewasa ini lazimnya dipakai,
beberapa pandangan mungkin lebih gampang digolongkan dalam psikologi kesenian
dari pada dalam filsafat kesenian. Dua pokok saja akan diangkat secara singkat
di bawah ini.
Sehubungan dengan proses mencipta (the creative process) beberapa
tokoh filsafat Inggris gemar membicarakan kemampuan manusia untuk
berangan-angan atau berimajinasi. Misalnya, Francis Bacon (1561-1626), Thomas
Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Sementara David Hume
(1711-1776) membahas penggabungan idea-idea (association of ideas) sebagai akar daya cipta keindahan dalam
diri manusia.
Mengenai apa yang terjadi dalam diri si
penggemar seni, Anthony Ashley (1671-1713) meneliti soal cita rasa (taste). Menurut Ashley, cita rasa
ialah rasa menilai yang dimiliki mata batin yang menangkap harmoni sebagai
keindahan dalam bentuk estetis maupun etis, maka bersifat baik inderawi maupun
rohani. Francis Hutcheson (1694-1746) pun mendekatkan pengalaman tentang
keindahan (sense of beauty) pada nilai kebaikan etis.
Sekitar
Idealisme Jerman
Maklumlah titik pangkal idealisme Jerman
abad ke-19 ialah filsafat Immanuel Kant yang sudah disinggung; kata “estetika”
dipakainya dalam arti yang dekat dengan Baumgarten. Sesuai dengan cara kerjanya
dalam lain bidang transendental, tentang keindahan dan cita rasa pun Kant
memeriksa syarat-syarat manakah kiranya yang perlu dipenuhi supaya manusia
dapat mengucapkan suatu putusan (judgement)
tentang keindahan.
Diringkas George Dickie (Aesthetics: An Introduction, New
York, Pegasus, 1971, hlm. 27): “A judgment
of beauty is a disinterested, universal, and necessary judgment concerning the
pleasure which everyone ought to derive from the experience of form”. Syarat-syarat
itu khususnya dipenuhi dalam pengalaman tentang “yang sublim” (luhur) sebagai
puncak segala kategori keindahan; minat akan “yang sublim” itu pernah muncul
dalam karya estetikus Inggris Edmund Burke (1728-1797).
Seperti halnya secara umum dalam idealisme
Jerman, filsafat Kant dilanjutkan dengan mengubah “benda pada dirinya sendiri”
(“das Ding an sich”) yang dianggap sebagai kenyataan tetapi tidak dapat
dikenal, menjadi hasil buah perkembangan idea semata-mata, demikianlah filsafat
keindahan ciptaan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831): Seluruh bidang
keindahan merupakan suatu “moment” (unsur dialektis) dalam perkembangan roh
(“Geist”, “spirit”) menuju kesempurnaan; momen itu dapat ditemukan dalam
pengalaman manusia. Kedudukannya di ambang antara yang jasmani dan yang rohani
(materi menunjukkan roh, roh menjelma dalam materi, tepat pada ‘saat’ peralihan
yang bermuka ganda itu dialami); dan bukan itu saja, karena sekaligus merupakan
momen atau saat kebenaran (pengertian) dan kebaikan (penghendakan) bersentuhan
satu sama lain (maka, tidak wajar masalah ‘arti’ atau ‘nilai etis’ dikemukakan
dalam konteks kesenian). Momen itu tidak pernah dialami atau dapat ditunjukkan
dalam bentuk yang “sempuma”: hanya dalam bentuk “penyimpangan-penyimpangan
indah” dari momen keseimbangan penyentuhan atau peralihan itu.
Dengan demikian muncullah kategori-kategori
estetis, seperti “yang sublim” (roh “menang” atas materi), “yang tragis” (roh
“kalah” terhadap materi), “yang lucu” atau humor (arti “menang” atas nilai),
“yang jelita” atau “gracious” (nilai “mengalahkan” arti), tentu saja semua itu
dalam batas keindahan itu sendiri, malahan yang sublim mempunyai unsur
tragisnya dan sebaliknya; pun pula yang lucu dan yang jelita (yang pertama
dilihat juga sebagai yang mewakili kepriaan, yang kedua kewanitaan).
Romantik
Tak mungkin idealisme dan romantik begitu
saja dibedakan atau dipisahkan satu sama lain. Minat akan sejarah dan akan
pengalaman si subyek mencolok dalam keduanya. Tetapi dalam aliran romantik
rasa, emosi dan selera si subyek lebih diperhatikan dan dihargai, malahan
sampai bisa menjadi agak individualis. Dalam lingkungan para seniman tentu saja
romantik mempunyai pengaruh luas. Salah seorang tokoh terkenal ialah Johann
Wolfgang von Goethe (1749-1832) yang menekankan pentingnya emosi pribadi
pencipta karya seni. Kemudian hari, di Perancis romantik dalam bentuk
berlebihan mengemukakan semboyannya “L’art pour l’art” (seni demi seni itu
sendiri) sambil hampir menyembah orang-orang “genie” (genius) dalam bidang
kesenian.
Dalam lingkungan para filsuf berkenaan dengan
romantik khususnya dalam bidang kesenian dapat disebut Schopenhauer dan
Nietzsche. Arthur Schopenhauer (1788-1860) menjadi terkenal karena filsafatnya
yang berpusat pada kehendak buta sebagai dasar dari segala-galanya, dan
sehubungan dengan itu karena pesimisme dasariah yang mewarnai seluruh
filsafatnya. Menurut dia ada dua cara manusia bisa lepas dari tekanan kehendak
yang buta itu, yang satu sementara, yaitu kesenian, yang kedua tetap, yakni
pengingkaran diri; cara yang pertama itu meliputi segala bidang kesenian dengan
memuncak pada seni musik sebagai suatu “penghentian” tekanan kehendak umum dan
buta itu, tetapi hanya selama pengalaman tentang keindahan seni itu ada.
Friedrich Nietzsche (1844-1900) berkenaan
dengan estetika mempengaruhi filsafat manusia maupun filsafat keindahan
selanjutnya dengan membedakan sikap “dionisian” dari sikap “apolonian” (dari
nama dua-dewa Yunani kuno, yaitu Dionysos dan Apollos): yang pertama menekankan
unsur pengalaman yang meluap-luap, yang kedua menekankan unsur keteraturan dan
menahan diri; yang pertama berasal dari emosi dan penghendakan, yang kedua
lebih dari perencanaan dan pengenalan akal budi. Sesuai dengan pandangan
Nietzsche yang lebih umum, unsur pertama di dunia Barat telah diperbudak
khususnya karena pengaruh Kristiani.
Suatu catatan tambahan tentang Kierkegaard:
Soren Kierkegaard (1813-1855), sama seperti Nietzsche perintis eksistensialisme
abad ke-20, menjadi terkenal anta lain karena pembedaannya antara tiga tahap
atau tiga tingkatan perkembangan manusia perseorangan; dalam pandangan itu
istilah estetika dipergunakan juga. Tahap pertama dan terendah karena dangkal
ialah tahap estetis, yaitu manusia yang suka akan segala pengalaman dan
kenikmatan lahiriah, yang sebenarnya fana, tetapi menyenangkan dan cenderung
menahan manusia di sana.
Sewajarnya manusia itu rela bertobat dan
meloncat ke tahap lebih tinggi dan lebih pantas yakni tahap etis, di mana ia
rela berpegang pada patokan etika, meskipun tidak selalu menyenangkan secara
lahiriah. Tetapi tahap kedua belum sempurna juga, malahan manusia menjadi
sombong karena bagai “pahlawan” ia merasa telah mengalahkan dan meninggalkan
tahap estetis; maka mudah-mudahan manusia rela bertobat lebih mendalam lagi dan
meloncat ke tahap religius, di mana segala pegangan dan tahap etis pun
ditinggal-kannya, menyembah kepada Tuhan. Manusia religius tetap terbuka akan
kemungkinan dan godaan jatuh kembali ke tahap etis, malahan sampai pada tahap
estetis juga.
Sosialitas
Kesenian dan Karya Seni
Mulai sekitar pertengahan abad ke-19
timbullah suatu reaksi melawan pengaruh idealisme maupun romantik dalam bidang
kesenian. Reaksi itu memperjuangkan peranan sosial dari kegiatan dan pengalaman
tentang keindahan; melawan idealisme yang dingin dan jauh dari pengalaman hidup
apalagi abstrak dan teoritis; melawan romantik dengan “L’art pour l’art” nya
yang memisahkan seniman maupun karya seninya dari masyarakat, berbeda dengan
seluruh tradisi Barat dari masa Yunani kuno melalui Abad Pertengahan sampai
dengan masa Renaissance.
Pandangan-pandangan itu dirintis bapak ilmu
sosiologi yaitu Auguste Comte (1798-1857) dengan mengemukakan bahwa pengalaman
tentang keindahan dan seluruh bidang kesenian tidak boleh (malahan menurut dia:
tidak bisa) merupakan suatu tujuan pada dirinya sendiri. Sebaliknyalah: seni
harus lahir dari masyarakat demi masyarakat. Cita-cita Revolusi Perancis (1789)
masih bergema. Pandangan seperti itu diteruskan oleh Hippolyte-Adolphe Taine
(1828-1893), dan lebih-lebih dalam rangka sosialisme Perancis oleh Charles
Fourier (1772-1837) dan Pierre-Joseph Proudhon (1809-1865). Dari dalam
lingkungan para sastrawan sendiri sikap itu sangat didukung oleh Emile Zola
(1840-1902) dan Leo Tolstoy (1828-1910).
Sikap seperti itu lama kelamaan muncul juga
dalam rangka revolusi yang berasal dari Karl Marx (1818-1883) dan Friedrich
Engels (1820-1895). Mereka sendiri pada permulaan hampir tidak memperhatikan
bidang kesenian dan kesenian yang kiranya dikembangkan kaum kapitalis dan yang
bersifat borjuis. Apalagi hampir tidak ada sumbangan yang berarti dalam seni
dan kegiatan para seniman kalau maju tidaknya masyarakat dinilai berdasarkan
kemajuan ekonomis. Diakui bahwa seni dapat dipakai untuk mempengaruhi rakyat
jelata dalam usahanya untuk bersatu dan membebaskan diri; tetapi itu ternyata
jauh dari apa yang sejak berabad-abad lamanya dianggap sebagai cita-cita seni
yang tak mencari pamrih dan tidak mempunyai tujuan di luar dirinya sendiri.
Baru dalam aliran yang akan muncul dari marxisme selama abad ke-20 terdapat
suatu minat yang lebih wajar pada keindahan dan seni sebagai suatu dasar
ungkapan diri dan pengertian antarsesama, umpamanya dalam karya Gyorgy (Georg)
Lukacs (1885-1971) dan Theodor Wiesengrund-Adorno (1903-1969), atau Ernst Bloch
(1885-1977) dan teater ciptaan Bertolt Brecht (1898-1956).
Impresionisme dan Ekspresionisme
Lama-kelamaan, para seniman sendiri ikut
mengambil bagian dalam merumuskan pandangan-pandangan mereka tentang ciri khas
dan peranan kesenian dalam perkembangan manusia maupun masyarakat. Itulah yang
menjadi paling nyata di Perancis menjelang akhir abad ke-19. Sudah dipelopori
Emile Zola, tetapi muncul lebih jelas lagi dalam lingkungan para pelukis yang
kemudian diberi nama kaum impresionis dan kaum ekspresionis.
Aliran impresionisme muncul di sekitar Kota
Paris, lalu meluap ke beberapa pusat kesenian di Perancis dan kemudian ke
wilayah lebih luas lagi. Sebenarnya kata “impresionisme” pada permulaan dipakai
sebagai suatu sindiran atau penghinaan terhadap mereka yang kurang patuh pada
peraturan-peraturan dan patokan-patokan yang dianggap perlu diindahkan agar
suatu karya seni dapat terlaksana.
Mereka suka main dengan terang dan
bayang-bayang, wama-warna yang “lain” dari yang menurut “pengamatan fisik”
terdapat dalam “obyek” yang bersangkutan; garis-garis pemisah seakan-akan
dihapus. Pokoknya si pelukis ingin mengabadikan “kesan”nya (“impression”) dan
memperlihatkannya kepada si penonton lukisannya. Kesan itu memang datang dari
luar, dan kesan-dari-luar-itulah yang mau diabadikan.
Demikianlah umpamanya Claude Monet
(1840-1926), Edouard Manet (1832-1883), Camille Pissarro (1831-1903). Dapat
dikatakan bahwa impresionisme merupakan suatu perkembangan terakhir dari seni
lukis gaya baru yang sudah mulai di dunia Barat sewaktu pada akhir abad ke-13
Giotto melepaskan diri dari gaya lukis “statis” gaya Bizantin (ikon-ikon) dan
menggambarkan peran-peran dan latar belakang sesuai dengan kesan yang ada
padanya sebagai pelukis, dan diteruskan para seniman masa Renaissance, antara
lain, dari kedua saudara Van Eyck, dari da Vinci, Michelangelo dan Durer sampai
pada Rembrandt.
Aliran ekspresionisme lebih terbatas pada
beberapa tokoh saja. Karya mereka memang tidak terlepas sama sekali dari apa
yang mereka lihat dan apa yang kiranya telah menjadi alasan mengapa mau
melukis. Tetapi dalam karya lukis mereka paling mencoloklah apa yang mau mereka
ucapkan. Hasrat untuk mengucapkan dan seakan-akan mewujudkan apa yang ada dalam
pengalaman dan hati mereka (“expression”)
menandai dan mewarnai karya seni yang bersangkutan. Itulah yang ingin mereka
sampaikan kepada penikmat lukisannya. Yang paling terkenal ialah Vincent van
Gogh (1853-1890); juga George Rounault (1871-1958).
Kedua aliran dan tokoh-tokoh yang
mewakilinya cukup berjasa dalam membangkitkan teori-teori tentang hakikat seni
dan peranannya dalam masyarakat serta tentang tugas seorang seniman. Dalam hal
ini mereka mengungguli banyak seniman maupun filsuf dari masa lampau. Hanya
harus diakui bahwa mereka membangkitkan juga suatu “elitisme” lingkungan para
seniman, sesuatu yang tidak terdapat sama sekali di antara para seniman akhir
Abad Pertengahan maupun Renaissance; sisa-sisa romantik ternyata masih
mempengaruhi dunia kesenian akhir abad ke-19.
Meskipun aliran impresionisme dan ekspresionisme
berasal dari lingkungan para pelukis, di kemudian hari istilah itu dipakai juga
untuk menunjukkan perkembangan-perkembangan dan pandangan serupa dalam konteks
seni lainnya seperti seni pahat, arsitektur, pun pula sastra prosa maupun
puisi, drama dan musik serta tarian.
Estika
Minangkabau
Dalam khazanah sastra Minangkabau tidak ada
kala estetika. Jika estetika diterjemahkan dengan keindahan, bahasa Minangkabau
pun hanya satu kali menyebut indah dalam bahasa tradisinya, yaitu dalam pantun:
nan kuriak kundi
nan merah sago
nan baiak budi
nan indah bahaso
Pantun ini berisi bahwa yang baik adalah
budi dan yang indah adalah bahasa. Maka amanat yang terkandung dalam pantun ini
adalah bahwa baik dan indah itu sejalan adanya; dan budi dan
bahasa adalah dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan. Budi yang baik akan
melahirkan bahasa yang baik dan indah; sebaliknya bahasa yang tidak baik
memperlihatkan budi yang buruk.
Dari alur berpikir begini, maka timbul
idiom budi “bahasa, kiasan ‘kabau dipacik talinyo, manusia dipacik
muncuangnyo’ (kerbau dipegang talinya; manusia dipegang mulutnya: artinya
pada kata-katanyalah kehormatan manusia). Maka biarpun indah jika tidak
berbudi, dipandang tidak baik; biarpun berbudi jika tidak indah dipandang
kurang sempurna. Setidaknya demikianlah yang dipahami oleh masyarakat
Minangkabau.
Kemudian, kata yang bermakna ‘indah’ dalam
bahasa Minangkabau ada beberapa, seperti rancak, elok, santiang (sudah
mempunyai tingkat komparatif, kadang superlatif dari rancak), hebat (seperti
santiang), kadang hanya dengan mengacungkan ibu jari sambil berkata “iko a”
(ini!).
Untuk membicarakan estetika dalam sastra
Minangkabau ini, sebaiknya pembicaraan dimulai dengan kato dalam budaya
Minangkabau. Secara linguistis kato dalam bahasa Minangkabau berarti
‘kata’ dalam bahasa Indonesia. Secara kultural dalam bahasa Minangkabau kato
bermakna wacana yang mengandung kearifan, kristalisasi pengalaman dan
pengetahuan masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam kebudayaan Minangkabau ada ajaran
tentang kato, yaitu kato nan ampek (kata yang empat): kato
mandaki, kato mandata, kato malereang, dan kato manurun.
Kesemua itu mengandung pesan agar
menggunakan ‘cara berbahasa tertentu’ untuk bertutur, agar orang memperhatikan
lawan bicara; sebab bahasa yang digunakan akan memperlihatkan budi penuturnya.
Sebaliknya, bahasa yang dipakai si penutur akan menimbulkan perasaan dihormati
atau tidak dihormati pada pihak lawan bicara. Jika lawan bicara itu merasa
tidak dihormati—tersebab bahasa yang dipakai—maka ia merasa tidak perlu
merespons. Orang yang tidak dapat bertutur menurut ‘yang patut’ dan tidak paham
tuturan orang dinilai indak tahu diampek (tidak paham akan (kata) yang
empat). Bila seseorang dinilai indak tahu diampek, maka yang malu adalah
semua kerabat matrilinealnya. Inilah kondisi riil yang dikiaskan dengan ‘harato nan
alah babagi, malu alun baragiah’.
Dengan kato nan ampek, yang
dimaksudkan adalah kearifan berbahasa dengan mempertimbangkan lawan bicara: kato
mandaki untuk bertutur
dengan orang lebih tua atau yang dituakan; kato malereang untuk bertutur
dengan orang yang disegani karena hubungan perkawinan; kato mandata digunakan
untuk bertutur sesama besar atau sama ‘pangkat’; dan kato manurun digunakan
untuk bertutur dengan yang lebih muda.
Budi seseorang dinilai dari kearifannya
memilih ‘model’ bahasa yang akan digunakan untuk bertutur pada lawan bicaranya.
Dan bahasa yang bermakna langsung (konotatif) hanya digunakan ketika bertutur
kepada yang lebih muda ataupun pada anak-anak; kepada sesama besar, dengan
orang yang berhubungan perkawinan, atau yang tua umumnya digunakan kiasan.
Orang diajarkan untuk berbahasa berkias. tidak berbicara secara ‘bukak kulik
tampak isi’. Orang yang paham dengan kiasan—mengucapkan dan memahami
maknanya—dipandang dan diperlakukan lebih terhormat dari pada orang yang tidak
paham (Amir, dkk., 1998).
Kiasan dapat dilihat dari dua segi; pertama
dari bentuk, kedua dari isi. Dari segi bentuk, kiasan secara garis besar
terbagi dua saja, yaitu kiasan yang berbentuk sederhana, terdiri dari dua atau
tiga kata; bentuk yang selalunya dikenal dengan ungkapan (maxims) dan
kiasan yang terdiri dari satu atau dua penggal ujaran; lazimnya konstruksinya
kalimat lengkap (walaupun kadang-kadang ada yang berupa kalimat tidak lengkap).
Penggal kiasan itu terdiri dari jumiah suku kata yang hampir tetap, berkisar 8
sampai 12 suku kata; contoh:
a.
alun pai lah babaliak
b.
bak maeto kain saruang
c.
luluih panjaik luluih kulindan
d.
(kok) indak titiak dari ateh, basuikan dari bawah
e.
kok tak lalu dandang di aia, digurun ditanjaan juo
f.
sakali marangkuah dayuang, duo
tigo pulau talampau
Tampak bahwa pada penggalan-penggalan itu
ada pula penggalan di tengahnya; misalnya contoh (a) dalam membacanya muncul
penggalan alun pai // (a)lah babaliak, begitu juga dengan contoh
(b) dan (c): bak maeto // kain saruang; luluih panjaik // luluih kulindan. Hal
yang sama juga terjadi pada contoh (d), (e), dan (f):
kok indak titiak // dari ateh; basuik-an //
dari bawah
sakali // marangkuah dayuang; duo tigo //
pulau talampau
Artinya, konstruksinya menyiratkan irama
dalam pengucapan; maka dari hal ini telah pula menyiratkan unsur keindahan,
unsur estetika.
Berbicara tentang makna, maka maknanya
bersifat tidak langsung, tetapi pembicara dan lawan bicara memahami segala
nuansa maknanya secara persis. Proses dari pengujaran ke pemahaman oleh lawan
bicara itu merupakan suatu tegangan yang membawa keindahan (bisa juga
dibandingkan dengan pendapat Jan Mukarovsky dalam Teeuw (1984: 357-358). Pada
mulanya bagai ‘misteri’ tetapi lawan bicara segera menemukannya, dan memang
harus begitu. Penemuan itu, penangkapan makna itu memberi makna keindahan,
kepuasan estetis dan kepuasan sosial pada pengujar dan pendengar.
Dalam dunia sastra hal itu terjadi pula.
Sebagaimana sudah dijelaskan di muka, sebagian besar sastra Minangkabau
berbentuk prosa liris: liriknya digubah dengan suku kata yang terbatas, kalimat
pertama merupakan induk kalimat dan kalimat berikutnya merupakan anak-anak
kalimat yang berfungsi sebagai penjelas (keterangan seperti ini pernah
diberikan A.A. Navis, 1984; tetapi Navis membilang kata, sehingga ia menulis:
...empat buah kata dalam satu kalimat. Adakalanya terdiri dari tiga buah
kata...).
Di antara kalimat-kalimat itu terdapat pula
kiasan; pada bagian-bagian tertentu digunakan bentuk pantun. Biasanya, jika
pantun terdapat dalam bagian dialog, maka pantun itu diujarkan ketika emosi si
pengujar dalam keadaan sangat intens atau kritikal; ketika perasaan dan pikiran
tidak dapat lagi diujarkan dengan bahasa prosa (liris), maka digunakan bentuk
pantun. Dengan itu tampak bahwa ketika suatu maksud disampaikan dalam bentuk
pantun, kedua belah pihak, pengujar dan lawan bicara dapat memahami maknanya
yang paling dalam dan dengan persis sama; kedua belah pihak menangkap ke dalam
maknanya, intensitas makna; cita estetis. Penikmat karya sastra pun mendapatkan
makna terdalam dari ujaran pantun itu. Demikianlah kato dalam tradisi
Minangkabau.
Maka estetika bahasa Minangkabau hanya
mungkin “ditafsirkan” dengan melihat kata apa yang dimaksudkan untuk konsep
estetika.
Pertama, (sebagaimana sudah
disebut di bagian depan) dalam bahasa Minangkabau ada beberapa kata yang
bermakna “indah”, seperti rancak, elok, manih, santiang (sudah pada
tingkat komparatif, kadang-kadang pada tingkat superlatif dari rancak),
hebat (seperti santiang). Kadang-kadang hanya dengan mengacungkan
ibu jari sambil berkata “iko a”.
Kedua, ada beberapa kata
afektif—yang diungkapkan secara emosional—sebagai hasil dari sentuh estetis
yang terjadi, yang menyatakan bagus, mengharukan, intens dahsyat; misalnya putuih,
barasiah, padek, bagatah, padiah; ada juga dalam bentuk kalimat, seperti nyo
rauik jantuang, disaiknyo jantuang, alah tarehnyo tumah. Ungkapan demikian
diucapkan ketika mendengarkan gubahan yang ‘berkenan’ dengan cita estetika
mereka, biasanya gubahan yang berkias, metafora. Respon khalayaknya pun berkias
ini dapat dilihat dari kata untuk menyatakan bagusnya sebuah gubahan: putuih
‘putus’; padek ‘padat’; bagatah ‘bergetah’; padiah ‘pedih’;
disaiknyo jantuang ‘disayatnya jantung’; alah tarehnyo bana ‘sudah
terasnya benar’.
Dengan dua butir di atas kita berbicara
tentang kata yang bermakna ‘indah’. Artinya soal kosa kata dan tentang reaksi
atas sebuah karya yang dinilai indah. Kita belum membicarakan objek yang
dinilai indah itu, identitasnya, sifatnya. Maka seyogianya sekarang kita
berbicara apa yang indah menurut cita estetika Minangkabau. Di bagian depan
sudah disebutkan bahwa yang indah (adalah) bahasa. Bahasa yang bagaimana?
Sebelum bahasa yang bagiamana dijawab,
maka fenomena yang pertama tampak adalah bahwa khalayak bereaksi
terhadap kata, bahasa; tidak kepada saluang atau raba. Artinyji
pumpunan estetikanya adalah kata, bahasa.
Membicarakan soal keindahan bahasa, berarti
kita membicarakan fungsi estetis bahasa. Bentuk, dengan demikian adalah
pilihan yang tersedia. Dalam bahasa Minangkabau seni berbahasa ada pada prosa
liris; dalam kelirisan itu ada kiasan dan ada pantun. Pantun yang dinilai
‘tinggi’ pun dalam tradisi itu adalah pantun yang berkias. Contohnya:
I
Tuan Amat nangkodo kaliang
balaia sampai ka Bangkulu
baumanat aua ka tabiang
mandanga dantuang dari ilia
Ada istilah yang sarkastik terhadap pantun
yang tidak berkias yaitu ‘pantun batilanjang’, yaitu pantun-pantun yang
isinya mempunyai makna denotatif saja. Contohnya:
II
Pucuak pauah sularo pauah
sambelu samo diladuangkan
tuan jauah denai punjauah
rindu samo kito tangguangkan
Selain itu, dalam karya sastra Minangkabau,
terdapat pula bentuk-bentuk yang (hampir) sama dan digunakan secara berulang,
bentuk yang diistilahkan formula dan ekspresi formulaik oleh Lord (contoh I dan
II). Ternyata perulangan itu bukan saja untuk kemudahan penggubahan alasan
teknis, tetapi ada alasan mendasar, yaitu masalah estetika; hanya dengan cara itulah
rasa estetis itu terbentuk dan hanya dengan cara itulah sentuh estetis (aesthetical
touch) antara penampil (performer) dan khalayak (audiences’) terjadi.
Pernyataan itu dapat dibuktikan dengan cara
begini: pada suatu masa saya ceritakan cerita Anggun Nan Tungga dengan bahasa
prosa, di bagian tertentu didramatisasikan sedikit. Maka reaksi pendengar adalah
“itu bukan kaba”, “itu carito mancik-mancik”. Dengan demikian kita melihat
bahwa gubahan kaba bagi masyarakal Minangkabau mempunyai komposisinya sendiri,
yaitu prosa liris.
Maka dengan ini pula terjawab pernyataan
Amin Sweeney (1998) yang ‘memuji’ kesetiaan kaba bertulis kepada komposisi
lisan. Persoalannya ternyata bukan kesetiaan tetapi identitas genre. Bukan pula
persoalan pelestarian melainkan hanya dengan cara itulah cita seni bahasa itu
terekspresi. Dan hanya dengan cara itu pula khalayak beroleh kesan estetis dari
pertunjukan. Artinya, hanya dengan menggunakan formula yang lazim di tengah
masyarakatnya sentuh estetis itu bisa terjadi. Dengan konstruksi yang formulaik
itu “segi tiga estetis” terjadi: penampil, teks dan khalayak; intensitas makna
itu sama dapat dicapai karena mereka memiliki medan estetis (aesthetic
fields) yang sama.
Bagaimanapun, beberapa peneliti sastra
lisan sudah membuktikan bahwa tidak ada dua pertunjukan yang sama persis, walaupun
dipertunjukan oleh penampil yang sama dengan cerita yang sama. Senantiasa
ditemukan ungkapan yang sama berulangkali dipakai. Akan tetapi, betapapun
berulangnya ekspresi itu, tetap saja ada peluang untuk menggubah
ekspresi-ekspresi baru. Untuk kebaruan itulah, menurut Will Derk (1994)
khalayak rela bertanggang mendengarkan penceritaan Palimo Awang; setiap
pertunjukan pasti memunculkan sesuatu yang baru. Ketegangan ‘menanti’ sesuatu
yang baru ini merupakan ketegangan estetis bagi khalayak. Sesungguhnya,
penampil sebagai anggota masyarakat itu memahami kehendak khalayak ini, mereka
mempunyai cita estetis yang sama; maka ia akan memenuhi kehendak itu.
Demikian cara mereka membentuk cita estetis
bersama dan mereka miliki bersama. Ada kemungkinan bahwa dalam pertunjukan,
penampil adalah wakil (representasi) masyarakatnya dalam mengekspresi
keindahan. Atau, dengan cara pandang budaya, khalayak merupakan pewaris pasif
tradisinya, dan penampil merupakan pewaris aktif.
Dalam budaya Minangkabau fenomena bahasa
liris bukan hanya hidup dalam karya sastra, ia juga wujud dalam tuturan adat,
dan fenomena kiasan hidup dalam keseharian masyarakatnya. Masyarakat
Minangkabau diasosialisasi dengan kiasan. Artinya dalam kebudayaan Minangkabau
hidup seni bahasa.
Dalam masyarakat Minangkabau, kato, di
samping sebagai simbol kearifan, himpunnan pengetahuan, dengan demikian ia
adalah juga ilmu, logos; kato juga adalah seni berbahasa. Kato telah
menjadi muara perasaan, pikiran, dan pengetahuan masyarakatnya. Dan semua orang
berkepentingan kepadanya.
Ketika kato telah menjadi sarana
untuk menyimpan pengetahuan, maka fungsi praktis penggunaan bentuk-bentuk
berulang—formula—tidak terelakkan. Formula
yang sudah ‘baku’ itu diperlukan untuk kemudahan mengingat dan
menyebarkannya, mewariskannya. Dengan bentuk tetap itu segala nuansa makna
diterima dan diwariskan; pewarisan keindahan dan kearifan.
Dengan pembicaraan di atas, maka yang patut
dinyatakan di sini adalah bahwa ketika kita berbicara tentang estetika dalam
konteks sastra Minangkabau, maka ia tidak lepas dari etika, tidak lepas dari
moral. Akhirnya, keindahan yang ‘sempurna’ hanya terwujud jika di dalamnya
terdapat amanat moral. Dengan demikian, etika tetap mempunyai ‘beban’, yaitu
pendidikan. Keindahan lahir dari kearifan.
Satu aspek lagi yang patut dibicarakan di
sini adalah kemampuan (competency) penampil menggubah puisinya dengan
baik. Kemampuan itu, selain dari pada latihan, yang lebih penting adalah
kepekaan kepada kehidupan, kepada alam, kearifan kepada alamat alam, sesudah
itu memilih kata dan ungkapan yang tepat. Artinya, untuk mampu menggubah puisi
yang puitis, untuk mampu menggunakan bahasa yang plastis, tidak hanya diperoleh
dari belajar. Dalam membina kemampuan itu, diperlukan kearifan; kearifan yang
didukung oleh kompetensi bahasa (language competence) dan lebih-lebih
kompetensi kesastraan (literary competence). Tentu hanya orang-orang
tertentu saja yang mampu; para penampil itu mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan khalayak dalam hal menggubah bahasa yang estetis itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar