OLEH Iwan Satyanegara Kamah-Jakarta
Siapa sebenarnya Chairil Anwar? Penyair
atau peramal? Hanya sedikit yang melekatkan predikat cenayang pada si ‘binatang
jalang’ itu, termasuk saya. Beberapa karyanya, tergores susunan kata yang
menggambarkan kenyataan dari isi hatinya yang ia inginkan. Dan itu banyak
terwujud tanpa ia saksikan.
“Di Karet, di Karet sampai juga/deru
angin”, adalah nyata contoh sebaris bait karyanya tahun 1949 yang sangat
prediktif. Dan memang, jasad Chairil dibenamkan di tanah perkuburan Karet,
Jakarta di tahun yang sama, sebagai rumah terakhirnya.
Kata dalam sebuah sajak, kadang
menggetarkan dan menunjuk ke sebuah kondisi yang kita harapkan, juga yang kita
tak ingini, dengan banyak tafsir yang kadang sepaham, berlawanan bahkan
bermusuhan. Dalam beberapa kitab suci, banyak dijumpai hal itu. Kitab suci
Quran, misalnya, yang tiap kata dipatuhi mutlak bagi yang mempercayai, diturunkan
pada saat puisi membahana pada kala itu. Akibatnya, tercipta banyak ruang
tafsir yang penuh warna pada tiap kata-kata cantik di dalamnya, yang kadang
(tidak selalu) saling bentrok.
Begitu misterinya sebuah kata, banyak
orang ingin menggunakannya untuk mengungkapkan gelora isi hatinya. Bukankah
Napoleon sangat takut dengan sebuah pena, daripada sebilah pedang? Bukan suatu
yang aneh, bila Saddam Hussein selama bertahta dengan tangan besi, melarang
rakyat Irak memiliki mesin tik? Kaum
muslim pun paham sebuah ungkapan, bahwa tintanya para penulis (fuqaha), lebih
suci daripada darahnya pejuang fisik (syuhada)?
Budayawan dan ulama yang nyentrik, KH
Mustofa Bisri, atau dikenal sebutan Gus Mik, pernah di tahun 1990an terpaksa
berurusan dengan pihak keamanan, karena puisi yang ditulisnya di harian Suara
Merdeka, Semarang. Hanya sebuah kata! Ia menulis Pancasila dengan embel-embel
kata “dor!”. “Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dor! Dua, Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab. Dor! Tiga…Dor! Hingga sila kelima, Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia. Dor! Bagi mereka yang terbiasa dengan kekuasaan,
sulit memang memahami puisi, benda ajaib
yang lahir dengan bahasa yang sering tak terduga dari hati.
Lihatlah, betapa indahnya tiap pidato
Soekarno, yang kadang memasukkan puisi, sajak atau ungkapan indah, hingga orang
rela berdiri berjam-jam terpaku diterik matahari menyimaknya. Pada pidato
kenegaraan 17 Agustus 1949 (ia selalu memberi judul indah tiap pidato
proklamasi), Soekarno memberi judul, “Tetaplah bersemangat Elang Rajawali”. Di
tahun 1955, ia ulangi dengan judul yang semirip, “Tetap terbanglah Rajawali”,
hingga di senja kekuasaan pun, Soekarno memberi judul yang kini masyur dengan
akronim Jas Merah, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” pada 17 Agustus
1966.
Soeharto agak kaku dan miskin memiliki
ungkapan cantik, apalagi sajak maupun puisi dalam pidato-pidatonya. Hanya pada
pidato Tahun Emas Indonesia tahun 1995, ia membacakan sebaris sajak indah yang menggugah rakyatnya untuk berjalan
lurus menuju negeri impian, dengan berbagai rintangan. Namun di tahun 1980,
Soeharto agak tersentak sambil tersenyum mendengar sajak, yang seharusnya
pidato balasan dari tamu negara yang dijamunya dalam resepsi jamuan makan
kenegaraan. Ketika itu Perdana Menteri Belanda Andreas van Agt (kini kadang
menjadi advokat rakyat Palestina), membacakan sebuah sajak karya Multatuli di
hadapan tuan rumah.
Gadis Chairil
Chairil Anwar sadar akan kekuatan dan
daya sihir sebuah kata. Kadang puisi atau sajaknya, selalu bermuara pada
misteri. Sebuah misteri dengan daya pikat yang merangkul orang untuk berpikir,
merenung, menggelora, membebaskan. Chairil, sosok unik yang pernah makan sate
mentah ini, hadir menyajikan hampir semua itu pada karyanya.
Saya agak takjub dengannya ketika
membaca sajak “Buat Gadis Rasid” yang ia gores tahun 1948. Takjub karena saya
mengenal baik gadis yang ia impikan itu untuk terbang bersamanya. “Mari kita
lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati”. Chairil memang tak bisa memiliki
gadis itu menjadi kekasih sehidupnya.
Beberapa minggu lalu, saya melewati
sebuah jalan kecil yang ramai dengan bobot antrian kendaraan yang berbaris
merayap. Jalan itu hanya cukup dilalui satu arah, yang membujur dari utana ke
selatan, menembus Jalan Kebon Sirih di utara dan Jalan Wahid Hasyim di bagian
selatan. Jalan itu, Kebon Sirih Timur, yang kini hingar dengan deru asap mobil,
terbang mengotori deretan rumah di sisi barat sepanjang jalan itu, yang dikenal
sebagai pembuat jok mobil.
Tiba-tiba saya menatap ke sebuah tempat
di sisi timur jalan itu. Teringat sebuah rumah yang sudah hilang, berganti
kawasan perkantoran mewah. Sekitar 20 tahun lampau, saya pernah mengunjungi
sebuah rumah gaya 1960-an di tempat itu, bersama mendiang ibu saya.
Saat itu, di rumah tersebut tinggal
seorang wanita tua berusia 63 tahun, bersama ibu kandungnya. Saya datang
mengantarkan ibu saya yang ingin bertemu sahabat lamanya yang tinggal di rumah
itu. Lebih 36 tahun mereka tak saling jumpa. Wanita tua bernama Gadis Rasid.
Gadis Rasid adalah wartawan kawakan yang
memuja Sutan Sjahrir dan mengidolakan Maria Ulfah. Ulfah sendiri merupakan wanita pertama
Indonesia yang menjadi menteri, dan juga sahabat akrab Sjahrir. Atas usul
Ulfahlah, Sjahrir mengadakan perjanjian perdamaian dengan Belanda di kampung
halaman Ulfah di Linggajati, Kuningan tahun 1946. Ayah Ulfah adalah bupati
Kuningan pada masa perang.
Gadis bersama suaminya, wartawan Henk
Rondonuwu, adalah sahabat kedua orang tua saya sejak 1952 di Makassar. Henk
bersama ayah saya dan LE Manuhua mendirikan surat kabar Pedoman Rakyat yang
kini mati menguap dan ruhnya kini dimiliki kelompok Kompas Gramedia.
Ketika Gadis Rasid wafat pada 1988,
saya dibuat hentak bukan hanya karena wanita itu pergi selamanya, tapi
merenungi satu sajak Chairil untuknya. Betapa si ‘binatang jalang’ itu, mampu
mencipta, menyusun dan mengolah kata menjadi perenungan yang menjangkau
melewati batas waktu.
Saya dibuat tergetar, mengapa Chairil
akhirnya bisa mengajak Gadis bertemu dengannya? Hari Gadis wafat 28 April 1988
sama dengan hari kematian Chairil. Hanya bertaut 39 tahun! Mereka berdua yang
lahir di bulan Juli (Charil lebih tua setahun dari Gadis), terbaring di tempat
yang sama. Di Karet. Keduanya juga mengidolakan Sjahrir. “Menjaga Bung Karno,
Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir”, tulis Chairil dalam sebuah sajaknya.
Gadis pun mengagumi perdana menteri pertama itu. Ia wafat karena infeksi luka
yang ia dapat saat menghadiri pemugaran tempat pembuangan Sjahrir di Banda
Neira, beberapa saat sebelum wafat. Dan Chairil, memang memanggil Sjahrir
dengan sebutan “Om”, karena ada hubungan darah antar mereka.
Chairil membuktikan bahwa kata
mempunyai kekuatan yang bisa menjangkau dan mewujudkan suatu impian. “…kita berbaring bulat telanjang, sehabis
apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang”, bunyi sebaris sajaknya
untuk Gadis Rasid.
Setiap kata yang dipilih, tiap kalimat
yang dirangkai, dan tiap sajak yang digubahnya, membuat banyak orang
mempercayai semangat Chairil Anwar, bahwa hidup bisa berjalan selama seribu
tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar