Minggu, 27 April 2014

Chairil Anwar Mendapat Gadis

OLEH Iwan Satyanegara Kamah-Jakarta
Siapa sebenarnya Chairil Anwar? Penyair atau peramal? Hanya sedikit yang melekatkan predikat cenayang pada si ‘binatang jalang’ itu, termasuk saya. Beberapa karyanya, tergores susunan kata yang menggambarkan kenyataan dari isi hatinya yang ia inginkan. Dan itu banyak terwujud tanpa ia saksikan.
“Di Karet, di Karet sampai juga/deru angin”, adalah nyata contoh sebaris bait karyanya tahun 1949 yang sangat prediktif. Dan memang, jasad Chairil dibenamkan di tanah perkuburan Karet, Jakarta di tahun yang sama, sebagai rumah terakhirnya.

Kata dalam sebuah sajak, kadang menggetarkan dan menunjuk ke sebuah kondisi yang kita harapkan, juga yang kita tak ingini, dengan banyak tafsir yang kadang sepaham, berlawanan bahkan bermusuhan. Dalam beberapa kitab suci, banyak dijumpai hal itu. Kitab suci Quran, misalnya, yang tiap kata dipatuhi mutlak bagi yang mempercayai, diturunkan pada saat puisi membahana pada kala itu. Akibatnya, tercipta banyak ruang tafsir yang penuh warna pada tiap kata-kata cantik di dalamnya, yang kadang (tidak selalu) saling bentrok.
Begitu misterinya sebuah kata, banyak orang ingin menggunakannya untuk mengungkapkan gelora isi hatinya. Bukankah Napoleon sangat takut dengan sebuah pena, daripada sebilah pedang? Bukan suatu yang aneh, bila Saddam Hussein selama bertahta dengan tangan besi, melarang rakyat Irak memiliki mesin tik?  Kaum muslim pun paham sebuah ungkapan, bahwa tintanya para penulis (fuqaha), lebih suci daripada darahnya pejuang fisik (syuhada)?
Budayawan dan ulama yang nyentrik, KH Mustofa Bisri, atau dikenal sebutan Gus Mik, pernah di tahun 1990an terpaksa berurusan dengan pihak keamanan, karena puisi yang ditulisnya di harian Suara Merdeka, Semarang. Hanya sebuah kata! Ia menulis Pancasila dengan embel-embel kata “dor!”. “Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dor! Dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Dor! Tiga…Dor! Hingga sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dor! Bagi mereka yang terbiasa dengan kekuasaan, sulit memang memahami  puisi, benda ajaib yang lahir dengan bahasa yang sering tak terduga dari hati.
Lihatlah, betapa indahnya tiap pidato Soekarno, yang kadang memasukkan puisi, sajak atau ungkapan indah, hingga orang rela berdiri berjam-jam terpaku diterik matahari menyimaknya. Pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1949 (ia selalu memberi judul indah tiap pidato proklamasi), Soekarno memberi judul, “Tetaplah bersemangat Elang Rajawali”. Di tahun 1955, ia ulangi dengan judul yang semirip, “Tetap terbanglah Rajawali”, hingga di senja kekuasaan pun, Soekarno memberi judul yang kini masyur dengan akronim Jas Merah, “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” pada 17 Agustus 1966.
Soeharto agak kaku dan miskin memiliki ungkapan cantik, apalagi sajak maupun puisi dalam pidato-pidatonya. Hanya pada pidato Tahun Emas Indonesia tahun 1995, ia membacakan sebaris sajak  indah yang menggugah rakyatnya untuk berjalan lurus menuju negeri impian, dengan berbagai rintangan. Namun di tahun 1980, Soeharto agak tersentak sambil tersenyum mendengar sajak, yang seharusnya pidato balasan dari tamu negara yang dijamunya dalam resepsi jamuan makan kenegaraan. Ketika itu Perdana Menteri Belanda Andreas van Agt (kini kadang menjadi advokat rakyat Palestina), membacakan sebuah sajak karya Multatuli di hadapan tuan rumah.
Gadis Chairil
Chairil Anwar sadar akan kekuatan dan daya sihir sebuah kata. Kadang puisi atau sajaknya, selalu bermuara pada misteri. Sebuah misteri dengan daya pikat yang merangkul orang untuk berpikir, merenung, menggelora, membebaskan. Chairil, sosok unik yang pernah makan sate mentah ini, hadir menyajikan hampir semua itu pada karyanya.
Saya agak takjub dengannya ketika membaca sajak “Buat Gadis Rasid” yang ia gores tahun 1948. Takjub karena saya mengenal baik gadis yang ia impikan itu untuk terbang bersamanya. “Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati”. Chairil memang tak bisa memiliki gadis itu menjadi kekasih sehidupnya.
Beberapa minggu lalu, saya melewati sebuah jalan kecil yang ramai dengan bobot antrian kendaraan yang berbaris merayap. Jalan itu hanya cukup dilalui satu arah, yang membujur dari utana ke selatan, menembus Jalan Kebon Sirih di utara dan Jalan Wahid Hasyim di bagian selatan. Jalan itu, Kebon Sirih Timur, yang kini hingar dengan deru asap mobil, terbang mengotori deretan rumah di sisi barat sepanjang jalan itu, yang dikenal sebagai pembuat jok mobil.
Tiba-tiba saya menatap ke sebuah tempat di sisi timur jalan itu. Teringat sebuah rumah yang sudah hilang, berganti kawasan perkantoran mewah. Sekitar 20 tahun lampau, saya pernah mengunjungi sebuah rumah gaya 1960-an di tempat itu, bersama mendiang ibu saya.
Saat itu, di rumah tersebut tinggal seorang wanita tua berusia 63 tahun, bersama ibu kandungnya. Saya datang mengantarkan ibu saya yang ingin bertemu sahabat lamanya yang tinggal di rumah itu. Lebih 36 tahun mereka tak saling jumpa. Wanita tua bernama Gadis Rasid.
Gadis Rasid adalah wartawan kawakan yang memuja Sutan Sjahrir dan mengidolakan Maria Ulfah.  Ulfah sendiri merupakan wanita pertama Indonesia yang menjadi menteri, dan juga sahabat akrab Sjahrir. Atas usul Ulfahlah, Sjahrir mengadakan perjanjian perdamaian dengan Belanda di kampung halaman Ulfah di Linggajati, Kuningan tahun 1946. Ayah Ulfah adalah bupati Kuningan pada masa perang.
Gadis bersama suaminya, wartawan Henk Rondonuwu, adalah sahabat kedua orang tua saya sejak 1952 di Makassar. Henk bersama ayah saya dan LE Manuhua mendirikan surat kabar Pedoman Rakyat yang kini mati menguap dan ruhnya kini dimiliki kelompok Kompas Gramedia.
Ketika Gadis Rasid wafat pada 1988, saya dibuat hentak bukan hanya karena wanita itu pergi selamanya, tapi merenungi satu sajak Chairil untuknya. Betapa si ‘binatang jalang’ itu, mampu mencipta, menyusun dan mengolah kata menjadi perenungan yang menjangkau melewati batas waktu.
Saya dibuat tergetar, mengapa Chairil akhirnya bisa mengajak Gadis bertemu dengannya? Hari Gadis wafat 28 April 1988 sama dengan hari kematian Chairil. Hanya bertaut 39 tahun! Mereka berdua yang lahir di bulan Juli (Charil lebih tua setahun dari Gadis), terbaring di tempat yang sama. Di Karet. Keduanya juga mengidolakan Sjahrir. “Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir”, tulis Chairil dalam sebuah sajaknya. Gadis pun mengagumi perdana menteri pertama itu. Ia wafat karena infeksi luka yang ia dapat saat menghadiri pemugaran tempat pembuangan Sjahrir di Banda Neira, beberapa saat sebelum wafat. Dan Chairil, memang memanggil Sjahrir dengan sebutan “Om”, karena ada hubungan darah antar mereka.
Chairil membuktikan bahwa kata mempunyai kekuatan yang bisa menjangkau dan mewujudkan suatu impian.   “…kita berbaring bulat telanjang, sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang”, bunyi sebaris sajaknya untuk Gadis Rasid.
Setiap kata yang dipilih, tiap kalimat yang dirangkai, dan tiap sajak yang digubahnya, membuat banyak orang mempercayai semangat Chairil Anwar, bahwa hidup bisa berjalan selama seribu tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...