OLEH
Yusriwal
Peneliti di Fakultas Sastra Unand
Lima puluh empat tahun yang lalu,
tepatnya 28 April 1949, dunia kesusastraan Indonesia kehilangan seorang maestro
sastra: meninggalnya penyair besar Chairil Anwar. Ia mati muda, dalam usia 27
tahun. Namanya tidak terkubur, walaupun tulang belulangnya mungkin sudah
hancur. Siapa pun yang belajar kesusastraan Indonesia, mau atau tidak, pasti
akan berhubungan dengan Chairil Anwar dan karya-karyanya. Mengapa?
Seorang seniman memiliki semacam
kearifan. Mereka memiliki kelebihan dapat “melihat” dan meramal apa yang bakal
terjadi. Mungkin kemampuan itu tidak sama dengan kemampuan yang dimiliki
seorang Nabi atau wali Allah, tetapi
jelas, mereka dianggap punya kelebihan dibanding orang kebanyakan. Kearifan
yang mereka miliki tidak pula sama dengan kemampuan yang ada pada seorang
paranormal.
Kelebihan ini dimungkinkan karena
seniman mempunyai intuisi, perasaan, intelektualitas yang tinggi. Dengan
perangkat itulah, seniman dapat “melihat” ke depan. Itu pulalah yang menyebabkan
karya-karya seniman besar masih dapat bertahan hidup sampai hari ini. Semisal
Ronggowarsito, apa yang dikatakannya sebagai “zaman edan” itu, berlangsung juga hingga sekarang.
Kenyataan itu dapat berlaku disebabkan
seniman bertindak sebagai “pengamat”. Mereka mempunyai kepedulian terhadap
realitas di sekitarnya. Dengan begitu, mereka dapat mereka-reka apa yang
mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang. Seperti dapat kita lihat,
begitu banyaknya karya seni yang baik yang sering mendahului zamannya.
Itu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan
pemimpin, intelektual, dan tokoh masyarakat kita hari ini. Mereka muncul pada
suatu saat, kemudian hilang. Muncul tokoh baru untuk beberapa saat dan hilang
selamanya. Apa yang kurang pada mereka? Intelektualitas, Intuisi, dan perasaan,
mereka semuanya punya. Barangkali, mereka menggunakan salah satunya sesuai
kepentingan. Bukan menggunakan ketiganya dalam sebuah harmoni yang pada
akhirnya membentuk sebuah kearifan.
Oleh sebab itu, pada bulan April ini
patut rasanya direnungkan kembali apa yang telah ditulis Chairl Anwar 54 tahun
yang lalu. Kita mungkin belum lupa dengan ungkapan “aku mau hidup seribu tahun
lagi” (Semangat atau Aku), “sekali berarti, sudah itu mati” (Diponegoro), dan “hidup hanya menunda
kekalahan” (Derai-derai Cemara).
Ketiga ungkapan di atas, walaupun terdapat pada tiga puisi yang berbeda, tetapi
mempunyai hubungan yang sangat erat. Keterkaitannya akan terlihat jika
diparafrasekan seperti di bawah ini.
Sebenarnya aku mau hidup seribu tahun lagi, tetapi
jika hidup hanya menunda kekalahan
biarlah sekali berarti, sudah itu mati.
Secara bebas dapat dikatakan bahwa
Chairil (aku) ingin hidup lebih lama dan mungkin juga selamanya. Akan tetapi,
dia menyadari pula bahwa hal itu tidak mungkin terjadi karena pekerjaan yang
paling berarti atau berharga yang dapat menimbulkan kenangan yang mendalam pada
orang lain itu, hanya sekali. Setelah itu, walaupun seseorang tetap berbuat, ia
akan tenggelam oleh perbuatan sebelumnya. Itu akan terlihat sebagai kegagalan,
yang berarti juga kekalahan. Hidup dalam keadaan seperti itu hanyalah pengisi
waktu sebelum datangnya kekalahan yang lebih besar, yaitu sang maut. Dia telah
mati sebelum meninggal.
Chairil membuktikannya. Dia “menyadari”
hidupnya yang singkat itu dan dia membuatnya cukup berarti dengan berkarya
sebaik mungkin. Ternyata apa yang dilakukannya tidak sia-sia sehingga dicatat
oleh sejarah sebagai pembaharu dalam sastra Indonesia. Karya-karyanya banyak
dibicarakan dan tetap aktual. Hidupnya yang hanya 27 tahun, dibaktikannya untuk
kesusastraan Indonesia.
Secara manusiawi, apa yang diinginkan
Chairil Anwar itu cukup beralasan. Setiap seniman mempunyai keinginan yang
sama, yaitu untuk dapat hidup sepanjang masa. Pada saat yang bersamaan Chairil
menyadari, untuk apa hidup yang panjang
kalau hanya dapat berarti sekali saja. Pilihan yang paling tepat adalah
mundur. Kekalahan yang besar ini, cepat atau lambat pasti akan datang. Chairil
“merasa” hidup sudah berarti, karenanya ia menunggu kekalahan itu dengan
mempersiapkan diri, seperti yang ditulisnya “aku berbenah dalam kamar, dalam
diriku jika kau datang “( Yang Terempas
dan Yang Putus).
Sebenarnya, hidup yang singkat itu
merupakan sebuah “anugerah” bagi Chairil, karena dia meninggal pada saat
kreativitasnya sedang berada di puncak. Ibarat mendaki gunung, puncak itu hanya
satu. Di baliknya adalah lembah dan penurunan. Satu-satunya jalan untuk tetap
berada di puncak adalah berhenti di sana. Itulah yang terjadi pada Chairil:
berhenti di puncak kreativitasnya. Karena mati, sampai saat ini dia tetap
berada di sana: di puncak
kreativitasnya.
Kearifan lain yang
terlihat, seolah-olah dia “menyadari” bahwa jika tetap hidup dan berkarya sampai sekarang, mungkin kreativitasnya akan
menurun. Tidak banyak orang yang mau mundur di kala karirnya sedang di puncak.
Mereka ingin mencapai yang lebih. Namun sayang, mereka tergelincir sebelum
mencapai puncak yang diingini. Mereka hidup untuk menunggu kekalahan.
Begitulah kearifan seorang Chairil
Anwar. Kalau kita kembali lagi pada ketiga ungkapan di atas, hal itu terlihat
seperti sebuah perencanaan yang telah terformulasi di dalam pikiran Chairil.
Ketiganya ditulis Chairil dalam dua periode yang jaraknya cukup lama. Puisi Semangat
dan Diponegoro ditulisnya
pada tahun 1943, sedangkan Derai-derai
Cemara lahir pada tahun 1949.
Periode 1943 merupakan periode awal
kepenulisan Chairil yang memperlihatkan gejolak jiwa mudanya dengan ungkapan
yang menggebu-gebu dalam menyikapi hidup. Akan tetapi, pada periode 1949 dia
mulai menyikapinya dengan kesadaran bahwa ada proses perubahan dalam dirinya
yang memisahkannya dari masa lalu. Chairil menumpahkan perasaannya dengan
ketenangan. Itulah salah satu kearifan Chairil yang lain: sebuah proses untuk
mengubah diri. *
Sumber: Harian Singgalang, Senin 22 April 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar