Minggu, 20 April 2014

CATATAN PANGGUNG PUBLIK SUMATERA III: Saatnya Ruang (Panggung) dan Waktu untuk Publik

OLEH Nasrul Azwar

Pembukaan PPS III (Dok Sakata)
Situs Pusat Dokumentasi dan Informasi Minangkabau (PDIKM) Padangpanjang seperti bergerak. Sejak siang hingga malam, kawasan Taman Mini Minangkabau itu, seolah diberi napas baru. Napas itu bernama seni pertunjukan.
Lokasi ini merupakan satu simpul dari tujuh titik yang dijadikan ruang publik untuk berkesenian dalam iven Panggung Publik Sumetera (PPS) III yang digelar 27-29 Maret 2014 di Kota Serambi Mekkah Padang Panjang.

Ada tiga gelaran dilaksanakan di lokasi ini pada hari pertama PPS III: Sarasehan Budaya dengan narasumber Yusrizal KW (redaktur budaya Padang Ekspres) dan Harris Priadi Bah (Pimpinan Teater Kami Jakarta), pementasan monolog “Tumbal Dewi Cokek” oleh Herlina Syarifudin (Jakarta), “Demokrasi” yang diusung Teater Sakata (Padangpanjang), sutradara Enrico Alamo, dan “Menjadi Batu”, yang digarap Teater Salembayung (Pekanbaru).
Pelataran rumah gadang dan medan nan balinduang PDIKM yang selama ini jauh dari hiruk-pikuk, malam itu pun disesaki penonton. Ruang-ruang yang tersedia memberi warna setiap pertunjukan kendati lokasi ini jauh dari kehidupan publik (sosial) itu sendiri.
Memang, selain di situs PDIKM, persis dengan nama iven ini: panggung publik, ada juga ruang-ruang lain yang dinyatakan sebagai panggung publik, yakni Pondok Desain dan Promosi, Kampus Universitas Muhammadiyah, Panti Sosial Bina Remaja Harapan, Stasiun Kereta Api, Pasar Padangpanjang, Rumah Makan Pak Datuk, dan Balai Kota.
Dibanding dua PPS sebelumnya, yang ketiga ini cakupannya tampak sudah melintasi batas geografis Sumatera Barat. Ada tiga peserta luar dari Sumatera Barat, yaitu Jakarta Herlina Syarifudin), Teater Selembayung (Pekanbaru, Riau), Teater Rumah Mata (Medan, Sumatera Utara). Perluasan peserta ini, terlepas dari mekanisme seleksi tingkat kuratorial keikutsertaannya dalam program PPS III, tentu yang dilakukan penyelenggara ini pantas kita apresiasi. Selain itu, melebarkan partisipasi seni-seni lainnya, baik itu seni tradisi, film, dan musik, juga memberi denyut pada PPS III ini. Pun melibatkan partisipasi aktif siswa SMA dalam iven ini, dapat direpesentasikan sebagai pencairan bahwa PPS untuk semua kalangan.
Dalam lembaran acara PPS III, tercatat partisipasi individu dan kelompok seni, yaitu Komunitas Nan Tumpah, Ruang Kreatif Serunai Laut (keduanya dari Padang), Teater Sakata, Orkes Keroncong La Paloma, Batahimime Teater, HMJ Prodi Teater ISI Padang Panjang, Sarueh Open Space, Pemusik Jalanan (KPJ) Teater Universitas Muhammadiyah, Tari Sikambang Manih, Sanggar Seni Aguang, Flam Percussion semuanya dari Padangpanjang. Lokakarya seni untuk siswa menengah atas, tentu dapat dikatakan sebagai pastisipatoris dari konsep panggung publik itu sendiri.
Dari konfigurasi kebersertaan dan partisipasi seniman dalam tiga PPS yang sudah digelar, tampaknya ada upaya penyelenggaran untuk meluaskan panggung publik ke wilayah dan cabang seni-seni lainnya: baik itu seni pertunjukan tradisi dan modern dengan variasi turunannya (monolog, teater, musik), maupun film.
Dalam catatan saya, PPS ini diproyeksikan sebagai peristiwa budaya yang digelar secara berkala setiap tahun, yang awalnya manifestasi dari kegelisahan para aktivis seni, seniman, dan kalangan akademisi seni di ISI Padangpanjang: tiadanya sebuah iven budaya yang representatif di Kota Padangpanjang.
Mengutip dari catatan jurnalis Gusriyono (baca rubrik Ruang Gusriyono di http://mantagibaru.blogspot.com) menyebutkan, PPS bermula dari pertemuan sesama pegiat teater yang dilakukan di Sekretariat Teater Sakata. Pertemuan ini dihadiri Komunitas Seni Hitam Putih, Komunitas Seni Kuflet, Teater Plong, Sembilan Ruang, Kelompok Pematang, Katatari, Batahimimetheatre dan Teater Sakata sebagai tuan rumah, serta lainnya. Disepakati,  Panggung Publik Sumatera digelar pada 2012 dengan mengangkat tema “Menjamu Penonton di Ruang Publik”. Penyelenggaraan PPS disamakan dengan momentum peringatan “Hari Teater Dunia” yang jatuh pada 27 Maret.   
Pada PPS II 2013 digelar kembali untuk kedua kalinya. Konsep pertunjukan masih mempertahankan pentas out door di ruang-ruang publik karena harapan dari PPS sendiri memang mendekatkan seni pada publik. Maka, pertunjukan di tengah masyarakat menjadi poin penting yang terus dipertahankan. PPS II mengusung tema: “Semangat Baru Teater Muda Indonesia”, dan untuk PPS III 2014 menggarap tema: “Padang Panjang Panggung Seni Sumatera”.
Menurut Enrico Alamo, inisiator PPS ini, peristiwa budaya bertaraf nasional ini, yang sudah ketiga kali digelar di Kota Padangpanjang, tak bisa dilepas dari peran Pemerintah Kota Padangpanjang, yang dia katakan sangat respons dan mendukung kegiatan ini secara maksimal.
“Panggung Publik Sumatera mendapat perhatian dari Pemerintah Kota Padangpanjang, dan tentu kita sambut positif. Untuk memajukan kebudayaan, tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Sinergitas sangat dibutuhkan antara pemerintah, seniman/budayawan, dan masyarakat. Jika tigak hal ini berjalan dengan baik, maka harapan menjadikan Padangpanjang sebagai panggung seni pertunjukan di Sumatera, akan terealisasi,” kata Enrico Alamo seperti dilansir beberapa media massa.
Membaca Keterlibatan Publik
Mengutip penjelasan Enrico Alamo tujuan dari PPS antara lain adalah: (1) menguatkan daya apresiasi masyarakat Padang Panjang khususnya pada berbagai genre seni baik pertunjukan maupun wawasan budaya; (2) mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengolah kreativitas seni sebagai bentuk kecintaan terhadap budaya sendiri sehingga peradaban kota menjadi lebih baik; dan (3) menjadikan Padangpanjang sebagai ‘panggung’ seni pertunjukan di Sumatera.
Membaca lebih jauh PPS, dan bagi saya, iven PPS ini, merupakan salah satu dari sekian banyak iven budaya di Tanah Air yang berangkat dari kegelisahan tergerusnya  ruang-ruang ekspresi publik, terutama seniman dan pekerja seni yang mengukuhkan eksistensi dirinya di kota-kota. Titik berangkat dan latar belakang yang persis itu, maka ruang publik menjadi wacana dan pusat isu yang mengitari perjalanan seni dan kebudayaan.
Sejak tahun 1970-an (Chris Barker, 2000) mengatakan, teori sosial dan budaya mulai memerhatikan persoalan ruang dan tempat. Jauh sebelum para pemerhati kajian budaya kontemporer dengan pendekatan cultural studies, yang lebih tertarik pada “waktu” yang lebih dilihat sebagai bidang dinamis perubahan sosial. Sementara, “ruang” sebagai sesuatu yang mati, tetap, dan statis, ditindas oleh pergerakan sejarah.
Menurut Foucult terkait dengan ruang itu, seluruh sejarah ruang-ruang masih menunggu untuk ditulis—yang akan sekaligus menjadi sejarah kekuasaan-kekuasaan—mulai dari strategi agung geopolitik sampai taktik-taktik kecil dalam habitat.
Sementara itu, Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang terkenal dengan teori strukturasi dan pandangan menyeluruh tentang masyarakat modern menyebut, memahami bagaimana aktivitas manusia terdistribusi dalam ruang merupakan sesuatu yang mendasar dalam analisis tentang kehidupan sosial. Interaksi manusia menempati ruang-ruang tertentu yang punya banyak makna sosial.
Maka dari itu pula, ruang dan waktu tidak bisa dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan dua hal yang saling terkait. Pada prinsipnya, ruang dan waktu terbentuk secara relasional melalui kesalingterkaitan benda dan objek di dalamnya. Ruang adalah sebuah kontruksi sosial, dunia sosial terkonstruksi secara spasial. Ruang sosial itu sendiri dipahami bukan sesuatu yang statis, beku, tetapi dinamis. Ruang sosial terbentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang terus berubah.
Bagi saya, ketika pilihan peristiwa budaya yang menggunakan konsep ruang (panggung) publik sebagai basis proses kreatif seniman, maka konsekuensi logis adalah keterlibatan aktif maupun pasif publik dalam konstruksi sosial yang dibangun.
Peristiwa budaya (seni) yang dilangsungkan di tengah ruang-ruang publik, tentu memiliki relasi yang kuat dengan materialisasi hubungan-hubungan sosial yang diungkap lewat media seni, baik itu teater, musik, dan lainnya.
Ketika seni (pertunjukan) dipersepsikan “telah jauh” kehidupan sosial masyarakat, sehingga mendesak menciptakan sebuah peristiwa budaya (seni) yang diberi nama panggung publik dengan regionalitas “Sumatera”, maka saat itulah sesungguhnya publik-sosial menjadi keniscayaan dilibatkan secara maksimal, baik itu proses berkeseniannya maupun penyelenggaraan hadirnya peristiwa budaya itu. Publik, warga, ataupun masyarakat menjadi subjek penting dalam ruang dan waktu seperti batasan di atas.
Iven PPS merupakan peristiwa budaya. Eksplorasi terhadap kehidupan urban, katakanlah sebagai kegelisahan seniman dan pekerja seni karena dipenuhi dengan indusrtrialisasi kapitalis, tak serta dipandang sebagai kecemasan yang diisolasi seniman, dan publik dikesankan kurang memahami.
Maka dari itu pula, tiga kali penyelenggaraan PPS, terasa sekali soal seni yang berkorelasi dengan ruang dan waktu yang selama ini diasumsikan membuat jarak dengan publik, seolah hanya memindahkan ruang (panggung) seni yang selama ini eksklusif ke tengah masyarakat, yang bisa saja itu ruang pasar, taman kota, rumah makan, space parkir, dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, seniman dan pekerja seni tetap berproses dalam ruang kesendiriannya jika tak mau disebut “menara gading”, “terisolasi” secara sosial dengan menafikan keterlibatan publik untuk berkesenian. Idealnya, jika konsep senin panggung publik ini berkehendak mendekatkan diri dengan masyarakat, maka publik (warga) itu adalah aktor, pemonolog, pemusik, sutradara, penata artistik, dan lain sebagainya. Tapi, apa yang kita saksikan tiga kali PPS dilaksanakan, publik (warga) menjadi objek pasif yang kita sebut sebagai penonton. Bukankah hal demikian ini, dapat dikatakan seniman malah merebut ruang publik itu sendiri, dan ini jelas berbeda dengan apa yang disebut panggung publik itu sendiri.
Tentu saja catatan  ini berkeinginan, menyetir Emile Durkheim,  sosiolog Perancis, psikolog sosial dan filsuf, bahwa kehidupan urban bisa menjadi ruang bagi kreativitas, Kemajuan, dan sebuah tatanan moral yang baru, tapi juga bisa menjadi arena kemorosotan moral dan anomie.
Membesarkan PPS
Bagi saya, pada dasarnya apa yang dikonsepkan Panggung Publik Sumatera ini cukup menarik dan potensi untuk dikembangkan dan sangat terbuka serta isu-isu yang diusung pun variatif, relevan dengan permasalahan kekinian.
Jika kelak program ini terus berlanjut dengan dukungan dari Pemerintah Kota Padangpanjang, tentunya, soal teknis dan pilihan-pilihan ruang menjadi hal yang sangat penting dan krusial, selain mempertimbangkan adanya kurasi untuk proses keikutsertaan seniman dalam iven ini.
Sudah saatnya PPS mengedankan mutu, kebaruan, dan inovasi karya seni. Dan sudah saatnya pula para seniman dan pekerja seni membuang jauh-jauh sikap-sikap yang tak produktif, kecurigaan tak beralasan, dan berpikir negatif. Seni itu untuk semua. Maka, semuanya perlu membesarkan PPS. Tak ada alasan untuk mengerdilkannya, apa lagi membunuhnya.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...