OLEH
Nasrul Azwar
Pembukaan PPS III (Dok Sakata) |
Situs Pusat Dokumentasi dan Informasi
Minangkabau (PDIKM) Padangpanjang seperti bergerak. Sejak siang hingga malam,
kawasan Taman Mini Minangkabau itu, seolah diberi napas baru. Napas itu bernama
seni pertunjukan.
Lokasi ini merupakan satu simpul dari tujuh
titik yang dijadikan ruang publik untuk berkesenian dalam iven Panggung Publik
Sumetera (PPS) III yang digelar 27-29 Maret 2014 di Kota Serambi Mekkah Padang
Panjang.
Ada tiga gelaran dilaksanakan di lokasi
ini pada hari pertama PPS III: Sarasehan Budaya dengan narasumber Yusrizal KW
(redaktur budaya Padang Ekspres) dan
Harris Priadi Bah (Pimpinan Teater Kami Jakarta), pementasan monolog “Tumbal
Dewi Cokek” oleh Herlina Syarifudin (Jakarta), “Demokrasi” yang diusung Teater
Sakata (Padangpanjang), sutradara Enrico Alamo, dan “Menjadi Batu”, yang
digarap Teater Salembayung (Pekanbaru).
Pelataran rumah gadang dan medan nan
balinduang PDIKM yang selama ini jauh dari hiruk-pikuk, malam itu pun disesaki
penonton. Ruang-ruang yang tersedia memberi warna setiap pertunjukan kendati
lokasi ini jauh dari kehidupan publik (sosial) itu sendiri.
Memang, selain di situs PDIKM, persis
dengan nama iven ini: panggung publik, ada juga ruang-ruang lain yang dinyatakan
sebagai panggung publik, yakni Pondok Desain dan Promosi, Kampus Universitas
Muhammadiyah, Panti Sosial Bina Remaja Harapan, Stasiun Kereta Api, Pasar
Padangpanjang, Rumah Makan Pak Datuk, dan Balai Kota.
Dibanding dua PPS sebelumnya, yang ketiga
ini cakupannya tampak sudah melintasi batas geografis Sumatera Barat. Ada tiga peserta
luar dari Sumatera Barat, yaitu Jakarta Herlina Syarifudin), Teater Selembayung
(Pekanbaru, Riau), Teater Rumah Mata (Medan, Sumatera Utara). Perluasan peserta
ini, terlepas dari mekanisme seleksi tingkat kuratorial keikutsertaannya dalam
program PPS III, tentu yang dilakukan penyelenggara ini pantas kita apresiasi.
Selain itu, melebarkan partisipasi seni-seni lainnya, baik itu seni tradisi,
film, dan musik, juga memberi denyut pada PPS III ini. Pun melibatkan
partisipasi aktif siswa SMA dalam iven ini, dapat direpesentasikan sebagai
pencairan bahwa PPS untuk semua kalangan.
Dalam lembaran acara PPS III, tercatat
partisipasi individu dan kelompok seni, yaitu Komunitas Nan Tumpah, Ruang
Kreatif Serunai Laut (keduanya dari Padang), Teater Sakata, Orkes Keroncong La
Paloma, Batahimime Teater, HMJ Prodi Teater ISI Padang Panjang, Sarueh Open
Space, Pemusik Jalanan (KPJ) Teater Universitas Muhammadiyah, Tari Sikambang
Manih, Sanggar Seni Aguang, Flam Percussion semuanya dari Padangpanjang.
Lokakarya seni untuk siswa menengah atas, tentu dapat dikatakan sebagai
pastisipatoris dari konsep panggung publik itu sendiri.
Dari konfigurasi kebersertaan dan
partisipasi seniman dalam tiga PPS yang sudah digelar, tampaknya ada upaya penyelenggaran
untuk meluaskan panggung publik ke wilayah dan cabang seni-seni lainnya: baik
itu seni pertunjukan tradisi dan modern dengan variasi turunannya (monolog,
teater, musik), maupun film.
Dalam catatan saya, PPS ini diproyeksikan
sebagai peristiwa budaya yang digelar secara berkala setiap tahun, yang awalnya
manifestasi dari kegelisahan para aktivis seni, seniman, dan kalangan akademisi
seni di ISI Padangpanjang: tiadanya sebuah iven budaya yang representatif di
Kota Padangpanjang.
Mengutip dari catatan jurnalis Gusriyono
(baca rubrik Ruang Gusriyono di http://mantagibaru.blogspot.com) menyebutkan, PPS bermula dari pertemuan sesama
pegiat teater yang dilakukan di Sekretariat Teater Sakata. Pertemuan ini
dihadiri Komunitas Seni Hitam Putih, Komunitas Seni Kuflet, Teater Plong,
Sembilan Ruang, Kelompok Pematang, Katatari, Batahimimetheatre dan Teater
Sakata sebagai tuan rumah, serta lainnya. Disepakati, Panggung Publik Sumatera digelar pada 2012
dengan mengangkat tema “Menjamu Penonton di Ruang Publik”. Penyelenggaraan PPS disamakan dengan momentum peringatan “Hari
Teater Dunia” yang jatuh pada 27 Maret.
Pada PPS II
2013 digelar kembali untuk kedua kalinya. Konsep pertunjukan masih
mempertahankan pentas out door di
ruang-ruang publik karena harapan dari PPS sendiri memang mendekatkan seni pada
publik. Maka, pertunjukan di tengah masyarakat menjadi poin penting yang terus
dipertahankan. PPS II mengusung tema: “Semangat Baru Teater Muda Indonesia”, dan untuk
PPS III 2014 menggarap tema: “Padang Panjang Panggung Seni
Sumatera”.
Menurut
Enrico Alamo, inisiator PPS ini, peristiwa budaya bertaraf nasional ini, yang
sudah ketiga kali digelar di Kota Padangpanjang, tak bisa dilepas dari peran
Pemerintah Kota Padangpanjang, yang dia katakan sangat respons dan mendukung
kegiatan ini secara maksimal.
“Panggung Publik Sumatera mendapat
perhatian dari Pemerintah Kota Padangpanjang, dan tentu kita sambut positif.
Untuk memajukan kebudayaan, tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Sinergitas
sangat dibutuhkan antara pemerintah, seniman/budayawan, dan masyarakat. Jika
tigak hal ini berjalan dengan baik, maka harapan menjadikan Padangpanjang
sebagai panggung seni pertunjukan di Sumatera, akan terealisasi,” kata Enrico
Alamo seperti dilansir beberapa media massa.
Membaca Keterlibatan Publik
Mengutip
penjelasan Enrico Alamo tujuan dari PPS antara lain adalah: (1) menguatkan daya
apresiasi masyarakat Padang Panjang khususnya pada berbagai genre seni baik pertunjukan maupun
wawasan budaya; (2) mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengolah kreativitas
seni sebagai bentuk kecintaan terhadap budaya sendiri sehingga peradaban kota
menjadi lebih baik; dan (3) menjadikan Padangpanjang sebagai ‘panggung’ seni
pertunjukan di Sumatera.
Membaca lebih
jauh PPS, dan bagi saya, iven PPS ini, merupakan salah satu dari sekian banyak
iven budaya di Tanah Air yang berangkat dari kegelisahan tergerusnya ruang-ruang ekspresi publik, terutama seniman
dan pekerja seni yang mengukuhkan eksistensi dirinya di kota-kota. Titik
berangkat dan latar belakang yang persis itu, maka ruang publik menjadi wacana
dan pusat isu yang mengitari perjalanan seni dan kebudayaan.
Sejak tahun
1970-an (Chris Barker, 2000) mengatakan, teori sosial dan budaya mulai
memerhatikan persoalan ruang dan tempat. Jauh sebelum para pemerhati kajian
budaya kontemporer dengan pendekatan cultural
studies, yang lebih tertarik pada “waktu” yang lebih dilihat sebagai bidang
dinamis perubahan sosial. Sementara, “ruang” sebagai sesuatu yang mati, tetap,
dan statis, ditindas oleh pergerakan sejarah.
Menurut
Foucult terkait dengan ruang itu, seluruh sejarah ruang-ruang masih menunggu
untuk ditulis—yang akan sekaligus menjadi sejarah kekuasaan-kekuasaan—mulai
dari strategi agung geopolitik sampai taktik-taktik kecil dalam habitat.
Sementara
itu, Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang
terkenal dengan teori strukturasi dan pandangan menyeluruh tentang masyarakat
modern menyebut, memahami bagaimana aktivitas manusia terdistribusi dalam ruang
merupakan sesuatu yang mendasar dalam analisis tentang kehidupan sosial.
Interaksi manusia menempati ruang-ruang tertentu yang punya banyak makna
sosial.
Maka dari itu
pula, ruang dan waktu tidak bisa dilihat sebagai entitas yang terpisah,
melainkan dua hal yang saling terkait. Pada prinsipnya, ruang dan waktu
terbentuk secara relasional melalui kesalingterkaitan benda dan objek di
dalamnya. Ruang adalah sebuah kontruksi sosial, dunia sosial terkonstruksi
secara spasial. Ruang sosial itu sendiri dipahami bukan sesuatu yang statis,
beku, tetapi dinamis. Ruang sosial terbentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang
terus berubah.
Bagi saya,
ketika pilihan peristiwa budaya yang menggunakan konsep ruang (panggung) publik
sebagai basis proses kreatif seniman, maka konsekuensi logis adalah
keterlibatan aktif maupun pasif publik dalam konstruksi sosial yang dibangun.
Peristiwa
budaya (seni) yang dilangsungkan di tengah ruang-ruang publik, tentu memiliki
relasi yang kuat dengan materialisasi hubungan-hubungan sosial yang diungkap
lewat media seni, baik itu teater, musik, dan lainnya.
Ketika seni
(pertunjukan) dipersepsikan “telah jauh” kehidupan sosial masyarakat, sehingga
mendesak menciptakan sebuah peristiwa budaya (seni) yang diberi nama panggung
publik dengan regionalitas “Sumatera”, maka saat itulah sesungguhnya
publik-sosial menjadi keniscayaan dilibatkan secara maksimal, baik itu proses
berkeseniannya maupun penyelenggaraan hadirnya peristiwa budaya itu. Publik,
warga, ataupun masyarakat menjadi subjek penting dalam ruang dan waktu seperti
batasan di atas.
Iven PPS
merupakan peristiwa budaya. Eksplorasi terhadap kehidupan urban, katakanlah
sebagai kegelisahan seniman dan pekerja seni karena dipenuhi dengan
indusrtrialisasi kapitalis, tak serta dipandang sebagai kecemasan yang
diisolasi seniman, dan publik dikesankan kurang memahami.
Maka dari itu
pula, tiga kali penyelenggaraan PPS, terasa sekali soal seni yang berkorelasi
dengan ruang dan waktu yang selama ini diasumsikan membuat jarak dengan publik,
seolah hanya memindahkan ruang (panggung) seni yang selama ini eksklusif ke tengah
masyarakat, yang bisa saja itu ruang pasar, taman kota, rumah makan, space parkir, dan lain sebagainya.
Dengan kata
lain, seniman dan pekerja seni tetap berproses dalam ruang kesendiriannya jika
tak mau disebut “menara gading”, “terisolasi” secara sosial dengan menafikan
keterlibatan publik untuk berkesenian. Idealnya, jika konsep senin panggung
publik ini berkehendak mendekatkan diri dengan masyarakat, maka publik (warga)
itu adalah aktor, pemonolog, pemusik, sutradara, penata artistik, dan lain sebagainya.
Tapi, apa yang kita saksikan tiga kali PPS dilaksanakan, publik (warga) menjadi
objek pasif yang kita sebut sebagai penonton. Bukankah hal demikian ini, dapat
dikatakan seniman malah merebut ruang publik itu sendiri, dan ini jelas berbeda
dengan apa yang disebut panggung publik itu sendiri.
Tentu saja
catatan ini berkeinginan, menyetir Emile
Durkheim, sosiolog Perancis, psikolog sosial dan filsuf, bahwa
kehidupan urban bisa menjadi ruang bagi kreativitas, Kemajuan, dan sebuah tatanan moral yang baru, tapi juga bisa menjadi arena
kemorosotan moral dan anomie.
Membesarkan PPS
Bagi saya, pada
dasarnya apa yang dikonsepkan Panggung Publik Sumatera ini cukup menarik dan
potensi untuk dikembangkan dan sangat terbuka serta isu-isu yang diusung pun variatif,
relevan dengan permasalahan kekinian.
Jika kelak
program ini terus berlanjut dengan dukungan dari Pemerintah Kota Padangpanjang,
tentunya, soal teknis dan pilihan-pilihan ruang menjadi hal yang sangat penting
dan krusial, selain mempertimbangkan adanya kurasi untuk proses keikutsertaan
seniman dalam iven ini.
Sudah saatnya
PPS mengedankan mutu, kebaruan, dan inovasi karya seni. Dan sudah saatnya pula
para seniman dan pekerja seni membuang jauh-jauh sikap-sikap yang tak
produktif, kecurigaan tak beralasan, dan berpikir negatif. Seni itu untuk
semua. Maka, semuanya perlu membesarkan PPS. Tak ada alasan untuk
mengerdilkannya, apa lagi membunuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar