OLEH Nasrul Azwar
pemilu.okezone.com |
Pemilihan umum untuk anggota calon legislatif dan DPD akan dilangsungkan
9 April 2014. Ini pesta politik tercatat penting dalam sejarah bangsa ini.
Selain penting, dana yang digelontorkan cukup besar. Diperkirakan, uang yang dikucurkan
para calon mencapai Rp115 triliun. Ada sekitar 200 ribu calon di seluruh Indonesia
yang memperebutkan 19.699 kursi di 2.471 daerah pemilihan.
Sementara itu, pemerintah mengalokasikan fulus untuk penyelenggara dan
instansi terkait dengan pemilu sebesar Rp40 triliun. Dana terbesar diserap KPU,
yaitu Rp16 triliun.
Hitungan minimal, total uang yang berputar untuk agenda politik lima
tahunan ini lebih kurang Rp155 triliun. Jika kita mendistribusikan dana ini dengan
200 ribu jumlah caleg dan DPD, maka masing-masing calon menghabiskan relatif dana
Rp775 juta.
Lalu, secara ekonomi apakah masyarakat menikmati dana itu? Jelas
masyarakat menerima efeknya, terutama industri kertas, tekstil, pakaian, transportasi,
komunikasi, percetakan, dan media massa. Selain itu, lembaga survei, para dosen ilmu politik dan
komunikasi di perguruan tinggi juga menerima berkahnya. Di samping itu, pemilu
juga “membuka” lapangan kerja sesaat dan instan bagi masyarakat, khususnya “relawan”.
Bagi para calon tentu penggelontoran dana itu berharap bisa meraih kursi
di lembaga legislatif dan DPD. Bagi mereka investasi politik ini diharapkan
benar, kelak bisa dikonversikan dengan “kekuasaan” yang mengikutinya yang
berujung pada pengembalian investasi.
Pertarungan merebut kursi legislatif dan DPD itu memang ketat dan tak
terhindar berlangsung trik kotor serta kemungkinan menghalalkan segala cara.
Untuk DPR ada 6.608 caleg yang ikut bertarung untuk memperebutkan 560
kursi di Senayan dengan 77 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Sedangkan DPD
tersedia kursi sebanyak 132 yang daerah pertarungan seluruh provinsi di
Indonesia. DPRD provinsi ada 259 daerah pemilihan dengan 2.112 kursi. Lalu DPRD
kabupaten/kota dengan 2.102 daerah pemilihan dialokasikan 16.895 kursi untuk diperebutkan.
Jika ditotalkan, secara nasional tersedia 19.699 kursi di legislatif dengan 2.471
daerah pemilihan.
Break Event Point Investasi
Dalam pandangan kaum cultural
studies, kultur politik ekonomistik adalah kultur politik yang memandang
kekuasaan hanya sebagai investasi. Apa yang ada di benak para calon politisi
bukan idealisme, melainkan nilai tukar. Selain itu pula, ketidakadilan sosial-ekonomi
juga menciptakan kultur politik yang berseberangan dengan kesetaraan kesempatan
politik bagi publik. Permainan uang sepertinya jadinya tren lima tahunan dalam
percaturan untuk mengurus negara Indonesia ini.
Investasi yang ditanamkan para calon merupakan kapital—terlepas dari mana
sumbernya—ibarat sebuah usaha, pengembalian modal jadi tuntutan logis. Terlebih
lagi ketika calon menang dalam pemilu. Konsekuensi yang lain lagi adalah
terbukanya peluang perilaku korupsi karena harga investasi politik yang
demikian besar.
Selain pengeluaran seperti itu, kontribusi dana pada satu partai politik
pun harus menjadi objek limitasi. Seperti diketahui, kontribusi finansial
adalah salah satu sarana paling efektif bagi kandidat atau kelompok guna
mengekspresikan keyakinan politiknya.
Di dalam masyarakat yang masih terkonsentrasi dalam ekonomistik-politik
dan belum kuatnya kesetaraan sosial dan ekonomi, kekuasaan yang masih cenderung
berada dalam lingkaran kapital, apa yang disebut dengan demokratisasi seperti
utopia. Ciri masyarakat demokrasi yang sebenarnya, paling tidak bisa dilihat
dari proses pelaksanaan pemilu. Jika kekuatan kapital yang menguasai akses
politik, informasi, dan tertutupnya partisipasi publik, maka demokratisasi
masih dianggap sebagai “instrumen” menyela sebuah pesta yang bernama pemilu
itu.
Politik kekuasaan yang dipresentasikan dalam pemilu menjadi ajang
permainan kapital para kandidat yang berpunya. Dana besar identik dengan
pencitraan dalam skala yang lebih luas. Kapital yang besar akan mampu memukau
dan menguatkan citra di mata publik. Para calon “terbesarkan” jika mampu
mengampanyekan dirinya di televisi-televisi, media cetak ternama, dan
baliho-baliho besar dengan kualitas yang bagus. Dan akan menjadi tambah hebat
lagi jika tim sukses mampu menjualnya.
Selain itu, seorang calon, jika telah duduk di kursi legislatif,
diharapkan pula tidak melupakan “orang berjasa” yang mengantarkannya ke kursi
empuk itu. Politik balas jasa tak terhindarkan dengan sekian banyak investor
yang ikut di dalamnya, memunculkan lingkaran baru lagi. Investor yang berada
dalam ring satu tim sukses akan menagih imbalan berupa proyek-proyek dan juga
jabatan. Investasi harus menuai untung. Jerih payah menuntut imbalan. Ini
prinsip ekonomi.
Maka, jadi masuk akal jika praktik korupsi di level legislatif dan
eksekutif, dan level lainnya, menjadi sistemik. Memberantas kosupsi seperti
membenturkan kepala ke tembok tebal. Lingkaran setan perilaku korupsi sudah
dimulai semenjak proses pemilihan. Kecenderungan dan polarisasi kekuasaan
politik di Indonesia dari semua level seolah menjadi keniscayaan dianut bahwa
untuk meraih kekuasaan perlu investasi yang tak kecil. Meruyaknya korupsi di
level provinsi, kabupaten/kota, departemen-departemen, lembaga peradilan, Polri
dan TNI, BUMN dan juga BUMD, tidak bisa dilepas dari keterpengaruhan politik
kekuasaan adalah investasi dan kapital.
Jika diikuti secara saksama kasus-kasus korupsi yang bergulir sepanjang
10 tahun terakhir di Indonesia, benang merah yang mengaitkannya adalah karena kekuasaan
adalah investasi tadi. Bagi saya semua bersumber dari pandangan kekuasaan yang
menganggap politik kekuasaan adalah investasi kapital, dan ini bagi saya
sebagai bahaya laten investasi politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar