Abdul Muis |
Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni 1883
di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai
Puar. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang
yang tinggi. Sejak masih remaja, ia sudah berani meninggalkan kampung
halamannya, merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di
perantauan.
Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan
wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76
tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia
meninggalkan 2 orang istri dan 13 orang anak.
Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah
(Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia pernah belajar di
Stovia selama tiga setengah tahun (1900--1902). Namun, karena sakit, ia keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada
tahun 1917 ia pergi ke negeri Belanda
untuk menambah pengetahuannya.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar
kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan
berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul
Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda. Oleh
karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur
Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang
membawahi Stovia, menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang
prihumi yang diangkat sebagai kierk.
Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.
Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda
lainnya. Hal itu membuat Abdul Muis
tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dan departemen itu
setelah bekerja selama Iebih kurang dua
setengah tahun (1903-1905).
Sekeluarnya dan Department van Onderwzjs
en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni
berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik.
Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada
tahun 1905 ia juga diterima sebagai
anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat
berita politik di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang
terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri
lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lima tahun, sebelum ia diberhentikan
dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian
bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di
Bandung, sebagal korektor, Ddalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi
hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa
Belandanya yang baik.
Pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De
Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada
dunia politik dan masuk ke Serikat Islam
(SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya memimpin Kaum
Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu,
atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra
dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan
perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran seratus
tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan
bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Pada zaman pergerakan, bersama dengan
H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun
1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke negeri Belanda untuk
mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dan negeri
Belanda, Abdul Muis pindah bekerja ke
harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische
Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada
tahun 1918 Abdul Muis menjadi anggota
dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak
hanya berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, Abdul Muis terus
berjuang menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin
anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian
Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia memimpin sebuah gerakan memprotes aturan
landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh
Belanda di Sumatra Barat. Protes tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung
diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu
dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.
Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul
Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa
dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia
tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau
Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian
Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar
tersebut tidak lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers,
Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Pada tahun 1926 Serikat Islam imencalonkannya (dan terpilih) menjadi anggota
Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi
Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke
Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis
masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia,
oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’.
Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja.
Namun, pada zaman pascaprokiamasi, ia
aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan.
Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya
baru terlihat setelah ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan
menggunakan inisial nama A.M., ia
menulis hanyak hal. Salah satu di antananya adalah roman sejarahnya, Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku,
roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ di harian Kaum Muda.
Sebagai sastrawan, Abdul Muis kurang
produktif. Ia menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya
terjemahan. Namun, dari karyanya yang
sedikit itu, Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia. Karya
besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat
itu. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama:
pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan menampilkan masalah konflik
pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
Tokoh
Pergerakan
Abdul Muis, tokoh pergerakan dan pahlawan
nasional berdarah Minang yang lahir pada 3 Juli 1883, tepatnya di Sungai Puar,
Bukittinggi, Sumatera Barat. Tak banyak yang dapat diketahui sebelum Abdul Muis
muda mengenyam pendidikan dasarnya pada sekolah Belanda tingkat persiapan
Stovia di Bukittinggi untuk kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota
ini. Tak heran jika Bandung memiliki ikatan erat dengan tokoh yang satu ini,
hingga lokasi sekitar terminal pusat kota Bandung kemudian disebut terminal Abdul
Muis untuk menggantikan nama terminal Kebon Kalapa.
Sekitar tahun 1903-1905, Abdul Muis muda
diterima bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan atas jasa Mr.
Abendanon. Abdul Muis pernah ditempatkan di Bank Rakyat. Di sini, nalurinya
terhadap kerakyatan mulai terpupuk. Abdul Muis geram melihat kasus pungutan
liar yang dilakukan oleh lurah dan kaum priyayi rendahan pada orang-orang desa,
dan pada akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan yang mapan tersebut.
Di sinilah karir Abdul Muis yang
sesungguhnya dimulai. Mengawali karir sebagai korektor naskah yang masuk ke
suratkabar berbahasa Belanda, Preangerbode. Nama Abdul Muis mulai dikenal
banyak orang saat artikelnya yang banyak dimuat di harian De Express selalu
mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah De Expres dilarang
terbit akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat "Als Ik Ees Nederlander
was" pada 1912, Muis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda, koran pertama yang
mengenalkan rubrik "Pojok" sejak tahun 1913-an. Posisi Muis sebagai
redaktur serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran, membuatnya
lebih leluasa untuk melanjutkan perjuangan dengan pena sebagai senjata. Koran
Kaoem Moeda ini menjadi tulang punggung perjuangan Sarekat Islam di Bandung.
Selain itu, Abdul Muis juga masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ
internal SI, pada 1915 serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia
Sarekat yang didirikannya bersama bersama Soewardi Soerjaningrat dan
A.Widnjadisastra. 50 persen penghasilan dari majalah Hindia Sarekat itu
dimasukan untuk kas Sarekat Islam, untuk membantu pergerakan.
8 September 1917, Muis bergabung dengan
Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Muis yang radikal menjadi
pemicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada setiap tulisannya, secara
konsisten ia suarakan komitmennya terhadap perbaikan nasib pribumi. Muis juga
memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan
perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat
(asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda.
Abdul Muis juga mulai berkenalan dengan
tokoh-tokoh penting pergerakan yang berpengaruh, serta terjun pada organisasi
Sarekat Islam sejak 1913. Nyaris sebagian besar masa mudanya ia baktikan untuk
perjuangan bersama organisasi Islam ini, Dan mulai April 1914 hingga beberapa
tahun setelahnya, Muis dipercaya menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam
(CSI, pengurus pusat SI) mendampingi Tjokroaminoto. Sejak saat itu, dengan
cepat Muis menjelma menjadi sosok intelektual yang berpengaruh. Abdul Muis juga
dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo,
dan Soewardi Soeryaningrat. Keempatnya terlibat dalam Komite Boemi Poetra, yang
menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol.
Keempatnya menentang keras dan menolak dengan tegas karena Belanda akan
merayakan kemerdekaan di tanah yang dijajahnya.
Abdul Muis dikenal sebagai pembela
kepentingan rakyat kecil. Ia sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah
untuk membela kepentingan rakyat serta mengobarkan semangat pemudanya agar
semakin giat berjuang meraih kemerdekaan. Kemerdekaan, selalu menjadi impian
terbesar Muis. Ia juga tak pernah sepakat dengan penamaan Hindia Belanda.
Baginya, Hindia Belanda adalah sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang
didasari atas kepemilikan dan dominasi, dengan kata lain mendefinisikan daerah
jajahan. Muis lalu memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus
merdeka. Berikut sedikit dari cungkilan pemikiran Muis,
"Selama bumiputera tanah Hindia
belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta tanah air
dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera. Selama bumiputera
tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus mempunyai
sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar
membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan itu saja suatu bangsa akan
bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya."
Setelah meletus Perang Dunia I, pada
tahun 1917 Abdul Muis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran
Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden
Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo
mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev
diutus ke Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan
masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, ada seorang pendamping
yaitu Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh pendukung Politik Etis.
Komite Indie Weerbaar adalah barisan
pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang
merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi.
Rencana ini mendapat reaksi keras dari anggota SI di Kota Semarang, namun
begitu Abdul Muis tetap berangkat ke Belanda. Menurut Muis, dengan masuknya
rakyat ke dalam angkatan bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar
perjuangan yang lebih tangguh dan dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki
sosial.
Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda,
diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan dihadiri oleh
para tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia usaha, yang kemudian
menyepakati untuk mendirikan sekolah politeknik di Hindia. Menurut Dirk van
Hinloopen Labberton, jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti melindungi
kepentingannya sendiri. Labberton juga menjelaskan bahwa tidak lama lagi oleh
usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di Bandoeng, akan didirikan
Technische Hooge School. Hal ini tentu seolah menjadi angin segar mengingat
mendirikan Sekolah Teknik Tinggi di Hindia Belanda sebenarnya sudah menjadi
pemikiran elite Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di
Hindia sebelum 1917. Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914) sudah muncul
tulisan berjudul "Pendapatan hal Techniche Hooge School di Hindia"
Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di Nederland gencar sekali
mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik itu.
Sesampainya di Hindia Belanda, delegasi
Indie Weerbaar, khususnya Abdul Muis berupaya melakukan negosiasi hingga
disetujuinya pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh Ratu
Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan finansial penuh. Pada
tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di Kota Bandung dengan nama
Technische Hogeschool (THS). Menurut keterangan putrinya, Dr. Diana Muis,
ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut
Teknologi Bandung itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS juga tak lewat
dari masukan dari Abdul Muis yang menginginkan agar ada unsur pribumi dalam
bangunan tersebut.
Dalam karir politiknya, Abdul Muis pernah
menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama H.O.S Tjokroaminoto sebagai
perwakilan dari SI. Di forum inilah Muis dengan gencar mengecam penamaan Hindia
Belanda untuk wilayah nusantara. Ia adalah salah satu penggagas lahirnya nama
Indonesia. Keterlibatan Muis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga
ditentang oleh Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Sementara
itu, Muis dengan pemikiran modernnya berpikiran bahwa Volksraad adalah tempat
yang tepat untuk menggerakkan harapan-harapan pemuda. Dengan Volksraad pula,
suara bumiputera akan bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan tujuan
untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia. Pertentangan di tubuh
internal SI berlanjut dan semakin parah. Anggota SI Semarang yang digalang
Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka adalah anggota dengan karakter radikal, serta
juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan
Sneevliet yang adalah cikal-bakal partai beraliran komunis di Indonesia.
Menurut Soe Hok Gie di bukunya ‘Di Bawah
Lentera Merah’, mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal
perseteruan keduanya antara kedua SI. Hal pertama mengenai agama. Kelompok Muis
menginginkan agar Islam diperkembangkan melalui partai, sedangkan Semaoen
beranggapan cukup agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di
Indonesia. Hal kedua mengenai nasionalisme. Kelompok Muis menolak pertuanan
(penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya, sementara kelompok
Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang paling utama. Hal
ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat: untuk memperoleh
kemerdekaan diperlukan dana perjuangan. Bagi kelompok Muis modal boleh dimiliki
oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus
dikumpulkan pada badan-badan koperasi.
Dalam salah satu bentuk penyadaran
nasionalisme bumiputera, Abdul Muis berkata:
"Yang menjadi
tujuan daripada perhimpunan kaum pribumi itu adalah memperbaiki nasib kaum
bumiputera. Sedangkan bila ia melihat lebih jauh maka tidak dapat tidak akan
nampak bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu
kemerdekaan Hindia."
Dalam sambutannya di Kongres Nasional SI
Kedua, Bandung 20-27 Oktober 1917, Abdul Muis melanjutkan gagasannya,
"Putera-puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang
telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang mengikat
mereka."
"Yang pertama-tama harus kita miliki
untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu cinta
kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa buruknya nasib
negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun terbelenggu oleh
orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri bulu roma, dan kita
merasa kasihan kepada negara dan sesama bangsa kita."
Di akhir orasinya, Muis lagi-lagi
menegaskan pentingnya menumbuhkan cinta tanah air serta menekankan perlunya
merapatkan barisan dan menghemat energi untuk kepentingan-kepentingan dalam
negeri terlebih dahulu, meski juga mesti tanpa mengesampingkan perkembangan
global. "Untuk memperbaiki rumah tangga seluruh dunia tidak usah kita
terlebih dahulu menjadi kaum internasionalis."
Selain berjuang bersama Sarekat Islam dan
rutin menulis di Koran Kaoem Moeda, Abdul Muis dikenal piawai dalam
mempengaruhi massa. 11 Januari 1922, Muis memimpin pemogokan buruh di
Yogyakarta sebagai reaksi atas pemecatan pekerja pribumi secara sepihak oleh
pemerintah. Saat itu, Muis menjabat sebagai ketua Perserikatan Pegawai
Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi mogok ini dengan cepat meluas hingga luar
Yogyakarta dan dalam waktu 2 minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian
Karesidenan Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta
Surabaya mengadakan aksi mogok kerja secara massal.
Pemogokan besar-besaran ini membuat pemerintah
kolonial kelabakan dan mengajukan perundingan. Muis pemecatan buruh dibatalkan
dan meminta pemerintah membentuk komite penyelidik ketidakpuasan para buruh
pegadaian. Sayangnya, tuntutan Muis tak digubris pemerintah sehingga membuat Muis
geram dan menggalang pemogokan dengan massa yang lebih besar. Pemogokan pekerja
pribumi menurut Abdul Muis adalah sebuah bentuk perjuangan nasional. Sebagai
akibat pembangkangannya pada pemerintah kolonial, pada 8 Februari 1922 Muis
ditangkap dan diasingkan ke Garut. Pengasingan ini membuatnya tak lagi bisa
bergabung bersama rekan seperjuangannya, dan akhirnya memutuskan menjadi
petani. Paska kemerdekaan, ternyata Belanda tak meninggalkan Hindia begitu saja
dan melancarkan agresi militer. Muis yang saat itu berada di pengasingan,
memutuskan untuk membentuk Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar perjuangan ini ia pimpin
dengan segenap hati sebagai pengabdian pamungkasnya terhadap Republik Indonesia
hingga akhirnya menutup usia di kota Bandung pada 17 Juni 1959. Perjuangan Abdul
Muis diakui pemerintah sehingga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional yang
pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959. Sebagai penghormatan,
Muis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Selain populer sebagai aktivis
pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdul Muis juga
terkenal sebagai sastrawan hebat Indonesia. Salah satu karyanya yang legendaris
adalah novel "Salah Asuhan". Novel yang terbit pada tahun 1928 ini,
difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh
Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia, dan
masih sering menjadi referensi sastra hingga kini. Karya Abdul Muis lainnya
adalah Pertemuan Jodoh (novel, 1933), Surapati (novel, 1950), dan Robert Anak
Surapati(novel, 1953), serta beberapa terjemahan, antara lain; Don Kisot (karya
Cerpantes, 1923), Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), Sebatang
Kara (karya Hector Melot, 1932), Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).
KARYA:
1. Tom Sawyer Anak Amerika
(terjemahan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
2. Sebatang Kara
(terjemahan karya Hector Malot, Prancis), Cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka,
1949
3. Hikavat Bachtiar
(saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
4. Hendak Berbalai,
Bandung:KoIff, 1951
5. Kita dan Demokrasi,
Bandung:Kolff, 1951
6. Robert Anak Surapati,
Jakarta:Balai Pustaka, 1953
7. Hikayat Mordechai:
Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
8. Kurnia, Bandung:Masa
Baru, 1958
9. Pertemuan Djodoh
(Cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
10. Surapati. Jakarta:Balai
Pustaka, 1965
11. Salah Asuhan,
Jakarta:Balai Pustaka, 1967
12. Cut Nyak Din: Riwayat
Hithip Seorang Putri Aceh (terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely),
Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
13. Don Kisot (terjemahan
karya Cervantes, Spanyol)
14. Pangeran Kornel
(terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
15. Daman Brandal Sekolah
Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.
Profil
Nama
Lengkap : Abdul Muis
Alias
: Abdul Muis
Profesi
: -
Agama
: Islam
Tempat
Lahir : Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat
Tanggal
Lahir : Selasa, 3 Juli 1883
Zodiac
: Cancer
Warga
Negara : Indonesia
PENDIDIKAN
Pendidikan dasar di sekolah Belanda tingkat
persiapan Stovia Bukittinggi
KARIR
Departemen Pengajaran dan Keagamaan
(1903-1905)
Bank Rakyat
Korektor naskah surat kabar berbahasa
Belanda, Preangerbode
Redaktur suratkabar Kaoem Moeda
Redaktur Oetoesan Hindia
Redaktur majalah Hindia Sarekat
Pimpinan redaksi Neratja
Pimpinan NV Neratja
Wakil ketua Central Sarekat Islam
Anggota Volksraad (Dewan Rakyat)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar