Minggu, 20 April 2014

ABDUL MUIS: Kemampuan Bahasa Belandanya Melebihi Orang Belanda

Abdul Muis
Abdul Muis lahir pada tanggal 3 Juni 1883 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang Minangkabau, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja, ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa. Bahkan, masa tuanya pun dihabiskannya di perantauan.
Sastrawan yang sekaligus juga pejuang dan wartawan ini meninggal dunia di Bandung pada tanggal 17 Juni 1959 dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pahlawan Cikutra, Bandung. Ia meninggalkan 2 orang istri dan 13 orang anak.
Abdul Muis lulusan Sekolah Eropa Rendah (Eur. Lagere School atau yang sering disingkat ELS). Ia pernah belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900--1902). Namun, karena sakit, ia  keluar dan sekolah kedokteran tersebut. Pada tahun 1917 ia  pergi ke negeri Belanda untuk menambah pengetahuannya.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (klein ambtenaars examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda. Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwzjs (Direktur Pendidikan) di Departement van Onderwijs en Eredienst yang membawahi Stovia, menjadi kierk. Padahal, pada waktu itu belum ada orang prihumi yang diangkat sebagai kierk.  Abdul Muis merupakan orang indonesia pertama yang dapat menjadi kierk.
Pengangkatan Abdul Muis menjadi kierk tidak disukai oleh pegawai Belanda lainnya. Hal itu  membuat Abdul Muis tidak betah bekerja. Akhirnya, pada tahun 1905 ia keluar dan departemen itu setelah bekerja  selama Iebih kurang dua setengah tahun (1903-1905).
Sekeluarnya dan Department van Onderwzjs en Eredienst sebagai kierk hingga akhir hayatnya, Abdul Muis sempat menekuni berbagai macam pekerjaan, baik di bidang sastra, jurnalistik. maupun politik. Bidang pekerjaan yang pertama kali diterjuninya adalah bidang jurnalistik. Pada tahun 1905 ia juga  diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung. Pekerjaan itu ditekuninya selama lima tahun, sebelum ia diberhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912. Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor, Ddalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofdcorrector (korektor kepala) karena mempunyai kemampuan berbahasa Belandanya yang baik.
Pada tahun 1913 Abdul Muis keluar dan De Prianger Bode. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuk  ke Serikat Islam (SI). Bersama dengan mendiang A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu, atas imsiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran seratus tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Pada zaman pergerakan, bersama dengan H.O.S. Cokroaminoto, Abdul Muis berjuang memimpin Serikat Islam. Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar.
Pada tahun 1918, sekembalinya dan negeri Belanda, Abdul Muis  pindah bekerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politiek Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918  Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat Jajahan).
Perjuangan Abdul Muis ternyata tidak hanya berhenti sampal di situ. Bersama dengan tokoh lainnya, Abdul Muis terus berjuang menentang penjajah Belanda. Pada tahun 1922, misalnya, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perkumpulan Pegawal Pegadaian Bumiputra) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia  memimpin sebuah gerakan memprotes aturan landrentestelsel (Undang-Undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Protes tersebut berhasil. Landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.
Oleh pemerintah Belanda tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dari daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Namun, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Pada tahun 1926  Serikat Islam imencalonkannya  (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Namun,  pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama  A.M., ia menulis hanyak hal. Salah satu di antananya adalah roman sejarahnya,  Surapati. Sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ di harian Kaum Muda.
Sebagai sastrawan, Abdul Muis kurang produktif. Ia menghasilkan empat buah novel/roman dan beberapa karya terjemahan.  Namun, dari karyanya yang sedikit itu, Abdul Muis tercatat indah dalam sejarah sastra Indonesia. Karya besarnya, Salah Asuhan, dianggap sebagal corak baru penulisan prosa pada saat itu. Jika pada saat itu sebagian besar pengarang selalu menyajikan tema lama: pertentangan kaum tua dengan kaum muda, kawin paksa, dan adat istiadat, Salah Asuhan menampilkan masalah konflik pribadi: dendam, cinta, dan cita-cita.
Tokoh Pergerakan
Abdul Muis, tokoh pergerakan dan pahlawan nasional berdarah Minang yang lahir pada 3 Juli 1883, tepatnya di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat. Tak banyak yang dapat diketahui sebelum Abdul Muis muda mengenyam pendidikan dasarnya pada sekolah Belanda tingkat persiapan Stovia di Bukittinggi untuk kemudian menuju Bandung dan tinggal lama di kota ini. Tak heran jika Bandung memiliki ikatan erat dengan tokoh yang satu ini, hingga lokasi sekitar terminal pusat kota Bandung kemudian disebut terminal Abdul Muis untuk menggantikan nama terminal Kebon Kalapa.
Sekitar tahun 1903-1905, Abdul Muis muda diterima bekerja di Departemen Pengajaran dan Keagamaan atas jasa Mr. Abendanon. Abdul Muis pernah ditempatkan di Bank Rakyat. Di sini, nalurinya terhadap kerakyatan mulai terpupuk. Abdul Muis geram melihat kasus pungutan liar yang dilakukan oleh lurah dan kaum priyayi rendahan pada orang-orang desa, dan pada akhirnya memutuskan keluar dari pekerjaan yang mapan tersebut.
Di sinilah karir Abdul Muis yang sesungguhnya dimulai. Mengawali karir sebagai korektor naskah yang masuk ke suratkabar berbahasa Belanda, Preangerbode. Nama Abdul Muis mulai dikenal banyak orang saat artikelnya yang banyak dimuat di harian De Express selalu mengecam tulisan orang-orang kolonialis Belanda. Setelah De Expres dilarang terbit akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat "Als Ik Ees Nederlander was" pada 1912, Muis bekerja di suratkabar Kaoem Moeda, koran pertama yang mengenalkan rubrik "Pojok" sejak tahun 1913-an. Posisi Muis sebagai redaktur serta mengurusi masalah-masalah penerbitan dan pemasaran, membuatnya lebih leluasa untuk melanjutkan perjuangan dengan pena sebagai senjata. Koran Kaoem Moeda ini menjadi tulang punggung perjuangan Sarekat Islam di Bandung. Selain itu, Abdul Muis juga masuk ke keredaksian Oetoesan Hindia, organ internal SI, pada 1915 serta tercatat pula sebagai redaktur di majalah Hindia Sarekat yang didirikannya bersama bersama Soewardi Soerjaningrat dan A.Widnjadisastra. 50 persen penghasilan dari majalah Hindia Sarekat itu dimasukan untuk kas Sarekat Islam, untuk membantu pergerakan.
8 September 1917, Muis bergabung dengan Neratja sebagai pemimpin redaksi. Tulisan-tulisan Muis yang radikal menjadi pemicu perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada setiap tulisannya, secara konsisten ia suarakan komitmennya terhadap perbaikan nasib pribumi. Muis juga memimpin perusahaan periklanan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula) Hindia Belanda.
Abdul Muis juga mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh penting pergerakan yang berpengaruh, serta terjun pada organisasi Sarekat Islam sejak 1913. Nyaris sebagian besar masa mudanya ia baktikan untuk perjuangan bersama organisasi Islam ini, Dan mulai April 1914 hingga beberapa tahun setelahnya, Muis dipercaya menjadi wakil ketua Central Sarekat Islam (CSI, pengurus pusat SI) mendampingi Tjokroaminoto. Sejak saat itu, dengan cepat Muis menjelma menjadi sosok intelektual yang berpengaruh. Abdul Muis juga dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Soewardi Soeryaningrat. Keempatnya terlibat dalam Komite Boemi Poetra, yang menentang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan Belanda dari penjajahan Spanyol. Keempatnya menentang keras dan menolak dengan tegas karena Belanda akan merayakan kemerdekaan di tanah yang dijajahnya.
Abdul Muis dikenal sebagai pembela kepentingan rakyat kecil. Ia sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk membela kepentingan rakyat serta mengobarkan semangat pemudanya agar semakin giat berjuang meraih kemerdekaan. Kemerdekaan, selalu menjadi impian terbesar Muis. Ia juga tak pernah sepakat dengan penamaan Hindia Belanda. Baginya, Hindia Belanda adalah sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi, dengan kata lain mendefinisikan daerah jajahan. Muis lalu memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus merdeka. Berikut sedikit dari cungkilan pemikiran Muis,
"Selama bumiputera tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta tanah air dan bangsa itu harus dibangunkan dalam kalbu bumiputera. Selama bumiputera tanah Hindia belum mendapat kemerdekaan, maka lebih dahulu ia harus mempunyai sifat yang tersebut di atas. Segala pergerakan bumiputera haruslah berikhtiar membangunkan perasaan ini, karena dengan alasan itu saja suatu bangsa akan bernafsu memajukan negerinya, mengangkat derajat bangsanya."
Setelah meletus Perang Dunia I, pada tahun 1917 Abdul Muis mewakili Sarekat Islam dan lima orang lain yaitu Pangeran Ario Koesoemodiningrat (mewakili Prinsen Bond), Bupati Magelang Raden Tumenggung Danoe Soegondo mewakili Regenten Bond, Mas Ngabehi Dwidjosewojo mewakili Boedi Oetomo, F Laoh mewakili Perserikatan Minahasa, dan W.V Rhemrev diutus ke Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia. Selain itu, ada seorang pendamping yaitu Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh pendukung Politik Etis.
Komite Indie Weerbaar adalah barisan pertahanan Hindia atau biasa dikenal dengan sebutan Milisi Indonesia yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi. Rencana ini mendapat reaksi keras dari anggota SI di Kota Semarang, namun begitu Abdul Muis tetap berangkat ke Belanda. Menurut Muis, dengan masuknya rakyat ke dalam angkatan bersenjata akan mendorong terbentuknya laskar perjuangan yang lebih tangguh dan dapat dibanggakan di dalam sistem hirarki sosial.
Menjelang kepulangan ke Hindia Belanda, diadakan pesta besar yang diselenggarakan Jenderal Van Heutsz dan dihadiri oleh para tokoh terkemuka dari kalangan pemerintahan dan dunia usaha, yang kemudian menyepakati untuk mendirikan sekolah politeknik di Hindia. Menurut Dirk van Hinloopen Labberton, jika ada perang, bumiputera pertama tama mesti melindungi kepentingannya sendiri. Labberton juga menjelaskan bahwa tidak lama lagi oleh usaha pihak partikulir di Hindia, kira kira di Bandoeng, akan didirikan Technische Hooge School. Hal ini tentu seolah menjadi angin segar mengingat mendirikan Sekolah Teknik Tinggi di Hindia Belanda sebenarnya sudah menjadi pemikiran elite Bumiputera dan sementara pengusaha dan industriawan Belanda di Hindia sebelum 1917. Misalnya dalam Doenia Bergerak No. 18 (1914) sudah muncul tulisan berjudul "Pendapatan hal Techniche Hooge School di Hindia" Soewardi Soerjaningrat yang ketika itu (1917) masih di Nederland gencar sekali mendukung pendirian Sekolah Tinggi Teknik itu.
Sesampainya di Hindia Belanda, delegasi Indie Weerbaar, khususnya Abdul Muis berupaya melakukan negosiasi hingga disetujuinya pembentukan komisi untuk pendidikan teknik di Hindia oleh Ratu Belanda dan 14 pengusaha Belanda yang memberikan dukungan finansial penuh. Pada tahun 1920, sekolah yang diimpikan itu berdiri di Kota Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Menurut keterangan putrinya, Dr. Diana Muis, ayahnya pernah bercerita bahwa lokasi THS yang sekarang disebut sebagai Intitut Teknologi Bandung itu usulan ayahnya. Pembangunan gedung THS juga tak lewat dari masukan dari Abdul Muis yang menginginkan agar ada unsur pribumi dalam bangunan tersebut.
Dalam karir politiknya, Abdul Muis pernah menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bersama H.O.S Tjokroaminoto sebagai perwakilan dari SI. Di forum inilah Muis dengan gencar mengecam penamaan Hindia Belanda untuk wilayah nusantara. Ia adalah salah satu penggagas lahirnya nama Indonesia. Keterlibatan Muis dan Tjokroaminoto dalam Volksraad ini juga ditentang oleh Semaoen, Darsono, dan anggota SI Semarang lainnya. Sementara itu, Muis dengan pemikiran modernnya berpikiran bahwa Volksraad adalah tempat yang tepat untuk menggerakkan harapan-harapan pemuda. Dengan Volksraad pula, suara bumiputera akan bisa lebih terakomodasi dalam rangka mewujudkan tujuan untuk membentuk pemerintahan sendiri bagi Hindia. Pertentangan di tubuh internal SI berlanjut dan semakin parah. Anggota SI Semarang yang digalang Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka adalah anggota dengan karakter radikal, serta juga menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet yang adalah cikal-bakal partai beraliran komunis di Indonesia.
Menurut Soe Hok Gie di bukunya ‘Di Bawah Lentera Merah’, mengungkap tiga point penting yang menjadi pokok pangkal perseteruan keduanya antara kedua SI. Hal pertama mengenai agama. Kelompok Muis menginginkan agar Islam diperkembangkan melalui partai, sedangkan Semaoen beranggapan cukup agama Islam itu tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia. Hal kedua mengenai nasionalisme. Kelompok Muis menolak pertuanan (penghambaan-pen) bangsa yang satu oleh bangsa lainnya, sementara kelompok Semaun menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah yang paling utama. Hal ketiga adalah sikap terhadap kapitalisme. Keduanya sepakat: untuk memperoleh kemerdekaan diperlukan dana perjuangan. Bagi kelompok Muis modal boleh dimiliki oleh individu orang Indonesia. Sementara bagi kelompok Semaoen modal harus dikumpulkan pada badan-badan koperasi.
Dalam salah satu bentuk penyadaran nasionalisme bumiputera, Abdul Muis berkata:
"Yang menjadi tujuan daripada perhimpunan kaum pribumi itu adalah memperbaiki nasib kaum bumiputera. Sedangkan bila ia melihat lebih jauh maka tidak dapat tidak akan nampak bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut hanya satu tujuannya, yaitu kemerdekaan Hindia."
Dalam sambutannya di Kongres Nasional SI Kedua, Bandung 20-27 Oktober 1917, Abdul Muis melanjutkan gagasannya, "Putera-puteri Hindia tetap mengarahkan pandangannya kepada tujuan yang telah mereka idam-idamkan: melepaskan diri dari belenggu yang mengikat mereka."
"Yang pertama-tama harus kita miliki untuk usaha yang sukar dan berbahaya ini adalah rasa Kebangsaan, yaitu cinta kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renungkan betapa buruknya nasib negara dan sesama bangsa kita yang beratus-ratus tahun terbelenggu oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri bulu roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan sesama bangsa kita."
Di akhir orasinya, Muis lagi-lagi menegaskan pentingnya menumbuhkan cinta tanah air serta menekankan perlunya merapatkan barisan dan menghemat energi untuk kepentingan-kepentingan dalam negeri terlebih dahulu, meski juga mesti tanpa mengesampingkan perkembangan global. "Untuk memperbaiki rumah tangga seluruh dunia tidak usah kita terlebih dahulu menjadi kaum internasionalis."
Selain berjuang bersama Sarekat Islam dan rutin menulis di Koran Kaoem Moeda, Abdul Muis dikenal piawai dalam mempengaruhi massa. 11 Januari 1922, Muis memimpin pemogokan buruh di Yogyakarta sebagai reaksi atas pemecatan pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Saat itu, Muis menjabat sebagai ketua Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera (PPPB). Aksi mogok ini dengan cepat meluas hingga luar Yogyakarta dan dalam waktu 2 minggu, sekitar 1.000 orang buruh pegadaian Karesidenan Cirebon, Kedu, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kediri, serta Surabaya mengadakan aksi mogok kerja secara massal.
Pemogokan besar-besaran ini membuat pemerintah kolonial kelabakan dan mengajukan perundingan. Muis pemecatan buruh dibatalkan dan meminta pemerintah membentuk komite penyelidik ketidakpuasan para buruh pegadaian. Sayangnya, tuntutan Muis tak digubris pemerintah sehingga membuat Muis geram dan menggalang pemogokan dengan massa yang lebih besar. Pemogokan pekerja pribumi menurut Abdul Muis adalah sebuah bentuk perjuangan nasional. Sebagai akibat pembangkangannya pada pemerintah kolonial, pada 8 Februari 1922 Muis ditangkap dan diasingkan ke Garut. Pengasingan ini membuatnya tak lagi bisa bergabung bersama rekan seperjuangannya, dan akhirnya memutuskan menjadi petani. Paska kemerdekaan, ternyata Belanda tak meninggalkan Hindia begitu saja dan melancarkan agresi militer. Muis yang saat itu berada di pengasingan, memutuskan untuk membentuk Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Laskar perjuangan ini ia pimpin dengan segenap hati sebagai pengabdian pamungkasnya terhadap Republik Indonesia hingga akhirnya menutup usia di kota Bandung pada 17 Juni 1959. Perjuangan Abdul Muis diakui pemerintah sehingga dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959. Sebagai penghormatan, Muis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Selain populer sebagai aktivis pergerakan, pejuang intelektual, juga pegiat pers perjuangan, Abdul Muis juga terkenal sebagai sastrawan hebat Indonesia. Salah satu karyanya yang legendaris adalah novel "Salah Asuhan". Novel yang terbit pada tahun 1928 ini, difilmkan oleh Asrul Sani pada tahun 1972, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia, dan masih sering menjadi referensi sastra hingga kini. Karya Abdul Muis lainnya adalah Pertemuan Jodoh (novel, 1933), Surapati (novel, 1950), dan Robert Anak Surapati(novel, 1953), serta beberapa terjemahan, antara lain; Don Kisot (karya Cerpantes, 1923), Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928), Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932), Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950).
KARYA:
1.       Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
2.      Sebatang Kara (terjemahan karya Hector Malot, Prancis), Cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
3.      Hikavat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
4.      Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
5.      Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
6.      Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
7.      Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
8.     Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
9.      Pertemuan Djodoh (Cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
10.  Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
11.   Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
12.  Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (terjemahan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
13.  Don Kisot (terjemahan karya Cervantes, Spanyol)
14.  Pangeran Kornel (terjemahan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
15.   Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.

Profil
Nama Lengkap : Abdul Muis
Alias : Abdul Muis
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir : Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat
Tanggal Lahir : Selasa, 3 Juli 1883
Zodiac : Cancer
Warga Negara : Indonesia
PENDIDIKAN
    Pendidikan dasar di sekolah Belanda tingkat persiapan Stovia Bukittinggi
KARIR
    Departemen Pengajaran dan Keagamaan (1903-1905)
    Bank Rakyat
    Korektor naskah surat kabar berbahasa Belanda, Preangerbode
    Redaktur suratkabar Kaoem Moeda
    Redaktur Oetoesan Hindia
    Redaktur majalah Hindia Sarekat
    Pimpinan redaksi Neratja
    Pimpinan NV Neratja
    Wakil ketua Central Sarekat Islam
    Anggota Volksraad (Dewan Rakyat)


Sumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...