Halim HD |
Pangantar
Ruang publik,
terutama di kota, dimiliki dan dikelola pemerintah dan dijadikan komoditas.
Sementara masyarakat tidak menyadari bahwa ruang publik itu milik mereka. Ada
proses kanalisasi di kota berdasarkan arus politik yang dibawa partai politik
dan elit. Sehingga, menimbulkan segregasi berpikir dan sosial ekonomi di
kalangan masyarakat.
Networker kebudayaan, Halim HD, pada
perayaan iven Panggung Publik Sumatera 2012 berkunjung ke Padang dan
Padangpanjang. Selain menghadiri Panggung Publik ia juga ikut perayaan Hari
Teater Dunia 2012 di Padangpanjang. Sebelum balik ke Solo, tempat ia menetap,
kami berdiskusi di rumah budayawan, Yusrizal KW, di Komplek Cemara II
Gunungpangilun. Hadir juga ketua Entrepreneur Club (EC) Padang, Tomy Iskandar.
Halim HD, yang malam
itu mengenakan kaos merek Sembalakon, berbicara panjang lebar tentang ruang
publik. Baginya, ruang publik di perkotaan telah menjadi komoditas sehingga
masyarakat tidak memiliki ruang untuk berdialog sesama mereka. Ruang publik
menjadi mahal karena diperjualbelikan oleh pemko atau pemda. Berikut kutipan
wawancara Gusriyono dengan Halim HD sembari minum kopi.
Seberapa pentingkah keberadaan ruang publik itu?
Ruang publik itu
secara ideal, contoh konkretnya, konsep desa atau kampung. Dalam sejarah sosial
kita, awal pembentukan kota itu dari kampung. Mereka punya pusat kekuasaan yang
disebut kota. Nah, kota ini terdiri dari konfederasi kampung tersebut. Makanya
kota itu beragam, ada Pecinan, Pekojan, Kampung Jawa, dan sebagainya. Di desa
atau kampung mereka punya ruang-ruang untuk berkumpul. Apakah itu, untuk
khitanan, salawatan, anak-anak bermain, berolahraga, berkumpul sehabis bekerja
segala macamnya.
Pertanyaannya,
masihkah desa, kampung, atau nagari, kita memiliki ruang-ruang semacam itu.
Lalu pertanyaan kedua, seandainya ada, siapa yang mengelolanya. Ini menjadi
elemen yang penting karena di setiap kampung dan desa yang mengelola ruang
publik itu masyarakat. Mereka menghormati betul ruang publik itu sebagai
miliknya. Ruang publik ini sesuatu yang penting sekali kalau kita perhatikan dalam
konteks pergaulan sosial. Kalau di sebuah desa, dia seragam. Tapi di kota
menjadi persoalan. Karena kota ini sebagai konfederasi sosial dari setiap
kampung dengan latar belakang masing-masing sejarah sosialnya warga itu.
Itu kenapa ruang
publik penting dalam konteks demokratisasi. Juga dalam konteks masyarakat
mengekspresikan kesenian, tata cara, dan adat mereka. Ruang publik ini menjadi
sulit di perkotaan. Perkotaan mengalami proses bagaimana ruang publik menjadi
komoditas. Ruang itu diperjualbelikan oleh pemko dan pemda.
Pemko dan wakil
rakyat tidak pernah bertanya kepada warga tentang ruang publik ini. Mereka
bicara demokrasi. Demokrasi itu bukan sekadar di legislatif. Demokrasi itu yang
paling riil adalah di ruang publik ketika masyarakat memahami keberagaman dalam
aspek pikiran, gagasan, maupun sejarah sosial masing-masing.
Bagaimana politisasi negara atau pemerintah menguasai ruang publik?
Anda bisa cari
dokumentasi fotografi tentang ruang publik di Padang ini. Di zaman Orde Baru
itulah munculnya pagar besi yang tajam. Taman-taman dibikin pagar. Itu salah
satu contoh, pemerintah atas nama negara tidak percaya kepada warga. Reaksi
masyarakat terhadap persoalan itu tidak ada.
Atau coba Anda
perhatikan, di Padang ini masih ada gak, di Jawa masih banyak, tulisan 1x24 jam
tamu wajib lapor ke RT. Itu sebetulnya sinyal dari sistem bagaimana negara
mencurigai warganya. Dalam konteks ruang publik, negara ingin betul menguasai.
Karena dengan menguasai ruang publik, negara atau pemerintah bisa merekayasa.
Seperti dalam
sejarah lama, konsep polis di Yunani, yang diciptakan oleh sistem filsafat itu
mengalami pengereposan ketika zaman Romawi. Di Yunani setiap warga atau
kelompok memiliki wakil, kota menjadi ukuran bagi satu warga untuk menyatakan
dirinya. Karena kota adalah proses kebudayaan.
Kalau kita bicara
tentang polis atau kota dalam proses kebudayaan dan peradaban, menarik apa yang
dilontarkan oleh Cak Nurkholis Madjid tentang masyarakat madani. Masyarakat
madani itu sebetulnya pembentukan masyarakat polis atau kota. Kesadaran sipil
mengelola lingkungannya sehingga kota menjadi pusat peradaban. Di Jawa ada
ungkapan, mungkin di daerah lain juga ada, desa
membawa cara, negara membawa tata. Penataan ini tanpa basis cara tidak akan
berhasil. Sebaik apapun gagasan anda, rumusan hukum anda, apabila tidak
berlandaskan cara, kebudayaan, atau sumber sejarah sosial, anda akan mengalami
guncangan. Teralienasi dari peraturan yang ada. Makanya kita selalu bertanya,
kalau legislatif membikin aturan, aturan siapa. Aturan mereka atau aturan
warga. Pernahkah warga ditanya kebutuhan atau kepentingannya.
Kalau kita lihat,
demokratisasi yang paling berhasil, adanya partisipasi. Persoalan di Indonesia
adalah partisipasi dalam berbagai hal, bisa partisipasi menjaga kebersihan,
menyumbangkan sesuatu, menyatakan diri lewat cara masing-masing. Proses ini
membutuhkan kesabaran betul. Sebuah proses yang panjang dan negosiasi yang lama
sekali.
Masyarakat kita
sering konflik karena kehilangan ruang publik untuk mereka saling mengenal.
Karena mereka mengalami mobilisasi yang makin menajam. Proses politik kita
dalam kota mengalami penajaman yang paling ringkih sekali dalam hubungan
sosial. Anda bisa perhatikan ketika menjelang pilkada, pemilu, pilpres, selalu
ada kecemasan dan merasa dicurigai. Karena kegagalan kita berdialog di ruang
publik.
Sekarang, ruang publik diambil oleh pemerintah, sementara masyarakat tidak
merasa kehilangan. Bahkan, masyarakat tidak tahu apa yang dimilikinya dalam negara
ini. Bagaimana mengatasi masalah ini, atau tidak bisa diatasi sama sekali?
Sebetulnya, sangat
sulit. Tugas berat seluruh warga. Salah satu hal yang paling penting itu pendidikan,
formal maupun informal. Proses penciptaan ruang publik adalah sejauh anda
menciptakan relasi-relasi sosial. Ada beragam ruang publik yang sekarang
diciptakan oleh anak-anak muda. Kita bisa melihat sekelompok anak muda
berkumpul di satu tempat menjadikan itu sebagai “markas” mereka. Lama-lama itu
menjadi wilayah mereka. Ini sebetulnya upaya-upaya menciptakan ruang sosial menjadi
ruang publik. Sama seperti beberapa pengusaha berkumpul di sebuah warung. Selain
sebagai ruang ekonomi, warung itu juga berfungsi menjadi ruang sosial karena
ada gagasan-gagasan untuk bertemu kalangan lain di sana.
Wilayah perkotaan
semakin berkembang dalam pembentukan berbagai lapisan ruang ini. Cuma,
persoalannya ruang-ruang ini terbatas. Inti yang ingin saya sampaikan di sini,
kapasitas dialog. Dialog ini menciptakan relasi-relasi sosial dan personal yang
harus punya kesinambungan. Tanpa kesinambungan yang terus menerus kita tidak
akan berhasil menciptakan ruang publik atau ruang sosial yang intens. Saya
seyakin-yakinnya, kepada orang yang mempunyai kapasitas banyak bertemu dengan
orang lain pasti lebih toleran daripada orang yang terbatas. Saya
seyakin-yakinnya kepada proses pendidikan, apabila seorang siswa banyak bertemu
dengan teman-teman sekolah lain dan bergaul dengan intens tidak akan ada
tawuran.
Ada ungkapan yang
menarik dalam proses pendidikan dan kebudayaan itu, ruang publik menjadi ruang
dialog. Proses pembangunan di Indonesia gagal total dalam menciptakan ruang
publik. Karena ruang publik menjadi komoditas, menjadi barang dagangan yang
dilakukan oleh elit kota, penguasa kota.
Di luar negeri apa yang dilakukan orang terhadap ruang publik ini?
Beberapa kali saya
main ke Jepang, yang paling menarik itu pusat kesenian. Mereka punya petugas,
tapi gedung itu tidak hanya dikelola oleh petugas atau manajemennya. Setiap
orang teater yang mau latihan di situ, dia ngepel
dulu, membersihkannya. Padahal sudah bersih. Tapi secara moral dia harus
melakukan itu. Setelah latihan atau main, mereka membersihkan lagi. partisipasi
mereka sangat kuat sekali. Padahal mereka membayar kok. Mereka dipungut untuk bayar kebersihan tapi mereka tetap ikut
terlibat membersihkannya.
Kemudian, ada cerita
lama, ketika saya berada di sebuah kota bagian timur Michigan, merika Serikat,
pada tahun 1990-an. Ada satu daerah,
yang kalau orang kita bilang tempat jin buang anak atau daerah kriminal.
Menariknya, ada beberapa seniman dan aktivis sosial memperbaiki rumah yang
ditinggalkan di sana. Lalu mereka bikin acara kesenian. Mengajak teman-temannya
membersihkan tempat lain. Dalam dua tahun tempat itu menjadi tempat pertemuan
sosial yang menarik. Setiap minggu, ada pertunjukan musik, pameran, ada warung,
segala macam. Lalu daerah itu dikelola oleh warga. Dari inisiatif warga ini, pemerintah
merasa bertanggungjawab. Lalu menyediakan penerangan, air bersih dan
sebagainya.
Ketika ruang publik “dirampas” pemerintah, bagaimana seharusnya
mengembalikan ke masyarakat atau memunculkan rasa kepemilikan masyarakat ini?
Dimulai dengan
desain kota. Penguasa kota harus punya keberanian untuk membatasi pertumbuhan
kota. Dia harus merenovasi ruang yang masih tersisa. Itu membutuhkan political will dan cultural will. Kehendak politis dan kehendak kebudayaan. Yang jadi
persoalan, apakah wakil rakyat itu punya kehendak kebudayaan. Apakah para
pengelola kota itu punya kehendak kebudayaan. Karena mereka selalu
mengidentikkan persoalan kebudayaan adalah persoalan upacara, seremonial.
Mereka tidak melihat proses kebudayaan merupakan pertemuan warga dengan sejarah
sosial masing-masing di ruang publik itu.
Ada proses
kanalisasi di kota ini berdasarkan arus politik yang dibawa partai politik
maupun elit sehingga masyarakat mengalami segregasi berpikir. Di tambah lagi
dengan segregasi sosial ekonomi. Itu sangat mungkin menciptakan konflik-konflik
dalam perkotaan. Masyarakat perkotaan sangat gampang menimbulkan konflik,
karena persoalan mereka terus digiring. Tidak berdasarkan inisiatif mereka
sendiri berdasarkan pendidikan di ruang publik.
Sekarang, benturan nilai juga terjadi di masyarakat sendiri. Ketika Satpol
PP membersihkan trotoar dari pedagang kaki lima, sering terjadi bentrok. Selalu
dilihat tidak adil, pedagang kaki lima merasa ditindas pemerintah kota, padahal
Satpol PP berusaha memberi akses masyarakat lain atau pejalan kaki untuk bisa
berjalan di trotoar sebagaimana fungsinya. Bagaimana ini bisa terjadi?
Tata ruang kota ini
keos betul. Sebenarnya dengan retribusi, Pemko bisa memperhitungkan berapa
banyak pedagang kaki lima, bagaimana meletakkan lokasinya segala macam. Nah,
dalam persoalan ini, Pemko atau Pemda hanya ingin mengambil retribusinya, tanpa
memberikan ruang pada mereka. Akhirnya, masyarakat seenaknya saja. Ini
persoalan sebetulnya, pemerintah tidak memberikan ruang kepada mereka dan
mempercayai mengelolanya.
Faktor modal sering menjadi kekurangan pemerintah untuk membangun ruang
publik, seperti infrastruktur, dan lain sebagainya. Solusinya bagaimana?
Untuk melalukan
perubahan mendasar terhadap kota ini membutuhkan capital. Namun capital
yang paling penting sebenarnya potensi warga. Memberikan kesempatan warga untuk
mengelola wilayahnya masing-masing.
Contohnya begini,
kenapa pesta perkawinan, anda diwajibkan minta izin ke kelurahan, kecamatan,
kepolisian, segala. Selalu pihak security
mengatakan keamanan. Orang perkawinan butuh keamanan, anehkan? Perspektif yang
dilihatnya cuma keamanan. Selalu kita membutuhkan pengaman. Politik kita itu
sebetulnya, politik paranoia. Kita sebagai warga selalu dicurigai, yang setiap
mengadakan acara harus ada izin. Ketakutan terjadi kerusuhan. Ini akibat
pengelola Negara, pengelola kota dan daerah yang tidak memberikan kepercayaan
kepada warga.
Begitulah, beberapa persoalan
ruang publik kota-kota di Indonesia saat ini. Malam semakin larut. Selain kami
bertiga tidak kedengaran lagi suara manusia. Menjelang dini hari, pembicaraan tentang
ruang publik yang dikuasai pemerintah ini usai.
Koran Lokal dan Warung Terdekat
Setiap bepergian
kemana saja, hal pertama yang harus dilakukan Halim HD di daerah itu, mencari
koran lokal dan warung terdekat. Maksudnya, melalui koran lokal ia akan
mengetahui situasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya di daerah tersebut.
Sementara warung,
menjadi tempatnya memenuhi kebutuhan hidup hariannya. Seperti membeli kopi,
sabun mandi, deterjen, dan sebagainya. “Syukur-syukur bisa ngutang,” katanya
berseloroh.
Halim dilahirkan di
Kampung Mangga Dua Dalam, Serang, 25 Juni 1952. Sebagai networker kebudayaan,
ia dikenal di seluruh dunia. Penyuka masakan pedas ini, beberapa kali diundang
ke Thailand, Filipina, Jepang, Amerika, Australia, dan beberapa negara Eropa
untuk menjadi pembicara dalam seminar-seminar kebudayaan.
Menurutnya, setiap
orang adalah networker kebudayaan. Sebab, setiap orang bisa menghubungkan
komunitas-komunitas serta belajar mengenal lingkungan dari sebuah komunitas dan
segala persoalannya.
Penyuka traveling
ini menghabiskan masa kecil di Serang. Menyelesaikan Sekolah Rakyat (SR) Mardi
Yuana, Serang, tahun 1965 dan SMPN 3 Serang tahun 1968. Kemudian pindah ke
Yogyakarta dan bersekolah di SMA Institut Indonesia, Yogyakarta, tamat 1971.
Selanjutnya, sempat kuliah di Fakultas Filsafat UGM tahun 1972-1977.
Cukup lama di
Yogyakarta, penyuka film Ghandi ini,
pun pulang kampung ke Banten. Di sana, ia menjadi wartawan lepas. Kondisi di
Banten saat itu tidak kondusif. Tidak bisa menulis dengan bebas, karena
wartawan juga banyak yang jadi intel. Setiap kampanye selalu terjadi kerusuhan
di sudut Kota Serang. Bahkan, kameranya pernah pecah karena dikejar-kejar saat
memoto tawuran. Akhirnya, Halim disuruh pergi dari Serang oleh bapaknya.
Tahun 1980-an, ia
pindah ke Solo. Bekerja sebagai distributor di sebuah penerbitan. Pekerjaan ini
memberinya kesempatan untuk berkeliling dari satu kota ke kota lain. Kesempatan
tersebut dimanfaatkannya untuk berkunjung dari komunitas ke komunitas lainnya
dan menjadi penghubung antar komunitas itu.
Setelah 8 tahun
menjadi distributor, ia berhenti bekerja dan memutuskan untuk menjadi penulis
independen. Kemudian, ia menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Department of
Asian Language and Culture, the University of Michigan, Ann Arbor, USA
(1989-1992). Serta, peneliti di Cornell Modern Indonesia Project (CMIP),
Cornell University, Ithaca, USA (1990-92).
Di Amerika, setiap
liburan kerja, ia menghabiskan waktu menonton teater, film, konser musik, serta
keliling Negara-negara bagian. Menurutnya, sayang kalau berada di suatu tempat
tidak pernah mengenal tempat itu dengan baik.
Hal tersebut,
sebelumnya, juga dipernah dilakukan Halim saat remaja di Yogyakarta. Ketika
tinggal di Bumijo, ia pun sering nonton film, sehari bisa dua atau tiga kali,
dan dolan ke shoping senter, dari kantor Pos Besar ke arah Timur, tempat buku
loakan atau ke sekitar Purosani, dan Gondomanan seberang klenteng.
“Sebagai penggemar
buku sejak di kampung, lingkungan itu membuat saya betah dan berusaha membeli
satu dua buku setiap minggunya, terutama novel yang saya minati. Dalam setahun,
diantara buku yang saya bawa dari kampung, terkumpul seratusan judul dan
puluhan majalah kebudayaan dan sastera. Nah, bioskop, lingkungan buku dan kios
koran yang menghibur saya. Di antara rasa bosan dengan jenis makanan, yang
membuat saya harus mencari warung makan Padang yang masih jarang di
Yogyakarta,” tulisnya dalam sebuah memoir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar