OLEH Moehar
Daniel
Peneliti Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan Pertanian di BPTP Sumatera Barat
Foto Antara |
Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang
menunjang perkembangan perekonomian Indonesia. Sejak dekade 50-an sampai
sekarang, sektor ini selalu menempatkan diri dalam lima besar pengisi
pendapatan negara. Tetapi ironisnya perkembangan fungsi dan peran sektor ini
tidak berdampak nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya.
Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan
yang cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan
nasional.
Di samping kepincangan ekonomi, yang paling meresahkan
saat ini adalah lambannya pertumbuhan atau peningkatan produktivitas
komoditas-komoditas unggulan baik nasional, regional maupun daerah. Kelambanan
tidak hanya dalam peningkatan kuantiĆtas produksi saja tetapi juga dalam
peningkatan kualitas dan kontinuitas. Ketiga hal ini merupakan faktor kunci
untuk dapat bersaing dalam pasar global. Saat ini, jangankan untuk bersaing di
pasar global, untuk memenuhi kebutuhan nasional saja negara kita masih
tertatih-tatih, sehingga dijadikan sebagai pasar yang sangat empuk dan
potensial bagi negara-negara maju.
Penulis berpendapat bahwa ada 3 faktor dominan yang
berpengaruh terhadap lambannya pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan
sektor ekonomi umumnya, sehingga menimbulkan “kepincangan”.
Ketiga faktor tersebut adalah 1) Lemahnya posisi tawar
petani; 2) Kurangnya SDM aparat yang melayani masyarakat dan 3) Kurang tepatnya
sistem yang diterapkan. Ketiga faktor tersebut bisa disebut sebagai “tiga
pilar” atau tiga dasar utama dalam proses pembangunan pertanian. Didalamnya
terkandung unsur “kualitas sumberdaya petani”. Bagaimana upaya yang harus
dilakukan, agar kualitas sumber daya petani bisa ditingkatkan sehingga
mempunyai wawasan yang luas dan terbuka serta mudah menerima pembaharuan.
Posisi
Tawar Petani Lemah
Petani, katakanlah masyarakat pedesaan dan masyarakat
kecil di pinggir perkotaan selama ini selalu berada dalam posisi yang lemah,
tidak berdaya dan selalu kalah bila berhadapan dengan lapisan masyarakat
lainnya. Di samping itu, para pengambil kebijakan ataupun pemilik modal
terkesan meletakan masyarakat atau petani sebagai “objek” pembangunan. Seyogyanya petani
harus difungsikan sebagai “subjek” pembangunan, dimana petani harus diberdayakan untuk ikut dan berperan
membangun diri dan kelompoknya sendiri.
Sebagai produsen petani sering tidak bisa menentukan
sendiri nilai atau harga produk yang dihasilkannya. Harga jual barang yang dihasilkan dengan segala pengorbanan, hampir
selalu ditentukan secara sepihak oleh pedagang dengan dalih hukum pasar. Secara
sosial, masyarakat kecil ini dianggap sebagai lapisan terbawah, yang sering
dianggap sebagai masyarakat yang berpendidikan rendah, mempunyai wawasan yang
sempit serta lambat menerima inovasi dan pembaharuan. Kasarnya, petani sering
menjadi kambing hitam gagalnya sebuah proyek pembangunan.
Sebagai seorang warga, petani sulit mendapatkan tempat
mengadu, walaupun ada wadah tempat mengadu tetapi sering disitir atau
dipolitisir untuk kepentingan orang atau golongan tertentu. Posisi tawar yang
lemah ini menyebabkan petani sulit atau lambat berkembang. Parahnya lagi bila
dikaitkan dengan pola atau sistem pembangunan yang diterapkan serta kurangnya
kuantitas dan kualitas aparat pemerintah yang berhubungan dan memberikan
pelayanan langsung pada masyarakat dan petani secara berkelanjutan. Lembaga petani
yang sudah terbentuk dan bahkan sangat banyak serta ada dimana-mana, belum ada
yang mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan nasib atau menjawab keluhan
petani. Lembaga seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani atau lembaga
lainnya, belum ada dalam sejarah pembangunan pertanian bangsa ini yang mampu memperjuangkan
nasib mereka. Jangankan dibilang mampu, melakukan perjuangan saja mungkin belum
pernah terjadi. Atau kalaupun ada, tetapi tidak pernah menjadi bahan
pembicaraan atau dianggap sebagai suatu masalah.
Kurangnya
Sumber Daya
Aparat pemerintah mempunyai tugas yang sangat komplit
dan rumit. Disamping melakukan pemberdayaan petani/masyarakat juga harus mampu
menjalankan administrasi pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih
dan bertanggung jawab yang sering disuarakan sebagai “good governance”.
Perhatian dan pemikiran mereka sudah banyak tersita untuk melaksanakan tugas
dan kewajiban tersebut.
Bila itu tidak dilakukan, ancaman penjara dan hukuman
jabatan menanti didepan mata. Mereka menjadi seolah kekurangan waktu dan
kesempatan untuk berpikir dan berhubungan langsung dengan petani/ masyarakat sebagai klien yang
harus dilayaninya. Sementara aparat yang menempati posisi kunci dan ujung
tombak di lapang juga terjebak dalam tugas rutin keadministrasian yang harus
dilakukan dan dilaporkan secara periodik.
Jumlah petugas di lapang sangat terbatas dan mempunyai
wilayah binaan yang cukup luas. Walaupun belum ada angka pasti, diperkirakan
satu petugas lapang pertanian saat ini melayani paling tidak 3.000 orang
penduduk (identik dengan 600 KK tani?), sehingga pelayanan yang diberikan menjadi
sangat terbatas. Belum lagi bila dikaji, insentif yang diterima umumnya
dianggap tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga, sehingga curahan waktu
harus dibagi antara pembinaan masyarakat dan pembinaan keluarga. Satu hal lagi,
seorang petugas lapang tidak mempunyai keahlian dalam segala hal, sementara
permasalahan lapang dan permasalahan petani sangat komplit, sehingga
keberdayaan mereka sering dianggap tidak memadai.
Dua hal diatas menjadi komplit dengan kurang tepatnya sistem
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Pemerintah melakukan
sendiri rencana pengembangan masyarakat. Disadari sepenuhnya bahwa pola
perencanaan dari atas ini sering tidak tepat sasaran.
Dana banyak habis, sementara perekonomian masyarakat
tidak berubah. Diakui, sebagian perencanaan yang dilakukan sering menyerap
aspirasi masyarakat, tetapi dalam aplikasinya tidak dilakukan secara tuntas dan
tidak berkelanjutan. Sehingga hasil yang diterima sama saja, kurang memberikan
manfaat dan perubahan yang nyata terhadap perekonomian masyarakat. Menyadari
kondisi dan perkembangan tersebut serta komit dengan masalah petani sudah
saatnya dilakukan perubahan.
Perubahan yang sangat mendasar dan mendesak dilakukan
adalah ; 1) penguatan posisi tawar petani dan 2) perubahan sistem perencanaan
dan pemberdayaan petani/masyarakat.
Langkah awal yang sangat mendasar adalah menguatkan
posisi tawar petani, agar petani menjadi satu kesatuan yang kuat, yang mampu
bernegosiasi, mempunyai posisi tawar yang kuat, mampu mengayomi dan membina
diri sendiri serta mempunyai akses dan kesejajaran dengan pelaku ekonomi
lainnya. Seyogyanya petani mempunyai satu wadah yang benar-benar murni dari
petani, oleh petani dan untuk petani.
Wadah ini akan mengayomi dan akan memperjuangkan suara
hati petani. Aspirasi petani akan mencuat dan akan menjadi perhatian pemerintah
secara serius sehingga bantuan dan binaan yang diterima benar-benar pas dengan
kondisi dan keinginan petani serta sesuai dengan dukungan wilayah. Untuk itu
dibutuhkan pembina dan pembimbing yang serius dan berkelanjutan.
Berdasarkan pengalaman diatas, nampaknya tugas pembinaan
dan pembimbingan serta pengawasan secara serius dan berkelanjutan ini tidak
bisa dilakukan oleh aparat pemerintah. Oleh karena itu Tenaga atau badan ini
akan berada antara petani dan pemerintah, akan menjadi jembatan antara petani
dan pemerintah. Tenaga atau badan ini harus bertanggung jawab atas keberhasilan
petani sebagai binaannya dan juga harus bertanggung jawab kepada pemerintah
yang membiayainya. Penguatan lembaga petani dan perubahan sistem pemberdayaan
ini diyakini akan mampu merubah keadaan, dan akan mampu menggali dan membangkit
potensi petani dan wilayahnya untuk menggapai ”keluarga petani yang sejahtera”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar