Selasa, 11 Maret 2014

Tiga Pilar Pembangunan Pertanian



OLEH Moehar Daniel
Peneliti Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian di BPTP Sumatera Barat
Foto Antara
Pertanian merupakan salah satu sektor utama yang menunjang perkembangan perekonomian Indonesia. Sejak dekade 50-an sampai sekarang, sektor ini selalu menempatkan diri dalam lima besar pengisi pendapatan negara. Tetapi ironisnya perkembangan fungsi dan peran sektor ini tidak berdampak nyata terhadap mayoritas masyarakat yang bergantung didalamnya. Kondisi ini berjalan sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa telah terjadi ketimpangan yang cukup mencolok yang menimbulkan masalah baru dalam proses pembangunan nasional.

Di samping kepincangan ekonomi, yang paling meresahkan saat ini adalah lambannya pertumbuhan atau peningkatan produktivitas komoditas-komoditas unggulan baik nasional, regional maupun daerah. Kelambanan tidak hanya dalam peningkatan kuantiĆ­tas produksi saja tetapi juga dalam peningkatan kualitas dan kontinuitas. Ketiga hal ini merupakan faktor kunci untuk dapat bersaing dalam pasar global. Saat ini, jangankan untuk bersaing di pasar global, untuk memenuhi kebutuhan nasional saja negara kita masih tertatih-tatih, sehingga dijadikan sebagai pasar yang sangat empuk dan potensial bagi negara-negara maju.
Penulis berpendapat bahwa ada 3 faktor dominan yang berpengaruh terhadap lambannya pertumbuhan sektor pertanian khususnya dan sektor ekonomi umumnya, sehingga menimbulkan “kepincangan”.
Ketiga faktor tersebut adalah 1) Lemahnya posisi tawar petani; 2) Kurangnya SDM aparat yang melayani masyarakat dan 3) Kurang tepatnya sistem yang diterapkan. Ketiga faktor tersebut bisa disebut sebagai “tiga pilar” atau tiga dasar utama dalam proses pembangunan pertanian. Didalamnya terkandung unsur “kualitas sumberdaya petani”. Bagaimana upaya yang harus dilakukan, agar kualitas sumber daya petani bisa ditingkatkan sehingga mempunyai wawasan yang luas dan terbuka serta mudah menerima pembaharuan.
Posisi Tawar Petani Lemah
Petani, katakanlah masyarakat pedesaan dan masyarakat kecil di pinggir perkotaan selama ini selalu berada dalam posisi yang lemah, tidak berdaya dan selalu kalah bila berhadapan dengan lapisan masyarakat lainnya. Di samping itu, para pengambil kebijakan ataupun pemilik modal terkesan meletakan masyarakat atau petani sebagai “objek” pembangunan. Seyogyanya petani harus difungsikan sebagai “subjek” pembangunan, dimana petani harus diberdayakan untuk ikut dan berperan membangun diri dan kelompoknya sendiri.
Sebagai produsen petani sering tidak bisa menentukan sendiri nilai atau harga produk yang dihasilkannya. Harga jual barang yang dihasilkan dengan segala pengorbanan, hampir selalu ditentukan secara sepihak oleh pedagang dengan dalih hukum pasar. Secara sosial, masyarakat kecil ini dianggap sebagai lapisan terbawah, yang sering dianggap sebagai masyarakat yang berpendidikan rendah, mempunyai wawasan yang sempit serta lambat menerima inovasi dan pembaharuan. Kasarnya, petani sering menjadi kambing hitam gagalnya sebuah proyek pembangunan.
Sebagai seorang warga, petani sulit mendapatkan tempat mengadu, walaupun ada wadah tempat mengadu tetapi sering disitir atau dipolitisir untuk kepentingan orang atau golongan tertentu. Posisi tawar yang lemah ini menyebabkan petani sulit atau lambat berkembang. Parahnya lagi bila dikaitkan dengan pola atau sistem pembangunan yang diterapkan serta kurangnya kuantitas dan kualitas aparat pemerintah yang berhubungan dan memberikan pelayanan langsung pada masyarakat dan petani secara berkelanjutan. Lembaga petani yang sudah terbentuk dan bahkan sangat banyak serta ada dimana-mana, belum ada yang mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan nasib atau menjawab keluhan petani. Lembaga seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani atau lembaga lainnya, belum ada dalam sejarah pembangunan pertanian bangsa ini yang mampu memperjuangkan nasib mereka. Jangankan dibilang mampu, melakukan perjuangan saja mungkin belum pernah terjadi. Atau kalaupun ada, tetapi tidak pernah menjadi bahan pembicaraan atau dianggap sebagai suatu masalah.
Kurangnya Sumber Daya
Aparat pemerintah mempunyai tugas yang sangat komplit dan rumit. Disamping melakukan pemberdayaan petani/masyarakat juga harus mampu menjalankan administrasi pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab yang sering disuarakan sebagai “good governance”. Perhatian dan pemikiran mereka sudah banyak tersita untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tersebut.
Bila itu tidak dilakukan, ancaman penjara dan hukuman jabatan menanti didepan mata. Mereka menjadi seolah kekurangan waktu dan kesempatan untuk berpikir dan berhubungan langsung  dengan petani/ masyarakat sebagai klien yang harus dilayaninya. Sementara aparat yang menempati posisi kunci dan ujung tombak di lapang juga terjebak dalam tugas rutin keadministrasian yang harus dilakukan dan dilaporkan secara periodik.
Jumlah petugas di lapang sangat terbatas dan mempunyai wilayah binaan yang cukup luas. Walaupun belum ada angka pasti, diperkirakan satu petugas lapang pertanian saat ini melayani paling tidak 3.000 orang penduduk (identik dengan 600 KK tani?), sehingga pelayanan yang diberikan menjadi sangat terbatas. Belum lagi bila dikaji, insentif yang diterima umumnya dianggap tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga, sehingga curahan waktu harus dibagi antara pembinaan masyarakat dan pembinaan keluarga. Satu hal lagi, seorang petugas lapang tidak mempunyai keahlian dalam segala hal, sementara permasalahan lapang dan permasalahan petani sangat komplit, sehingga keberdayaan mereka sering dianggap tidak memadai. 
Dua hal diatas menjadi komplit dengan kurang tepatnya sistem pembangunan dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Pemerintah melakukan sendiri rencana pengembangan masyarakat. Disadari sepenuhnya bahwa pola perencanaan dari atas ini sering tidak tepat sasaran.
Dana banyak habis, sementara perekonomian masyarakat tidak berubah. Diakui, sebagian perencanaan yang dilakukan sering menyerap aspirasi masyarakat, tetapi dalam aplikasinya tidak dilakukan secara tuntas dan tidak berkelanjutan. Sehingga hasil yang diterima sama saja, kurang memberikan manfaat dan perubahan yang nyata terhadap perekonomian masyarakat. Menyadari kondisi dan perkembangan tersebut serta komit dengan masalah petani sudah saatnya dilakukan perubahan.
Perubahan yang sangat mendasar dan mendesak dilakukan adalah ; 1) penguatan posisi tawar petani dan 2) perubahan sistem perencanaan dan pemberdayaan petani/masyarakat.
Langkah awal yang sangat mendasar adalah menguatkan posisi tawar petani, agar petani menjadi satu kesatuan yang kuat, yang mampu bernegosiasi, mempunyai posisi tawar yang kuat, mampu mengayomi dan membina diri sendiri serta mempunyai akses dan kesejajaran dengan pelaku ekonomi lainnya. Seyogyanya petani mempunyai satu wadah yang benar-benar murni dari petani, oleh petani dan untuk petani.
Wadah ini akan mengayomi dan akan memperjuangkan suara hati petani. Aspirasi petani akan mencuat dan akan menjadi perhatian pemerintah secara serius sehingga bantuan dan binaan yang diterima benar-benar pas dengan kondisi dan keinginan petani serta sesuai dengan dukungan wilayah. Untuk itu dibutuhkan pembina dan pembimbing yang serius dan berkelanjutan.
Berdasarkan pengalaman diatas, nampaknya tugas pembinaan dan pembimbingan serta pengawasan secara serius dan berkelanjutan ini tidak bisa dilakukan oleh aparat pemerintah. Oleh karena itu Tenaga atau badan ini akan berada antara petani dan pemerintah, akan menjadi jembatan antara petani dan pemerintah. Tenaga atau badan ini harus bertanggung jawab atas keberhasilan petani sebagai binaannya dan juga harus bertanggung jawab kepada pemerintah yang membiayainya. Penguatan lembaga petani dan perubahan sistem pemberdayaan ini diyakini akan mampu merubah keadaan, dan akan mampu menggali dan membangkit potensi petani dan wilayahnya untuk menggapai ”keluarga petani yang sejahtera”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...