Rabu, 05 Maret 2014

Studi Banding Anggota Dewan Barangkali hanya Tabiat Inferior



OLEH Zulprianto 
Dosen Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas
Studi banding atau comparative study merupakan cara yang lazim digunakan untuk membandingkan satu hal yang kita miliki dengan hal lain yang dimiliki pihak lain. Begitu mulianya esensi dari studi banding tersebut, berbagai lembaga negara mulai dari pusat sampai daerah termasuk perguruan tinggi menganggarkan dana khusus setiap tahunnya sehingga studi banding menjadi rutinitas tahunan. Karena sudah dianggarkan, para pihak yang akan berangkat studi banding biasanya berkilah, jika diprotes, bahwa kegiatan tahunan tersebut merupakan haknya, bagian atau fasilitas yang harus diperoleh sebagai konsekuensi dari posisi yang sedang dijabat. Anggaran yang diajukan pun bervariasi menurut level pejabatnya. Pejabat nasional biasanya (meski tidak selalu) melakukan studi banding ke negara lain; pejabat daerah studi banding ke daerah lain. Tidak jarang kita mendengar jika para pejabat yang melakukan kunjungan juga memboyong anggota keluarga lain.

Studi banding secara teoritis memiliki substansi yang positif, hanya saja pada prakteknya sering sekali berakhir tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut berakar dari praktek dan hasil studi banding itu sendiri yang tidak terukur dan boros keuangan negara mengingat dana yang dianggarkan dapat dialokasikan ke bagian yang lebih produktif. Survei LSI, misalnya, melansir jika 78% rakyat negeri ini tidak setuju dengan studi banding meskipun dengan alasan peningkatan kinerja.
Kasus yang terbaru tentang studi banding anggota DPR ke Australia misalnya merupakan bukti ketidakefektifan tersebut. Tujuan studi banding tersebut dilakukan terkait dengan problema fakir miskin. Sejumlah pihak menganggap jika kunjungan tersebut salah ruang dan waktu. Anggapan ini bukan tanpa alasan. Faktanya, memang para anggota DPR yang berkunjung ke Australia tersebut salah waktu sebab anggota parlemen yang akan mereka kunjungi sedang reses. Kejadian ini sungguh menggelikan sekaligus konyol. Mungkinkah studi banding tersebut yang notabene bersifat kenegaraan (sebab pakai uang negara) gagal dengan alasan demikian. Bukankah ini penghinaan terhadap negara? Kita berkunjung tapi tuan rumah tidak ada di tempat. Jangan-jangan memang disengaja kunjungannya dilakukan pada saat tuan rumah sedang tidak dirumah. Kita tidak akan membahas ini. Namun yang jelas insiden tersebut menguatkan anggapan kita jika studi banding tersebut (atau studi banding yang lain) hanya sebuah modus untuk plesiran para pejabat. Studi banding hanya alasan sejumlah pejabat untuk bisa jalan-jalan atau wisata gratis, berkunjung ke negara ‘sehat’ sementara negaranya sendiri  ‘sekarat’.
Menurut saya, prilaku pejabat yang suka studi banding seharusnya dievaluasi, dikurangi, atau kalau perlu dinihilkan. Ada beberapa alasan untuk ini. Yang pertama adalah ketidakefektifan kunjungan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakefektifan tersebut termasuk kendala bahasa (tidak semua pelaku studi banding menguasai bahasa tuan rumah yang dituju jika tujuannya ke negara lain; atau minimal menguasai bahasa inggris sebagai lingua franca sehingga komunikasi cenderung tidak lancar). Namun, alasan ini bisa dibantah dengan mengatakan jika komunikasi selama studi banding dijembatani oleh penerjemah. Meski penerjemah membantu, tetap tidak bisa menihilkan kekurangefektifan dimaksud. Belum lagi masa kunjungan yang singkat, adaptasi dengan cuaca, suhu, makanan di tempat tujuan.
Kedua, di jaman teknologi canggih seperti hari ini informasi apapun dengan mudah didapat tanpa harus berkunjung atau mengunjungi secara langsung objek yang dimaksud. Informasi dalam berbagi bentuk seperti gambar, suara, video, tulisan, maupun lisan dalam bahasa asing atau terjemahan dapat diakses dengan cepat dan murah melalui internet.  Informasi dalam berbagai format tersebut merupakan sumber yang lebih dari cukup sebagai bahan untuk melegislasi sesuatu. Dengan begitu, belajar filsafat bisa di internet, tidak perlu ke Yunani apalagi Plato dan Aristoteles sudah lama wafat.
Jika para pelaku studi banding tersebut tidak begitu familiar dengan manfaat internet, mereka juga bisa minta tolong kepada duta besar RI di seantero dunia agar menyediakan informasi atau bahan yang mereka butuhkan. Saya pikir staf di KBRI akan dengan senang hati akan melakukannya.
Ketiga, terkait dengan kegagalan memahami budaya atau pandangan tuan rumah negara tujuan. Tren studi banding adalah mengunjungi negara-negara yang lebih maju agar, katanya, bisa belajar menjadi maju. Namun, disinilah masalahnya. Rakyat di negara maju, termasuk pejabatnya, pada dasarnya sulit memahami kenapa banyak pejabat negara berkembang seperti kita dengan mudah bisa melakukan studi banding seolah-olah rakyat di negaranya jauh dari hidup prihatin. Seperti politik ‘mercusuar’, membangun citra lebih penting daripada esensi. Bukankah lebih produktif jika alokasi dananya dioper ke sektor lain sebab mereka tahu betul keadaan negeri kita (mungkin lebih tahu daripada para pejabat yang studi banding meski mereka tidak melakukan studi banding sebelumnya).
Bagi rakyat dan pejabat di negara maju, hal demikian tidak masuk akal sebab di negara maju kegiatan serupa akan dikritik dan segera dibatalkan. Dengan kata lain, dalam konteks studi banding, orang dari negera superior tersebut heran melihat tabiat inferior kita. Tentu, jika pelaku studi banding datang akan mereka sambut dengan senyum ramah, santun, profesional sebab mereka tidak punya pilihan lain. Tapi, bisa jadi, dalam hati, mereka tidak mengerti dengan prilaku demikian. Para pelaku studi banding seharusnya menyadari kemungkinan pandangan demikian dan merasa malu.
Sedikit sekali dalih yang masuk akal agar kita rela mengikhlaskan studi banding para pejabat negeri ini. Satu diantaranya adalah studi banding harus tetap dilaksanakan adalah karena para pejabat hendak mengindrai secara langsung segala hal tentang negera tujuan termasuk melihat gedung-gedung tinggi di negeri tujuan, penduduk, pantai, diskotik, stadion sepak bola, dan lain-lain sebab faktanya negara-negera tersebut memiliki banyak hal yang belum kita miliki dan menggiurkan untuk dikunjungi. Dan bagi para pelaku studi banding tersebut, semuanya gratis. Tapi pertanyaannya adalah apakah semua perlu diindrai secara langsung? Bukankah tersedia alternatif lain yang lebih murah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...