Dosen Bahasa dan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Andalas
Studi banding atau comparative study merupakan cara yang
lazim digunakan untuk membandingkan satu hal yang kita miliki dengan hal lain
yang dimiliki pihak lain. Begitu mulianya esensi dari studi banding tersebut,
berbagai lembaga negara mulai dari pusat sampai daerah termasuk perguruan tinggi
menganggarkan dana khusus setiap tahunnya sehingga studi banding menjadi
rutinitas tahunan. Karena sudah dianggarkan, para pihak yang akan berangkat
studi banding biasanya berkilah, jika diprotes, bahwa kegiatan tahunan tersebut
merupakan haknya, bagian atau fasilitas yang harus diperoleh sebagai
konsekuensi dari posisi yang sedang dijabat. Anggaran yang diajukan pun
bervariasi menurut level pejabatnya. Pejabat nasional biasanya (meski tidak
selalu) melakukan studi banding ke negara lain; pejabat daerah studi banding ke
daerah lain. Tidak jarang kita mendengar jika para pejabat yang melakukan
kunjungan juga memboyong anggota keluarga lain.
Studi banding secara
teoritis memiliki substansi yang positif, hanya saja pada prakteknya sering
sekali berakhir tidak efektif. Ketidakefektifan tersebut berakar dari praktek
dan hasil studi banding itu sendiri yang tidak terukur dan boros keuangan
negara mengingat dana yang dianggarkan dapat dialokasikan ke bagian yang lebih
produktif. Survei LSI, misalnya, melansir jika 78% rakyat negeri ini tidak
setuju dengan studi banding meskipun dengan alasan peningkatan kinerja.
Kasus yang terbaru
tentang studi banding anggota DPR ke Australia misalnya merupakan bukti
ketidakefektifan tersebut. Tujuan studi banding tersebut dilakukan terkait
dengan problema fakir miskin. Sejumlah pihak menganggap jika kunjungan tersebut
salah ruang dan waktu. Anggapan ini bukan tanpa alasan. Faktanya, memang para
anggota DPR yang berkunjung ke Australia tersebut salah waktu sebab anggota
parlemen yang akan mereka kunjungi sedang reses. Kejadian ini sungguh menggelikan
sekaligus konyol. Mungkinkah studi banding tersebut yang notabene bersifat
kenegaraan (sebab pakai uang negara) gagal dengan alasan demikian. Bukankah ini
penghinaan terhadap negara? Kita berkunjung tapi tuan rumah tidak ada di
tempat. Jangan-jangan memang disengaja kunjungannya dilakukan pada saat tuan
rumah sedang tidak dirumah. Kita tidak akan membahas ini. Namun yang jelas
insiden tersebut menguatkan anggapan kita jika studi banding tersebut (atau
studi banding yang lain) hanya sebuah modus untuk plesiran para pejabat. Studi
banding hanya alasan sejumlah pejabat untuk bisa jalan-jalan atau wisata
gratis, berkunjung ke negara ‘sehat’ sementara negaranya sendiri ‘sekarat’.
Menurut saya, prilaku
pejabat yang suka studi banding seharusnya dievaluasi, dikurangi, atau kalau
perlu dinihilkan. Ada beberapa alasan untuk ini. Yang pertama adalah
ketidakefektifan kunjungan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi
ketidakefektifan tersebut termasuk kendala bahasa (tidak semua pelaku studi
banding menguasai bahasa tuan rumah yang dituju jika tujuannya ke negara lain;
atau minimal menguasai bahasa inggris sebagai lingua franca sehingga komunikasi
cenderung tidak lancar). Namun, alasan ini bisa dibantah dengan mengatakan jika
komunikasi selama studi banding dijembatani oleh penerjemah. Meski penerjemah
membantu, tetap tidak bisa menihilkan kekurangefektifan dimaksud. Belum lagi
masa kunjungan yang singkat, adaptasi dengan cuaca, suhu, makanan di tempat
tujuan.
Kedua, di jaman
teknologi canggih seperti hari ini informasi apapun dengan mudah didapat tanpa
harus berkunjung atau mengunjungi secara langsung objek yang dimaksud.
Informasi dalam berbagi bentuk seperti gambar, suara, video, tulisan, maupun
lisan dalam bahasa asing atau terjemahan dapat diakses dengan cepat dan murah
melalui internet. Informasi dalam
berbagai format tersebut merupakan sumber yang lebih dari cukup sebagai bahan untuk
melegislasi sesuatu. Dengan begitu, belajar filsafat bisa di internet, tidak
perlu ke Yunani apalagi Plato dan Aristoteles sudah lama wafat.
Jika para pelaku studi
banding tersebut tidak begitu familiar dengan manfaat internet, mereka juga
bisa minta tolong kepada duta besar RI di seantero dunia agar menyediakan
informasi atau bahan yang mereka butuhkan. Saya pikir staf di KBRI akan dengan
senang hati akan melakukannya.
Ketiga, terkait dengan kegagalan
memahami budaya atau pandangan tuan rumah negara tujuan. Tren studi banding
adalah mengunjungi negara-negara yang lebih maju agar, katanya, bisa belajar
menjadi maju. Namun, disinilah masalahnya. Rakyat di negara maju, termasuk
pejabatnya, pada dasarnya sulit memahami kenapa banyak pejabat negara berkembang
seperti kita dengan mudah bisa melakukan studi banding seolah-olah rakyat di
negaranya jauh dari hidup prihatin. Seperti politik ‘mercusuar’, membangun
citra lebih penting daripada esensi. Bukankah lebih produktif jika alokasi
dananya dioper ke sektor lain sebab mereka tahu betul keadaan negeri kita (mungkin
lebih tahu daripada para pejabat yang studi banding meski mereka tidak
melakukan studi banding sebelumnya).
Bagi rakyat dan pejabat
di negara maju, hal demikian tidak masuk akal sebab di negara maju kegiatan
serupa akan dikritik dan segera dibatalkan. Dengan kata lain, dalam konteks
studi banding, orang dari negera superior tersebut heran melihat tabiat
inferior kita. Tentu, jika pelaku studi banding datang akan mereka sambut
dengan senyum ramah, santun, profesional sebab mereka tidak punya pilihan lain.
Tapi, bisa jadi, dalam hati, mereka tidak mengerti dengan prilaku demikian. Para
pelaku studi banding seharusnya menyadari kemungkinan pandangan demikian dan
merasa malu.
Sedikit sekali dalih
yang masuk akal agar kita rela mengikhlaskan studi banding para pejabat negeri
ini. Satu diantaranya adalah studi banding harus tetap dilaksanakan adalah
karena para pejabat hendak mengindrai secara langsung segala hal tentang negera
tujuan termasuk melihat gedung-gedung tinggi di negeri tujuan, penduduk, pantai,
diskotik, stadion sepak bola, dan lain-lain sebab faktanya negara-negera
tersebut memiliki banyak hal yang belum kita miliki dan menggiurkan untuk
dikunjungi. Dan bagi para pelaku studi banding tersebut, semuanya gratis. Tapi
pertanyaannya adalah apakah semua perlu diindrai secara langsung? Bukankah
tersedia alternatif lain yang lebih murah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar