OLEH Erick Ridzky
Asisten
Staf Khusus Presiden Bidang Bansos dan Bencana
Mitagasi persiapan kebencanaan |
Dalam kesempatan seminar International
Conference Focus on Indonesian Economy 2011 di Jakarta beberapa waktu lalu,
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyebut tentang SBYnomic.
SBYnomics, kata Fadel, adalah pencapaian
dalam sektor ekonomi yang telah dicapai selama kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Di tengah kemelut politik yang merongrong citra SBY, menurut
Fadel, sebenarnya sepanjang kepemimpinan SBY tersebut telah ada perkembangan
yang cukup signifikan dalam ekonomi. Indeks IHSG telah menembus angka
tertingginya 4000. Cadangan devisa pertengahan tahun ini melewati US$100,
efeknya tentu saja nilai tukar rupiah per dolar menembus angka Rp8.500. Sejak
tahun 2005-2010 inflasi berhasil ditekan dari 17,11
persen menjadi
6,96 persen.
Artikel ini tak hendak menyampaikan
berbagai indikator yang disebut Fadel indikator keberhasilan SBY-nomic. Artikel
ini berusaha merangkum secara garis besar spektrum kebijakan SBY yang oleh
Fadel sebagai SBY-nomic.
Dari Tripple Track Strategy ke Four Track Strategy
Ketika terpilih sebagai presiden secara
langsung pada 2004, SBY langsung dihadapkan pada dilema antara, sebutlah,
pilihan teknokratis versus populis. Yang pertama mencerminkan sikap tim ekonomi
dan kecenderungan Wapres (ketika itu) Jusuf Kalla; yang kedua adalah harapan besar masyarakat
pada sosok SBY sebagai Presiden. Dan pilihannya,
ini merupakan khas dan tipikal sosok SBY, adalah mencari titik temu di antara
keduanya. Berbeda dengan Presiden Megawati Soekarnoputri yang ketat, terlihat
dari kecilnya defisit APBN, Presiden SBY memilih kebijakan fiskal yang agak
longgar dengan tujuan untuk menggerakkan kembali sektor riil guna menciptakan
lapangan kerja yang lebih luas. Selain itu, SBY juga meluncurkan program
populis pro-rakyat seperti bantuan langsung
tunai (BLT), raskin, kredit
usaha rakyat, dan sebagainya.
Pada tahun-tahun pertama
kepemimimpinannya, SBY menyebut program ekonominya sebagai Tripple Strategy,
yaitu: ‘’Pro-growth, Pro-job, dan Pro-poor.’’ Pada era kedua kepemimpinannya,
SBY menambahkan satu track lagi,
sehingga disebut sebagai four track
strategy. Track keempat adalah
bahwa semua kebijakan pembangunan yang ditentukan tetap dilakukan dalam upaya
menjaga kelestarian lingkungan.
Pertumbuhan
yang Inklusif
Konsep ‘’Inclusive Growth’’ muncul setelah
krisis ekonomi pada 1990-an yang kemudian memaksa dunia internasional
untuk melakukan restrukturisasi ekonomi
yang lebih demokratis. Salah satu
manifestasinya adalah semakin mengemukanya tuntutan terhadap konsep ‘’inclusive
growth’’ – yang bergulir sejak dilontarkan oleh Presiden SBY dalam Forum G-20
pada November 2008 di Seoul, Korea Selatan. Dalam hal ini Presiden menyoroti
pentingnya financial inclusion untuk memperluas akses keuangan kepada
masyarakat termasuk kepada kelompok masyarakat miskin dalam mengembangkan
kegiatan ekonomi produktif. Sebagai kerangka kerja, konsep pertumbuhan inklusif
ini telah memperoleh dukungan dari Asian Development Bank, telah menjiwai
kerjasama ASEAN dan Forum APEC.
Sebagaimana pernah dikatakan SBY dalam
forum Perbankan Nasional di Istana Merdeka, 4 April 2008 : ‘’Adalah menjadi
tanggungjawab moral pemerintah untuk membantu rakyat manakala ada tekanan yang
di luar kemampuannya. Pemerintah akan melakukan apa yang bisa dilakukan dengan
kemampuan fiskal yang ada seperti bantuan sosial, bantuan langsung kepada rumah
tangga, bantuan-bantuan pemberdayaan kepada komunitas lokal.’’ Pemerintah akan
memberi ikan kepada mereka yang sungguh-sungguh memerlukan ikan (seperti dalam
kasus bantuan langsung masyarakat), tapi pada kesempatan berikutnya pemerintah
akan memberikan kail, seperti tercermin dalam program Kredit Usaha Rakyat, agar
pada akhirnya mereka bisa mandiri dan mendorong bergeraknya ekonomi lokal.
SBY-nomic mempercayai bahwa pertumbuhan
yang kuat penting sebagai indikator keberhasilan pembangunan. ‘’Kalau
pertumbuhan kita masih di bawah 4 persen, itu belum bisa disebut
high growth, kalau sudah di atas 4 persen,
lebih-lebih 6,7,8 persen, itu termasuk high growth,
katanya.
Tapi ia tidak mempercayai bahwa pertumbuhan yang baik secara otomatis akan
mendorong proses efek menetes ke bawah, atau yang dikenal proses trickle down
effect. Di sini, SBY-nomic menekankan pentingnya peran kebijakan fiskal untuk
mengelola pertumbuhan agar bisa diatur secara adil melalui program-program
pro-rakyat.
Pertumbuhan
yang Berdimensi Kewilayahan
SBY-nomic menekankan pentingnya perluasan
zona-zona pertumbuhan sehingga pembangunan ekonomi merata dan tidak dimonopoli
oleh Jawa yang selama bertahun-tahun jadi sumber pertumbuhan. Selain itu,
SBY-nomic juga menekankan pentingnya konektivitas antar zona pertumbuhan
sehingga membentuk koridor ekonomi yang terintegrasi secara nasional, regional
bahkan global. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahanan SBY telah
meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI)
2011-2025.
Memang, terdapat tantangan besar
debottlenecking (menghilangkan hambatan) baik berupa hambatan buruknya regulasi
maupun masalah infrastruktur. Tantangan ini memang tidak mudah. Tapi sebagai
negara yang posisinya di pusat gravitasi ekonomi global, Indonesia harus
mempersiapkan diri lebih baik melalui koridor-koridor ekonomi.
Pembangunan
yang Berdimensi Kemanusiaan
Dalam pidato pembukaan pertemuan Bali Democracy
Forum 2009, Presiden SBY menyatakan: ‘’Pada akhirnya, saudara-saudara, esensi
dari demokrasi dan pembangunan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat
manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai insan sosial.’’
SBYnomic menekankan bahwa pembangunan
seharusnya berpusat pada pembangunan manusia (human centre development).
Berdasarkan kerangka kerja UNDP, keberhasilan pembangunan yang berpusat pada
manusia tercermin dalam tolok ukur yang disebut Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) – suatu tolok ukur yang dikembangkan sejak 1990, untuk menggantikan
paradigma lama yang hanya mendasarkan diri pada pendapatan.
IPM merupakan indeks komposit yang
mencakup kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi
(pendapatan). Selama 5 tahun terakhir, Indonesia mengalami rata-rata
pertumbuhan IPM sebesar 1,34 persen per tahun (kenaikan
dari 0,561 di tahun 2005 menjadi 0,600 di tahun 2010). Dari sudut pandang
kenaikan IPM selama 5 tahun terakhir, Indonesia tertinggi keempat di kawasan
ASEAN setelah Myanmar, Thailand, dan Laos.
Selanjutnya adalah bagaimana bisa terus
meningkatkan kualitas hidup, terutama dengan memperbaiki titik terlemah, yaitu
di sektor pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20% dari
APBN 2011, seharusnya Indonesia dapat segera memperbaiki tingkat pendidikan
penduduknya. Jika titik terlemah ini bisa diperbaiki, seharusnya Indonesia
mampu 'mendongkrak' IPM secara
signifikan pada 10 tahun yang akan datang.
Ekonomi
Jalan Tengah
Dalam pidato politik 4 Juni 2009 yang berjudul
Membangun Pemerintahan Bersih untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, SBY menjelaskan apa yang disebutnya sebagai
‘’paham ekonomi’’ yang dianut Indonesia pada masa kepemimpinannya. Katanya:
"Kita tidak menganut neoliberalisme, kita juga tidak menganut komunisme.
Tapi ekonomi jalan tengah yang pro rakyat. Unsur paling penting dari ekonomi
jalan tengah bukan gabungan dari dua konsep yang ada, melainkan keberpihakan
pembangunan pada kepentingan masyarakat luas secara merata dan adil. Tapi
meskipun kita berpihak pada rakyat kecil, tapi kita harus memastikan bahwa
pembangunan adalah untuk semua."
Jalan tengah menekankan pentingnya dua
hal: pada satu sisi kaidah pasar itu penting; pada sisi lainnya peran atau
intervensi pemerintah diperlukan. SBY-nomic juga memperluas visi jalan tengah
tak cuma pada sebatas industrialisasi dan perdagangan, tapi keperpihakan. Kata
SBY: ‘’ Ekonomi jalan tengah bukanlah gabungan dari liberalism dan sosialisme,
tapi keberpihakan pembangunan pada rakyat luas secara adil dan merata.’’
Selain sering mengemukakan pentingnya
visi ‘’Ekonomi Jalan Tengah’’ dalam
berberbagai kesempatan, SBY juga secara khusus mengundang Ha-Joon Chang, guru
besar ekonomi Universitas Cambridge, Inggris yang visi ekonominya kurang lebih
sama, saat menggelar Presidential Lecturer di Istana Negara. Mirip seperti visi
‘’Jalan Tengah’’ SBY, Chang menyarankan Indonesia harus menerapkan kebijakan
yang tidak hanya menganut pasar bebas tapi juga proteksionisme secara efektif.
‘’Saya tidak menyarankan harus menjadi negara sosialis. Saya percaya manfaat
kapitalisme asalkan ada regulasi yang tepat,’’ kata Chang saat itu.
Mengutamakan
Sinergi Lebih Luas
Pada masa lalu, sejarah kebijakan
pembangunan di Indonesia pernah mencatat munculnya perdebatan sengit antara apa
yang disebut sebagai Widjojonomic versus Habibienomic. Widjojonomic
menyandarkan diri pada keunggulan komparatif bangsa yang sudah tersedia, dalam
hal ini adalah sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja murah; sementara
Habibienomic bersandar pada keunggulan kompetitif bangsa, dalam hal ini produk
yang memiliki nilai tambah dan inovasi teknologi. SBY tak ingin terjebak
kembali dalam ajang perdebatan yang sama.
SBYnomic menekankan pentingnya keduanya,
dan karena itu pada saat yang sama Presiden juga mendorong agar para
ekonom/teknokrat dan innovator/teknolog bekerja sama. Mirip ungkapan Presiden
ketika meresmikan Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan Komite Inovasi Nasional
(KIN). ‘’ Kita punya SDA, tetapi juga butuh teknologi untuk memanfaatkannya.’’
Partisipatoris
Sebelum ada reformasi, kehidupan politik
di negeri ini boleh dikatakan lebih konsentrik dan lebih sentralistik. Dalam
era reformasi seperti saat ini, terdapat suatu keniscayaan bahwa tidak semua
urusan negara harus dilakukan oleh negara/pemerintah. Sebagian harus dilakukan
oleh masyarakat sendiri. Yang sebelumnya bersifat top down, sekarang banyak
proses dari bawah ke atas. Lebih partisipatif. Model perencanaan pembangunan
partisipatif telah diadopsi dalam program penanggulangan kemiskinan, yaitu
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) baik dalam
kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Mandiri Perkotaan.
SBYnomic adalah knowledge dan cultural
based management. Dalam berbagai kesempatan, SBY sering
mengemukakan pentingnya pembangunan yang memadukan berbagai macam pendekatan,
yaitu resource based, knowledge based,
dan culture based development
(pembangungan berbasis sumber daya, pengetahuan dan cultural).
Dengan pendekatan ini, maka SBYnomic
menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dalam mengantisipasi – sebagai contoh –
berbagai bencana yang melanda Indonesia. Jika selama ini pendekatan penanganan
bencana bersifat manajemen tanggap darurat, maka di masa mendatang penanganan
bencana haruslah bersifat antisipatif yang berbasis mitigasi risiko.
Salah satu langkah yang dilakukan di
antaranya dengan melakukan riset bencana katastropik purba yang melibatkan para
ahli bereputasi internasional dalam bidang geologi, geofisika, seismologi,
geodinamika, paleotsunami, paleosedimentasi, vulkanologi, filologi, arkeologi,
antropologi dll. Mereka para pakar dari LIPI, ARKENAS, ITB, dan sejumlah
lembaga terkait; serta membuat peta mikrozonasi bencana gempabumi yang menjadi
dasar bagi perencanaan pembangunan.
Diharapkan riset ini akan memperkuat
penanganan mitigasi bencana dengan basis ilmu pengetahuan dan kultural yang
pernah terdokumentasi baik saat ini maupun pada masa lampau yg ditemukan dari
sedimentasi geologi dan paleotsunami, manuskrip-manuskrip, artefak-artefak
prasasti, ataupun sedimentasi vulkanik, dll; sehingga bisa memperkuat lagi
sistem mitigasi kebencanaan berbasis pengetahuan dan juga mengurangi resiko,
antisipasi bencana serta tanggap darurat yang selama ini sudah berjalan.
Melalui SBYnomics, diharapkan mampu
membawa keunggulan bangsa menuju
penguasaan ilmu-pengetahuan, penguasaan kembali sumber daya alam nasional, dan
penggalian kultur dan peradaban agung bangsa Indonesia.
Dengan kata kunci ‘’masa lalu sebagai
kunci untuk memahami masa depan’’. Inilah modal dasar yg ditawarkan melalui
SBYnomic untuk menata kemandirian bangsa dan mengambil peran kepemimpinan
Indonesia pada era globalisasi ini. Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar