Minggu, 09 Maret 2014

Sinergi Pertumbuhan dalam Perspektif Mitigasi Kebencanaan



OLEH Erick Ridzky
Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bansos dan Bencana

Mitagasi persiapan kebencanaan
Dalam kesempatan seminar International Conference Focus on Indonesian Economy 2011 di Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyebut tentang SBYnomic.
SBYnomics, kata Fadel, adalah pencapaian dalam sektor ekonomi yang telah dicapai selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di tengah kemelut politik yang merongrong citra SBY, menurut Fadel, sebenarnya sepanjang kepemimpinan SBY tersebut telah ada perkembangan yang cukup signifikan dalam ekonomi. Indeks IHSG telah menembus angka tertingginya 4000. Cadangan devisa pertengahan tahun ini melewati US$100, efeknya tentu saja nilai tukar rupiah per dolar menembus angka Rp8.500. Sejak tahun 2005-2010 inflasi berhasil ditekan dari 17,11 persen menjadi 6,96 persen.

Artikel ini tak hendak menyampaikan berbagai indikator yang disebut Fadel indikator keberhasilan SBY-nomic. Artikel ini berusaha merangkum secara garis besar spektrum kebijakan SBY yang oleh Fadel sebagai SBY-nomic.
Dari Tripple Track Strategy ke Four Track Strategy
Ketika terpilih sebagai presiden secara langsung pada 2004, SBY langsung dihadapkan pada dilema antara, sebutlah, pilihan teknokratis versus populis. Yang pertama mencerminkan sikap tim ekonomi dan kecenderungan Wapres (ketika itu) Jusuf Kalla;  yang kedua adalah harapan besar masyarakat pada sosok SBY sebagai Presiden. Dan pilihannya, ini merupakan khas dan tipikal sosok SBY, adalah mencari titik temu di antara keduanya. Berbeda dengan Presiden Megawati Soekarnoputri yang ketat, terlihat dari kecilnya defisit APBN, Presiden SBY memilih kebijakan fiskal yang agak longgar dengan tujuan untuk menggerakkan kembali sektor riil guna menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Selain itu, SBY juga meluncurkan program populis pro-rakyat seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, kredit usaha rakyat, dan sebagainya.
Pada tahun-tahun pertama kepemimimpinannya, SBY menyebut program ekonominya sebagai Tripple Strategy, yaitu: ‘’Pro-growth, Pro-job, dan Pro-poor.’’ Pada era kedua kepemimpinannya, SBY menambahkan satu track lagi, sehingga disebut sebagai four track strategy. Track keempat adalah bahwa semua kebijakan pembangunan yang ditentukan tetap dilakukan dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Pertumbuhan yang Inklusif
Konsep ‘’Inclusive Growth’’ muncul setelah krisis ekonomi pada 1990-an yang kemudian memaksa dunia internasional untuk  melakukan restrukturisasi ekonomi yang lebih demokratis.  Salah satu manifestasinya adalah semakin mengemukanya tuntutan terhadap konsep ‘’inclusive growth’’ – yang bergulir sejak dilontarkan oleh Presiden SBY dalam Forum G-20 pada November 2008 di Seoul, Korea Selatan. Dalam hal ini Presiden menyoroti pentingnya financial inclusion untuk memperluas akses keuangan kepada masyarakat termasuk kepada kelompok masyarakat miskin dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif. Sebagai kerangka kerja, konsep pertumbuhan inklusif ini telah memperoleh dukungan dari Asian Development Bank, telah menjiwai kerjasama ASEAN dan Forum APEC.
Sebagaimana pernah dikatakan SBY dalam forum Perbankan Nasional di Istana Merdeka, 4 April 2008 : ‘’Adalah menjadi tanggungjawab moral pemerintah untuk membantu rakyat manakala ada tekanan yang di luar kemampuannya. Pemerintah akan melakukan apa yang bisa dilakukan dengan kemampuan fiskal yang ada seperti bantuan sosial, bantuan langsung kepada rumah tangga, bantuan-bantuan pemberdayaan kepada komunitas lokal.’’ Pemerintah akan memberi ikan kepada mereka yang sungguh-sungguh memerlukan ikan (seperti dalam kasus bantuan langsung masyarakat), tapi pada kesempatan berikutnya pemerintah akan memberikan kail, seperti tercermin dalam program Kredit Usaha Rakyat, agar pada akhirnya mereka bisa mandiri dan mendorong bergeraknya ekonomi lokal.
SBY-nomic mempercayai bahwa pertumbuhan yang kuat penting sebagai indikator keberhasilan pembangunan. ‘’Kalau pertumbuhan kita masih di bawah 4 persen, itu belum bisa disebut high growth, kalau sudah di atas 4 persen, lebih-lebih 6,7,8 persen, itu termasuk high growth, katanya. Tapi ia tidak mempercayai bahwa pertumbuhan yang baik secara otomatis akan mendorong proses efek menetes ke bawah, atau yang dikenal proses trickle down effect. Di sini, SBY-nomic menekankan pentingnya peran kebijakan fiskal untuk mengelola pertumbuhan agar bisa diatur secara adil melalui program-program pro-rakyat.
Pertumbuhan yang Berdimensi Kewilayahan
SBY-nomic menekankan pentingnya perluasan zona-zona pertumbuhan sehingga pembangunan ekonomi merata dan tidak dimonopoli oleh Jawa yang selama bertahun-tahun jadi sumber pertumbuhan. Selain itu, SBY-nomic juga menekankan pentingnya konektivitas antar zona pertumbuhan sehingga membentuk koridor ekonomi yang terintegrasi secara nasional, regional bahkan global. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintahanan SBY telah meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Memang, terdapat tantangan besar debottlenecking (menghilangkan hambatan) baik berupa hambatan buruknya regulasi maupun masalah infrastruktur. Tantangan ini memang tidak mudah. Tapi sebagai negara yang posisinya di pusat gravitasi ekonomi global, Indonesia harus mempersiapkan diri lebih baik melalui koridor-koridor ekonomi.
Pembangunan yang Berdimensi Kemanusiaan
Dalam pidato pembukaan pertemuan Bali Democracy Forum 2009, Presiden SBY menyatakan: ‘’Pada akhirnya, saudara-saudara, esensi dari demokrasi dan pembangunan adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai insan sosial.’’
SBYnomic menekankan bahwa pembangunan seharusnya berpusat pada pembangunan manusia (human centre development). Berdasarkan kerangka kerja UNDP, keberhasilan pembangunan yang berpusat pada manusia tercermin dalam tolok ukur yang disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) – suatu tolok ukur yang dikembangkan sejak 1990, untuk menggantikan paradigma lama yang hanya mendasarkan diri pada pendapatan.
IPM merupakan indeks komposit yang mencakup kualitas kesehatan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi (pendapatan). Selama 5 tahun terakhir, Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan IPM sebesar 1,34 persen per tahun (kenaikan dari 0,561 di tahun 2005 menjadi 0,600 di tahun 2010). Dari sudut pandang kenaikan IPM selama 5 tahun terakhir, Indonesia tertinggi keempat di kawasan ASEAN setelah Myanmar, Thailand, dan Laos.
Selanjutnya adalah bagaimana bisa terus meningkatkan kualitas hidup, terutama dengan memperbaiki titik terlemah, yaitu di sektor pendidikan. Dengan anggaran pendidikan yang sudah mencapai 20% dari APBN 2011, seharusnya Indonesia dapat segera memperbaiki tingkat pendidikan penduduknya. Jika titik terlemah ini bisa diperbaiki, seharusnya Indonesia mampu 'mendongkrak'  IPM secara signifikan pada 10 tahun yang akan datang.
Ekonomi Jalan Tengah
Dalam pidato politik 4 Juni 2009 yang berjudul Membangun Pemerintahan Bersih untuk Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat,  SBY menjelaskan apa yang disebutnya sebagai ‘’paham ekonomi’’ yang dianut Indonesia pada masa kepemimpinannya. Katanya: "Kita tidak menganut neoliberalisme, kita juga tidak menganut komunisme. Tapi ekonomi jalan tengah yang pro rakyat. Unsur paling penting dari ekonomi jalan tengah bukan gabungan dari dua konsep yang ada, melainkan keberpihakan pembangunan pada kepentingan masyarakat luas secara merata dan adil. Tapi meskipun kita berpihak pada rakyat kecil, tapi kita harus memastikan bahwa pembangunan adalah untuk semua."
Jalan tengah menekankan pentingnya dua hal: pada satu sisi kaidah pasar itu penting; pada sisi lainnya peran atau intervensi pemerintah diperlukan. SBY-nomic juga memperluas visi jalan tengah tak cuma pada sebatas industrialisasi dan perdagangan, tapi keperpihakan. Kata SBY: ‘’ Ekonomi jalan tengah bukanlah gabungan dari liberalism dan sosialisme, tapi keberpihakan pembangunan pada rakyat luas secara adil dan merata.’’
Selain sering mengemukakan pentingnya visi ‘’Ekonomi Jalan Tengah’’  dalam berberbagai kesempatan, SBY juga secara khusus mengundang Ha-Joon Chang, guru besar ekonomi Universitas Cambridge, Inggris yang visi ekonominya kurang lebih sama, saat menggelar Presidential Lecturer di Istana Negara. Mirip seperti visi ‘’Jalan Tengah’’ SBY, Chang menyarankan Indonesia harus menerapkan kebijakan yang tidak hanya menganut pasar bebas tapi juga proteksionisme secara efektif. ‘’Saya tidak menyarankan harus menjadi negara sosialis. Saya percaya manfaat kapitalisme asalkan ada regulasi yang tepat,’’ kata Chang saat itu.
Mengutamakan Sinergi Lebih Luas
Pada masa lalu, sejarah kebijakan pembangunan di Indonesia pernah mencatat munculnya perdebatan sengit antara apa yang disebut sebagai Widjojonomic versus Habibienomic. Widjojonomic menyandarkan diri pada keunggulan komparatif bangsa yang sudah tersedia, dalam hal ini adalah sumber daya alam (SDA) dan tenaga kerja murah; sementara Habibienomic bersandar pada keunggulan kompetitif bangsa, dalam hal ini produk yang memiliki nilai tambah dan inovasi teknologi. SBY tak ingin terjebak kembali dalam ajang perdebatan yang sama. 
SBYnomic menekankan pentingnya keduanya, dan karena itu pada saat yang sama Presiden juga mendorong agar para ekonom/teknokrat dan innovator/teknolog bekerja sama. Mirip ungkapan Presiden ketika meresmikan Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan Komite Inovasi Nasional (KIN). ‘’ Kita punya SDA, tetapi juga butuh teknologi untuk memanfaatkannya.’’
Partisipatoris
Sebelum ada reformasi, kehidupan politik di negeri ini boleh dikatakan lebih konsentrik dan lebih sentralistik. Dalam era reformasi seperti saat ini, terdapat suatu keniscayaan bahwa tidak semua urusan negara harus dilakukan oleh negara/pemerintah. Sebagian harus dilakukan oleh masyarakat sendiri. Yang sebelumnya bersifat top down, sekarang banyak proses dari bawah ke atas. Lebih partisipatif. Model perencanaan pembangunan partisipatif telah diadopsi dalam program penanggulangan kemiskinan, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) baik dalam kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan maupun PNPM Mandiri Perkotaan.
SBYnomic adalah knowledge dan cultural based management. Dalam berbagai kesempatan, SBY sering mengemukakan pentingnya pembangunan yang memadukan berbagai macam pendekatan, yaitu resource based, knowledge based, dan culture based development (pembangungan berbasis sumber daya, pengetahuan dan cultural).
Dengan pendekatan ini, maka SBYnomic menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dalam mengantisipasi – sebagai contoh – berbagai bencana yang melanda Indonesia. Jika selama ini pendekatan penanganan bencana bersifat manajemen tanggap darurat, maka di masa mendatang penanganan bencana haruslah bersifat antisipatif yang berbasis mitigasi risiko.
Salah satu langkah yang dilakukan di antaranya dengan melakukan riset bencana katastropik purba yang melibatkan para ahli bereputasi internasional dalam bidang geologi, geofisika, seismologi, geodinamika, paleotsunami, paleosedimentasi, vulkanologi, filologi, arkeologi, antropologi dll. Mereka para pakar dari LIPI, ARKENAS, ITB, dan sejumlah lembaga terkait; serta membuat peta mikrozonasi bencana gempabumi yang menjadi dasar bagi perencanaan pembangunan. 
Diharapkan riset ini akan memperkuat penanganan mitigasi bencana dengan basis ilmu pengetahuan dan kultural yang pernah terdokumentasi baik saat ini maupun pada masa lampau yg ditemukan dari sedimentasi geologi dan paleotsunami, manuskrip-manuskrip, artefak-artefak prasasti, ataupun sedimentasi vulkanik, dll; sehingga bisa memperkuat lagi sistem mitigasi kebencanaan berbasis pengetahuan dan juga mengurangi resiko, antisipasi bencana serta tanggap darurat yang selama ini sudah berjalan.
Melalui SBYnomics, diharapkan mampu membawa  keunggulan bangsa menuju penguasaan ilmu-pengetahuan, penguasaan kembali sumber daya alam nasional, dan penggalian kultur dan peradaban agung bangsa Indonesia.
Dengan kata kunci ‘’masa lalu sebagai kunci untuk memahami masa depan’’. Inilah modal dasar yg ditawarkan melalui SBYnomic untuk menata kemandirian bangsa dan mengambil peran kepemimpinan Indonesia pada era globalisasi ini. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...