OLEH Nasrul Azwar
Untuk menuju
kekuasan politik sepasang kandidat presiden, gubernur, bupati, wali kota, calon
legislatif malah wali nagari yang ikut bersaing dalam sebuah pemilu, menjadi
omong kosong saja jika mereka tak mengeluarkan uang sepeserpun. Kota Padang
baru saja menyelesaikan pilkada putaran kedua. Tapi kita tak tahu,
berapa dana yang dihabiskan dua pasang para
kandidat calon Wali Kota Padang itu yang bertarung pada 5 Maret lalu.
Kultur politik
ekonomistik adalah kultur politik yang memandang kekuasaan hanya sebagai
investasi. Apa yang ada di benak para calon politisi bukan idealisme, melainkan
nilai tukar. Seorang calon politisi rela membayar ratusan juta rupiah karena
tahu betul bahwa investasinya itu akan membuahkan hasil lebih besar. Selain itu
pula, ketidakadilan sosial-ekonomi juga menciptakan kultur politik yang
berseberangan dengan kesetaraan kesempatan politik bagi publik.
Gejala demikian
terus menguat di negeri ini. Tren demikian makin mengeras seiring dengan
penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung. Munculnya gejolak dan protes
sampai ke tingkat pengadilan dalam setiap proses pilkada di Indonesia merupakan
indikator kuat untuk mengatakan kekuasaan dan uang bekerja di dalamnya. Apa yang
disebut dengan kultur politik ekonomistik, kekuasaan adalah investasi menemukan
wujudnya. Simaklah secara cermat, rata-rata pelaksanaan pilkada di Indonesia
kerap menyulut pro-kontra. Selalu bermuara pada saling klaim dan tuding. Malah
bentrokan antarpendukung.
Tahun 2010 lalu, Provinsi
Sumatra Barat ramai dengan perhelatan pilkada. Tahun 2014 ini juga akan dihelat
pesta demokrasi katanya. Pesta anak nagari katanya. Perjalanan menuju kursi
kekuasaan politik, tentu saja bukan kerja seperti membalik telapak tangan.
Untuk mencapai “kursi” nomor satu itu—baik tingkat provinsi, kabupaten, dan
kota—investasi jangka pendek (paling kurang untuk masa 5 tahun bagi yang
berhasil merebut kursi nomor satu dan dua) menjadi keniscayaan.
Untuk menuju
kekuasan politik sepasang kandidat presiden, gubernur, bupati, wali kota, calon
legislatif malah wali nagari yang ikut bersaing dalam sebuah pemilu, menjadi
omong kosong saja jika mereka tak mengeluarkan uang sepeserpun. Mustahil saja
jika mereka tak berinvestasi. Demikian juga dengan pemilihan legislatif. Sudah
menjadi rahasia umum, menjelang pilkada para kandidat bersedia menyewa
konsultan politik dan lembaga-lembaga riset politik untuk program
pemenangannya. Dan semua orang sudah memahami, setiap pilkada dapat diartikan
sebagai lahan bisnis musiman. Malah, beberapa lembaga survei menjadikan bisnis
dan usaha yang permanen dan dikelola secara profesional. Untuk menggunakan jasa
lembaga ini, memang tak murah. Ratusan juta malah milyaran rupiah akan tersedot
ke mereka.
Tertutupnya Parsipasi Publik
Maka, dari itu pula,
politik kekuasaan yang dipresentasikan dalam pemilu menjadi ajang permainan
kapital para kandidat yang berpunya. Dana besar identik dengan pencitraan
kandidat dalam skala yang lebih luas. Kapital yang besar akan mampu memukau dan
menguatkan citra di mata publik. Sepasang kandidat tampak “terbesarkan” jika
mampu mengampanyekan dirinya di televisi-televisi, media cetak ternama, dan
baliho-baliho besar dengan kualitas yang bagus. Dan akan menjadi tambah hebat
lagi jika tim sukses mampu mendatangkan dan melibatkan remaja-remaja serta
selebritas di dalamnya.
Tapi sebaliknya,
akan tampak culun dan terkesan “miskin” jika kandidat atau pun caleg datang
dengan sangat sederhana dan berjalan dengan dana yang kecil. Ini jadi bumerang.
Citranya menjadi turun di mata publik. Karena publik kita masih berada dalam
proses belajar memahami politik dan program. Publik masih senang dengan citra
glamor ketimbang program yang konkret. Yang berbau selebritas dan penuh
bunga-bunga masih jadi getah yang dapat melekatkan ingatan instan publik.
Dari itu pula,
publik akan merasa sangat terkesan, jika calon gubernur, bupati dan wali kota, wali
nagari, dan caleg misalnya, mampu mendatangkan Tukul Arwana dalam sebuah
kampanyenya. Atau sepasang kandidat lain bisa pula menghadirkan kelompok band
yang lagi naik daun di negeri ini. Investasi yang ditanamkan para kandidat
merupakan kapital—terlepas dari mana sumbernya—ibarat sebuah usaha,
pengembalian modal jadi tuntutan logis. Terlebih lagi ketika sang kandidat
menang dalam pemilu. Konsekuensi yang lain lagi adalah terbukanya peluang
perilaku korupsi karena harga investasi politik yang demikian besar.
Selain pengeluaran
seperti itu, kontribusi dana pada satu partai politik pun harus menjadi objek
limitasi. Seperti diketahui, kontribusi finansial adalah salah satu sarana
paling efektif bagi kandidat atau kelompok guna mengekspresikan keyakinan
politiknya (Kompas, 6 Februari 2005).
Di dalam masyarakat
yang masih terkonsentrasi dalam ekonomistik-politik dan belum kuatnya
kesetaraan sosial dan ekonomi, kekuasaan yang masih cenderung berada dalam
lingkaran kapital, apa yang disebut dengan demokratisasi seperti utopia. Ciri
masyarakat demokrasi yang sebenarnya, paling tidak bisa dilihat dari proses
pelaksanaan pemilu. Jika kekuatan kapital yang menguasai akses politik, informasi,
dan tertutupnya partisipasi publik, maka demokratisasi masih dianggap sebagai
“instrumen” menyela sebuah pesta yang bernama pemilu itu.
Beberapa pengamat
sosial dan politik menilai, kekuasaan politik yang identik dengan investasi,
memang tak bisa berharap banyak akan tumbuhnya pastrisipasi politik publik
secara terbuka. Apalagi masih tertutup kemungkinan calon di luar partai politik
ikut bertarung dalam pilkada. Untuk itu pula, langkah yang bisa dilakukan untuk
menekan perilaku korupsi adalah memublikasikan secara terbuka kekayaan para
kandidat, dan semua publik bisa mengaksesnya. Langkah demikian ini harus
dilakukan sebagai wujud kontrol publik terhadap seorang kandidat yang telah
duduk sebagai pejabat publik.
Politik Balas Jasa
Di sisi lain, mengurai
rekam jejak perjalanan seorang kandidat sejak proses pencalonan sampai menuju
duduk kursi kekuasaannya, memang mengesankan seperti mencari ketiak ular. Bak
menelusuri lingkaran setan. Makanya, kasus korupsi dalam sebuah jajaran sulit
dilacak, mark up dalam sebuah proyek, misalnya, seperti mencari jarum yang
jatuh ke jerami. Ini akibat dari proses menuju tangga kekuasaan yang kental
dengan pola politik adalah investasi. Artinya, ada modal dan finansial yang
dipertaruhkan di dalamnya.
Selain itu, “politik
balas jasa” dengan sekian banyak investor yang ikut di dalamnya, memunculkan
lingkaran baru lagi. Investor yang berada dalam ring satu tim sukses akan
menagih imbalan berupa proyek-proyek dan juga jabatan. Kandidat yang telah
berhasil duduk seperti tak berkutik. Investasi harus menuai untung. Jerih payah
menuntut imbalan.
Dari itu pula,
memberantas praktik korupsi di level pemerintah daerah di negeri ini, seperti
membenturkan kepala ke tembok tebal. Lingkaran setan perilaku korupsi tampaknya
sudah dimulai semenjak proses pemilihan. Kecenderungan dan polarisasi kekuasaan
politik di Indonesia dari semua level seolah menjadi keniscayaan dianut bahwa
untuk meraih kekuasaan perlu investasi yang tak kecil. Meruyaknya korupsi di
level provinsi, kabupaten/kota, departemen-departemen, lembaga peradilan, Polri
dan TNI, BUMN dan juga BUMD, tidak bisa dilepas dari keterpengaruhan politik
kekuasaan adalah investasi dan kapital.
Jika diikuti secara
saksama kasus-kasus korupsi yang bergulir sepanjang 10 tahun terakhir di Indonesia,
benang merah yang mengaitkannya adalah karena kekuasaan adalah investasi tadi.
Entahlah, bagi saya
semua bersumber dari pandangan kekuasaan yang menganggap politik kekuasaan
adalah investasi dan kapital. Dan yang punya kapital dan finansial jumlahnya
tak banyak di negeri ini.n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar