OLEH Nasrul Azwar
Warga
Padang Penyuka Seni Pertunjukan
Galibnya pementasan seni pertunjukan,
kerap diawali dengan “gelap”. Lalu berlahan cahaya lampu juga dengan dasar
warna buram, lambat menyiram panggung. Nyaris semua pertunjukan kaya begitu.
Tak paham saya mengapa demikian.
Pertunjukan seni kemanusiaan yang
dibawakan Impessa Dance Company, berjudul “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti
di Koma)” karya koreografer Joni Andra, pada Jumat malam 14 Maret 2014 di
Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, menegaskan seperti saya tulis di atas
itu.
Dibuka dengan panggung gelap sekian
detik. Suasana pentas senyap. Cuma suara kursi yang diduduki penonton berderit
kecil. Lalu, lampu cahaya merah dengan intensitas rendah, menyungkup sesosok
tubuh yang bergerak lambat, mengikuti musik tradisi dan dendang ratap Minang
yang dibawakan Hasan Nawi, Oka Abriyasa, dan Rammul Jono. Malam itu, suasana
memang agak terasa getir.
Sosok tubuh yang mengkoreografi dirinya
itu, berada pada posisi ditinggikan di sebuah bangunan berupa rumah kecil
bertangga kecil. Artistik pembuka pertunjukan cukup memberi makna jalan cerita
yang kelak dipapar.
Rumah kecil ini menyimbolisasikan manusia
yang terkucil atau yang dikucilkan dari lingkungannya. Bisa juga menyiratkan
capaian manusia dalam hidupnya. Inilah wilayah tertinggi dari derajat manusia!
Di bawahnya, di ujung tangga rumah kecil
itu, ada kursi goyang yang masih kosong. Kursi itu yang berbahan rotan,
bergeming di atas panggung. Saluang terus menyampaikan pesannya. Sosok berbalut
busana merah-hitam itu, turun menuju kursi. Lalu ia duduk, dan menggoyangkan
dirinya. Tak berapa lama, ia mengangkat kursi itu. Memutarnya. Dan
menghempaskannya. Kursi itupun terguling-guling. Bunyinya jadi “musik” yang tak
begitu indah sesungguhnya, tapi “masuk”.
Kursi itu bisa jadi pelampiasan
kekecewaan, sebal, dan putus asa. Ada kebencian setiap komposisi gerak yang diutarakan.
Awalnya sesosok tubuh manusia yang merepresentasikan “cerita” tari ini, satu
orang, tapi lima belas menit pertunjukan sudah menjadi empat orang. Tiga orang
masuk dari wing kiri panggung.
Busana keempat penari (Alex Tansil, Dian,
Alvindo, dan yang satu lagi dalam buku acara tak dicantumkan namanya),
membangun komposisi gerak dengan suasana yang tak bahagia. Disebut tak bahagia,
karena beban cerita yang dipikul memang menuntut duka dan sedih. Gerak memenuhi
hitungan koreografis yang masak. Gerak koreografis tubuh-tubuh empat penari
tampak tak mubazir. Setiap gerak tubuh membuat makna dan simbolisasi sarat
tafsir. Pesan yang ingin disampaikan pun terkomunikasikan dengan baik kepada
penonton. Kendati ada yang penonton yang menyebut, cukup berat untuk penonton
pemula.
Terinspirasi
dari ODHA
“Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di
Koma)” berkisah tentang seorang anak yang terinfeksi HIV/AIDS atau (ODHA), yang
menerima perlakuan tak adil dari lingkungan sosialnya. Anak ini meninggal dunia
dalam usia 8 tahun. Saat meninggal pun, anak ini pun masih menerima perlakuan
yang sangat memprihatinkan dari masyarakat dan lingkungan keluarganya.
“Stigma negatif dan perlakuan
diskriminasi masyarakat terhadap ODHA, dan ketidakadilan sosial yang mereka
tanggung, sesungguhnya tak perlu terjadi. Bagaimanapun, terinfeksi HIV/AIDS
bukan sesuatu yang diinginkan. Kisah Agyan memberi saya inspirasi, dan bagi
saya ini perlu dibagi ke masyarakat agar tak ada lagi stigam negatif dan
perlakuan diskiriminatif. Cerita ini saya tumpahkan dalam karya koreografi,”
kata Joni Andra dalam penjelasan konsep garapannya.
Menurut Joni Andra, pementasan “Ratak
Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” bukan semata pementasan karya tari
kontempores belaka, tapi ia punya tujuan dan misi untuk menggugah kepedulian
masyarakat terhadap ODHA, yang jumlah kian meningkat setiap tahunnya.
“Pertunjukan ini juga didekasikan untuk
Agyan dan sekaligus menggalang donasi untuk pada ODHA yang nantinya akan
dikelola Yayasan Lantera Minangkabau. Dana yang terkumpul dimanfaatkan untuk
kebutuhan gizi, beli obat yang memang mahal, dan lain sebagainya,” terang Joni
Andra.
Melepaskan
Diri
Secara keseluruhan, “Ratak Nyao (Nyanyian
Agyan Berhenti di Koma)” cukup menguatkan eksistensi Joni Andra dalam dunia
pertunjukan tari di Sumatera Barat, kendati aransemen musik dalam “Ratak Nyao” terkadang
tertatih-tatih mengikuti kekuatan gerak koreografis yang memang seperti telah
terukur.
“Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di
Koma) merupakan produksi ke 17 dari Impessa Dance Company. Ini menggambarkan produktivitas
Joni Andra di jagat seni pertunjukan di Sumbar dan Indonesia.
Kendati begitu, ada beberapa hal yang
sangat penting untuk dipahami Joni Andra terkait dengan keterpengaruhan kreatif
dalam setiap proses seninya. Perjalanan kreatif, jelas sangat sulit dilepaskan
dari apa yang disebut pengaruh “guru” itu. Tapi, tak ada alasan untuk tidak menyebutkan
tak bisa melepaskan sama sekali dari efek “guru” itu.
Seperti disebutkan Joni Andra
berulang-ulang, bahwa Ery Mefri, koreografer senior Indonesia dari Nan Jombang,
adalah sosok dominan memengaruhi jalan kreativitasnya, terutama koreografi,
tentu bukan sesuatu yang keliru atau salah. Tapi, ketika berkaitan dengan karya
seni dan kreativitas, pencarian yang inovatif dan “kebaruan” sepertinya sebuah
keniscayaan bagi seniman.
Jika pengaruh itu berbasis pada
inspirasi, tentu tak begitu jadi persoalan. Tapi kalau sudah memasuki wilayah
karya, tentu ia akan menjadi tak menarik lagi. Dalam “Ratak Nyao (Nyanyian
Agyan Berhenti di Koma)”, saya menjumpai beberapa komposisi gerak dan simbol
yang mirip dengan beberapa nomor karya Ery Mefri, semisal “Tarian Malam”.
Komposisi putaran legaran seni randai
yang hadir dalam “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)”, sekaligus tak
bisa dipungkiri, membawa imajinasi saya pada “Tarian Malam”. Pukulan sarawa
galembong dalam komposisi tari, tampaknya sudah jadi “branding” Nan Jombang.
Joni Andra tentu bisa membuka ruang
kreatif lebih luas dengan mengedepankan identitas dan pencariannya yang sublim.
Dalam kajian cultural studies,
disebutkan konsep subjektivitas dan identitas sangat terkait dan hampir tak
bisa dipisahkan. Maka, dari itu ketika identitas “orang lain” masuk dalam karya
seni seorang seniman, ia menjadi subjektivitas lain dalam karya lainnya dengan
identitas lain.
Chris Barker (2005) mengatakan, identitas
itu mencakup identitas diri sekaligus identitas sosial dan hubungan dengan
orang lain. Dinyatakan bahwa identitas sepenuhnya bersifat kultural dan tidak
ada di luar representasi dirinya dalam wacana kultural. Identitas bukanlah merupakan
hal baku yang dimiliki, tetapi hal yang menjadi (becoming).
Membaca perjalanan Joni Andra, taruhlah
sejak “Potret Nan Kanduang (1997), “Darah Jantan (2012), hingga “Nyanyian
Kematian” (2013) bagi saya merupakan representasi identitas koreografi Joni
Andra, namun belum merupakan subjektivitas yang jadi identitas dirinya.
Perjalanan panjang 17 tahun proses
kreatif Joni Andra (Impessa Dance Company), membuktikan ia bukan koreografer
pemula. Joni Andra salah satu koreografer yang mampu bertahan selama itu,
selain tentu saja ada Filhamzah dan yang agak muda Ali Sukri, di Sumatera Barat.
Maka dengan demikian, jika dikembalikan
pada harapan masa depan seni pertunjukan tari Sumatera Barat pada Joni Andra,
dan koreografer sebayanya, masalah utama yang harus diperhatikan
sungguh-sungguh adalah soal subjetivitas-identitas tadi. Melepaskan
subjetivitas-identitas orang lain dalam diri kita, memang terasa sulit juga, tapi
sangat terbuka bisa dilakukan.
Saya sendiri meyakini, kekayaan seni
tradisi Minangkabau sangat berlimpah dan masih terbuka ruang yang mahaluas
untuk dimasuki dalam proses berkarya, dan sangat dinamis untuk disenyawakan
dengan konsep kontemporer. Bagi saya, membaca seni pertunjukan kontemporer di
Sumatera Barat, tak serta merta berdiri sendiri sebagai seni kontemporer semata, tapi ia telah
melewati sebuah perjalanan tradisi yang panjang. “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan
Berhenti di Koma)” dalam kaca mata linguistis, menyiratkan hal demikian.
Pertunjukan ditutup dengan semua penari
melemparkan busananya. Tak telanjang memang karena masih ada kolor warna putih
yang dilekatkan, tapi simbol ini ingin mengatakan: hidup tak perlu kemasan,
tapi kepolosan. Lampu pun dimatikan. Gelap. Lalu terang lagi. Tepuk tangan
panjang dari penonton mengakhiri
pertunjukan sarat pesan kemanusiaan ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar