Senin, 24 Maret 2014

PEMENTASAN TARI "RATAK NYAO" KARYA JONI ANDRA: Subjektivitas-Identitas yang Harus Mengental

OLEH Nasrul Azwar
Warga Padang Penyuka Seni Pertunjukan

Pertunjukan tari kontemporer “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)”, karya koreografer Joni Andra (Impessa Dance Company) Jumat (14/3/2014) di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat. (Foto: Ari)
Galibnya pementasan seni pertunjukan, kerap diawali dengan “gelap”. Lalu berlahan cahaya lampu juga dengan dasar warna buram, lambat menyiram panggung. Nyaris semua pertunjukan kaya begitu. Tak paham saya mengapa demikian.
Pertunjukan seni kemanusiaan yang dibawakan Impessa Dance Company, berjudul “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” karya koreografer Joni Andra, pada Jumat malam 14 Maret 2014 di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, menegaskan seperti saya tulis di atas itu.

Dibuka dengan panggung gelap sekian detik. Suasana pentas senyap. Cuma suara kursi yang diduduki penonton berderit kecil. Lalu, lampu cahaya merah dengan intensitas rendah, menyungkup sesosok tubuh yang bergerak lambat, mengikuti musik tradisi dan dendang ratap Minang yang dibawakan Hasan Nawi, Oka Abriyasa, dan Rammul Jono. Malam itu, suasana memang agak terasa getir.
Sosok tubuh yang mengkoreografi dirinya itu, berada pada posisi ditinggikan di sebuah bangunan berupa rumah kecil bertangga kecil. Artistik pembuka pertunjukan cukup memberi makna jalan cerita yang kelak dipapar.
Rumah kecil ini menyimbolisasikan manusia yang terkucil atau yang dikucilkan dari lingkungannya. Bisa juga menyiratkan capaian manusia dalam hidupnya. Inilah wilayah tertinggi dari derajat manusia!
Di bawahnya, di ujung tangga rumah kecil itu, ada kursi goyang yang masih kosong. Kursi itu yang berbahan rotan, bergeming di atas panggung. Saluang terus menyampaikan pesannya. Sosok berbalut busana merah-hitam itu, turun menuju kursi. Lalu ia duduk, dan menggoyangkan dirinya. Tak berapa lama, ia mengangkat kursi itu. Memutarnya. Dan menghempaskannya. Kursi itupun terguling-guling. Bunyinya jadi “musik” yang tak begitu indah sesungguhnya, tapi “masuk”.
Kursi itu bisa jadi pelampiasan kekecewaan, sebal, dan putus asa. Ada kebencian setiap komposisi gerak yang diutarakan. Awalnya sesosok tubuh manusia yang merepresentasikan “cerita” tari ini, satu orang, tapi lima belas menit pertunjukan sudah menjadi empat orang. Tiga orang masuk dari wing kiri panggung.
Busana keempat penari (Alex Tansil, Dian, Alvindo, dan yang satu lagi dalam buku acara tak dicantumkan namanya), membangun komposisi gerak dengan suasana yang tak bahagia. Disebut tak bahagia, karena beban cerita yang dipikul memang menuntut duka dan sedih. Gerak memenuhi hitungan koreografis yang masak. Gerak koreografis tubuh-tubuh empat penari tampak tak mubazir. Setiap gerak tubuh membuat makna dan simbolisasi sarat tafsir. Pesan yang ingin disampaikan pun terkomunikasikan dengan baik kepada penonton. Kendati ada yang penonton yang menyebut, cukup berat untuk penonton pemula.
Terinspirasi dari ODHA
“Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” berkisah tentang seorang anak yang terinfeksi HIV/AIDS atau (ODHA), yang menerima perlakuan tak adil dari lingkungan sosialnya. Anak ini meninggal dunia dalam usia 8 tahun. Saat meninggal pun, anak ini pun masih menerima perlakuan yang sangat memprihatinkan dari masyarakat dan lingkungan keluarganya.
“Stigma negatif dan perlakuan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA, dan ketidakadilan sosial yang mereka tanggung, sesungguhnya tak perlu terjadi. Bagaimanapun, terinfeksi HIV/AIDS bukan sesuatu yang diinginkan. Kisah Agyan memberi saya inspirasi, dan bagi saya ini perlu dibagi ke masyarakat agar tak ada lagi stigam negatif dan perlakuan diskiriminatif. Cerita ini saya tumpahkan dalam karya koreografi,” kata Joni Andra dalam penjelasan konsep garapannya.
Menurut Joni Andra, pementasan “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” bukan semata pementasan karya tari kontempores belaka, tapi ia punya tujuan dan misi untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap ODHA, yang jumlah kian meningkat setiap tahunnya.
“Pertunjukan ini juga didekasikan untuk Agyan dan sekaligus menggalang donasi untuk pada ODHA yang nantinya akan dikelola Yayasan Lantera Minangkabau. Dana yang terkumpul dimanfaatkan untuk kebutuhan gizi, beli obat yang memang mahal, dan lain sebagainya,” terang Joni Andra.
Melepaskan Diri
Secara keseluruhan, “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” cukup menguatkan eksistensi Joni Andra dalam dunia pertunjukan tari di Sumatera Barat, kendati aransemen musik dalam “Ratak Nyao” terkadang tertatih-tatih mengikuti kekuatan gerak koreografis yang memang seperti telah terukur.
“Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma) merupakan produksi ke 17 dari Impessa Dance Company. Ini menggambarkan produktivitas Joni Andra di jagat seni pertunjukan di Sumbar dan Indonesia. 
Kendati begitu, ada beberapa hal yang sangat penting untuk dipahami Joni Andra terkait dengan keterpengaruhan kreatif dalam setiap proses seninya. Perjalanan kreatif, jelas sangat sulit dilepaskan dari apa yang disebut pengaruh “guru” itu.  Tapi, tak ada alasan untuk tidak menyebutkan tak bisa melepaskan sama sekali dari efek “guru” itu.
Seperti disebutkan Joni Andra berulang-ulang, bahwa Ery Mefri, koreografer senior Indonesia dari Nan Jombang, adalah sosok dominan memengaruhi jalan kreativitasnya, terutama koreografi, tentu bukan sesuatu yang keliru atau salah. Tapi, ketika berkaitan dengan karya seni dan kreativitas, pencarian yang inovatif dan “kebaruan” sepertinya sebuah keniscayaan bagi seniman.
Jika pengaruh itu berbasis pada inspirasi, tentu tak begitu jadi persoalan. Tapi kalau sudah memasuki wilayah karya, tentu ia akan menjadi tak menarik lagi. Dalam “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)”, saya menjumpai beberapa komposisi gerak dan simbol yang mirip dengan beberapa nomor karya Ery Mefri, semisal “Tarian Malam”.
Komposisi putaran legaran seni randai yang hadir dalam “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)”, sekaligus tak bisa dipungkiri, membawa imajinasi saya pada “Tarian Malam”. Pukulan sarawa galembong dalam komposisi tari, tampaknya sudah jadi “branding” Nan Jombang. 
Joni Andra tentu bisa membuka ruang kreatif lebih luas dengan mengedepankan identitas dan pencariannya yang sublim. Dalam kajian cultural studies, disebutkan konsep subjektivitas dan identitas sangat terkait dan hampir tak bisa dipisahkan. Maka, dari itu ketika identitas “orang lain” masuk dalam karya seni seorang seniman, ia menjadi subjektivitas lain dalam karya lainnya dengan identitas lain.
Chris Barker (2005) mengatakan, identitas itu mencakup identitas diri sekaligus identitas sosial dan hubungan dengan orang lain. Dinyatakan bahwa identitas sepenuhnya bersifat kultural dan tidak ada di luar representasi dirinya dalam wacana kultural. Identitas bukanlah merupakan hal baku yang dimiliki, tetapi hal yang menjadi (becoming).
Membaca perjalanan Joni Andra, taruhlah sejak “Potret Nan Kanduang (1997), “Darah Jantan (2012), hingga “Nyanyian Kematian” (2013) bagi saya merupakan representasi identitas koreografi Joni Andra, namun belum merupakan subjektivitas yang jadi identitas dirinya.
Perjalanan panjang 17 tahun proses kreatif Joni Andra (Impessa Dance Company), membuktikan ia bukan koreografer pemula. Joni Andra salah satu koreografer yang mampu bertahan selama itu, selain tentu saja ada Filhamzah dan yang agak muda Ali Sukri, di Sumatera Barat. 
Maka dengan demikian, jika dikembalikan pada harapan masa depan seni pertunjukan tari Sumatera Barat pada Joni Andra, dan koreografer sebayanya, masalah utama yang harus diperhatikan sungguh-sungguh adalah soal subjetivitas-identitas tadi. Melepaskan subjetivitas-identitas orang lain dalam diri kita, memang terasa sulit juga, tapi sangat terbuka bisa dilakukan.
Saya sendiri meyakini, kekayaan seni tradisi Minangkabau sangat berlimpah dan masih terbuka ruang yang mahaluas untuk dimasuki dalam proses berkarya, dan sangat dinamis untuk disenyawakan dengan konsep kontemporer. Bagi saya, membaca seni pertunjukan kontemporer di Sumatera Barat, tak serta merta berdiri sendiri sebagai  seni kontemporer semata, tapi ia telah melewati sebuah perjalanan tradisi yang panjang. “Ratak Nyao (Nyanyian Agyan Berhenti di Koma)” dalam kaca mata linguistis, menyiratkan hal demikian.

Pertunjukan ditutup dengan semua penari melemparkan busananya. Tak telanjang memang karena masih ada kolor warna putih yang dilekatkan, tapi simbol ini ingin mengatakan: hidup tak perlu kemasan, tapi kepolosan. Lampu pun dimatikan. Gelap. Lalu terang lagi. Tepuk tangan panjang dari penonton mengakhiri  pertunjukan sarat pesan kemanusiaan ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...